Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Minggu, 26 Mei 2013

Eutahanasia dan Pengaruhnya Perspektif Hukum Islam

Hukum Islam Kontemporer
EUTHANASIA DAN PENGARUHNYA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Oleh: Dr. LA JAMAA, MHI

A. Latar Belakang
     Salah satu peristiwa yang senantiasa dialami umat manusia adalah kematian. Dalam realitasnya, kematian manusia tidak selamanya disebabkan oleh penyakit, tetapi tidak sedikit yang diakibatkan oleh pembunuhan, baik pembunuhan yang disengaja, maupun pembunuhan yang tidak disengaja. Di samping itu ada juga pembunuhan yang dikehendaki oleh korban, keluarga korban dan pelaku.
       Pembunuhan yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama antara keluarga korban dengan pelaku pembunuhan dalam dunia kedokteran biasa disebut euthanasia. Tindakan euthanasia pada hakekatnya disebabkan oleh faktor psikologis yaitu adanya rasa putus asa yang dialami pasien yang menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh bahkan menurut hasil diagnosa dokter hanya bisa bertahan hidup dalam jangka waktu yang relatif singkat (hanya beberapa bulan atau beberapa minggu saja). Atas dasar pemikiran ini, pasien dan atau keluarganya meminta kepada dokter yang merawat pasien itu, untuk memberikan suntikan atau obat yang dapat mempercepat kematian pasien.
    Dengan demikian dalam pelaksanaan euthanasia ini terdapat dua hal yang saling kontradiktif. Pada satu sisi dokter memberikan suntikan atau obat yang dapat mempercepat kematian pasiennya itu didorong oleh niat baik untuk menghilangkan penderitaan pasien (agar pasien tidak menderita berkepanjangan). Namun di sisi lain niat baik dokter bersama keluarga pasien justru mengakibatkan kematian pasien. 
       Permasalahan yang muncul, adalah apakah tindakan dokter melakukan euthanasia tersebut dapat dikategorikan sebagai pembunuhan? Apabila tindakan euthanasia dapat dikalsifikasikan sebagai pembunuhan, lalu bagaimana pengaruhnya terhadap kewarisan? Apakah tindakan keluarga pasien tersebut dapat menjadi hijab hirman (penghalang) dalam memperoleh harta warisan yang ditinggalkan korban? Karena dalam sebuah hadis Nabi saw menegaskan, bahwa:
                                                                 ليس للقاتل مراث شيء
1
'Pembunuh tidak memperoleh harta warisan dari harta orang yang dibunuhnya.' (HR Ibn Majah dari Abu Hurairah) 
Di samping itu dari aspek hukum Islam, sanksi pidana apa yang dapat dikenakan kepada dokter dan keluarga korban tersebut. Beberapa permasalahan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini.

B. Pengertian Euthanasia
       Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, eu yang artinya "baik" dan thanatos yang berarti "kematian." Jadi euthanasia berarti kematian yang baik, yang bahasa Arab disebut qatl al-rahma atau taisr al-maut.2 Sedangkan pengertian euthanasia menurut istilah terdapat beberapa pendapat para ahli.Menurut Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, bahwa "euthanasia adalah suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter."3 Yang dimaksud dengan pertolongan dokter dalam euthanasia ini adalah pemberian suntikan yang dapat mempercepat kematian pasien, sedangkan tanpa bantuan dokter ialah pasien penderita gawat darurat/kritis itu dibiarkan begitu saja tanpa diberikan pelayanan medis sehingga ia meninggal karenanya.
     Dalam istilah medis, dijelaskan bahwa euthanasia adalah "usaha tenaga medis untuk membantu pasien supaya meninggal dengan baik tanpa penderitaan yang terlalu berat."4 Dari pengertian ini menunjukkan bahwa menurut istilah medis, euthanasia dititikberatkan kepada usaha pertolongan yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis lainnya terhadap seorang pasien yang mengalami  kondisi gawat darurat agar cepat diakhiri penderitaannya melalui kematian.
     Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia sebagaimana dikutip oleh Djok Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yakni:
1.      Berpisah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir;
2.      Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang;
3.      Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atau permintaan pasien sendiri dan keluarganya.5
    Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa dalam pandangan Kode Etik Kedokteran Indonesia, terdapat tiga arti euthanasia. Pengertian pertama lebih mirip dengan kematian orang yang memperoleh husnul khatimah dalam arti meninggal dalam keadaan diredai oleh Allah. Sedangkan arti yang kedua dan ketiga merupakan suatu kematian seseorang akibat usaha pihak kedua yang ikut mempercepat kematian orang itu dengan cara diberi obat penenang. Upaya itu dilakukan berdasarkan permintaan pasien dan atau keluarga kepada dokter yang merawat pasien.
      Selaras dengan pengertian di atas, menurut Encyclopedia Medica halaman 811 sebagaimana dikutip oleh Ali Akbar, bahwa:
Euthanasia mempunyai tiga arti, yaitu: 1. kematian yang mudah dan tanpa sakit; 2. Usaha untuk meringankan penderitaan orang sakaratul maut dan bila perlu untuk mempercepat kematiannya, dan 3. keinginan untuk mati dalam arti yang baik.6
Dengan memperhatikan rumusan pengertian euthanasia dalam Encyclopedia Medica di ats, dapat dikatakan bahwa antara Kode Etika Kedokteran Indonesia dengan Encyclopedia Medica terdapat persamaan secara substansial. Yang berbeda hanya redaksinya saja.
Dari beberapa definisi tersebut menunjukkan bahwa perbedaan pengertian Encyclopedia Medica itu erat kaitannya dengan sudut pandang dari ahli yang bersangkutan. Ahli hukum bertolak dari kajian ilmu hukum dalam memberikan definisi euthanasia, demikian juga ahli medis/kedokteran melihat euthanasia dari sisi medis. Namun demikian dapat dipahami, bahwa euthanasia adalah usaha mempercepat kematian seorang pasien penderita penyakit kritis yang dilakukan oleh dokter/petugas medis lainnya berdasarkan permintaan pasien sendiri dan atau keluarganya. Dengan kata lain, euthanasia pada hakekatnya merupakan upaya pengakhiran hidup yang dilakukan di dalam rumah sakit oleh dokter ahli terhadap pasien gawat darurat yang menurut diagnosanya penyakit yang diderita pasien telah sampai pada suatu kondisi dimana yang bersangkutan tidak dapat diharapkan sembuh atau hidup lagi.
C. Macam-Macam dan Bentuk-Bentuk Euthanasia
      Dalam dunia medis/kedokteran, euthanasia dibagi dalam dua kategori, yaitu euthanasia pasif atau euthanasia tidak langsung, dan euthanasia aktif atau euthanasia langsung.
Euthanasia pasif dilakukan terhadap penderita gawat darurat yang dirawat di dalam rumah sakit atau bagian rumah sakit gawat darurat dengan peralatan yang mejemuk untuk menolong jantung, pernafasan dan cairan tubuh pasien, sehingga oragn-oran tubuhnya dapat berfungsi dengan baik sebagaimana semula. 7
Euthanasia pasif dilakukan terhadap seseorang penderita gawat darurat dengan cara tidak diberikan obat sama sekali, ataupun dengan cara memberikan pil-pil analgetik kepada seorang pasien yang menderita kanker ganas untuk mengurangi rasa sakitnya. Euthanasia semacam ini biasanya dikenal dengan euthanasia tidak langsung karena pemberian pil-pil analgetik dapat sedikit mempercepat datangnya kematidan. Disebut euthanasia tidak langsung juga karena kematian pasien sebenarnya tidaklah dikehendaki oleh tenaga medis yang memberikan obat penenang tersebut.8
     Jadi, euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup mahal, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Termasuk juga euthanasia pasif ialah upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa disembuhkan. Umum alasannya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatan yang dibutuhkan sangat tinggi.9
Beberapa contoh kasus eutahansia pasif, di antaranya:
1) Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidaka da harapan untuk sembuh, atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2) Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita kelumpuhan tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Penderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya. Atau penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan stadium beragam yang biasanya penderita penyakit ini akan lumpuh fisik dan otaknya serta selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya. Dalam kondisi demikian, ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi pengobatan yang mungkin akan dapat membawa kematiannya.10
       Sedangkan euthanasia aktif dilakukan dengan cara menghentikan semua alat-alat pembantu tersebut sehingga jantung dan pernafasan itu tidak dapat berfungsi/bekerja serta akan berhenti. Atau dengan cara memberikan obat penenang dengan dosis tinggi/dosis yang melebihi yang juga dapat menghentikan fungsi jantung, itulah sebabnya euthanasia semacam ini biasanya disebut euthanasia langsung. Di sebut euthanasia langsung karena penghentian alat-alat pembantu maupun pemberian obat penenang yang melebihi dosis itu secara langsung bertujuan kepada kematian pasien atau cara-cara yang digunakan itu secara langsung akan menyebabkan kematian, seperti tenaga medis menyuntikkan obat yang diketahui dapat mengakhiri hidup pasien.11
      Jadi, euthanasia aktif  ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien. Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perkiraan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah.
Beberapa contoh kasus euthanasia aktif, di antaranya:
1) Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obta dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernafasannya sekaligus.
2) Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam kondisi demikian, ia hanya mungkin dapat bertahan hidup dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan, bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernafasan tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita merasakan sakit sehingga tidak mungkin dapat melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses kematiannya.12
Di samping pembagian euthanasia di atas, ada pakar yang meninjau euthanasia dari bentuk lain. Dalam kaitan ini menurut Imron Halimy, macam dan bentuk euthanasia, antara lain:
-          Euthanasia atas permintaan
-          Euthanasia tidak atas permintaan
Kemudian kita kenal pula:
-          Euthanasia aktif, baik atas permintaan ataupun tanpa permintaan
-          Euthanasia pasif, baik atas permintaan ataupun tanpa permintaan
Selanjutnya dalam euthanasia aktif dapat dibedakan lagi menjadi:
-          Euthanasia aktif secara langsung
-          Euthanasia aktif secara tak langsung.13
     Dengan demikian dapat diungkapkan abhwa euthanasia aktif adalah suatu kejadian dimana dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Sedangkan euthanasia pasif adalah suatu kejadian dimana dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak memberikan bantuan medis terhadap pasien yang akhirnya menyebabkan pasien meninggal dunia.
Euthanasia pasif atas permintaan sendiri biasa disebut pula auto euthanasia, yaitu situasi dimana seorang pasien dnegan sadar menolak secara tegas untuk menerima perawatan medis, bahkan ia telah menyadari bahwa hal itu akan dapat memperpendek atau mengakhiri hidupnya sendiri.
Dalam kaitannya dengan masalah euthanasia ini J.E. Sahetapy membagi euthanasia dalam tiga jenis, yaitu:
1.      Kematian yang terjadi karena pasien dengan sungguh-sunguh dan secara cepat menghendaki untuk mati;
2.      Kematian yang terjadi karena kelalaian/kegagalan dari dokter dalam mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian;
3.      Kematian yang terjadi karena tindakan positif dari dokter untuk mempercepat kematian.14
Pada jenis euthanasia pertama, pasien sadar dan tahu bahwa penyakit yang dideritanya itu tidak akan dapat disembuhkan walaupun diobati dan dirawat secara intensif sehingga pasien lalu meminta kepada dokter yang merawatnya agar tidak usah  memberikan pengobatan dan perawatan kepada yang karenanya menyebabkan kematian pasien. Jadi, kamatian pasien itu terjadi seolah-olah merupakan kerjasama antara pasien dengan dokter yang merawatnya.
Pada jenis euthanasia kedua, sebenarnya sama saja dengan yang pertama. Letak perbedaannya adalah pada tindakan membiarkan pasien hingga mati dengan sendirinya tanpa mengadakan pencegahan. Jika pada euthanasia jenis pertama, tindakan membiarkan itu timbul karena adanya persetujuan dari pasien dengan dokter, sedangkan pada euthanasia jenis kedua tindakan itu hanya dari dokter saja.
Pada euthanasia  jenis ketiga, dari tindakan aktif itu seorang pasien akan segera mati dengan tenang seperti dengan cara diberikan obat/suntikan yang diketahui dapat mengakibatkan kematian atau dengan obat penenang yang melebihi dosis yang diketahui akan mengakibatkan kematian pasien.

D. Dilema Euthanasia
      Menurut para ahli medis, bahwa apabila euthanasia dipandang sebagai bantuan tenaga medis terhadap pasien yang telah mendekati akhir hidupnya (penderita gawat darurat) dengan cara-cara yang sesuai dengan kemanusiaan, maka euthanasia semacam itu, baik motivasi maupun caranya tidak bertentangan dengan rasa hormat terhadap martabat manusia. Contohnya tenaga medis memberikan pil-pil analgetik sebagai obat penenang kepada penderita kanker ganas. Cara yang digunakan sepintas lalu dapat dianggap sebagai tindakan yang baik sebab obat tersebut dapat mengurangi rasa sakitnya, namun obat tersebut dapat mempercepat kematian pasien itu.
        Di lain pihak tenaga medis tidak menghendaki kematian pasien dengan pemberian obat itu. Dengan demikian menurut para ahli medis, euthanasia tidak langsung dapat dibenarkan, karena:
Tindakan euthanasia tidak langsung masih sesuai dengan sumpah Hippokrates yang berjanji akan mempergunakan cara pengobatan yang menurut pengetahuan dan pendapatnya adalah terbaik untuk pasiennya dan tak akan merugikana siapapun. Walaupun pemberian pil-pil itu dapat mempercepat kematian, tindakan itu bukanlah suatu pembunuhan. Euthanasia tak langsung semacam itu dapat dibenarkan secara moral, asal  alasan yang dikemukakan oleh pasien sungguh jujur sementara tenaga medispun tetap meneruskan cara-cara perawatan yang 'baik.'15
Dengan demikian tidaklah berarti bahwa para ahli medis membenarkan tindakan euthanasia tak alngsung itu secara mutlak, tetapi justru harus didukung oleh alasan-alasan yang jujur dan rasional dari pasein serta dengan cara-cara dan tujuan yang berperikemanusiaan. Jadi, euthanasia langsung sama sekali tidak dibenarkan secara moral oleh para ahli medis, sebab tindakan semacam itu sengaja mengakhiri hidup seseorang sebelum waktunya padahal yang berhak menghidupkan dan memamtikan manusia hanyalah Tuhan. Selain itu di balik tindakan euthanasia langsung seringkali tersembunyi mentalitas yang tidak sehat seperti mentalitas materialistis, yang hanya memandang dan menghargai manusia yang masih dapat menghasilkan keuntungan karena produktivitasnya. Jadi, dalam menanggapi euthanasia ini para dokter terbagi dalam dua kelompok, yang pro dan kontra euthanasia.
Kelompok yang menyetujui adanya euthanasia mengemukakan alasan bahwa tindakan itu terpaksa dilakukan atas dasar perikemanusiaan,  mereka tidak tega melihat penderitaan pasiennya yang telah berulangkali meminta kepadanya agar penderitannya diakhiri saja.
Sedangkan yang menentang euthanasia  mengemukkan alasan yang bertitik tolak dari segi religius dan pada dasarnya mereka beranggapan, bahwa apapun yang dialami manusia memang telah ditakdirkan oleh Tuhan dan harus dipikul oleh manusia. Karena itu penderitaan seseorang dalam sakit yang dialaminya walau bagaimanapun keadaaannya, memang sudah menjadi kehendak Tuhan. Karena itu, mengakhiri hidup seseorang yang sedang  menerima cobaan Tuhan tentunya tidaklah dibenarkan.16
Dengan demikian bantuan dokter dalam euthanasia menimbukan dilema pada pada satu sisi pasien atau keluarganya terkadang menuntut agar dokter bertindak secara aktif untuk mempercepat kematian pasien akan tetapi pada sisi lain justru tindakan itu telah mengakibatkan berakhirnya hidup seseorang. Padahal dokter seharusnya tetap berusaha memperpanjang/mempertahankan hidup pasiennya.
Dilema euthanasia juga berkaitan dengan hak asasi manusia dari pasien. Dalam berbagai kasus euthanasia yang diajukan ke pengadilan memang para pelakunya (tenaga medis) dianggap berslah membunuh akan tetapi mereka bisa saja tidak dihukum karena alasan hak asasi (atas permintaan) pasien sendiri. Pasien berhak mengakhiri hidup dengan bantuan tenaga medis.

E. Analisis Hukum Islam terhadap Euthanasia
    Agama Islam sangat menekankan perlindungan terhadap jiwa manusia secara konsisten. Hak hidup adalah hak asasi setiap orang yang tidak boleh dihilangkan tanpa alasan yang sah. Ketentuan ini berlaku umum tanpa membdakan pembunuhan yang terjadi tanpa persetujuan korban maupun dengan persetujuan korban sendiri, termasuk juga tindakan bunuh diri dengan alasan apapun.
Pembunuhan juga dilarang dilakukan terhadap anak sendiri, seperti ditegaskan dalam QS. al-Isra (17): 31
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
       'Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.'17
Tegasnya, bahwa kemiskinan atau alasan lainnya bukanlah menjadi legitimasi terhadap suatu tindakan pembunuhan. Dalam syariat Islam memang ada alasan sah yang membolehkan mengakhiri hidup orang lain, yaitu karena yang bersangkutan membunuh orang lain secara melawan hukum, orang yang sudah menikah melakukan berzinaan atau murtad. Rasulullah saw bersabda:



18
Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku (Muhammad) ini utusan Allah, kecuali oleh satu sebab dari tiga alasan, yaitu orang yang (diqisas) karena membunuh orang lain, berzina sedang ia sudah kawin, dan karena meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jamaah (kaum muslimin).' (HR Bukhari
     Berdasarkan ayat dan hadis di atas dapat dikatakan bahwa larangan pembunuhan tanpa hak itu bersifat umum dan mutlak. Dengan demikian dokter yang memberikan suntikan obat berdosisi tinggi dengan tujuan untuk mempercepat kematian pasiennya adlah termasuk tindakan pembunuhan yang terlarang. Karena yang berhak menentukan cepat atau lambatnya ajal manusia adalah merupakan hak prerogatif Allah, seperti diungkapkan dalam QS. al-A'raf (7): 34
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
'Bagi tiap-tiap umat itu ada batas tertentu (mati/ajal)nya sebab itu bila datang waktunya itu, maka tidak dapat mengulurkan seketika pun dan tidak dapat mempercepatnya.'19
Namun demikian ayat di atas tidak bertentangan dengan QS. Yunus (10): 107
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ
Jika Allah menimpakan sesuatu kemudratan kepadamu maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya.'20
    Terhadap ayat di atas Hamka menafsirkannya bahwa "kalau suatu mala petaka atau mara bahaya menimpa diri, taka da yang lain berkuasa atau berkesanggupan menghindarkan mala petaka itu melainkan Than Allah jua dengan hukum sebab akibat.21
Dengan demikian tindakan dokter itu bertentangan dengan kehendak Allah. Sebab mungkin saja Allah hendak mencoba hamba-Nya itu dengan penyakit yang dideritanya tadi. Sehingga walaupun niat dokter dalam memberikan obat berdosis tinggi itu untuk "kebaikan" (agar penderitaan pasiennya cepat berakhir), namun cara yang ditempuhnya berdampak kematian bagi pasien. Sehingga euthanasia tersebut tetap dilarang, sebab perbuatan haram tak akan menjadi halal lantaran niat baik. Islam memandang tindakan yang bermanfaat adalah caranya benar secara syara dan niatnya pun benar secara syara pula.
Niat baik dalam euthanasia pada hakekatnya termasuk dalam kategori  pemberian bantuan dalam perbuatan yang dilarang Tuhan sebab menginginkan kematian lantaran suatu penderitaan hidup – termasuk penyakit yang tak kunjung sembuh- adalah dilarang oleh Allah. Nabi saw bersabda:



22 
Janganlah seseorang kamu mengharapkan kematian karena sesuatu musibah yang menimpanya, tetapi jika terpaksa ia harus berbuat begitu maka katakanlah: Ya Allah biarkanlah aku hidup jika hidup ini lebih baik bagiku dan matikanlah akui jika mati itu lebih baik bagiku.' (HR Bukhari dari Anas)
   
      Terhadap makna hadis ini Husaini A.Majid Hasyim menjelaskan, bahwa "mengharap-harapkan mati karena alasan apapun tidak boleh, baik karena musibah yang menimpa dirinya, hartanya, ataupun anaknya. Dikecualikan mengharapkan mati karena rindu kepada Allah karena ingin syahid atau karena takut fitnah dengan satu keyakinan, bahwa kematian itu lebih baik. Namun itupun tidak boleh secara pasti mengharapkan mati."23
Tindakan euthanasia berbeda dengan berdoa memohon petunjuk kepada Allah agar dipilihkan yang terbaik antara hidup dengan mati karena tindakan ini merupakan cerminan sikap hidup yang optimis dan bukan keputusasaan. Sedangkan mengharapkan kematian yang diwujudkan melalui euthanasia merupakan sikap keputusasaan yang dibenci oleh Tuhan, sesuai QS.Yunus (12): 87
وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
'Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah dan sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.'24
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa sikap putus asa dikategorikan sebagai sikap kekufuran apalagi keputusasaan yang menjurus kepada kematian melalui euthanasia. Bahkan tindakan euthanasia dalam hal ini mengakibatkan dosa yang berlipat ganda yaitu dosa karena putus asa dari rahmat Allah dan dosa karena membunuh diri sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung.
Karena itu Masjfuk Zuhdi mengemukakan bahwa manusia wajib untuk menyembuhkan penyakit demi mempertahankan hidupnya, tetapi hidup dan mati di tangan Allah. Karena itu manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri (bunuh diri) atau mempercepat kematian orang lain sekalipun dilakukan oleh dokter dengan maksud untuk mengurangi/menghentikan penderitaan pasien.25
Begitu pula dengan niat baik untuk meringankan/mengakhiri penderitaan pasien melalui euthanasia tidak dapat ditolerir (dibenarkan) oleh Islam. Suatu niat baik (euthanasia dengan tujuan menolong pasien) tidak akan dapat mengubah keharaman menghilangkan nyawa orang lain yang diharamkan Tuhan. Dalam hal ini imam al-Gazali - sebagaimana dikutip oleh H.Moenawar Chalil- mengatakan:
Ketahuilah, bahwasanya segala amal perbuatan itu walaupun menjadi beberapa bagian berupa perbuatan, gerak diam dan lain-lain tetapi pada pokoknya terbagi atas tiga bagian yaitu: taat, maksiat dan  mubah. Pada bagian pertama ialah maksiat. Bagian ini tidak dapat berobah dari tempatnya sebab niat. Maka tidaklah sepatutnya jika bagian ini akan dipahami menurut paham orang bodoh, dimasukkan pada bunyi hadis: Innamal a'mal bi al-niyyat, lalu ia menyangka bahwa perbuatan itu dapat berobah menjadi taat lantaran niat… karena itu tidak akan membekas keluar daripada maksiat. Bahkan jika tujuan berbuat baik sesungguhnya dapat diketahui keadaannya bahwa perbuatan itu baik, adalah dengan syara.' Maka bagaimana akan dapat dikatakan baik kalau perbuatan itu jahat sepanjang syara.26
Bahkan tindakan dokter membantu mempercepat kematian pasien melalui euthanasia tersebut pada hakekatnya turut menanggung dosa dan perbuatannya itu termasuk kategori haram. Niat "baik" dokter dalam kasus ini tetap haram karena cara yang ditempuh adalah salah  sehingga  berakibat kematian juga salah menurut hukum Islam. Sebab dalamkondisi kritis itu seharusnya dokter berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan pengobatan kepada pasiennya, bukannya diberikan obat yang dapat mempercepat kematian pasien. Dalam kaidah fiqh dijelaskan, bahwa al-dararu la yuzalu bi al-darar (bahaya tidak boleh dhilangkan dengan bahaya yang lain).27
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa euthanasia aktif/positif/langsung haram hukumnya, baik dilakukan atas permintaan pasien maupun tanpa permintaannya, baik atas persetujuan keluarga pasien maupun tanpa persetujuan mereka. Dalam Islam, pada prinsipnya segala tindakan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja maupun tidak disengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya.28 Rasulullah saw bersabda:

 29
'Ttidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu." (HR Bukhari Muslim).
Jelasnya, bahwa memudahkan proses kematian pasien secara aktif, seperti pada contoh yang telah dikemukakan di atas, tidak dibolehkan. Sebab tindakan itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya. Tindakan itu tetap dalam kategori pembunuhan, walaupun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada pasien dan untuk meringankan penderitannya. Karena bagaimanapun dokter tidak lebih pengasih dan penyayang daripada Allah. Manusia harus menyerahkan hidup dan matinya kepada Allah. Dalam euthanasia menandakan manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah menyuruh manusia untuk selalu berusaha/berikhtiar sampai akhir hayatnya.30
    Sedangkan memudahkan proses kematian pasien dengan euthanasia pasif, termasuk dalam kategori tindakan penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan kepada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah dan hukum sebab akibat (kausalitas). Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan para ulama fiqh, apakah wajib atau sunnat. Menurut jumhur ulama berobat/mengobati penyakit hukumnya sunat bukan wajib, jika penderita diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas  yang dikuasai para ahli, seperti dokter ahli maka tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan sunnat apalagi wajib.
Jika penderita sakit kelangsungan hidupnya bergantung pada pemberian berbagai media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus, dan sebagainya. Atau menggunakan alat pernafasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan juga tidak sunnat.31 Dalam kaitan ini Yusuf Qardawi berpendapat bahwa
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan- dengan cara pengobatan- dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernafasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak sunat, bahkan mungkin tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunat. Maka memudahkan proses kematian semacam ini tidak seyogyanya yang diembel-embeli dengan istilah qatl al-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunat, sehingga tidak dikenai sanksi.32
Dengan demikian, euthanasia pasif ini adalah boleh dan dibenarkan syara, bila keluarga penderita mengizinkannya- dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan penderitaan si sakit dan keluarganya. Hal ini berlaku juga terhadap tindakan dokter menghentikan alat pernapasan buatan dari si sakit, yang menurut pandangan dokter dia dianggap sudah "mati" atau "dihukumi telah mati" karena jaringan otak atau sumsum yang dengannya seseorang dapat hidup dan merasakan sesuatu, telah rusak. Apabila peralatan tersebut hanya dipergunakan penderita sekadar untuk kehidupan yang lahir- yang tampak pernapasan dan peradaran darah atau denyut nadi saja padahal dilihat dari segi aktivitas maka si sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua itu telah rusak.33
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa euthanasia aktif haram hukumnya sebab kematian pasien memiliki pengaruh yang signifikan dengan tindakan langsung dari dokter (tenaga medis lainnya), sedangkan euthanasia pasif dibolehkan karena pada hakekatnya tidak ada keterlibatan langsung dokter dalam kasus terjadinya kematian penderita. Kematian yang dialaminya disebabkan oleh penyakit yang dideritanya, bukan karena akibat tindakan dokter. Namun demikian euthanasia pasif akan berubah menjadi haram hukumnya jika dilakukan oleh dokter atau keluarga pasien dengan niat untuk mempercepat kematian pasien agar pembagian harta warisannya dapat dipercepat. Ada tidaknya indikasi itu dapat dicermati apakah pasien memiliki harta yang banyak (kaya) atau miskin. Kemungkinan adanya niat mempercepat kematian pasien agar warisannya bisa dibagi secepatnya akan mustahil terjadi, kecuali pada pasien yang kaya.

F. Pengaruh Euthanasia Terhadap Kewarisan

      Kematian berimplikasi terhadap kewarisan karena dengan meninggalnya seseorang, maka harta yang ditinggalkannya menjadi hak ahli warisnya. Namun demikian ahli waris dapat  dicabut haknya jika terbukti membunuh pemilik harta warisan. Jelasnya, bahwa para ahli waris tidak mutlak berhak atas harta warisan yang ditinggalkan si mayit. Dalam hal ini para ulama telah sepakat bahwa "status seseorang karena berbeda agama, sebab membunuh dan perbudakan merupakan penghalang terjadinya pewarisan."32
Dari analisis hukum Islam di atas, jelas bahwa yang termasuk kategori pembunuhan adalah euthanasia aktif. Dengan demikian tindakan euthanasia aktif yang dilakukan baik keluarga korban maupun dokter dapat dikategorikan sebagai pembunuhan. Kasus pembunuhan yang dilakukan keluarga korban secara euthanasia tidak dapat dilihat dari kacamata kedokteran semata. Namun perlu dilihat pula dari kemungkinan adanya ambisi keluarga korban untuk secepatnya memperoleh harta warisan. Padahal harta warisan hanya dapat dibagi dan dimiliki para ahli waris jika pemiliknya sudah meninggal dunia. Maka euthanasia bisa dijadikan alat untuk mewujudkan maksud tersebut. Apalagi pengakhiran hidup seseorang secara euthanasia terjadi secara rahasia serta sulit diktehui oleh orang banyak sehingga terasa aman sekaligus dapat mewujudkan ambisi ahli waris. Karena itulah kaidah fiqhiyah menetapkan bahwa "orang yang menyegerakan sebelum waktunya, niscaya dihukum dengan tidak diberikan kepadanya apa yang ingin segera dia terima."35
Adanya sanksi hukum itu sebenarnya mengandung hikmah bahwa jika si pembunuh tidak dicabut haknya menerima warisan, tentulah akan banyak ahli waris yang membunuh pemilik harta warisannya. Sehingga akan berkembang pembunuhan di antara antara kerabat yang dekat dengan kerabat yang tak dekat agar prosentase yang mereka peroleh dalam pembagian harta warisan menjadi meningkat lantaran berkurangnya bahkan habisnya ahli waris selain diri pembunuh.
Dengan demikian euthanasia aktif merupakan salah satu bentuk pembunuhan yang menjadi penghalang dalam kewarisan. Dalam kaitan ini para ahli waris yang meminta/menyetujui dokter melakukan euthanasia terhadap pasien (pemilik harta warisan), tidak memperoleh bagian dari harta warisan yang ditinggalkan korban euthanasia. Demikian juga dokter, bila mempunyai hubungan kewarisan dengan korban, juga tidak mendapat warisan. Begitu juga euthanasia pasif yang dilakukan dengan niat untuk mempercepat kematian pasien yang erat kaitannya dengan pembagian harta warisan yang ditinggalkan pasien.

G. Hukuman bagi Pelaku Euthanasia
        Berdasarkan pembahasan di atas menunjukkan bahwa euthanasia aktif yang dilakukan dokter secara diam-diam dapat dikategorikan sebagai pembunuhan yang disengaja sehingga haram hukumnya. Sebab pembunuhan  disengaja adalah  suatu perbuatan yang disertai niat (direncanakan sebelumnya) untuk menghilangkan nyawa orang lain  dengan menggunakan alat-alat yang  mematikan.36 Karena itu dokter harus bertanggung jawab terhadap tindakan euthanasia yang dilakukannya. Sebab tindakan yang mengakibatkan kematian seseorang tanpa alasan sah sangat dilarang oleh Allah seperti diungkapkan dalam QS.al-An'am (6): 151:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
'dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.'37
Selaras dengan hal itu untuk melindungi kehidupan (hak hidup)  setiap individu maka Islam menetapkan hukuman qisas yaitu hukuman yang sebanding dengan kejahatan yang dilakukan, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Maidah (5): 45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
'Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata  dengan mata,hidung  dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi  dan luka-luka (pun) ada kisasnya.'38
      Jadi, dokter yang melakukan euthanasia aktif secara diam-diam (tanpa sepengetahuan/izin keluarga pasien) dijatuhi hukuman qisas. Sedangkan euthanasia aktif yang dilakukan dokter denganm sepengetahuan keluarga dan atau korban termasuk pembunuhan semi sengaja sehingga pelakunya dijatuhi hukuman diyat (membayar denda). Begitu juga dengan pelaku (yang terlibat dalam) euthanasia pasif yang dilakukan dengan niat untuk mempercepat kematian dan sekaligus pembagian harta warisan pasien.
Berbeda dengan euthanasia pasif yang dilakukan tanpa niat untuk mempercepat kematian pasien agar harta warisan yang ditinggalkannya lebih cepat dibagi oleh para ahli waris karena ditolerir oleh syara (boleh). Sehingga pelaku eutahanasia pasif/negatif seperti itu tidak dikenai sanksi pidana.Sedangkan euthanasia pasif yang dilakukan dengan tujuan mempercepat kematian pasien sekaligus mempercepat pembagian harta warisan dapat dihukum membayar diat.

H. Rangkuman
1. Euthanasia adalah usaha mempercepat kematian seorang pasien penderita penyakit kritis yang dilakukan oleh dokter/petugas medis lainnya baik berdasarkan permintaan pasien sendiri dan atau keluarganyamaupun tidak, karena merasa kasihan terhadap penderitaan pasien. Euthanasia terbagai dua macam, yakni euthanasia aktif/positif dan euthanasia pasif/negatif.
2. Euthanasia aktif/positif haram hukumnya, begitu juga euthanasia pasif yang diniatkan untuk mempercepat kematian dan pembagian harta warisan pasien. Sedangkan euthanasia pasif/negatif tanpa bermaksud mempercepat kematian pasien, dibolehkan menurut syariat/hukum Islam. Euthanasia memiliki akibat hukum terhadap kewarisan. Sehingga pelaku euthanasia aktif/positif dan euthanasia pasif yang dimaksudkan untuk mempercepat kematian dan pembagian harta warisa pasien, dicabut haknya sebagai ahli waris, baik keluarga korban maupun dokter (yang memiliki hubungan keluarga dengan korban), hal ini sedangkan pelaku euthanasia pasif/negatif tanpa bermaksud mempercepat kematian dan pembagian harta warisan pasien, tetap menjadi ahli waris dari harta yang ditinggalkan korban.
3. Euthanasia menimbulkan dilema karena pada satu sisi  euthanasia dilakukan didorong oleh rasa kasihan terhadap penderitaan pasien yang tak kunjung sembuh sehingga terkesan selaras dengan rasa kemanusiaan tetapi di sisi lain justru euthanasia dapat melanggar hukum baik etika kedokteran, hukum positif maupun hukum Islam. 
4. Pelaku euthanasia aktif/positif  dijatuhi hukuman qisas jika euthanasia itu dilakukan dokter secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarga dan atau korban. Pelaku euthanasia aktif/positif dijatuhi hukuman diyat (membayar denda) jika dokter melakukan euthanasia aktif dengan sepengetahuan keluarga dan atau korban. Begitu juga pelaku euthanasia pasif dengan maksud mempercepat kematian dan pembagian harta warisan pasien. Sedangkan pelaku euthanasia pasif/negatif tidak dijatuhi hukuman pidana.


1Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz II (Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 913.
2Lihat Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 176-177.
3Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia,  1984), h. 10.
4 Al Purwa Hadiwaryono, Etika Medis (Jakarta: Kanisius, 1989), h. 104. 
5 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto,  op.cit.., h. 84. 
6Ali Akbar, "Euthanasia," dalam Panji Masyarakat No. 453 (Jakarta: PT Panjimas, 1984), h. 46.
7Lihat Al Purwa Hadiwardoyo, op.cit., h. 106. 
8Imron Halimy, Euthanasia Cara Mati TerhormatOorang Modern (Cet. I; Solo: CV Ramadani, 1990), h. 39.
9Lihat Setiawan Budi Utomo, op.cit., h. 177.
10Ibid., h. 177-178.
11 Lihat Al Purwa Hadiwardoyo, op.cit., h. 106.
12Lihat Setiawan Budi Utomo, op.cit., h. 177-178.
13 Lihat Al Purwa Hadiwardoyo, op.cit., h. 106.
14R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politeai, 1983), h. 73-74.
15 Al Purwa Hadiwardoyo, op.cit., h. 105.
16 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto,  op.cit., h. 82-83.
17Departemen Agama R.I, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press, 2002), h. 428.
18Abu Abdillah Muhammad bin Isa bin Isma'il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz VIII (Bayrut: Dar Kutub al-'Ilmiyyah, 1992), h. 356.
19Departemen Agama R.I, op.cit., h. 226.
20Ibid., h. 323.
21Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid V (Singapura: Pustaka Nasional, 1993), h. 3412.
22al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz VII (Bayrut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1992), h. 12.
23Husaini A.Majid Hasyim, Syarh Riyadus Salihin lil Imam Nawawi, diterjemahkan oleh Muammal Hamidy dan Imron A.Manan dengan judul Syarah Riyadhush Shalihin, Jilid I (Surabaya: Pustaka Islam, 1984), h. 125-126. 
24 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 362. 
25 Masjfuk Zuhdi, Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Cet. X; Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997, h. 84.
26H. Moenawar Chalil,  Himpunan Hadis-Hadis Pilihan, Jilid II (Jakarta: Bulan Bintang, 1960), h. 26.
27H. Asymudi A.Rahman, Qa'idah-qa'idah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 23.
28Setiawan Budi Utomo, op.cit., h. 180.
29al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz II (Bayrut: Dar al-Fikr, 1992), h.
30Setiawan Budi Utomo, op.cit, h. 180.
31Ibid., h. 180-181.
32Yusuf Qardawi, Hady al-Islam Fatawi Mu'asirah, diterjemahkan oleh As'ad Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2 (Cet. II; Jakarta: PT Gema Insani Press, 1996), h.  753-754.
33Ibid., h. 754.
32A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris islam Transformatif (Cet. I;  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 29.
35Asymuni A. Rahman, op.cit., h. 30.
36 H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) Untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Cet.I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 118.
37Departemen Agama R.I, op.cit., h.214.
38Ibid., h. 167.


Catatan Tambahan:
Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: Perspective Indonesian Criminal Law and Islamic Law yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman. Buku tersebut dapat dibeli di  toko buku online mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman dengan harga standar 74,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada web berikut ini: http://www.morebooks.de/store/bookprice_offer/show?token=58128ac02eb5828663bd59fe736ca2a9941d106a&auth_token=d3d3LmxhcC1wdWJsaXNoaW5nLmNvbToyZWQxNTcyMDM5M2YwMDMzYzhkYjE2MjFiYmJjYjQ3Zg==&locale=gb