Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Minggu, 23 Juni 2013

Hukum Islam Kontemporer

PROVOKASI DAN MOTIVASI MENURUT HUKUM ISLAM

DR. LA JAMAA, MHI

       
     Provokasi pada dasarnya menyampaikan informasi baik kata-kata maupun tulisan yang bertujuan untuk memanas-manasi, atau menimbulkan ketakutan dan keresahan dalam masyarakat tertentu serta mengarahkan mereka agar bertindak sesuai harapan provokator (pemicu provokasi). Dengan demikian pada umumnya provokasi berdampak negatif baik kesalahpahaman, maupun permusuhan dan peperangan.
     Provokasi tersebut akan mudah diterima dan direspon oleh seseorang atau masyarakat jika yang bersangkutan tidak melakukan pengecekan kebenaran informasi yang diterimanya. Dalam kaitan ini al-Qur'an mengajarkan kepada manusia agar tidak mudah menerima suatu informasi tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu (fa tabayyunu). Berdasarkan petunjuk QS al-Hujurat dapat dipahami bahwa yang biasa, gemar menyebarkan informasi yang provokatif adalah orang-orang fasik (orang-orang yang merasa senang jika terjadi pertikaian, permusuhan di kalangan masyarakat) karena bisa jadi mereka memperoleh keuntungan dari situasi konflik seperti itu. Orang-orang semacam itu memiliki hati SMS (Senang Melihat orang lain Susah dan Susah Melihat orang lain Senang). Sehingga senantiasa mencari-cari kesalahan orang lain serta merasa senang jika terjadi konflik.

     Sebaliknya merasa susah jika tidak ada konflik. Sikap-sikap tersebut pada dasarnya sangat mengancam kehidupan masyarakat. Ketertiban dan kedamaian hidup dalam bermasyarakat dan bernegara sulit terwujud. Bahkan menimbulkan korban harta, nyawa yang tidak sedikit. Berdasarkan asumsi di atas maka tindakan provokasi HARAM hukumnya dalam Islam.

     Ulah provokator bukan saja meresahkan dan menyusahkan secara individual namun bisa mengancam ketenteraman dan kedamaian hidup masyarakat, bahkan bisa membahayakan keselamatan negara. Karena itu provokator yang membahayakan masyarakat banyak atau negara dapat dikategorikan sebagai pemberontak. Mengingat bentuk dan berat ringan hukumannya tidak ditentukan secara tekstual, maka para ulama berbeda pendapat mengenai sanksi pidana (jarimah) bagi provokator. 

           Meski tidak ada nash tekstual baik ayat al-Qur'an maupun hadis namun para ulama fiqh menggunakan jarimah ta'zir untuk menjerat provokator tersebut. Sebagai jarimah ta'zir, bentuk dan berat ringannya sanksi pidana bagi provokator dapat disesuaikan dengan dampak yang ditimbulkannya serta modus operandinya. Dalam hal itu hakimlah yang memiliki otoritas untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada provokator, baik hukuman mati plus disalib yang dianalogikan dengan dengan pelaku hirabah, atau qisas (jika mengakibatkan kematian seseorang) maupun denda atau diyat jika mengakibatkan cederanya korban.
       
       Sedangkan motivasi mengarah kepada upaya memberikan dorongan moral kepada orang lain atau masyarakat agar melakukan hal-hal yang baik yang dapat meningkatkan harkat dan martabat mereka. Tegasnya motivasi mengarah kepada terwujudnya suatu kebaikan baik untuk individual maupun masyarakat. Motivasi tersebut dapat berupa ucapan lisan, maupun tulisan yang mampu menggugah kesadaran moral manusia untuk melakukan aktivitas amal saleh. Karena itu motivasi merupakan perbuatan TERPUJI dalam pandangan Islam.


Catatan Tambahan

Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: Perspective Indonesian Criminal Law and Islamic Law yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman. Buku tersebut dapat dibeli di  toko buku online mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman dengan harga standar 74,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini: http://www.morebooks.de/store/bookprice_offer/show?token=58128ac02eb5828663bd59fe736ca2a9941d106a&auth_token=d3d3LmxhcC1wdWJsaXNoaW5nLmNvbToyZWQxNTcyMDM5M2YwMDMzYzhkYjE2MjFiYmJjYjQ3Zg==&locale=gb



Studi Islam

BEBERAPA PENDEKATAN MEMAHAMI AJARAN ISLAM (STUDI ISLAM)
(Bahan Kuliah Metodologi Studi Islam) 

OLEH: Dr. LA JAMAA, MHI


           
Pemahaman ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan hadis selama berabad abad cenderung menggunakan pendekatan tekstual normatif sehingga pada era modern terkadang menimbulkan kesalahpahaman terhadap ajaran Islam sendiri. Karena itu untuk memahami ajaran Islam secara komprehensif dibutuhkan pendekatan yang tepat agar tidak terjadi kesalahpahaman. Berdasarkan pendapat para ahli ada beberapa pendekatan dalam studi Islam, antara lain:

1. Pendekatan Linguistik (bahasa), yaitu memahami ajaran Islam yang mengandung aspek keindahan bahasa yang memungkinkan memiliki pengkaji aspek kebahasaan dari ayat atau hadis, yang teksnya mengandung pengertian majazai (metaforis) sehingga berbeda dengan makna hakikinya, misalnya hadis: "Orang yang beriman terhadap orang beriman lainnya ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh bagian yang lainnya."1
       Teks hadis ini mengandung ungkapan gaya bahasa tasybih tamsil (perumpamaan), karena menyerupakan gambaran orang beriman (mukmin) dengan sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling menopang satu sama lain. Sekaligus sebagai ungkapan personifikasi, yaitu penggambaran benda mati (bangunan) menjadi benda hidup dapat saling menopang yang seakan-akan mempunyai tangan atau kekuatan. Dengan adanya personifikasi ini, makna hadis menjadi menyentuh perasaan dan sangat mendalam bahwa persaudaraan/ ukhuwah antr muslim diikat oleh kesamaan dan kekuatan iman.2 Tegasnya, bahwa mukmin adalah bersaudara yang saling tolong menolong dan saling menguatkan satu sama lain, dan bukan saling bermusuhan. Hal itu dipertegas oleh Al-Qur'an innamal mu'minuma ikhwatun. Yang menunjukkan bahwa persaudaraan di antara sesama mukmin ibarat persaudaraan antara sesama saudara sekandung, lantaran kesamaaan akidah dan Tuhan yang disembah yakni Allah.
        Begitu juga ayat nisa'ukum harsun lakum fa'tu harsakum anna syi'tum,3 yang mengibaratkan istri dengan ladang. Ayat itu bermakna bahwa suami memiliki tanggungjawab terhadap istrinya, yakni harus menggauli, memperlakukannya dengan baik, bukan dengan melakukan tindakan kekerasan kepada istrinya. ibarat petani harus mewarat ladangnya agar tanaman dalam ladang tersebut tumbuh subur sehingga memberikan kebahagiaan. Demikian juga rumah tangga yang harmonis hanya akan terwujud jika suami menjalin hubungan yang harmonis pula dengan istri secara timbal balik sehingga dapat mendatangkan kebahagiaan bagi suami istri dalam kehidupann sehari-hari.


2. Pendekatan historis, yakni memahami ajaran Islam dengan memperhatikan dan mengkaji situasi/peristiwa sejarah yang berkaitan dengan latar belakang turunnya ayat (asbabul nuzul) atau munculnya hadis (asbabul wurud)nya, misalnya hadis tentang hukuman rajam bagi orang yang sudah menikah jika dia berzina. Tampaknya hadis itu bertentangan dengan ayat 2 surat al-Nur karena rajam yang diungkapkan dalam hadis hanya ditujukan kepada penzina muhsan (sudah nikah) sedangkan penzina gairu muhsan (belum nikah) menurut ayat 2 surat al-Nur dihukum 100 kali cambuk. Ketentuan ini jika dikaitkan dengan ketentuan QS al-Nur: 25 yang berisi hukuman bagi wanita sahaya yang telah menikah jika berzina adalah setengah dari hukuman bagi wanita merdeka yang sudah menikah. Maka ketentuan rajam sulit dilakukan bagi wanita sahaya muhsan (sudah nikah) yang berzina, karena bagaimana mungkin hukuman rajam (hukuman mati) bisa dibagi dua bila diterapkan kepada wanita sahaya.4
      Jadi, hukuman rajam melalui pendekatan historis dapat dianggap telah dihapuskan oleh QS al-Nur: 2, karena itu keberadaan hukuman rajam yang belum diterapkan di Indonesia saat ini tidak perlu dipersoalkan. Yang urgen adalah bukan pada jenis hukuman yang harus diterapkan kepada pelaku zina, namun pengendalian diri setiap individu dengan benteng keimanan terhadap godaan-godaan yang mengarah kepada zina adalah merupakan suatu persoalan yang harus mendapat perhatian setiap muslim kapan dan dimanapun. Apalagi dengan maraknya berbagai tayangan, tontonan melalui media elektronik saat ini yang disadari atau disadari telah mendorong maraknya zina. Bahkan masyarakat modern telah menganggap zina sebagai hal biasa dan justru menjadi kebanggaan.


3. Pendekatan Sosiologis, yakni memahami ajaran Islam dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat turunnya ayat atau munculnya hadis. Misalnya hadis tentang persyaratan keturunan suku Quraisy sebagai imam atau kepala negara (al-aimatu min qurays, yang pantas menjadi imam/kepala negara adalah dari suku Quraisy).5
        Hadis ini jika diinterpretasikan dengan pendekatan sosiologis dapat dipahami, bahwa dijadikannya suku Qurays sebagai salah satu syarat menjadi pemimpin, dimaksudkan untuk menghindari perpecahan dengan adanya solidaritas dan superioritas. Karena secara sosiologis, suku Qurays jumlah banyak, solidaritas dan kebangsawanannya telah membentuk kewibawaan di antara suku-suku lainnya di Arab saat itu. Bahkan masyarakat saat itu hanya mau dipimpin oleh orang yang bersuku Quraisy.
      Jelasnya bahwa orang suku Quraisylah yang saat itu yang memiliki kualifikasi sebagai pemimpin, karena tangguh, berwibawa, terkemuka dan kuat.6 Jadi, pengertian Qurays dalam hadis ini bukanlah kesukuannya, melainkan kemampuan kepemimpinannya. Karena itu siapapun yang memiliki kualifikasi/kemampuan kepemimpinan, dibolehkan menjadi pemimpin (imam/kepala negara). Dengan demikian makna hadis tersebut tetap relevan dalam semua zaman, tempat dan kondisi.
       Jika tidak dipahami demikian, maka bagaimana mungkin semua pemimpin di dunia Islam yang telah sedemikian luas harus berasal dari suku Quraisy. Realitas menunjukkan bahwa kepemimpinan di masa sekarangpun mensyaratkan sumber daya manusia (SDM). Nabi saw tidak mengajarkan sikap feodal kepada umatnya, namun pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa untuk menjadi pemimpin tidak sekadar karena prestise keturunan semata namun dibutuhkan kualifikasi atau kemampuan yang paripurna (prestasi), dia harus menjadi the best of the best, yang terbaik dari orang-orang yang baik di hadapan orang-orang yang dipimpinnya. Dengan demikian dia akan menjadi pemimpin yang disegani, dan ditaati sehingga program-program kebijakannya akan mendapat dukungan dari bawahan/rakyatnya.


4. Pendekatan Sosio-historis, yakni memahami ajaran Islam dengan melihat sejarah sosial dan setting sosial pada saat dan menjelang turunnya wahyu atau hadis disabdakan. Misalnya hadis yang melarang wanita menjadi pemimpin, la yufliha qaumun wallau amrahum imra-atun, tidak akan sukses suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan urusan publik mereka kepada wanita' (HR Bukhari)7
     Hadis ini mempunyai latar belakang sosio historis, sebab sebelum hadis ini muncul Nabi saw telah mengirim surat kepada Kisra Persia dengan maksud mengajak mereka memeluk Islam. Tetapi Kisra Persia menolak bahkan merobek-robek surat Nabi saw. Tidak lama kemudian terjadi kudeta di kerajaan Persia, semua laki-laki pewaris kerajaan Persia terbunuh, sehingga diangkatlah cucu wanita sang Kisra yang bernama Buwaran binti Syairawah bin Kisra dengan Ratu Persia.8 Selain itu dari sisi sosio hostoris, tradisi bangsa Persia dan termasuk  bangsa Arab, bahwa jabatan kepala negara hanya dijabat oleh laki-laki dan wanitatidak pernah dipersiapkan menjadi kepala negara sehingga saat itu wanita tidak layak menjadi kepala negara.
       Jadi, penobatan Ratu Persia itu telah menyalahi tradisi mereka sendiri, sehingga tidak mendapat legitimasi dan kewibawaan di mata rakyatnya. Secara sosio historis, wanita pada saat itu tidak berwibawa, sehingga jangankan menjadi kepala negara, bahkan diri wanita sendiri masih dianggap sebagai benda.9 Apalagi pada masa pemerintahannya muncul serangan besar-besar dari musuh sehingga pada kepemimpinannya itulah kerajaan Persia runtuh.
       Karena itu tidak dapat digeneralisir bahwa semua wanita tidak boleh menjadi pemimpin karena beberapa alasan: (1) keruntuhan kerajaan Persia disebabkan oleh kelemahan pemimpinnya yang tidak mendapat legitimasi dan kewibawaan akibat menyalahi tradisi masyarakat pada masa itu; (2) pada masa itu terjadi pergolakan yang sangat hebat yang secara logika sangat sulit diatasi oleh seorang kepala negara (Ratu) yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, padahal sang Ratu harus mengendalikan langsung persoalan genting itu. (3) Ratu sendiri tidak memiliki keahlian sebagai kepala negara. Padahal keahlian sangat dibutuhkan dan sangat menentukan kesuksesan dalam mengemban tugas yang diamanatkan kepadanya sesuai hadis Nabi saw iza wussidal amru ila gairi ahlihi fantaziri al-sa'ah, bila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran." HR Muslim)10 dan (4) realitas justru menunjukkan bahwa banyak wanita yang menjadi pemimpin, sukses memimpn rakyatnya, seperti kesuksesan ratu Balqis yang diabadikan al-Qu'an karena dia memiliki kewibawaan dan keahlian sebagai kepala negara.
      Jadi, kegagalan ratu Persia itu tidak disebabkan oleh kodratinya sebagai wanita namun lebih disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam memimpin negaranya. Kalau seorang wanita cakap dan berpengalaman menjadi pemimpin negara, maka dia akan memperoleh kesuksesan dalam melaksanakan tugasnya.


5. Pendekatan Antropologis, yaitu memahami ajaran Islam dengan melihat wujud praktek keagamaan, tradisi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat pada saat Al-Qr'an turun atau hadis disabdakan. Misalnya hadis "sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling berat di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah para pelukis."11
     Dengan pendekatan antropologis, dapat dipahami bahwa hadis ini sangat terkait dengan praktek keagamaan saat hadis ini disabdakan, yaitu masyarakat Arab baru terlepas dari kepercayaan animisme dan politeisme (penyembah patung dan yang sejenisnya. Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, Nabisaw berupaya keras agar umat Islam terlepas dari kemusyrikan. Salah satu caranya adalah melarang membuat dan memajang lukisan.
      Jadi, latar belakang larangan hadis ii adalah kekuatiran umat Islam terjerumus kepada kemusyrikan. Hadis ini berorientasi kepada kausalitas yakni tindak preventif terhadap kemusyrikan. Jika kausalitas hilang, maka hukum yang ada dalam hadis menjadi tidak berlaku, demikian pula sebaliknya.12 Karena itu bila umat Islam tidak dikuatirkan terjerumus ke dalam penyembahan berhala, maka membuat dan memajang lukisan tentunya dibolehkan.


6. Pendekatan psikologis, yaitu memahami ajaran Islam dengan memperhatikan kondisi psikologis Nabi saw dan orang/masyarakat yang dihadapi Nabi saw ketika hadis itu disabdakan. Misalnya, hadis tentang amalan yang paling utama (al-a'mal afdal), yang ternyata jumlahnya sangat banyak dan berbeda-beda. Suatu saat Nabi saw mengatakan man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi, sebagai amalan terutama.    Namun pada waktu lain Nabi saw mengatakan al-salatu 'ala waktihi, dan pada saat lain lagi mengatakan "iman kepada Allah dan Rasul-Nya secara konsekuen (istiqamah)." Jawaban Nabi saw yang berbeda-beda itu pada hakekatnya disesuaikan dengan kondisi psikologis penanya. Jadi, substansi hadis itu, ialah (1) relevansinya antara keadaan jiwa orang yang bertanya dan materi jawaban yang diberikan; (2) relevansinya antara kelompok masyarakat teretentu dengan materi jawaban yang diberikan.13
Jadi, yang tergolong amalan utama tidaklah sama, namun berbeda sesuai kondisi psikologis orang atau kelompok masyarakatnya.

SUMBER KUTIPAN:
1Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz III (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah. 1992), h. 238. Muslim, Sahih Muslim, Juz IV (Cet. II; Beirut: Dar Ihya al-Tiras al-Arabi, 1972), h. 1999.
2Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan) (Cet. I; Yogyakarta: CEASaD YPI Al Rahmah, 2001), h. 6263.
3Ibid., h. 70-85
4Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 421
5Nizar Ali, op.cit., h. 88-89
6Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz V, 160.
7Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathr al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Juz VIII (Cet. I; Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 160-161
8M. Syuhudi Ismail, "Dialog... " dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas'udi, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis (Cet. I; Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), h. 180.
9Muhammad al-Gazali, Al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Studi Kritis atas Hadis Nabi saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
10 al-Bukhari. Sahih al-Bukhari, Juz III
11Yusuf al-Qardawi, Kaifa Nata'amal Ma'a al-Sunnah al-Nabawiyyah, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar. Studi Kritis As Sunnah I.


Catatan Tambahan

Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: Perspective Indonesian Criminal Law and Islamic Law yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman. Buku tersebut dapat dibeli toko buku online mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman seharga 74,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini: http://www.morebooks.de/store/bookprice_offer/show?token=58128ac02eb5828663bd59fe736ca2a9941d106a&auth_token=d3d3LmxhcC1wdWJsaXNoaW5nLmNvbToyZWQxNTcyMDM5M2YwMDMzYzhkYjE2MjFiYmJjYjQ3Zg==&locale=gb
Hukum Islam Kontemporer
ANARKIS DALAM PEMBERANTASAN KEMUNGKARAN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


Dr. La Jamaa, MHI

          Pemberantasan kemungkaran merupakan salah satu ajaran penting dalam agama Islam. Banyak ayat dan hadis yang memberikan perhatian khusus mengenai amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan ada hadis yang secara khusus mengatur tentang tata cara mengatasi kemungkaran yang terjadi dalam masyarakat: man ra'a minkum munkaran fal yugayyru bi yadihi, fa in lam yastathi'i fa bilisanih fa in lam yastathi' fa bi qalbih. Menurut hadis ini, bahwa langkah awal mengatasi atau merubah kemungkaran tersebut adalah dengan pendekatan kekuasaan (bi yadih). Anjuran atau perintah hadis itu dipahami sebagian orang Islam bahwa dalam merubah kemungkaran boleh dilakukan dengan cara-cara anarkis. Namun pertanyaan yang muncul adalah apakah hadis tersebut menjustifikasi tindakan anarkis dalam memberantas kemungkaran? Apakah Nabi saw dan sahabatnya melakukan tindakan anarkis dalam merubah kemungkaran yang terjadi di zamannya?    
      Masalah di atas perlu ditelaah dari perspektif hukum Islam, agar tidak menimbulkan salah persepsi.

A. Pengertian Anarkis dan Munkar

Anarkis adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan sebagai upaya untuk menekan pihak-pihak yang dianggap merugikan baik kepada pelaku maupun kepada masyarakat umum. Perbuatan anarkis sering diwujudkan dengan merusak tempat-tempat maksiat atau yang disinyalir menimbulkan keresahan masyarakat karena melanggar larangan-larangan agama (khususnya Islam) seperti menjual minuman keras, membuka warung, rumah makan, restoran pada siang hari di bulan Ramadan, dan lokalisasi Pekerja seks komersial (PSK).

Terjadinya berbagai kemungkaran itu pada dasarnya erat kaitannya dengan potensi fujur yang dimiliki manusia di samping potensi takwanya. Potensi fujur mendorong manusia kepada perkataan dan perbuatan munkar. Sedangkan potensi takwa mendorong manusia kepada perbuatan saleh dan maslahat. Hal ini diisyaratkan dalam QS al-Syams: 8
                                                                                       فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
 'Kami telah mengilhamkan ke dalam (jiwa manusia) potensi fujur dan takwa.’

Karena itu fenomena kemungkaran akan selalu muncul dalam kehidupan manusia dengan kadar kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda. Hal itu pada satu sisi merupakan kelemahan manusia sehingga pada sisi lain perlu ditanggulangi agar kemungkaran tidak merajalela dalam kehidupan manusia pada umumnya dan umat Islam khususnya. Dalam konteks ini Islam memerintahkan umatnya untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Motivasi untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut seringkali dilakukan dengan terlalu bersemangat sehingga cenderung mengarah kepada tindakan anarkis. Pertanyaannya, adalah apakah Islam mentolerir tindakan anarkis dalam pemberantasan kemungkaran? Untuk itu perlu dijelaskan makna anarkis dan munkar itu sendiri.


Kata munkar berasal dari bahasa Arab, yang berarti sesuatu yang tidak dikenal. Munkar merupakan lawan dari kata ma’ruf, yang berarti sesuatu yang dikenal kebaikannya, munkar, adalah sesuatu yang dikenal kejelekannya.[1]

Munkar tidak hanya berupa perbuatan atau tindakan, akan tetapi juga berupa perkataan. Setiap perkataan yang menjauhkan diri dari Allah adalah perkataan munkar. Di antara perbuatan munkar adalah:

1) Homoseksual atau lesbian

Salah satu masalah yang dihadapi nabi Luth as adalah merajalelanya homoseks (lesbian) dalam masyarakatnya. Sehingga beliau berkata kepada kaumnya seperti diabadikan dalam QS al-Ankabut: 29

                          أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ 
ِِِ'Apakah kalian patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan itu.’

Homoseksual dan lesbian telah merajalela pula di zaman ini terutama di kota-kota besar yang banyak diperankan oleh para waria bagi peminat homoseksual dan sesama wanita bagi peminat lesbian. Bahkan praktek homoseksual dan lesbian tersebut terkadang dilakukan secara terang-terangan sehingga menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, karena kemungkaran homoseksual dan lesbian harus diberantas.

2)  Berzina

Zina adalah hubungan seksual antara laki-laki dengan wanita di luar akad perkawinan yang dilakukan secara suka sama suka. Hal ini identik dengan pemerkosaan yaitu hubungan seksual antara laki-laki dengan wanita yang bukan suami istri yang dilakukan dengan paksaan dari pelaku kepada korban. Pada umumnya pelaku pemerkosaan adalah laki-laki sedangkan korbannya adalah wanita. Dalam kasus zina, laki-laki dan wanita merupakan pelaku kemungkaran sedangkan dalam kasus pemerkosaan yang melakukan kemungkaran adalah laki-laki, dan yang wanita menjadi korban kemungkaran itu sendiri.

Praktek zina telah menjadi fenomena dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah. Namun pada masa sekarang, zina seolah-olah telah dianggap sebagai perbuatan biasa, lumrah dan hampir tidak dianggap tabu atau dosa lagi. Sehingga zina telah menjadi gaya hidup, bahkan diorganisir dan dilokalisir menjadi industri bisnis yang mendatangkan keuntungan yang sangat besar baik di kota-kota besar maupun kota-kota kecil. Bahaya zinapun bukan saja menjadi sumber penyebab keretakan rumah tangga hingga perceraian namun berkembang menjadi penyebab penyakit HIV AIDS yang mematikan itu.

Sebenarnya zina sebagai suatu kemungkaran telah dirasakan oleh manusia sejak masa dahulu seperti ketika Maryam menggendong bayi (putranya Isa bin Maryam), padahal Maryam belum mempunyai suami karena memang belum menikah, maka kaumnya menuduh Maryam telah berbuat kemungkaran (zina) seperti yang disebutkan dalam QS Maryam: 27
                                                                                           يَا مَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئًا فَرِيًّا

’Hai Maryam sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar (fariyya).’


3) Membunuh

Sebelum nabi Musa as mengikuti Khidir, sudah diberi syarat oleh Khidir agar Musa tidak mempertanyakan apa yang dilakukan Khidir sebelum diberi penjelasan. Ketika Khidir membocorkan perahu, Musa tidak sabar dan menanyakan alasan pembocoran itu kepada Khidir. Begitu pula ketika Khidir membunuh seorang pemuda, Musa berkata ”mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau telah melakukan perbuatan yang mungkar (nukra)’ (QS al-Kahfi: 74)

Ketiga jenis perbuatan yang disebutkan di atas hanya sebagian kecil jenis kemungkaran. Karena masih banyak jenis kemungkaran lainnya, seperti:
  • Zihar terhadap isteri (istri dibiarkan terlantar, tidak diberi nafkah lahir dan batin tetapi tidak diceraikan). Zihar tersebut mengakibatkan penderitaan lahir dan batin bagi istri, karena istri tidak memiliki kepastian tentang status dirinya. Pada satu sisi dia masih terikat pernikahan dengan suaminya namun pada sisi lain dia tidak mendapatkan hak-haknya sebagai istri sah (baik nafkah lahirian, maupun nafkah batin). Hal itu menyebabkan istri dalam kondisi dilematis. Penderitaannya tak diketahui secara pasti akan berakhir, apalagi dia juga tidak bisa menikah dengan laki-laki lain lantaran dia masih terikat pernikahan dengan suami yang telah menziharnya. Begitu juga sikap 'ila yang dilakukan suami kepada istrinya yang menyebabkan istri tersiksa, statusnya terkatung-katung. Hanya berstatus sebagai istri sah namun tidak mendapatkan hak-haknya. Hal yang sama suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, maupun penelantaran rumah tangga. Dalam kaitan ini suami telah melakukan kemungkaran. 
  • Mencuri, sebagai suatu tindakan mengambil barang orang lain secara diam-diam untuk dimiliki secara melawan hukum tanpa diketahui pemiliknya. Tindakan pencurian merupakan salah satu jenis kemungkaran yang telah diketahui oleh semua manusia pada semua tempat dan setiap zaman. Seiring dengan perkembangan zaman, term pencurian berkembang menjadi lebih luas berupa suap, gratifikasi baik bentuk uang, barang maupun seks, korupsi. Akibat kerugian yang disebabkan pencurian pada dasarnya lebih kecil dibandingkan dengan suap, gratifikasi dan korupsi. Dengan demikian suap, gratifikasi dan korupsi merupakan kemungkaran seperti halnya pencurian.
  • Meminum minuman keras dan mengkonsumsi narkoba. Pada zaman dahulu kemungkaran yang terjadi hanya melalui minuman keras yang lebih dikenal bangsa Arab zaman jahiliah dengan khamar, yang dilarang karena memabukkan. Dalam konteks kekinian, melakukan jual beli wanita untuk kepentingan seks komersial. Hal yang sama adalah premanisme yang marak terjadi dalam masyarakat yang mengakibatkan korban cedera bahkan meninggal dunia.

B. Ciri Kemungkaran

Kemungkaran ditandai dengan adanya sikap melampaui batas, sebagaimana pernah dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani (al-Ankabut: 45). Kemungkaran itu merugikan orang lain dan diri sendiri. Hati nurani manusia bisa merasakan keberadaan sesuatu yang munkar. Pelaku kemungkaran tidak akan merasakan ketenteraman dan ketenangan karena hal itu bertentangan denga nurani dan fitrah manusia. Tegasnya, kemungkaran adalah perbuatan dosa.

Dengan demikian ciri khas perbuatan mungkar adalah perbuatan yang bernuansa melanggar etika dan hukum Islam atau menimbulkan kerugian baik kepada orang lain maupun diri sendiri serta mengandung nilai dosa. Dalam kaitan ini Nabi saw telah memberikan tanda (parameter) untuk mengetahui suatu perbuatan dosa, yakni ”suatu perbuatan yang malu jika diketahui orang lain.” Sehingga bisa diketahui atau dideteksi oleh hati nurani yang bersih. Karena itu akan menimbulkan rasa bersalah dalam hati setelah perbuatan itu dilakukan. Namun tingkat kekuatan deteksi hati nurani  akan menurun atau lemah jika yang bersangkutan telah terbiasa melakukan kemungkaran atau dosa.

C. Dakwah Penanggulangan Kemungkaran

Pada prinsipnya kemungkaran harus diberantas. Minimal diminimalisir dalam kehidupan manusia. Dalam kaitan upaya yang harus dilakukan dapat dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap preventif dan kuratif.

Tindakan preventif terhadap bahaya kemungkaran dapat dilakukan untuk kehidupan individu, maupun kelompok masyarakat. Sebagai upaya preventif Allah memberi resep agar manusia terhindar dari kemungkaran dengan melakukan shalat seperti firman Allah dalam QS al-Ankabut: 45
                                                               إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ 

”Sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.’

Shalat dapat menghindarkan manusia dari kemungkaran karena salat merupakan media komunikasi antara seorang hamba (manusia) dengan Allah serta memberikan kesadaran tentang pengawasan Allah terhadap segala tutur kata dan tindakannya. Walaupun tutur kata atau perbuatannya tidak didengar, dilihat atau diketahui orang lain namun dia sadar bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Jangkauan CC TV Allah maha luas, mampu menjangkau segala sesuatu yang dilakukan manusia di mana dan kapan saja, sehingga tidak ada peluang lepas dari pantauan kamera CC TV Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat itu. 

Akan tetapi saat ini banyak orang yang melakukan gerakan shalat tetapi sekaligus menjadi pelaku kemungkaran. Hal itu mengisyaratkan bahwa mutu salatnya belum sesuai dengan standar yang diinginkan Allah swt.

Menurut hukum Islam untuk menghindari kemungkaran dan menanggulangi kemungkaran yang sudah terjadi adalah melalui dakwah amar ma’ruf nahi munkar yakni memerintahkan kepada yang makruf (perbuatan baik) dan melarang yang mungkar (perbuatan dosa). Tegasnya, amar ma’ruf nahi munkar, adalah memerintahkan atau mengajak diri sendri dan orang lain melakukan hal-hal yang dipandang baik oleh agama, dan melarang/mencegah diri sendiri dan orang lain dari melakukan hal-hal yang dipandang buruk oleh agama.[2]

Amar ma’ruf nahi munkar menurut ulama adalah merupakan kewajiban atau fardu kifayah dan bahkan ada yang menganggapnya sebagai fardu ’ain bagi setiap muslim. Hal itu didasarkan kepada QS Ali Imran: 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

’Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.’

Demikian juga diperkuat dalam hadis Nabi saw

قَالَ أَبُو سَعِيدٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ[3]


’Abu Sa’id berkata; saya mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu (berbuat demikian), maka ubahlah dengan lisannya. Maka jika tidak mampu (berbuat demikian juga), maka ubahlah dengan hatinya (mendoakan), yang demikian adalah selemah-lemah iman.’ (HR Nasai)

Menurut Ibn Taimiyah makna hadis ini adalah mengubah dengan tangan yaitu dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar melalui kekuasaan. Atas dasar itu, amar ma’ruf nahi munkar dalam kasus seperti ini menjadi wewenang wilayat al-hisbah yang dijalankan oleh petugasnya yang disebut dengan muhtasib. Tugas amar ma’ruf nahi munkar bagi muhtasib ini hukumnya fardu ’ain (kewajiban individu).

Melakukan amar ma’ruf nahi munkar melalui lisan dan hati merupakan tugas setiap muslimin, sehingga hukumnya menjadi fardu kifayah (kewajiban kolektif), yang jika sudah dilakukan sebagian kaum muslimin, maka gugurlah kewajiban kaum muslimin yang lain. Al-Gazali juga berpendapat sama bahwa amar ma’ruf nahi munkar bagi setiap muslim adalah fardu kifayah. Al-Gazali menafsirkan kata ”min” dalam QS Ali Imran: 104 mengandung makna tab’id (sebagian).[4]

Menurut al-Gazali, amar ma’ruf nahi munkar dalam kerangka wilayat al-hisbah harus memenuhi 4 syarat, yakni (1) al-muhtasib (petugas khusus yang ditunjuk untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar); (2) al-muhtasab fih (perbuatan yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar); (3) al-muhtasab ’alaih (orang yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar); dan (4) nafs al-muhtasib (pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar).

Syarat al-muhtasib ada 4: (1) mukallaf: orang Islam yang telah dibebani tanggung jawab keagamaan, jika ia sudah berusia balig dan berakal; (2) beriman; (3) adil, dan (4) mampu melakukan tugas amar ma’ruf nahi munkar baik dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya, baik secara langsung maupun melalui tulisan.

Perbuatan mungkar yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar (al-muhtasab fih), harus memenuhi 4 syarat:

1) Yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar hendaklah perbuatan yang benar-benar mungkar, yakni dilarang oleh agama, siapa pun pelakunya. Misalnya seorang anak kecil yang ditemukan sedang meminum khamar atau seorang pria gila yang ditemui sedang berzina dengan wanita yang gila.

2) Perbuatan mungkar itu terjadi di hadapan al-muhtasib atau perbuatan itu tidak terjadi di hadapannya tetapi diketahuinya melalui qarinah (tanda-tanda penguat) yang menunjukkan adanya perbuatan mungkar tersebut, atau ada pengaduan dari orang yang dirugikan dengan bukti-bukti yang nyata.

3) Perbuatan mungkar itu diketahui dengan jelas oleh al-muhtasib bukan atas dasar isu atau desas desus, karena pengetahuan yang didasarkan pada isu dan desas desus dilarang oleh Allah dalam QS al-Hujurat/49: 12
وَلا تَجَسَّسُوا
   ’...Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain

4) Perbuatan mungkar itu diketahui secara pasti, bukan atas dasar ijtihad. Sebab sesuatu yang dipandang buruk berdasarkan ijtihad seseorang, bukan akan dipandang baik oleh orang lain.

Orang yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar (muhtasab ’alaih) mencakup semua manusia dengan segala bentuk kepercayaan dan profesinya, baik mukallaf atau bukan, pria atau wanita mencakup semua lapisan sosial.

Tindakan amar ma’ruf nahi munkar mencakup beberapa tingkatan, yakni:

1) al-Ta’ruf, yaitu upaya untuk mengenal kemungkaran secara jelas dan obyektif, bukan melalui isu dan desas desus.

2) al-Ta’rif, yaitu memperkenalkan hal yang ma’ruf kepada orang yang melakukan perbuatan mungkar karena mungkin ia berbuat demikian karena dia tidak tahu terhadap yang ma’ruf.

3) Mencegah perbuatan yang mungkar dengan pengajaran yang baik dan nasehat-nasehat yang bijaksana serta mengemukakan takhwif bi Allah, yaitu bagaimana siksaan Allah atas orang yang melakukan kemungkaran.

4) Al-Sabb wa ta’nif (mencerca dan bertindak tegas) atas pelaku perbuatan mungkar dengan kata-kata yang keras dan kasar. Hal ini ditempuh jika telah dilakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara halus dan lembut. Cara terakhir ini pernah dilakukan oleh nabi Ibrahim dengan ucapannya: ”ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah.’[5]

Berdasarkan uraian di atas tampaknya tidak layak melakukan tindakan anarkis dalam memberantas kemungkaran. Karena akan menimbulkan ironi kemungkaran diatasi dengan kemungkaran pula. Hal itu tentu berbeda dengan tindakan tegas dari aparat penegak hukum (mirip al-muhtasib) terhadap pelaku kemungkaran.

Bahkan menurut al-Qur’an dakwah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan tiga metode yaitu (1) mengemukakan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil), (2) pengajaran yang baik, dan (3) diskusi atau berdebat, sesuai QS al-Nahl/6: 125




ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ 
’Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.’


  Statemen al-Qur’an ini tidak mengisyaratkan penggunaan tindakan anarkis dalam memberantas kemungkaran. Penggunaan tindakan anarkis dalam pemberantasan kemungkaran bukanlah suatu langkah yang Islami (amar ma’ruf nahi munkar). Justru tindakan itu merupakan amar munkar, dan bukan nahi munkar. Karena itu pemberantasan kemungkaran tetap harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan etika dan hukum Islam atau tidak melanggar etika dan hukum Islam.
Namun demikian tindakan tegas dalam memberantas kemungkaran tidak identik/tidak bisa disamakan dengan tindakan anarkis.  Sebab dalam realitas kehidupan umat Islam dewasa ini, seringkali muncul perilaku kemungkaran yang dilakukan secara terang-terangan. Bahkan dipertontonkan kepada khalayak ramai, seolah-olah sebagai perilaku yang lumrah. Sebab standar lumrahnya suatu perbuatan bukan semata-mata berdasarkan adat istiadat, namun ditentukan oleh aturan syariat bagi muslim. Sikap tegas sekali lagi bukanlah anarkis, sebab aturan hukum pada hakekatnya bersifat MEMAKSA. Hal itu menunjukkan bahwa setiap muslim wajib tunduk dan patuh kepada perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya. 




















[1]Ahmad Hariady, “Munkar,” Tafsir Kunci Al-Qur’an, http://katakuncialquran.wordpress.com/ 2007/07/12/munkar (30-9-2012)
[2]Lihat Abdul Azis Dahlan, et al. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 1 (Cet. I; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h.104.
[3] CD Digital Hadis Sunan al-Nasai, kitab al-iman wa Syara’ih nomor hadis 3922
[4] Lihat Abdul Azis Dahlan, et al, op.cit., h. 104-105.


[5] Lihat ibid., h.106.


Catatan Tambahan:

Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul: PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: In Indonesia Criminal Law and Islamic Law yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman. Buku tersebut dapat dibeli toko buku online mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman seharga 74,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini: http://www.morebooks.de/store/bookprice_offer/show?token=58128ac02eb5828663bd59fe736ca2a9941d106a&auth_token=d3d3LmxhcC1wdWJsaXNoaW5nLmNvbToyZWQxNTcyMDM5M2YwMDMzYzhkYjE2MjFiYmJjYjQ3Zg==&locale=gb

Kamis, 13 Juni 2013

Mengapa wudu disyariatkan diulang 3 kali


MENGAPA ISLAM MENSYARIATKAN WUDU DIULANG 3 KALI DAN
MEMBACA TASBIH, TAHMID DAN TAKBIR 33 KALI?

Oleh: Dr. La Jamaa, MHI

          
    Berdasarkan hadis para ulama menetapkan bahwa anggota wudu disunatkan dibasuh/disapu 3 kali. Pengulangan wudu sebanyak 3 kali sebagai bagian dari sunat wudu pada satu sisi harus diterima apa adanya, sebagai ta'abbudi (menjadi bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya). Oleh karena itu tidak perlu ditelaah nilai-nilai ta'aqquli (hikmah dan nilai rasionalitas)nya.
      Namun sejalan dengan spirit hadis Nabi Muhammad saw bahwa ad-dinu huwa al-'aqlu la dina li man la 'aqla lahu (agama Islam sejalan dengan rasionalitas dan tidak dianggap sempurna agamanya bagi orang yang tidak menggunakan akal/rasionya), ketentuan wudu yang disunatkan diulang 3 kali tersebut perlu dicermati lebih lanjut. Pertanyaan yang bisa muncul adalah mengapa pengulangan wudu bukan 4 kali atau 2 kali, mengapa 3 kali. Demikian pula zikir membaca tasbih, tahmid dan takbir yang biasa dibaca ba'da shalat lima waktu itu diulang 33 kali dan mengapa bukan 30 kali atau angka-angka lainnya?

    Anjuran Nabi Muhammad saw perlu dianalisis dalam rangka lebih memantapkan dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah swt, dan bukan bermaksud untuk meragukan kebenaran ajaran Islam.Tulisan ini menggunakan pendekatan matematika khususnya kuadrat angka-angka 3. Ilustrasinya seperti di bawah ini:
     
32 = 9
332 = 1089
3332 = 110889
33332 = 11108889
333332 = 111108889
3333332 = 111110888889
33333332 = 11111108888889
333333332 = 1111111088888889
3333333332 = 111111110888888889

     Dari data di atas dapat dilihat bahwa kuadrat angka 3 selalu berakhir pada angka 9, bahkan hasil kuadrat angka-angka 3 itu jika dijumlahkan maka akan berakhir pada angka 9 juga. Buktinya:

332 = 1089                          : 1+0+8+9 = 18,  1+8 = 9
3332 = 110889                    : 1+1+0+8+8+9 = 27,   2+7 = 9
33332 = 11108889              : 1+1+1+0+8+8+8+9 = 36,     3+6 = 9
333332 = 111108889          : 1+1+1+1+0+8+8+8+8+9 = 45,   4+5 = 9
3333332 = 111110888889  : 1+1+1+1+1+0+8+8+8+8+8+9 = 54,  5+4 = 9

    Di samping itu hasil kuadrat angka-angka 3 selalu berawal dari angka 1 dan berakhir dengan angka 9. Angka 1 simbol dari keesaan Allah dan angka 9 adalah simbol asmaul husna.
     Dengan demikian pensyariatan wudu diulang 3 kali mengandung pelajaran bahwa wudu merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, Zat Yang Maha Esa. Allah adalah mahasuci sehingga seorang hamba harus suci sebelum bermunajat kepada-Nya. Jelasnya, bahwa untuk mencapai kedekatan dengan Allah, seorang hamba harus mensucikan dirinya secara maksimal baik lahir dan batin serta dilakukan secara kontinyu. Sifat kontinyuitas itu ditunjukkan dengan adanya kewajiban berwudu setiap seseorang berada dalam kondisi hadas. Itu bermakna pula, bahwa usaha mensucikan diri dari hadas fisik dan rohani idealnya dilakukan secara terus-menerus seiring dengan memudarnya kesucian yang disebabkan oleh hadas fisik (hadas kecil) dan hadas rohani (dosa) yang bersangkutan.

      Allah memiliki 99 nama yang agung (asmaul husna). Berzikir membaca tasbih, tahmid dan takbir diulang 33 kali erat kaitannya dengan upaya penyegaran pikiran dan hati kepada Allah. Karena hati dan pikiran manusia senantiasa berubah baik menuju kepada dimensi ketakwaanl maupun mengarah ke dimensi fujur (kemaksiatan). 

Wudu itu sendiri memiliki kaitannya dengan usaha pembersihan anggota badan yang memiliki peranan penting dalam tutur kata dan perbuatan manusia yang dilakukan oleh tangan, mulut, mata, telinga, otak dan kaki. Dalam realitasnya aktivitas yang diperankan oleh tangan tak selamanya melakukan perbuatan kebajikan namun tangan sering digunakan untuk memegang/menyentuh tangan yang haram disentuh, mengambil barang yang haram diambil (dari milik orang lain) dan memberikan barang haram kepada orang lain. Mulut tak selamanya mengucapkan kata-kata yang baik dan bijak serta bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, namun mulut juga sering mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain bahkan mengeluarkan kata-kata yang menghasut dan memprovokasi orang/kelompok lain sehingga terjadi pertikaian dan pembunuhan. Mata yang terletak pada wajah juga memiliki peran dalam kebaikan dan kejahatan. Mata tak selamanya digunakan untuk melihat hal-hal yang baik, membaca hal-hal yang bermanfaat namun seringkali mata digunakan untuk melihat hal-hal tercela dan dosa. Otak yang terletak di kepala juga tak hanya memilikirkan hal-hal yang maslahat bagi manusia dan kemanusiaan namun otak (akal) disalahgunakan untuk memperdaya, menipu dan merencanakan tindakan-tindakan jahat yang bisa membahayakan orang lain dan bahkan bisa mengakibatkan pembunuhan. Telinga yang seharusnya dimanfaatkan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, nasehat kebajikan serta ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan manusia dan kemanusiaan namun telinga justru terkadang disalahgunakan untuk mendengarkan nyanyian yang melalaikan dari zikir kepada Allah, mendengarkan  provokasi, serta kata-kata yang bernuansa dosa. Begitu juga kaki seringkali dilangkahkan ke tempat maksiat. 

        Dalam konteks itu Nabi saw menginformasikan nilai spiritual wudu yakni membersihkan dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan oleh anggota-anggota wudu tersebut. Sehingga sekiranya manusia bisa melihat kotoran dosa yang mengalir bersama sisa-sisa air wudu, maka mereka akan merasa jijik. Maksudnya, bahwa menurut informasi Nabi saw, dosa-dosa kecil yang dilakukan seseorang muslim akan keluar dan mengalir bersama sisa-sisa air wudu.

     Dengan demikian Nabi Muhammad saw menganjurkan umat Islam membasuh anggota wudu 3 kali dan membaca tasbih, tahmid dan takbir 33 kali tersebut bukanlah suatu kebetulan yang tanpa makna. Namun sebaliknya, angka-angka tersebut memiliki nilai transenden (nilai ilahiah). Sehingga umat Islam senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaaan, baik melalui ayat yang tertulis maupun ayat yang tak tertulis. Hal itu menunjukkan, bahwa integrasi antara Islam dan sains adalah merupakan suatu keniscayaan, bahkan dalam hal-hal muamalah justru merupakan suatu keharusan terutama dalam konteks kekinian. 

Wallahu a'lam bi shawab.


Catatan Tambahan:


Bagi yang berminat mengkaji, meneliti atau mendampingi korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam perspektif hukum pidana Indonesia maupun hukum Islam, dapat membaca buku saya yang berjudul "PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS:  Perspective Indonesian Criminal Law and Islamic Law," yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing, Jerman. 
Buku tersebut dapat dibeli di toko buku online, Morebooks, mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman seharga 59,90 Euro. Untuk jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini:
 ttps://www.morebooks.de/store/de/book/protection-of-the-rights-of-domestic-violence-victims/isbn/978-3-8484-8749-3