Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Minggu, 21 Oktober 2018

THAHARAH DARI HADAS DAN NAJIS


THAHARAH

Dr. La Jamaa, MHI

A. PENGERTIAN THAHARAH

Secara bahasa (etimologis), thaharah berarti  bersih (nazhafah), suci (nazhahah), dan terbebas dari kotoran (khulus), baik yang bersifat hissy (konkret atau yang dapat diindera) maupun maknawiy (abstrak). Karena itulah dalam kitab-kitab fiqh biasanya kata thaharah diaertikan dengan bersuci.
Secara terminologis (syara), thaharah ialah membersihkan diri dari kata hadas atau menghilangkan najis dan kotoran. Atau kegiatan bersuci dari hadas dan najis, agar seseorang diperbolehkan mengerjakan suatu ibadah. Misalnya shalat dan thawaf.
Menurut ulama Hanafiah, bahwa thaharah berarti bersih dari hadas dan kotoran (khubuts). Menurut Hanafiah, suci itu mencakup pengertian: sesuatu yang dibersihkan oleh seseorang atau bersih (suci) dengan sendirinya seperti terkena air yang banyak sehingga najisnya hilang.
Misalnya:
Sesuatu yang terkena air dan air itu menghilangkan najisnya.
Menurut ulama Malikiah, bahwa thaharah adalah sifat hukmiyah yang menyebabkan orang yang disifatinya boleh melakukan shalat dengan pakaian yang dipakainya dan di tempat ia melakukan shalat. Sifat tersebut adalah suci dari hadas kecil dan hadas besar.
Menurut ulama Syafi’iah, thaharah dalam syara ada 2 pengertian:
1) Thaharah berarti melakukan sesuatu yang membolehkan (seseorang) melakukan shalat, seperti wudlu, mandi, tayammum dan menghilangkan najis; atau
     Menghilangkan hadas dan najis atau melakukan sesuatu yang semakna dan sebentuk dengan wudhu dan tayamum seperti wudhu ketika masih keadaan berwudhu, tayamum sunnah dan mandi sunnah. Thaharah ini bersifat syar’iyyah (dianjurkan oleh syariat) saja, bukan syarat diperbolehkannya shalat. Sebab yang membuat shalat diperbolehkan adalah wudhu pertama, tayamum pertama dan mandi janabat (mandi wajib)
2) Thaharah berarti suci dari semua najis.
Jadi Thaharah merupakan sifat yang diakibatkan oleh suatu perbuatan.
Menurut ulama Hanabilah, bahwa thaharah ialah hilangnya hadas dan yang semakna dengan itu atau hilangnya hukum semua itu. Hilangnya hadas berarti hilangnya sifat yang menjadi penghalang bagi shalat dan lainnya, karena hadas merupakan sifat hukmiyah yang dapat mengena pada seluruh badan atau sebagiannya.
Yang dimaksudkan dengan sesuatu yang semakna dengannya adalah sesuatu yang semakna dengan hilangnya hadas, seperti hilangnya hadas karena memandikan mayat. Dengan demikian, thaharah secara syariat Islam terbagi dua bagian yakni: thaharah dari hadas dan thaharah dari najis dan kotoran.
Thaharah dari hadas ada 3 cara, yaitu  wudlu, mandi dan tayammum.
Sedangkan thaharah dari najis dan kotoran dengan cara membasuh dan membersihkan najis dan kotoran dengan air dan alat thaharah lainnya. Atau menghilangkan najis yang ada pada badan, pakaian dan tempat.

DASAR HUKUM THAHARAH

 Dasar hukum diperintahkannya untuk thaharah (bersuci atau menjaga kebersihan) antara lain:
1) Firman Allah dalam QS al-Mudddatsir: 4-5     وَثِيَابَكَ فَطَهِّر  ْوَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
  “Bersihkanlah pakaianmua dan jauhilah perbuatan kotor (dosa).”

2) Firman Allah dalam al-Baqarah: 222

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang mensucikan dirinya.’
3). Hadis Nabi saw:   النظافة من الاءيمان                                                                               
  “Kebersihan itu sebagian dari iman.” (HR Muslim)
4. Hadis Nabi saw
                لا تقبل الصلاة بغير الطهور  
   “Tidak diterima shalat orang yang tidak bersuci.” (HR Muslim)
Pembahasan mengenai najis, hadas serta cara membersihkan (thaharah)nya akan diuraikan lebih lanjut.

B. TAHARAH DARI HADAS

1. Pengertian Hadas
Kata hadas saat ini telah menjadi salah satu kosa kata dalam bahasa Indonesia, bahkan populer dalam kajian keilmuan (Fiqh atau hukum-hukum Islam). Secara bahasa, hadas berarti tidak suci, keadaan badan tidak suci.
Sedangkan hadas secara istilah syariat, adalah
1) sifat syar’i yang mengenai sebagian atau seluruh anggota badan sehingga menghilangkan kesucian, atau;
2) kondisi tidak suci yang mengenai pribadi seorang muslim, sehingga menyebabkan terhalangnya orang itu melakukan shalat, tawaf dan i’tikaf;
3) keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara berwudu, mandi wajib dan tayamum. Dalam kondisi tersebut dilarang (tidak sah) mengerjakan ibadah yang disyaratkan kondisi badan bersih dari hadas dan najis, seperti shalat, tawaf dan i’tikaf

2. Jenis Hadas

a. Hadas Kecil
Hadas kecil adalah sesuatu kotoran yang bersifat maknawi (tak dapat dilihat dengan mata kasar), yang berada pada anggota badan yang menghalanginya melakukan ibadah shalat, tawaf dan i’tikaf dan dibersihkan wudhu atau tayamum. Hadas ini disebut hadas kecil karena hadas ini berada dalam kawasan kecil atau sempit, yakni sebatas anggota wudhu saja.
Hadas kecil ini disebabkan oleh beberapa penyebab, yaitu:
1) Buang air kecil dan buang air besar sesuai QS al-Maidah: 6
أو جاء أحد منكم من الغاءط  
    ‘atau salah seorang di antaramu  datang dari jamban (buang air)’
2) Kentut sesuai hadis Nabi saw:
‘Allah tidak akan menerima shalat seseorang kalau ia berhadas sampai ia berwudhu. Maka seorang lelaki dari Hadramaut bertanya; apakah itu hadas itu ya Abu Hurairah? Ia menjawab: kentut dan buang air besar.’
3) Keluar madzi, wadi
Ketiga hal di atas disepakati oleh ulama.
4) Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram sesuai QS al-Maidah: 6
أولامستم النساء 
    ‘atau kamu menyentuh perempuan’
Hal ini diperselisihkan oleh ulama. Menurut mazhab Syafi’iah, bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram menyebabkan hadas kecil (membatalkan wudhu) secara mutlak.
Menurut mazhab Hanbali, bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan tanpa penghalang menyebabkan hadas kecil (batal wudhu), baik muhrim maupun bukan, hidup maupun mati, muda atau tua renta, besar atau kecil kecuali menyentuh rambut, kuku dan gigi.

Menurut mazhab Maliki, jika seseorang menyentuh orang lain dengan tangan atau anggota badan lainnya, maka menyebabkan hadas kecil (batal wudhu). Tetapi dengan syarat bagi yang menyentuh adalah balig dan berniat untuk mendapatkan rasa nikmat atau mendapatkan nikmat saat menyentuhnya. Syarat orang yang disentuh adalah tidak memakai apapun atau hanya menggunakan penghalang yang tipis, orang yang menimbulkan syahwat.
Menurut mazhab Hanafi; bersentuhan itu tidak menyebabkan hadas kecil (batal wudhu) secara mutlak.
5) Hilang akal, seperti gila, ayan, tidur, mabuk dan pingsan.
Menurut mazhab Hanbali, tidur menyebabkan hadas kecil (batal wudhu), kecuali tidur yang sebentar.
Menurut mazhab Syafi’i; tidur membatalkan wudhu (menyebabkan hadas kecil), jika tidak tetap di tempat duduknya, walaupun jelas-jelas tidak keluar hadas.
Mazhab Hanafi; tidur tidak menyebabkan hadas kecil (batal wudhu); kecuali tidurnya miring pada lambung sampingnya; tidur dalam kondisi terlentang pada tengkuknya dan tidur bersandar pada salah satu kedua pahanya. Sebab pada 3 kondisi itu seseorang hilang konsentrasinya dan persendiaannya juga mengendur. Tetapi kalau dia tetap pada tempat duduknya, tidak menyebabkan hadas kecil.
Mazhab Maliki, tidur yang menyebabkan hadas kecil (batal wudhu) adalah tidur yang berat (pulas), baik sebentar maupun lama. Jika tidurnya tidak pulas, maka tidak membatalkan wudhu, hanya disunatkan saja untuk berwudhu. Ukuran pulasnya, dia tak mendengar suara apapun atau tidak merasa kehilangan jika ada sesuatu yang jatuh dari tangannya atau air liurnya mengalir dari mulutnya.
) Memegang kemaluan.6
Menurut mazhab Hanafi, memegang kemaluan tidak membatalkan wudhu walaupun dengan syahwat dan telapak tangan
Menurut mazhab Syafi’i, yang memagang kemaluannya batal wudhunya.
    Orang yang sedang hadas kecil dilarang: shalat, tawaf, I’tikaf
b. Hadas Besar
Hadas besar adalah sesuatu kotoran yang bersifat maknawi (tak dapat dilihat dengan mata kasar), yang berada pada anggota badan yang menghalanginya melakukan ibadah shalat, tawaf dan i’tikaf dan dibersihkan dengan mandi janabah atau tayamum. Hadas ini disebut hadas besar karena hadas ini berada dalam kawasan luas, yakni seluruh badan.
Hadas kecil ini disebabkan oleh beberapa penyebab, yaitu:
1) Keluar mani disertai syahwat, baik saat tidur maupun terjaga, laki-laki maupun perempuan, sesuai hadis: al-ma’u minal ma-i (air atau mandi junub disebabkan adanya air mani) (HR. Muslim).
     Juga hadis Ummu Salamah ra, bahwa Ummu Sulaim bertanya: Ya Rasulullah sesungghnya Allah tidak malu tentang kebenaran. Wajibkah perempuan itu mandi bila ia bermimpi? Nabi saw menjawab: Ya, bila ia melihat air. (HR Bukhari dan Muslim)
     Kecuali mani yang keluar tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau dingin, maka tak wajib mandi (tidak menyebabkan hadas besar). Atau bermimpi tapi tak menemukan mani.
2) Hubungan seksual laki-laki dengan perempuan meskipun tak keluar mani sesuai QS al-Maidah: 6
أولامستم النساء
      Dan jika kamu junub maka hendaklah kamu bersuci (mandi)’
3) Haid dan nifas sesuai firman Allah: dan janganlah kamu mencampuri mereka sebagaimana diperintahkan oleh Allah.
4) Meninggal dunia, sehingga wajib dimandikan.
5) Orang kafir masuk Islam.
Orang yang sedang hadas besar dilarang: shalat, tawaf, i’tikaf, menyentuh dan membawa mushaf al-Qur’an, membaca al-Qur’an.

C.  TAHARAH DARI NAJIS

1. Pengertian Najis

Kata najis saat ini telah menjadi salah satu kosa kata dalam bahasa Indonesia, bahkan populer dalam kajian keilmuan (Fiqh atau hukum-hukum Islam).
Secara etimologis (bahasa), kata najis berasal dari bahasa Arab yang dalam makna aslinya berarti: “sesuatu yang kotor,” sinonim dengan khubuts (kotor). Kata najis sendiri berasal dari kata kerja (fi’il) najasa.
Menurut Syariat Islam, najis adalah benda yang kotor yang mencegah sahnya mengerjakan ibadah yang diharuskan dalam keadaan suci seperti shalat dan tawaf.  Dengan kata lain, secara terminologis fiqh Islam, bahwa najis berarti:
sesuatu yang menurut syara dianggap kotor dan jika melekat pada sesuatu tempat, maka bekas lekatannya itu harus dibersihkan, baik yang ada pada badan, pakaian mau pun tempat shalat.”
Benda kotor ternyata tida identik dengan najis. Begitu pula sebaliknya, benda yang bernajis kadang bersih.
Contoh:
Pakaian yang terkena tanah kelihatannya menjadi kotor, tetapi itu tidak berarti bernajis (kotor tidak sama dengan najis), sehingga sah digunakan untuk shalat, walau pun memang sebaiknya dibersihkan karena shalat merupakan sarana komunikasi dengan Allah. Sebaliknya pakaian yang terkena air kencing walau pun kelihatannya bersih, namun karena terkena najis, maka tidak sah dipakai untuk shalat.

Dalam aplikasinya, term najis lebih banyak digunakan dalam kajian fiqh, sedangkan:
* Al Quran menggunakan kata najis  bukan dlam pengertian najis (kotor) secara fisik, tetapi najis dalam pengertian maknawiah seperti tertuang dalam Qs al- taubah ayat 28 yang mengungkapkan bahwa orang-orang  musyrik itu najis, yakni kotor sistem kepercayaan teologisnya.
* Al Hadis/sunnah menggunakan istilah rijsun untuk mengungkapkan kekotoran sebauh benda, sebagaimana yang digunakan oleh al Quran.
Jadi, istilah najis dan rijsun (rijis) merupakan dua istilah hukum yang bermakna sama, tetapi digunakan dalam tempat yang berbeda. Dalam hal ini Al Quran dan Hadis/sunnah lebih banyak digunakan istilah rijis (Rijsun) yang lebih mengarah kepada makna perbuatan keji atau kotor, di samping kotor/najisnya benda yang disebutkan itu sendiri. Perbuatan kotor/keji di sini lebih bermakna dosa.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa :
*Najis, adalah kotoran yang wajib bagi setiap muslim mensucikan diri dari padanya dan mensucikan apa yang dikenainya. Jadi, najis biasanya berupa BENDA.
*Hadas, adalah peristiwa yang dialami manusia yang menjadi SEBAB PENGHALANG sahnya suatu ibadah ritusl/ibadah mahdah, khususnya shalat, thawaf, dan puasa.
2. Dasar Hukum Kenajisan Suatu Benda
Hadas sendiri tidak mengungkapkan secara detail tentang benda-benda yang termasuk najis. Rumusan kenajisan sebuah benda semata-mata hasil kajian para ulama dalam bentuk rumusan pemikiran fiqh.
Setidak-tidaknya pendekatan kajian yang dilakukan ulama fiqh untuk menyimpulkan kenajisan sesuatu benda, yaitu:
a) Mengidentifikasi kenajisan melalui analisis keharaman benda itu untuk dikonsumsi oleh manusia.
b) Mengidentifikasi kenajisan melalui analisis terhadap perintah-perintah Rasulullah saw untuk membersihkan berbagai benda lain yang terkena benda tsb.
Ad.a) Berdasarkan pendekatan pertama, maka di antara benda-benda najis itu adalah bangkai, darah dan daging babi, karena benda-benda tersebut haram untuk dikonsumsi oleh manusia sebagaimana tertuang dalam QS al-Maidah: 3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ                             
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan daging binatang yang disembelih atas nama selain Allah.”
Ungkapan senada tersebut dalam QS al-An’am: 145
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ     
“Katakanlah: ‘Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu berupa bangkai, darah yang mengalir atau daging babi.’
Kedua ayat di atas menyatakan, bahwa bangkai binatang darat atau binatang yang disembelih atas nama selain Alah, termasuk dalam benda yang tidak boleh dimakan dagingnya. Begitu pula darah yang mengalir (darah sembelihan binatang) dan daging babi  juga haram untuk dikonsumsi manusia.
Jadi, benda-benda itu tergolong najis, sehingga bila mengenai tubuh, pakaian atau tempat shalat serta meninggalkan bekas, maka tubuh, pakaian serta tempat shalat tsb terkotori atau mutanajis (terkena najis).
Karena terkotori/najis, maka harus disucikan/dibersihkan saat akan melakukan ibadah ritual yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Zat yang Maha Suci.
Dari aturan itu diharapkan kebiasaan bersih akan selalu mewarnai perilaku hidupnya, tidak hanya saat menghadap Allah, tetapi juga di sepanjang hari dalam semua kesempatan.
Identifikasi kenajisan melalui keharaman untuk dikonsumsi berlaku juga untuk khamar, seperti tersebut dalam QS al- Maidah: 90
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 
‘Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan tsb agar kamu memperoleh keberuntungan.’
Maka semua jenis minuman yang termasuk dalam kategori khamar, adalah najis.
Sehingga para ulama menyimpulkan bahwa benda-benda najis karena haram dikonsumsi ini adalah:
·         bangkai binatang darat, darah yang mengalir, daging babi, dan semua jenis minuman yang termasuk dalam kategori khamar.
Ad.b) Kenajisan sesuatu benda berdasarkan pemahaman terhadap petunjuk Rasulullah saw kepada para sahabat untuk membersihkan tubuh, pakaian atau benda-benda lain yang biasa digunakan manusia, di antaranya jilatan anjing seperti tersebut dalam hadis:

‘(Cara) mensucikan bejana salah seorang dari kamu yang dijilat anjing, adalah mensucinya sebayak 7 kali, dan diawali dengan menggunakan tanah.’ (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Di samping jilatan anjing, Nabi saw juga menyuruh sahabatnya untuk mencuci badan, pakaian atau tempat shalat  jika terkena air kencing manusia, seperti tersebut dalam hadis:

‘Air kencing bayi laki-laki cukup diperciki air, sedangkan air kencing bayi perempuan harus dicuci sampai bersih.’  (HR Ahmad dari Ali)
Ketentuan ini berlaku bila kedua bayi tersebut belum makan apa-apa selain ASI (air susu ibu)nya. Kalau sudah makan makanan tambahan lainnya, maka air kencing bayi laki-laki dan perempuan tersebut, bekas siramannya itu harus dicuci sampai bersih.
Rasulullah saw juga memerintahkan untuk membersihkan anus (alat sekresi) bagi setiap orang yang selesai buang air besar seperti tersebut dalam hadis:


‘Anas berkata, bahwa Rasulullah saw masuk ke jamban, lalu saya bersama dengan seorang anak laki-laki sebayaku membawakan air untuknya dan sebuah tongkat, kemudian Nabi saw beristinja dengan air.’ (HR Bukhary)
Jadi, sesuai ayat dan ahdis di atas, maka benda-benda najis adalah:
·         bangkai (binatang darat)
·         darah yang mengalir
·         babi
·         semua minuman yang tergolongdalam kategori khamar
·         anjing dan bianatang buas lainnya, kecuali kucing
·         air kencing serta kotoran manusia dan binatang

Rangkumannya:
1) Benda-benda najis yang didasarkan pada ayat & hadis yang mengharamkan untuk dikonsumsi, adalah:
·         bangkai binatang darat
·         darah yang mengalir
·         babi
·         semua jenis minuman yang termasuk dalam kategori khamar
·         semua jenis binatang buas kecuali kucing (karena kucing biasa hidup dekat dengan manusia)
2) Benda-benda najis berdasarkan hadis Nabi yang menekankan keharusan mencuci sesuatu yang jika terkena benda tersebut, adalah:
·         anjing
·         air kencing manusia dan binatang
·         kotoran (tahi) manusia dan binatang

Disarikan dari berbagai sumber

5 komentar:

  1. kak . . apa boleh orang yang hadas besar itu dalam mensucikannya menggunakan tayamum pada kondisi tertentu. dan pada kondisi itu tidak ada air. sedangkan waktu undah waktu sholat. bagaimana dasarnya kak ?

    BalasHapus
  2. Apakah mandi wajib bisa mensucikan dr najis mogholadoh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mandi wajib/junub bukan membersihkan najis mughallazah melainkan menghilangkan hadas besar. Bekas najis jilatan anjing harus disucikan sebanyak 7 kali, kali pertama dengan air dicampur tanah.
      Wallahu a'lam bis shawwab

      Hapus