Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Sabtu, 29 November 2014

USAHA MANUSIA DAN REZEKI ALLAH
Dr. La Jamaa, MHI

     Pada hakekatnya Allah telah menyiapkan rezeki untuk semua hamba-Nya termasuk manusia, sesuai isyarat al-Qur'an bahwa wa ma min dabbatin fil ardli illa 'alallahi rizquha. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan pula bahwa rezeki Allah untuk makhluk-Nya itu akan diberikan kepada dabbah, binatang melata. Ciri utama binatang melata adalah bergerak. Dengan demikian rezeki yang disiapkan Allah tersebut berbandingan lurus dengan kualitas dan kuantitas usaha manusia dalam menjemputnya rezekinya masing-masing.
      Usaha manusia dapat berupa usaha atau kerja fisik (olah otot), olah nalar dan olah batin. Bahkan idealnya usaha menjemput rezeki tersebut merupakan gabungan antara olah otot, olah pikir, dan olah batin. Karena itu Allah tidak akan memberikan rezeki-Nya kepada siapa pun yang berusaha sesuai sunnatullah secara maksimal tanpa memandang ketaatannya kepada Allah. Sehingga tidak mengherankan banyak orang yg tidak taat namun mereka kaya harta lantaran rajin bekerja. Sebaliknya, ada orang yang rajin beribadah tapi miskin, bisa jadi usahanya kurang maksimal sesuai sunnatullah. sebab salah satu ciri sunnatullah adalah bersifat objektif dan konstant. Objektivitas sunnatullah merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah. Sebab itu pula, bisa jadi ada orang yang tidak perlu bekerja (olah otot, olah nalar) secara maksimal namun dia bisa memperoleh rezeki Allah melalui olah batin seperti yang dinikmati oleh para wali (kekasih) Allah. Keistimewaan wali Allah sebenarnya diperoleh juga melalui usaha maksimal yakni olah batin. Jadi perbedaannya dengan manusia kebanyakan adalah bentuk usahanya. Manusia kebanyakan melalui usaha olah otot, dan olah nalar sedangkan wali melalui olah batin. Namun memiliki kesamaaan yakni kesungguhan dalam berusaha, baik dalam olah otot, olah nalar maupun olah batin.
Dengan demikian kerja keras dalam bidang apapun sesuai dengan keterampilan tiap-tiap orang adalah kunci sukses dalam hidup ini. Islam sangat mencela orang yang bersifat malas dan masa bodoh. Khalifah Umar pernah menegur seorang sahabat yang selalu berdoa namun tidak mau bekerja, bahwa “janganlah seorang dari kalian duduk dan malas mencari rezeki padahal dia mengetahui langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.”
Begitu pula sayidina Ali pernah menegaskan “Tuhan tidak akan pernah menurunkan Tangan bantuan-Nya kepada kami sebelum Dia melihat kami bersusah payah dalam mujahadah (berjuang).” Makna mujahada di sini bukan hanya kerja-kerja fisik, tetapi juga kerja spiritual dan intelektual. Karenanya, pengertian doapun bukan hanya olah batin, melainkan juga olah otot dan olah nalar. Jelasnya, doa adalah gabungan antara ikhtiar, usaha dan tawakal seorang hamba dalam memaknai titian takdirnya. Sebab, setiap kerja yang baik akan selalu menjadi doa yang tulus, dan setiap doa yang tulus akan selalu menjadi kerja yang baik bagi manusia.
Meskipun bekerja mencari harta sangat penting dalam ajaran Islam, namun demikian umat Islam tidak boleh menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya. Islam merupakan agama yang sarat dengan nilai etika dan norma atau akhlak, sehingga dalam bekerja pun, umat Islam harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral. Etika kerja Islami adalah mencari harta dilakukan dengan cara-cara yang benar, tanpa melanggar ketentuan syariat, dan diniatkan untuk meraih kebajikan serta dimanfaatkan untuk kebaikan pula.
Kerja yang Islami adalah bekerja untuk mencari rezeki yang halal dan diinfakkan pada jalan yang halal pula sehingga harta tersebut dapat menjadi wasilah untuk meraih kebahagian hidup dunia dan akherat. Sebaliknya, kerja tidak Islami, adalah bekerja mencari rezeki dengan cara yang melanggar ketentuan syariat (cara-cara yang haram) dan biasanya dihambur-hamburkan untuk kegiatan yang haram pula. Dalam realitas kehidupan banyak orang kaya dari uang panas biasanya digunakan untuk judi, mabuk-mabukan dan kemaksiatan lainnya. Sehingga orang tersebut sepintas tampak hidup bahagia, namun yang bersangkutan justru merasa hidup menderita, dan pelariannya bukan beribadah dan berzikir mengingat Allah, namun lari kepada miras dan narkoba. Harta yang diperoleh dengan cara-cara yang haram akan menjadi sumber penderitaan di dunia dan akherat.
Sebagai tuntunan dalam bekerja mencari rezeki, Nabi saw memberikan arahan dalam sebuah sabdanya: “sesungguhnya Jibril meniupkan ke dalam hatiku bahwanya jiwa itu tidaklah mati hingga dilengkapi rezekinya. Maka, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan berlaku baiklah dalam mencari rezeki. Janganlah karena keterlambatan rezeki itu menjadikan kalian mencarinya dengan melakukan maksiat kepada Allah. Sesungguhnya tidak akan dicapai apa yang terdapat di sisi Allah, melainkan taat kepada-Nya (HR Hakim).
Untuk kondisi saat ini pedagang yang menghalalkan cara akan menimbun barang untuk dijual pada saat harga barang naik seiring dengan rencana kenaikan harga BBM. Bahkan meskipun kenaikan harga BBM masih ditunda, namun para pedagang sudah ramai-ramai menaikkan harga barang dagangannya. Menaikan harga barang dagangan sebenarnya adalah wajar sesuai mekanisme pasar, namun menjadi tidak wajar bagi pedagang yang menimbun barang untuk dijual pada saat harga barang naik, yang dikenal dengan ihtikar dalam Islam. Tindakan menimbun barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat seperti sembako, dan BBM merupakan perbuatan haram karena sangat merugikan masyarakat. Penimbunan barang untuk mendapatkan keuntungan besar sama artinya bersenang-senang di atas penderitaan orang banyak.
Dalam setiap kerja disyaratkan (1) kita tidak merugikan orang lain, (2) saling meredlai, saling memberi manfaat, (3) dilakukan bukan secara haram, (4) tidak mengandung unsur penipuan, (5) saling meningkatkan kesejahteraan, dan (6) tidak merusak lingkungan kerja serta tidak maksiat kepada Allah.
Di samping itu etos kerja Islami juga tidak terlepas dari 3 hal, yaitu niat, cara dan tujuan. Dalam Islam kita dianjurkan untuk mengerjakan sesuatu dengan niat untuk mendapatkan redla Allah. Dengan niat seperti itu, berarti kita telah memberi makna yang lebih tinggi dan mendalam kepada pekerjaan kita. Suatu pekerjaan yang dilakukan tanpa tujuan luhur, untuk memperoleh redla Allah bagaikan bayang-bayang yang hampa tanpa wujud, tidak punya nilai substansial apa-apa. Firman Allah dalam QS an-Nur: 39 
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا 

‘Orang-orang kafir itu, amal perbuatannya bagaikan fatamorgana di lembah padang pasir. Orang yang kehausan mengiranya air, namun ketika didatangi, ia tidak mendapatkannya sebagai sesuatu apapun.’
Dengan niat yang ditujukan kepada Allah, kita tidak akan melakukan pekerjaan kita secara asal-asalan, namun dilakukan secara sungguh-sungguh dan teliti karena kita bertanggungjawab kepada-Nya. Dengan demikian etos kerja mengandung makna ganda, yakni sebagai sarana ibadah kepada Allah dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia. Dalam kaitan ini etos kerja merupakan manifestasi keyakinan seorang muslim bahwa kerja memiliki kaitan dengan tujuan hidup yaitu memperoleh keredhaan Allah. Dengan kata, etos kerja dalam islam adalah cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja bukan hanya memuliakan dirinya sendiri, atau mewujudkan kemanusiaannya, melainkan sebagai manifestasi amal saleh (karya produktif) yang karenanya memiliki nilai ibadah yang sangat luhur.
Penghargaan hasil kerja dalam Islam, kurang lebih setara dengan iman, bahkan bekerja dapat dijadikan jaminan atas ampunan dosa seperti sabda Nabi saw:

“Barangsiapa yang di waktu sorenya  merasakan kelelahan karena bekerja, bekerja dengan tangannya sendiri maka di sorenya itulah diampuni dosa-dosanya.”

Bahkan bekerja mencari nafkah itu baik untuk keperluan diri sendiri maupun untuk keluarga dinilai setara dengan jihad.  Bukankah bekerja mencari nafkah merupakan usaha memerangi kemiskinan, sehingga sangat wajar jika diposisikan setara dengan jihad. Karena itu dalam bekerja, seorang muslim dianjurkan untuk diniatkan untuk mencari reda Allah. Sehingga cucuran keringat dan kelelahan yang dialaminya tak sia-sia. Namun justru dicatat sebagai kerja ibadah di sisi Allah Yang Mahakaya dan Mahapemberi rezeki.