Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Minggu, 21 Oktober 2018

METODE ISTINBAT DAN KLASIFIKASI LAFAZ


METODE ISTINBAT DAN KLASIFIKASI LAFAZ

Dr. La Jamaa, MHI

A. METODE ISTINBATH

Istinbath secara etimologis berarti “mengeluarkan air dari sumbernya.” Jadi, istinbath hukum adalah proses perumusan hukum Islam yang bersumber dari ayat-ayat Alquran dan hadis.
Dalam istinbat hukum Islam, digunakan dua metode yaitu metode literal atau lafziyyah dan metode manawiyah. Metode literal atau lafziyyah dipergunakan untuk memahami makna (petunjuk hukum) ayat dan hadis, karena kedua sumber hukum tersebut berupa lafaz.
 Metode lafziyah secara garis besarnya dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:
1. Dari segi  jelas dan tidaknya makna  lafaz
2. Dari segi petunjuk hukum (dalalah)nya suatu lafaz
3. Dari segi luas sempit cakupan makna lafaz
4. Dari segi taklifnya
B. METODE LITERAL (LAFZIYYAH)
Metode istinbath melalui pengkajian lafaz dari segi jelas/terang dan tidaknya lafaz dikenal dengan METODE LITERAL atau METODE LAFZIYAH.
Dari segi jelas (terang) dan tidaknya arti yang terkandung dalam lafaz, secara garisnya lafaz terbagi atas dua kelompok, yaitu
·         Lafaz yang terang artinya
·         Lafaz yang tidak terang artinya
Yang dimaksudkan dengan Lafaz terang/jelas, adalah lafaz yang terang artinya yang ditunjuk oleh lafaz itu, sehingga untuk sampai kepada arti tersebut tidak perlu adanya suatu bantuan di luar lafaz itu.
a. Lafaz yang terang arti (makna)nya terdiri dari 4 macam, yakni:
·         1. Lafaz Zahir
·         2. Lafaz Nash
·         3. Lafaz Mufassar
·         4. Lafaz Muhkam
b. Lafaz yang tidak terang arti (makna)nya terdiri dari 6 macam, yakni:
·         1. Lafaz Khafiy
·         2. Lafaz Musykil
·         3. Lafaz Mujmal
·         4. Lafaz Mutasyabih
·         5. Lafaz Tafsir
·         6. Lafaz Ta’wil
C. LAFAZ YANG TERANG MAKNANYA
1. Lafaz Zahir
Lafaz zahir mempunyai beberapa pengertian, di antaranya:
* Zahir, adalah suatu lafaz jelas petunjuknya kepada suatu makna tanpa memerlukan faktor lain di luar lafaz itu, tetapi masih memungkinkan dapat dita’wilkan dalam arti yang lain dan juga mungkin dapat dimansukhkan (dibatalkan) hukumnya.
* Zahir, adalah lafaz yang masih menerima kemungkinan arti lain.
*Zahir, adalah lafaz/kalimat yang menunjukkan kepada makna yang jelas, tetapi lafaz/kalimat itu tidak  ditujukan dalam konteks makna tersebut.
Contoh:                                                                            وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا            
a. QS. Al-Baqarah: 275
    ‘Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.’
   Zahir lafaz  pada ayat di atas menunjukkan: halalnya jual beli dan haramnya riba.  
   Walau pun mungkin makna itu yang dikendaki dalam redaksi potongan ayat ini.
b. QS. adz-Dzariyat: 47                                                                         وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ
   ‘Kami telah membina (menegakkan) langit dengan tangan-tangan.’
            Zahir dari lafaz  أَيْدٍ  (tangan-tangan) ialah anggota badan yang telah dikenal artinya, tetapi lafaz tangan di sini dapat menerima ta’wil (makna lain), yaitu kekuatan ( القوة ), atau kekuasaan ( القد رة  ).
            Karena lafaz tangan dalam ayat ini disandarkan kepada Allah dan maha suci Allah dari menyerupai makhluk (mustahil Allah memiliki tangan seperti tangan makhluk-Nya).
Jadi lafaz  أَيْدٍ  dalam ayat ini dipalingkan kepada makna lain yaitu kekuatan (القوة ), atau kekuasaan (  القد رة ).
Lafaz zahir yang dipalingkan kepada makna yang bukan zahir atau yang dipalingkan kepada makna lain karena adanya suatu qarinah, seperti lafaz أَيْدٍ di atas, disebut MUAWWAL.        

*HUKUM ZAHIR

Hukum zahir, adalah wajib diamalkan menurut arti yang ditunjuki oleh laafz itu, kecuali ada dalil lain yang menta’wilkannya. Jika zahir berupa lafaz muthlaq, maka harus diamalkan menurut kemuthlaqan-nya sampai ada dalil yang membatasi kemutlakan itu. Jika zahir berupa lafaz amm (umum) maka harus diamalkan menurut keumumannya sampai ada dalil lain yang mentakhsiskan (mengkhususkan)nya. Atau diamalkan menurut arti yang ditunjuki lafaz itu sehingga ada dalil yang memansukhkan (membatalkan)nya.
Misalnya: QS al-Nisa: 24                                                              وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
    ‘Dan dihalalkan bagi kamu selain wanita-wanita yang demikian itu…’
Ayat di atas bersifat mutlak tentang kebolehan mengawini wanita selain wanita-wanita yang disebutkan di awal ayat ini, tetapi kemutlakannya dibatasi oleh QS al-Nisa: 3
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
      ‘Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat.’
      Juga pengkhususan terhadap keumuman  kebolehan jual beli, yang terdapat dalam QS al-Baqarah: 275, dengan jual beli yang tidak disertai dengan penipuan. Maksudnya, secara umum jual beli adalah halal, tetapi secara khusus jual beli yang disertai penipuan, haram hukumnya.
2. Lafaz Nash
* Nash, adalah lafaz yang tidak mungkin mengandung pengertian lain, selain yang dimaksudkan oleh lafaz itu sendiri, tetapi masih dapat dita’wilkan atau
* Nash, adalah lafaz yang tegas petunjuknya kepada makna yang dimaksud, akan tetapi masih menerima takhsis bila ia ‘amm, dan menerima ta’wil bila ia khash.
* Nash, adalah afaz yang tidak menerima arti lain dalam petunjuk hukumnya
* Nash, adalah lafaz/kalimat yang menunjukkan kepada makna yang jelas, sesuai dengan konteks kalimat itu sendiri.
Contoh:
a. QS. al-Baqarah: 275                                       وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا     
    ‘Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.’
Nash ayat di atas menyatakan dengan jelas bahwa jual beli tidak sama/berbeda dengan riba sekaligus sebagai sanggahan terhadap persangkaan kaum kafir Quraisy yang diungkapkan dalam awal ayat ini, bahwa:
      ‘Bahwasanya jual beli itu sama dengan riba.’
b. QS. al-Nisa: 3                                فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
  ‘Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.’
   Ayat ini dengan tegas menyatakan  pembatasan jumlah isteri ialah maksimal 4 orang.
Dari contoh-contoh di atas menunjukkan, bahwa lafaz zahir dan nash mungkin berkumpul dalam satu lafaz.

HUKUM NASH

            Sebagaimana hukum zahir, nash juga harus diamalkan menurut arti yang ditunjukkan oleh lafaz nash tersebut sampai ada dalil yang menta’wilkan yaitu kalau lafaz nash itu berupa lafaz mutlak, maka harus diamalkan menurut kemutlakannya sampai ada dalil yang mengtaqyidkan (membatasi)nya, dan kalau lafaz nash berupa lafaz amm maka harus diamalkan menurut arti yang ditunjuki sampai ada dalil yang memansukh (membatal)kannya.
Contoh:
1. Hukum wasiat yang dinyatakan secara mutlak dalam Qs al-Nisa: 12
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
‘Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat (dan) atau sesudah dibayar hutangnya.’
Maksudnya, wasiat dan hutang harus didahulukan daripada pembagian warisan. Wasiat  pada ayat ini dinyatakan secara mutlak. Kemudian dibatasi maksimal 1/3 harta warisan berdasarkan hadis Nabi saw:
‘(Wasiat itu) 1/3 dan 1/3 itu sudah banyak (HR Bukhary dan Muslim)
2. Keumuman lafaz nash iddah 3 quru bagi wanita yang ditalak yang diterangkan dalam QS al-Baqarah: 228           
                                                          وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
     ‘Wanita-wanita yang ditalak  hendaklah menahan diri (beriddah) 3 kali quru.’
 Ayat ini bersifat umum berlaku bagi semua wanita yang ditalak, baik yang masih haid mau pun yang belum/tidak haid lagi. Namun keumumannya ditakhsiskan dengan masa iddah 3 bulan bagi wanita yang ditalak tetapi belum haid atau sudah monopouse (tidak haid lagi); juga ditakhsiskan dengan masa iddah sampai melahirkan bayi bagi wanita yang ditalak dalam keadaan hamil yang diterangkan dalam QS al-Thalaq: 4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
‘Dan wanita-wanita yang putus dari haid di antara wanita/isteri-2mu jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah 3 bulan dan begitu pula wanita-wanita yang tak haid lagi. Dan wanita-wanita yang hamil masa iddah mereka sampai melahirkan kandungannya.’
Demikian pula ditakhsiskan dengan tidak adanya masa iddah bagi wanita yang ditalak tapi belum pernah digauli berdasarkan QS al-Ahzab: 49.
3. Lafaz Mufassar
    -ialah suatu lafaz yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksud (dengan disusunnya) lafaz itu yang tidak mungkin dita’wilkan kepada arti yang lain tetapi dapat menerima nasakh (pembatalan hukum) pada masa Rasulullah saw.
Lafaz Mufassar terbagi atas dua macam, yaitu: Mufassar lizatihi dan mufassar bighairih.
a. Mufassar Lizatihi, adalah lafaz yang tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan., atau
  Mufassar lizatihi, adalah  lafaz yang terang maknya yang tidak membutuhkan penjelasan lagi dari luar lafaz itu sendiri.
Contoh:
1) QS al-Taubah: 36                                    وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً
 ‘Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya.’
Dengan adanya lafaz  كَافَّةً (semuanya) dalam akhir ayat di atas, menunjukan tidak adanya takhsis terhadap lafaz ‘amm    الْمُشْرِكِينَ  (kaum musyrik). Jadi, dengan adanya lafaz كَافَّةً itu sudah menjadi jelas arti yang dimaksudkan, tanpa membutuhkan penjelasan dari yang lain. Artinya, semua kaum musyrik harus diperangi tanpa kecuali.
2). QS al-Nur: 2                              الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
 ‘Wanita dan laki-laki yang berzina, maka deralah dari setiap mereka 100 kali.’
Lafaz  مِائَةَ  (100) adalah lafaz khash karena merupakan lambang bilangan) yang tidak membutuhkan penjelasan dan tak mungkin juga dita’wilkan, misalnya ditambah atau dikurangi. Jadi, ayat di atas mengandung arti, bahwa penzina laki-laki dan wanita dihukum dera 100 kali tidak boleh kurang atau pun lebih.
b. Mufassar Bighairihi, ialah lafaz yang masih membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang dimaksudkan.
Misalnya: Lafaz mujmal (global) yang membutuhkan penjelasan dari yang lain agar arti yang dikehendaki menjadi terang, seperti lafaz shalat dalam QS al-Baqarah: 43
         ‘dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.’                 وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
Lafaz shalat menurut bahasa berarti doa. Lalu lafaz shalat dipakai oleh syara untuk arti yang lebih terperinci. Tetapi lafaz shalat dalam ayat ini dikemukakan secara mujmal (global) sehingga tidak jelas arti yang dimaksudkan. Karena itu diperlukan penjelasan dari luar lafaz ini yang dalam hal ini dijelaskan oleh hadis Nabi saw:
           ‘Shalatlah kamu sebagaimana kalian melihat aku shalat.’
Hukum Mufassar:  wajib mengamalkan arti yang ditunjuki oleh mufassar, kecuali ada dalil yang shahih yang memansukh (membatalkan)nya.
4. Muhkam
    -adalah lafaz yang terang petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan (dengan disusunnya) lafaz itu, dengan tidak mungkin dita’wilkan dan tidak dimansukh (dibatal)kan hukumnya pada masa Rasulullah saw.
     Tidak dimansukhkannya muhkam, karena hukum-hukum yang ditunjuki merupakan hukum-hukum yang pokok dalam agama Islam, seperti:
-          Beribadah hanya kepada Allah swt;
-          Keharusan iman kepada Rasul dan kitab-kitabnya;
-          Yang berkaitan dengan amaliah yang terpuji yang tak akan berubah karena perubahan keadaan/tempat, seperti berbakti kepada kedua orang tua.
-          Yang berkaitan dengan hukum-hukum cabang yang dinyatakan berlaku untuk selamanya, seperti tidak boleh menerima kesaksian orang yang melakukan jarimah qadzaf/menuduh orang baik-baik berzina tanpa bukti, berdasarkan QS. Al-Nur: 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
‘Dan orang-orang yang menuduh orang baik-baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan  4 orang saksi, maka deralah mereka 80 kali dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamanya.’
Dilihat dari sebab tidak dapat dimansukh (dibatal)kan, muhkam terbagi 2 yakni:
a. Muhkam Lizatihi
    -ialah muhkam yang semata-mata karena arti yang ditunjuki itu, yang tidak mungkin dimansukh (dibatal)kan hukumnya.
  *Misalnya: Keharusan beribadah hanya kepada Allah semata dan berbuat baik kepada kedua orangtua sesuai QS al- Isra: 23
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
‘Dan Tuhan telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.’
b. Muhkam Lighairihi
-          ialah muhkam karena disertai suatu lafaz yang menunjukan atas keabadian berlakunya, sehingga tidak dapat dimansukhkan (dibatalkan) hukumnya.
Misalnya: Hukum yang terdapat dalam QS al-Nur: 4 di atas, bahwa tidak dapat diterima kesaksian orang yang berbuat jarimah qadzaf untuk selama-lamanya karena pada ayat itu disertai dengan lafaz   أَبَدًا  (selama-lamanya).

HUKUM MUHKAM

Karena muhkam tidak dapat menerima ta’wil dan tak dapat pula dibatalkan hukumnya, maka tidak ada arti lain, selain arti yang ditunjuki, kepada suatu makna yang sudah pasti karena itu muhkam wajib diamalkan.


PERTENTANGAN ANTARA  LAFAZ-LAFAZ YANG TERANG

Pembagian lafaz-lafaz yang terang ke dalam 4 bagian itu adalah didasarkan kepada tingkatan ketegasan arti dan makna yang ditunjuk oleh lafaznya, dimulai dari kurang terang kemudian yang terang dan seterusnya kepada yang paling terang.
Pembagian ini sangat berguna  untuk menentukan lafaz yang harus dipilih  (ditarjih) bila terjadi pertentangan antara satu macam lafaz dengan macam lafaz yang lain. Dalam kasus ini lafaz yang lebih terang harus didahulukan daripada lafaz yang lain. Karena itu, muhkam  harus didahulukan daripada lafaz mufassar, nash dan zahir. Mufassar harus didahulukan dari nash dan zahir. Nash harus didahulukan dari zahir.
Misalnya:
1) Pertentangan antara mufassar dengan muhkam.
    Mufassar terdapat dalam QS. Al-Thalaq: 2          وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍوَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
     ‘…dan persaksikanlah dengan 2 orang saksi yang adil di antara kamu.’
Muhkam terdapat dalam  QS al-Nur: 4                          وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
   ‘… dan janganlah kamu terima kesaksian mereka (pelaku qadzaf) untuk selama-lamanya
Dalam kasus ini ketentuan dalan QS al-Nur: 4 harus didahulukan/dipilih karena dia adalah muhkam sedangkan ketentuan QS al-Thalaq: 2 merupakan mufassar, kurang tegas. Jadi, orang yang telah melakukan tindak pidana qadzaf, tidak dapat diterima kesaksiannya untuk selama-lamanya.
2) Pertentangan antara muhkam dengan zahir.
    Muhkam terdapat dalam QS al-Ahzab: 53
وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا
‘…dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya sesudah ia wafat untuk selama-lamanya.’
Sedangkan zahir terdapat dalam QS al-Nisa: 3
                                                                       فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
  ‘… maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat.’
Zahir ayat 3 surat al-Nisa menunjukkan kebolehan mengawini wanita-wanita yang disukai, baik gadis mau pun janda tanpa dibatasi oleh janda tertentu. Tetapi QS al-Ahzab: 53 secara jelas menunjukkan larangan mengawini janda (isteri) Rasulullah saw untuk selama-lamanya. Dalam kasus ini, ayat 53 surat al-Ahzab harus didahulukan daripada ayat 3 surat al-Nisa sebab ayat 53 surat al-Ahzab adalah muhkam sedangkan ayat 3 surat al-Nisa adalah zahir.
Catatan:
-       Pertentangan ini hanya berlaku terhadap lafaz yang terdapat dalam sumber hukum yang sama tingkatannya berdasarkan tertib sumber hukum Islam, yakni ayat dengan ayat, hadis dengan hadis.
-       Tetapi bila tidak sama tingkatannya dalam tertib sumber hukum Islam, misalnya antara ayat dengan hadis, pertentangan antara lafaz-lafaz yang terang itu tidak berlaku. Dalam hal ini, ayat harus didahulukan daripada hadis.

LAFAZ YANG TIDAK TERANG (SAMAR)

  - adalah lafaz yang petunjuknya kepada arti (makna) yang dimaksudkan, masih samar (tidak terang) disebabkan oleh lafaz itu sendiri atau oleh karena hal-hal lain di luar lafaz itu, atau
Lafaz Samar, adalah lafaz yang menunjukan kepada makna yang dikehendaki bukan oleh sighat (susunan) itu sendiri, tetapi dikarenakana adanya ketergantungan kepada sesuatu dari luar teks itu sendiri. Ketergantungan itu dikarenakan adanya kekaburan pada lafaznya.
Lafaz Samar terbagi atas 6 macam, yaitu (1) Khafiy, (2) Musykil, (3) Mujmal, (4) Mutasyabih, (5) Tafsir, dan (6) Ta’wil.
1. Lafaz Khafiy
   -ialah suatu lafaz yang terang maknanya, tetapi pengaplikasian makna sebagian afrad (satuan-satuan/bagian-bagian)nya mengandung kesamaran, sehingga membutuhkan pemikiran yang mendalam (pengkajian dan ijtihad).
   Misalnya: QS al-Maidah: 38                   وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
  ‘Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…’
Lafaz السَّارِقُ (pencuri) berarti orang yang mengambil harta orang lain dari tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi.
Tetapi arti pencuri itu menjadi samar (tidak terang) jika diterapkan pada satuan-satuannya yang memiliki nama tersendiri. Seperti pencopet, sebab pencopet mengambil  barang orang lain dengan cara yang tidak sembunyi-sembunyi. Sehingga hukuman bagi pencopet menjadi tidak terang, apakah disamakan dengan hukuman pencuri atau tidak.
Demikian pula Nubasy  yaitu seseorang yang mengambil kain kafan mayat dari dalam kubur. Apakah tindakan itu termasuk ke dalam arti lafaz  السَّارِقُ  atau tidak? Dalam kaitan ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Menurut ulama Hanafiah, nubasy tidak tercakup ke dalam arti lafaz  السَّارِقُ , sehingga tidak dikenakan hukuman potong tangan seperti pencuri, sebab:
a. Benda yang diambil tidak termasuk benda yang disukai;
b. Benda yang diambil tidak terdapat di tempat penyimpanan yang wajar;
c. Benda yang diambil tidak ada pemiliknya, baik mayat mau pun ahli warisnya.
Sedangkan menurut imam Syafi’i, imam Malik, imam Ahmad dan imam Abu Yusuf, nubasy termasuk ke dalam arti lafaz   السَّارِقُ , karena itu dikenakan hukuman potong tangan kepada pelakunya, alasannya bahwa:
a. Pengambil benda itu dilakukan di saat sepi orang;
b.Tempat penyimpanan benda adalah disesuaikan dengan bendanya, dan tidak ada tempat penyimpanan kain kafan bagi mayat kecuali di dalam kubur.
Contoh khafiy yang sebagian satuannya mempunyai sifat tertentu yang membedakan dari satuan yang lain, di antaranya lafaz   القاتل  (pembunuh) dalam hadis:
ليس للقاتل مراث شيء                                         
   ‘orang yang membunuh tidak menerima warisan sedikit pun (HR Nasai & Daraqutny)
Pengertian lafaz القاتل (al-qatil) secara tegas adalah orang yang membunuh dengan sengaja. Sedangkan yang tidak terang ialah orang yang membunuh karena kekeliruan, apakah termasuk ke dalam arti lafaz  القاتل   (al-qatil) pada hadis di atas atau tidak?
Dalam kasus ini menurut ulama Hanafiah, orang yang membunuh karena kekeliruan termasuk dalam pengertian lafaz  القاتل  (al-qatil)pada hadis di atas. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, tidak.
2. Lafaz Musykil
- ialah lafaz yang tidak terang petunjuknya kepada arti yang dimaksud kecuali dengan perantaraan dalil-dalil atau qarinah lain yang menjelaskan maksudnya.
Kemusykilan itu disebabkan antara lain:
a) Karena laafz itu mengandung beberapa arti sedangkan makna yang dikehendaki hanya satu dan lafaz itu sendiri tidak menentukan salah satu arti yang dimaksudkan.
b) Suatu lafaz yang dalam penerapan pengertiannya mempunyai makna majazi di satu pihak dan di pihak lain mempunyai makna yang lain pula.
Misalnya:  QS al- Baqarah: 228                  وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
   ‘Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) 3 kali quru.’
Lafaz  قُرُوءٍ   adalah musykil, karena memiliki 2 arti, yaitu  al-thuhur (suci) dan             
(haid), sehingga arti yang dikehendaki lafaz itu menjadi tidak terang (samar): apakah masa iddah wanita yang ditalak itu 3 kali suci ataukah 3 kali haid.

Menurut ulama Syafi’iah dan sebagian ulama yang lain, bahwa lafaz quru' dalam ayat ini berarti suci sehingga masa iddah wanita yang ditalak itu adalah 3 kali suci berdasarkan qarinah bahwa isim ‘adad (kata bilangan)   ثَلَاثَةَ  (tiga) pada ayat di atas berbentuk muannats (jenis perempuan). Penggunaan ‘adad muannats menunjukkan, bahwa ma’dud (jenis dibilang/terbilang)nya mudzakkar, yaitu al-Thuhur  (suci) dan bukan muannats yaitu  al-haidlah. Karena menurut ketentuan bahasa Arab, dalam masalah tarkib ‘adad ma’dud, bahwa bila ‘adad-nya berbentuk muannats, maka ma’dud-nya harus mudzakkar dan sebaliknya bila ‘adad-nya berbentuk mudzakkar, maka ma’dud-nya harus muannats.
Sedangkan menurut  ulama Hanafiah, lafaz quru pada ayat di atas, berarti haid, karena adanya qarinah sebagai berikut:
a. Hikmah disyariatkan wajib adanya masa iddah bagi wanita yang ditalak adalah untuk mengetahui kesucian kandungan wanita itu dari kehamilan. Dan kehamilan itu dapat diketahui karena adanya haid bukan karena keadaan kesucian wanita itu.
b. Firman Allah dalam QS. Al-Thalaq: 4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
‘Dan wanita-wanita yang sudah putus dari haid di antara wanita-wanita  jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah 3 bulan, dan begitu (pula) wanita-wanita yang belum haid.’
Pada ayat ini dasar perhitungan masa iddah 3 bulan karena ketiadaan haid wanita yang ditalak. Jadi, pada dasarnya masa iddah dihitung dengan haid.
c. Hadis riwayat Daraqutniy dari Ibn ‘Amr:
    ‘Talak bagi hamba sahaya itu 2 kali dan masa iddahnya 2 kali haid.’
   Hadis ini menunjukkah bahwa quru berarti haid. Hadis ini merupakan penjelasan terhadap laafz quru untuk masa iddah bagi wanita merdeka.

3. Lafaz Mujmal
- ialah lafaz yang tidak diketahui maknanya jika dilihat dari segi laafznya, dan tidak mungkin dapat diketahui arti yang dimaksud, kecuali dengan adanya penjelasan dari syara.’
Mujmal dapat terjadi karena adanya lafaz-lafaz yang diambil oleh syara dari pemakaiannya menurut bahasa ke dalam arti menurut istilah syara (hukum).
Misalnya: lafaz al-shalah  الصلاة  yang menurut bahasa al-shalah, berarti doa.
امساك  (imsak), berarti menahan diri dari sesuatu.  Atau karena adanya lafaz yang mempunyai arti umum tetapi digunakan oleh syara untuk arti khusus, seperti lafaz al-qari’ah (QS al-Qari’ah: 1) secara umum berarti celaka, wa al-thariq (QS al-Thariq: 1) secara umum berarti: yang datang di waktu malam.
Bila lafaz-lafaz mujmal itu mendapat penjelasan secara sempurna dari syara, maka mujmal berubah menjadi mufassar.
Misalnya:

(1) Penjelasan syara terhadap lafaz al-shalah  الصلاة  dalam QS al- Baqarah: 43     
      وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
     melalui hadis Nabi saw:صلوا كما رأيتمونى أصلى  ‘Shalatlah kalian seperti kalian  melihat aku salat.’
(2) Penjelasan syara terhadap lafaz  al-hajji  الحج   dalam QS Ali Imran: 97
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا
‘…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.’
Oleh sunnah Nabi saw dengan sabdanya:  خذوا عنى مناسككم    
 ‘Ambillah dariku perbuatan-perbuatan ibadah hajimu.’
Bila lafaz mujmal itu mendapat penjelasan secara tidak sempurna dan pasti dari syara, mujmal berubah menjadi musykil sehingga diperlukan ijtihad untuk menjelaskannya
Misalnya: Lafaz  الرِّبَا  QS. al-Baqarah: 275)                       وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا    
            ‘…Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...’
Lafaz  الرِّبَا  mendapat penjelasan dari hadis Nabi saw:

‘Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semuanya harus sama ukurannya dan harus berhadapan muka, Bila berbeda jenis-jenis itu, maka berjual belilah sekehendakmu  jika masih berhadapan muka.’ (HR Muslim)
Tetapi penjelasan hadis ini terhadap arti riba tidak secara sempurna dan pasti, sehingga masih dibutuhkan ijtihad untuk menjelaskannya. Dalam kaitan ini, para ulama mengambil jalan dengan mengqiyaskan (menganalogikan)  benda-benda lain kepada benda-benda yang disebutkan dalam hadis di atas. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang illat hukumnya:
- Menurut Abu Hanifah: illat hukumnya, adalah persamaan jenis dan kadar (timbangan/takarannya)
- Menurut Malik: illat hukumnya adalah kontan pada emas dan perak atau berupa makanan yang mengenyangkan dan dapat disimpan pada selain emas dan perak.
-Menurut Syafi’i: illat hukumnya adalah salah satu dari 2 hal yaitu dengan kontan atau berupa makanan.
4. Lafaz Mutasyabih
-          ialah lafaz yang tidak terang arti yang dimaksudkan karena pada lafaz itu sendiri dan tidak tidak ada qarinah yang menjelaskannya.
Masalah mutasyabih dapat dilihat dari 2 aspek:
a) Lafaz yang mengandung 2 pengertian atau lebih dan arti dari segi pendekatan bahasa, makna lafaz mencerminkan persamaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
    Misalnya: Lafaz yang dalalah zahirnya menimbulkan sangkaan arti bahwa Allah serupa dengan makhluk-Nya seperti Allah memiliki tangan,QS al-Fath:10
   ‘… tangan Allah di atas tangan mereka…’
Ayat ini tidak mungkin dipahami artinya secara bahasa sebab Allah mustahil serupa dengan makhluk-Nya. Dalam kaitan ini Allah juga tidak menjelaskan arti yang dikehendaki lafaz  yadun dalam ayat ini.
b) Lafaz yang tersembunyi maknanya, dan tidak ada keterangan/penjelasan dari Al Quran dan sunnah, yaitu tidak diketahui artinya, kecuali orang yang mendalam ilmunya yang dapat memahaminya.
    Misalnya: Huruf-huruf yang berdiri sendiri (huruf Hija’iyah) pada awal beberapa surat dalam Al Quran di antaranya:
    Dalam hal ini Allah juga tidak menjelaskan arti yang dimaksud dari huruf-huruf itu.
Mengenai arti yang dikehendaki lafaz mutasyabih ini, para ulama Salaf dari golongan sahabat dan tabi’in serta mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari ulama ilmu kalam, menyerahkan artinya kepada Allah.
Sedangkan golongan ulama Khalaf dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa mutasyabih dapat dita’wilkan dengan arti yang selaras dengan arti bahasa dan selaras pula dengan kemahasucian Allah dari sifat-sifat yang tidak layak baginya (mustahil Allah mempunyai tangan/serupa dengan makhlukNya).
Karena itu arti zahirnya harus dita’wilkan kepada arti majazi. Lafaz  yadun (QS al-Fath: 10) diartikan dengan  al-qudrah: kekuasaan.
Demikian pula lafaz  al-wajhu (wajah) (QS. Al-Rahman: 26-27)
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ
‘Semua yang ada di bumi akan binasa kecuali Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesar dan kemuliaan.’
    Dita’wilkan kepada arti ذاته  (Dzat-Nya).
SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA TENTANG ARTI YANG DIKEHENDAKI LAFAZ MUTASYABIH, adalah:
- Karena perbedaan mereka dalam memberi waqaf (tempat berhenti) pada ayat 7 surat Ali Imran:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
‘… padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabih, semua itu dari sisi Tuhan Kami.’
Bagi mereka yang memberi waqaf setelah lafaz Allah, mengatakan bahwa yang mengetahui ta’wil lafaz mutasyabih hanya Allah, karena itu mereka menyerahkan sepenuhnya arti lafaz mutasyabih itu kepada Allah.
Sedangkan mereka yang memberi waqaf setelah lafaz  وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ  mengatakan bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya mampu menta’wilkannya dengan arti yang mungkin dimaksud oleh lafaz tersebut yang sesuai dengan kemahasucian Allah dari sifat-sifat penyerupaan dengan makhlukNya.
Keterangan:
            Menurut penelitian ulama, mutasyabih tidak terdapat dalam ayat-ayat dan hadis-hadis hukum. Hal ini sesuai dengan ungkapan QS Ali Imran: 3
نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ
‘Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu. Di antara (isinya) ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al Quran dan yang lainnya mutasyabihat…’



                 DALALAH
Dalalah berasal dari kata kerja (fi’il) dalla—yadullu- dalilun, yang berarti “petunjuk untuk menemukan sesuatu,” atau “petunjuk hukum”.             د ل يدل دليل
LAFAZ dapat diklasifikasi atas beberapa jenis berdasarkan DALALAH (petunjuk hukum) yang dikandungnya.
Menurut ulama HANAFIAH, dalalah ada 4 macam:
1.      Dalalah Ibarah (hukum yang tertulis dalam lafaz/teks, mirip lafaz zahir)
2.      Dalalah Isyarah (hukum yang tidak tertulis dalam lafaz atau diisyaratkan dalam lafaz)
3.      Dalalah Nash (hukum yang tidak tertulis s/d hukum yang tertulis, mirip qiyas)
4.      Dalalah Iqtidlah (hukumnya tidak jelas karena adanya kata yang dihilangkan)
a. DALALAH IBARAH, adalah petunjuk hukum yang dapat dipahami langsung dari teks atau lafaz berdasarkan zahirnya. Misalnya:
a. QS. al-Baqarah: 275                       وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا    
    ‘Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.’
   Ayat ini mengandung dalalah ibarah: kehalalan jual beli dan keharaman riba.
b. QS al-Maidah: 38                   وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah dipotong tangannya masing-masing.”
Ayat ini mengandung dalalah ibarah: hukuman potong tangan bagi pencuri, baik laki-laki maupun perempuan.
b. DALALAH ISYARAH, adalah petunjuk hukum yang dapat dipahami bukan langsung dari teks atau lafaz melainkan petunjuk hukum yang berada di balik teks/lafaz. Misalnya:
a. QS. al-Baqarah: 275)                       وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا    
    ‘Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.’
   Ayat ini mengandung dalalah isyarah: perbedaan jual beli dengan riba.
b. QS al-Baqarah:              و على المولود له رزقهن و كسوتهن بالمعروف
Suami berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada istrinya secara layak.”
Ayat ini mengandung dalalah ibarah: kewajiban suami menanggung nafkah dan pakaian istri secara layak. Namun ayat ini juga mengandung dalalah isyarah (hukum yang tidak tertulis dalam lafaz ayat ini), yakni:
1)      Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian anaknya
2)      Nasab anak dihubungkan dengan ayahnya, seperti diisyaratnya dalam kalimat  له
3)      Harta anak adalah milik orang tua. Orang tua berhak atas harta anaknya. Jika orangtua mengambil harta anaknya tanpa sepngetahuan anak, maka itu bukan mencuri.
c. DALALAH NASH, adalah petunjuk hukum yang tidak tertulis dalam teks sama dengan petunjuk hukum yang disebutkan dalam teks atau lafaz. Misalnya:
  1) Ayat larangan berkata ah kepada kedua orang tua:                        فلا تقل لهما أف
    “Janganlah kamu berkata ah kepada keduanya.”
    DALALH IBARAH ayat ini adalah larangan berkata ah kepada kedua orang tua.
  Namun adalah DALALAH NASH (hukum tidak tertulis yang sama dengan hukum yang tertulis) yakni larangan (keharaman) memaki, memukul, membunuh orang tua. Karena kesemuanya itu sama-sama menyakiti hati orang tua.
  2) Ayat larangan mendekati zina :                                لا تقربوا الزنى   
    Dalalah ibarahnya: keharaman mendekati zina. Karena itu dalalah nashnya: haramnya berzina.
d. DALALAH IQTIDLAH adalah petunjuk hukum pada suatu lafaz yang sengaja dihilangkan satu kata yang menyebabkan kurang sempurnanya makna lafaz tersebut.
Misalnya:
Larangan menikahi ibu, saudara perempuan, anak perempuan
                                                 حرمت عليكم أمها تكم   و بنا تكم و أخواتكم    

Disarikan dari buku Ushul Fiqh Jilid 2 kartya Prof.Dr. Amir Syarifuddin dan buku lain yang relevan