Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Selasa, 06 November 2018

SHALAT


SHALAT

A. PENGERTIAN SHALAT

Secara etimologis, shalat berarti doa atau doa meminta kebaikan, yaitu permohonan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia dan akherat kepada Allah, seperti yang diisyaratkan dalam QS al-Taubah: 103
‘Dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.’
Kata ash-shalah, dalam ayat di atas bermakna doa, atau permohonan.
Permohonan dalam shalat tidaklah sama dengan permohonan di luar shalat sebab di dalam shalat telah diatur dengan tata cara yang baku yang tidak boleh dikurangi ataupun ditambah.
Secara terminologis, shalat ialah ibadah yang terdiri dari rangkaian perkataan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam beserta mengerjakan syarat dan rukunnya dengan niat untuk mendapatkan keredaan Allah.
B. SYARAT SAH SHALAT
1. Mengetahui masuknya waktu shalat (berdasarkan persangkaan yang kuat), berdasarkan firman Allah dalam:
    a. QS al-Nisa: 103
 

‘Sesungguhnya shalat itu suatu kewajiban bagi orang-orang beriman yang telah ditentukan waktunya.’
b. QS. Hud: 114

‘Dirikanlah shalat pada dua penghujung siang dan pada sebagian dari waktu malam. Sesungguhnya kebaikan itu menghapus kejahatan, demikian itu merupakan peringatan bagi orang-orang yang mau ingat.’
Keterangan:
Menurut al-Hasan, shalat pada dua penghujung siang itu adalah shalat subuh dan ashar, sedangkan shalat pada sebagian dari waktu malam, ialah dua shalat yang berdekatan, yaitu shalat magrib dan isya. 
c. QS al-Isra: 78

‘Dirikanlah shalat pada waktu tergelincir matahari sampai mulai gelap malam, begitupun shalat fajar, karena sesungguhnya shalat fajar itu ada yang menyaksikannya.’
Maksud dari ‘shalat pada waktu tergelincir matahari’: shalat zuhur. Sedangkan yang dimaksud ‘sampai mulai gelap malam’: shalat asar, magrib dan isya.
2. Suci dari hadas kecil (dengan wudu) dan hadas besar (dengan mandi junub) berdasarkan firman Allah dalam QS al-Maidah: 6
‘Hai orang-orang beriman jika kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu lalu basuh kakimu sampai kedua mata kaki. Dan jika kamu dalam keadaan junub, maka hendaklah kamu bersuci.’
Juga hadis Nabi saw:  
(رواه الجماعة) صلاة بغير طهور     الله  لا يقبل
      ‘Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci’ (HR Jamaah ahli hadis)
3. Suci badan, pakaian dan tempat shalat dari najis yang kelihatan, bila itu mungkin, sesuai firman Allah dalam QS al-Mudatssir: 4

          ‘Dan pakaianmu hendaklah engkau bersihkan.’
4. Menutup aurat, sesuai firman Allah dalam QS al-A’raf: 31
     Hai manusia pakailah perhiasan (pakaian)mu setiap kamu ke masjid.’
5. Menghadap kiblat, sesuai firman Allah dalam QS al-Baqarah: 144
 

فول وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره
‘Maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram dan di manapun kamu berada hadapkanlah wajahmu ke arahnya.’
C. RUKUN SHALAT
1. Niat mendirikan shalat karena Allah sesuai hadis segala perbuatan dibalas sesuai niatnya ( انما الأعمال بالنيات )
2. Berdiri jika mampu, sesuai QS al-Baqarah: 238  فانتين وقموا لله  (berdirilah untuk Allah dalam (shalatmu) dengan khusyu)
3. Takbiratul ihram
4. Membaca surat al-Fatihah, sesuai hadis لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب (tidak sah salat bagi orang yang salat tanpa membaca surat al-Fatihah)
5. Ruku’ secara thuma’ninah
6. I’tidal (bangkit dari ruku’) secara tuma’ninah
7. Sujud secara tuma’ninah
8. Duduk antara dua sujud secara tuma’ninah
9. Duduk Tahiyatul akhir
10. Membaca doa tasyahhud akhir
11. Membaca salawat Nabi
12. Memberi salam ke sebelah kanan
13. Tertib
Keterangan:
Perbedaan antara syarat sah shalat dengan rukun shalat:
* Syarat sah shalat bukan bagian dari perbuatan shalat, sehingga boleh dilakukan sebelum shalat sedangkan rukun shalat adalah bagian dari perbuatan shalat itu sendiri. Karena itu tidak boleh dilakukan sebelum perbuatan shalat, meskipun dengan tenggang waktu yang relatif singkat.
* Karena itu menurut sebagian ulama, niat shalat harus dikerjakan bersamaan dengan membaca takbiratul ihram sebab niat merupakan bagian dari rukun shalat.
D. AKIBAT HUKUM MENINGGALKAN SHALAT
1. Meninggalkan shalat dengan menolak dan menentang wajibnya shalat menyebabkan kafir dan keluar dari agama Islam (kafir i’tikad) berdasarkan ijma kaum muslimin.
2. Meninggalkan shalat karena lalai, alpa tanpa uzur syar’i namun masih mengakui wajibnya shalat menyebabkan kufur ni’mat atau fasik dan tidak kafir.
      Berdasarkan hadis Nabi saw:

     a.                العهد الذى بيننا و بينهم الصلاة  فمن تركها فقد كفر                                            
‘Janji yang terikat erat antara kita dengan mereka (non muslim) adalah shalat. Maka barangsiapa yang meninggalkan shalat, berarti dia telah kafir.’ (HR Ahmad)
b. بين الرجل  و بين الكفرترك الصلاة                                                                                 
   ‘Batas antara seseorang dengan kekafiran adalah shalat.’
E. BEBERAPA PERILAKU SALAH DALAM SHALAT
    1. HAL-HAL YANG DILARANG SEBELUM SHALAT
a. Menahan lapar
    Untuk tercapainya target shalat (khusyuk), selain dilarang makan dan minum juga dilarang menahan lapar, sesuai hadis Nabi saw
لا صلاة بحضرة الطعام ولا وهو يدافعه الآخبثان
‘Tidak ada salat bagi orang yang telah dihidangkan makanan dan tidak ada shalat pula bagi orang yang kebelet ke WC (buang air seni/air besar).’ (HR Muslim)
b. Menahan Buang air
         Selain berdasarkan hadis di atas, juga didasarkan pada hadis Nabi saw
اذا اقيمت الصلاة ووجد أحد كم الخلاء فليبدأ به قبل صلا ته  
‘Jika shalat telah qamat, padahal di antaramu ada yang menahan buar air, maka buang airlah dahulu sebelum kamu shalat.’ (HR Bukhari dan Muslim)
c. Menahan kantuk
         Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw
 اذا نعس أحد كم فلير قد حتى يذهب عنه النوم فا نه اذا صلى و هو ناعس لعله يذهب يستغفرفيسب نفسه
 ‘Jika seseorang mengantuk, hendaklah ia tidur hingga hilang rasa kantuknya. Sebab jika ia meneruskan shalatnya, yang seharusnya memohon ampun kepada Allah, tetapi ia justru memaki-maki dirinya sendiri.’
    2. HAL-HAL YANG DILARANG DALAM SHALAT
a. Berkata-kata/berbicara
         Didasarkan pada hadis Nabi saw
كنا نتكلم فى الصلاة يكلم الرجل منا صاحبه وهو الى جنبه فى الصلاة حتى نزلت: و قموا الله قانتين فأ مرنا بالسكوت و نهينا عن الكلام
‘Dalam suatu (kesempatan) shalat kami berbicara. Masing-masing berbicara dengan teman di sampingnya, sehingga turun ayat: wa qumu lillahi qa-nitin (dan lakukanlah shalat dengan khusyu karena Allah), maka kamipun diperintahkan diam dan dilarang berkata-kata/berbicara (oleh Nabi saw).’
b. Banyak gerak tanpa ada keperluan penting/mendesak
c. Meludah
d. Menguap karena menguap itu godaan setan. Jika menguap hendaklah ditutup mulutnya dengan tangan
e. Memejamkan mata
f. Mencuri dalam shalat (tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya)
g. Bersikap seperti unta ketika hendak sujud/bangkit dari sujud (mendahulukan tangan dari lutut ketika hendak sujud dan mendahulukan pantat dari badan ketika bangkit dari sujud)
h. Bersikap tergesa-gesa
i. Mendahului imam
j. Memain-mainkan baju/garuk badan tanpa keperluan.
F. HIKMAH SHALAT
1. Shalat merupakan rukun Islam yang kedua setelah mengucapkan dua kalimah syahadat, sehingga menjadi pembeda antara orang beriman dengan yang tak beriman sesuai hadis Nabi saw: “Yang membedakan antara seseorang yang beriman dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”
     Juga hadis Nabi saw: as-shalatu ‘imadud din fa man aqamaha faqad aqamad din wa man hadamaha faqad hadamad din (shalat itu tiang agama. Barangsiapa mendirikan shalat, maka sungguh dia telah menegakkan agama dan barangsiapa yang melalaikan shalat, maka sungguh dia telah meruntuhkan agamanya).
2. Shalat disyariatkan sebagai salah satu cara umat manusia untuk mensyukuri nikmat Allah yang tak terhingga ini.
3. Faedah keagamaan shalat di antaranya membangun hubungan yang baik antara manusia dengan Allah. Dalam shalat kenikmatan munajat kepada sang pencipta akan terasa, pengabdian kepada Allah dapat diekspresikan, disertai penyerahan segala urusan kepada-Nya. Dengan mendirikan shalat, seseorang akan mendapat keamanan, kedamaian dan keselamatan dari Allah. Shalat akan mengantarkan seseorang menuju kesuksesan, kemenangan dan pengampunan dari segala kesalahan dari Allah sesuai firman Allah dalam QS al-Mu’minun: 1-2
قد أفلح الموءمنون الذين هم فى صلاتهم خاسعون 
       ‘Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya.’
4. Faedah sosial kemasyarakatan dari shalat, di antaranya: anggota masyarakat yang rajin mendirikan shalat akan memiliki jiwa solidaritas yang kuat dan persatuan dalam masyarakat serta kesatuan pikiran.
G. KEUTAMAAN SHALAT
1. Berdasarkan rukun-rukunnya, shalat memiliki dimensi:
    a. Dimensi afektif, shalat menimbulkan  perasaan-perasaan dan daya emosi yang khas dan kuat yang diperoleh dari rukun qalbiyah shalat berupa niat dan kekhusyu’an.
    b. Dimensi kognitif, shalat menimbulkan efek pengenalan, pikiran dan daya cipta yang luar biasa yang diperoleh dari rukun qauliyah shalat (mengucapkan takbir, membaca surat al-Fatihah, tasbih ruku dan sujud, doa antara dua sujud, tasyahhud, salawat Nabi serta salam).
    c. Dimensi psikomotorik, shalat menimbulkan kemauan, gerak dan daya karsa yang mantap yang diperoleh dari rukun fi’liyah shalat (berdiri, ruku, dan sujud serta duduk dalam shalat).
2. Berdasarkan motivasi, shalat mempunyai dua dimensi:
    a. Dimensi intrinsik: kepribadian yang dibentuk/didorong oleh kewajiban mendirikan shalat sendiri tanpa dikaitkan dengan kebutuhan pribadi. Inisiatif mendirikan shalat didasarkan atas kewajiban melaksanakan ajaran agama, baik kewajiban itu relevan atau tidak dengan kebutuhannya. Dimensi ini terbentuk dari pelaksanaan shalat wajib (shalat 5 waktu) dan shalat rawatib.   
   b. Dimensi ekstrinsik: kepribadian yang dibentuk/didorong oleh kebutuhan orang yang shalat. Seseorang yang mempunyai kebutuhan terhadap sesuatu, maka kebutuhan tersebut akan merangsangnya untuk melaksanakan shalat. Hal ini diperoleh dari pelaksanaan shalat sunat.
         Shalat sunat juga mempunyai makna perluasan diri yang berfungsi menyempurna-kan shalat wajib. Menurut Alport, bahwa kepribadian yang matang adalah kepribadian yang memiliki perluasan diri. Artinya, hidup ini tidak hanya terikat secara sempit pada sekumpulan aktivitas-aktivitas yang erat hubungannya dengan kebutuhan dan kewajiban pokok.
          Shalat wajib lima waktu merupakan kewajiban dan kebutuhan pokok, sedangkan shalat sunat merupakan perluasan/penyempurnaannya.
3. Berdasarkan pelaksanaannya, shalat mempunyai 4 dimensi:
    a. Shalat harian seperti shalat wajib 5 waktu, cara kerjanya bersifat harian dan rutinitas dalam meraih program kerja jangka pendek. Hal ini dibutuhkan untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari baik untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dengan shalat sendirian, maupun untuk kebutuhan keluarga kecil/besar melalui shalat berjamaah.
    b. Shalat mingguan (shalat jumat), cara kerjanya bersifat mingguan dalam meraih program kerja jangka menengah. Hal ini membutuhkan konsolidasi antar anggota masyarakat di suatu perkampungan minimal berjumlah 40 orang. Karenanya diperlukan pencerahan diri terlebih dahulu melalui pembinaan semacam doktrin (khutbah) untuk menyamakan persepsi yang beraneka ragam.
    c. Shalat tahunan (idul fitri dan idul adha), cara kerjanya bersifat tahunan dalam meraih program kerja jangka panjang. Hal ini membutuhkan penggalangan massa sebanyak-banyaknya, tanpa membedakan jenis kelamin dan perbedaan usia, sehingga dianjurkan dilaksanakan di lapangan/alun-alun, agar massa lebih banyak berdiskusi dalam menyusun program jangka panjang.
    d. Shalat seumur hidup sekali, yaitu shalat sunat tasbih.





PERSIAPAN MENUJU PERNIKAHAN


PERSIAPAN MENUJU PERNIKAHAN

Dr. La Jamaa, MHI

A. TA’ARUF

Pernikahan merupakan dasar dan awal pembentukan masyarakat. Karena itu calon suami istri dianjurkan untuk saling mengenal. Dalam kaitan inilah sebelum pernikahan dilaksanakan, pada masa persiapan menuju pernikahan, ada tahapan ta’aruf.
Ta’aruf artinya saling mengenal kepribadian masing-masing calon suami istri menurut cara yang sebaik-baiknya, atau dengan cara memandang wajah serta kedua telapak tangannya dan dengan berbicara secara musyafahah.
Laki-laki dianjurkan melihat perempuan yang akan dipinangnya agar ia dapat menentukan pilihan apakah peminangan itu perlu diteruskan atau diurungkan. Peminangan perlu dilakukan untuk kemaslahatan dalam kehidupa berumah tangga, kesejahteraan dan kesenangannya.
Dalam Islam melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
’Dari Mughirah bin Syu’bah, dia pernah meminang seorang perempuan, lalu Nabi saw bertanya kepadanya, ”apakah kau sudah melihat dia? Karena melihat perempuan (yang dipinang itu) akan dapat mengantarkan kamu bisa hidup bersama lebih langgeng.”                              (HR Turmizi)
Hadis lain mengungkapkan:
اذا خطب أحد كم المرأة فاءن استطاع أن ينظر منها الى ما يدعوه الى نكاحها فليفعل                              
‘Bila seseorang di antara kalian mau meminang seorang perempuan dan sanggup dia melihat darinya sesuatu yang menarik untuk menikahinya, maka hendaklah dia lakukan.’ (HR Abu Daud dari Jabir bin Abdullah)
Hadis di atas menjadi dalil kebolehan untuk melihat antara kedua calon mempelai. Hal itu relevan dengan prinsip hukum Islam yang telah meletakkan dasar bahwa pernikahan itu harus ditegakkan atas suka sama suka dan rela sama rela. Tidak dibenarkan adanya unsur paksaan atau pemerkosaan hak asasi masing-masing dari kedua mempelai. Sebab itu calon suami istri dianjurkan melihat calonnya dari dekat, bahkan dikenal adanya approach (pendekatan), saling mengenal satu sama lain, sehingga terjadi kesepakatan untuk membina rumah tangga. Cara melihat yang seperti itu boleh tanpa sepengetahuan oleh calon istri, sesuai hadis Nabi saw:
اذا خطب أحد كم امرأة فلا جناح عليه أن ينظر منها اذا كان انما ينظر اليها لخطبة و ان كانت لا تعلم                               
‘Jika seseorang di antara kamu bermaksud meminang seseorang perempuan, maka dibolehkan untuk melihat (sebagian)nya, jika melihatnya semata-mata untuk meminangnya sekalipun perempuan yang akan dipinang itu tidak mengetahuinya’ (HR Ahmad).
Hadis ini menjelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud akan menikahi seorang perempuan, disunatkan melihat calon istrinya sebelum meminangnya, meskipun tanpa seizinnya. Anjuran melihat calon istri bertujuan untuk lebih meyakinkan hati dan menimbulkan kemantapan. Sehingga tidak menyesal di kemudian hari serta menghindari “membeli kucing dalam karung” (kenal suaranya tetapi tidak kenal wujudnya). Di samping itu manfaat melihat calon istri atau suami adalah untuk menjaga kebaikan kehidupan, kesejahteraan dan ketenteraman rumah tangga. Dengan demikian dapat diketahui cacat celanya, sehingga mudah untuk memutuskan rencana pernikahan diteruskan atau dibatalkan.
Menurut al-A’masy seperti yang dikutip bahwa setiap pernikahan yang sebelumnya tidak saling mengetahui, sering berakhir dengan penyesalan dan gerutu. Namun demikian para fuqaha sepakat bahwa tidak boleh calon mempelai laki-laki melihat calon istrinya dengan berdua-duaan di tempat sepi dari pandangan umum, sebab duduk berduaan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrimnya dilarang oleh agama Islam. Tidak ada nash syar’i yang membolehkannya. Karena melihat calon calon dengan cara berdua-duaan larangannya berbentuk umum sesuai hadis Nabi saw: “Tidak boleh antara laki-laki dengan perempuan berdua-duaan, karena setan menjadi orang ketiga di antara mereka.”
Menurut Yusuf Qardawi, seorang laki-laki di zaman ini boleh melihat perempuan yang mau dipinangnya dengan pakaian yang boleh dilihat ayah dan saudara-saudaranya serta mahram-mahramnya. Si laki-laki boleh pergi bersama perempuan itu dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya dengan pakaian yang sesuai menurut ukuran syara’ ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui kecerdikannya, perasaannya dan kepribadiannya. Semua itu termasuk apa yang disebut dengan “sebagian (minha)” dalam hadis yang menyatakan “Kemudian melihat sebagian apa yang menarik dia untuk menikahinya.”
Jadi, melalui ta’aruf (saling berkenal) akan terjadi saling mengetahui dan mengenal sifat, bakat dan identitas antara keduanya. Di samping itu dapat diketahui juga keistimewaan dan kelebihan serta kekurangannya, memahami keadaan yang sewajarnya, mengenal suara hatinya dan mengenal cita-cita masa depannya. Dalam kaitan melihat calon pasangan ini, berlaku juga bagi calon istri, yakni istri berhak melihat calon suaminya.
Bagian badan perempuan yang boleh dilihat, menurut mayoritas ulama adalah bagian wajah dan telapak tangan. Dengan melihat wajah, dapat ditentukan cantik atau tidaknya perempuan yang dipinang. Wajah melambangkan kecantikan. Dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui subur atau tidaknya badan perempuan itu.
Sebagian ulama, seperti Abu Dawud mengatakan bahwa seluruh badan perempuan itu boleh dilihat kecuali kemaluannya. Tetapi ada juga ulama yang sama sekali melarangnya.
Adanya perbedaan pendapat itu disebabkan adanya suruhan untuk melihat perempuan secara mutlak, namun juga terdapat larangan secara mutlak pula. Ada juga suruhan yang bersifat terbatas, yakni hanya wajah dan kedua telapak tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenan dengan QS al-Nur: 31
Ÿو لا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها     
’... dan janganlah mereka menampakkan perhiasaanya kecuali yang (biasa) tampak darinya...’
Maksud kalimat ”perhiasan yang biasa tampak darinya” adalah wajah dan telapak tangan.
Di samping itu dianalogikan/diqiyaskan dengan kebolehan membuka wajah dan telapan tangan pada waktu berhaji. Hadis-hadis tentang melihat calon istri tidak menentukan tempat khusus, bahkan secara umum dikatakan agar melihat tempat-tempat yang diinginkan sebagai daya tarik untuk menikahinya.
Bila seorang laki-laki melihat pinangannya ternyata tidak menarik, hendaklah dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti hatinya, sebab boleh jadi perempuan yang tidak disenangi itu akan disenangi laki-laki lain. Karena itu waktu melihat calon istri atau calon suami dilakukan sebelum meminang. Sebab jika dilakukan setelah meminang kemudian dibatalkan, maka akan melukai hatinya. Namun, jika dilakukan sebelum meminang, maka tidak ada masalah kalau tidak dilanjutkan dengan meminang.
Sebenarnya melihat perempuan yang bukan mahram menurut hukum asalnya adalah haram, namun dibolehkan karena ada sesuatu hajat dan dalam keadaan darurat. Karena itu melihat perempuan yang akan dipinang sekedar yang perlu saja; yaitu pada wajah dan telapak tangan sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Namun mencermati realitas di era modern ini pergaulan perempuan dan laki-laki di berbagai tempat umum sudah menjadi masalah yang biasa. Perempuan mengenal laki-laki dan sebaliknya malah sering saling berbicara, bertukar pendapat dalam berbagai forum adalah hal yang tidak dapat dielakkan lagi. Menghadapi masyarakat yang serba komplek seperti ini, menurut Prof.Dr. Huzaemah T. Yanggo,MA bahwa sebaiknya ditempuh jalan tengah yakni boleh melihat perempuan yang akan dipinangnya jika didampingi orang tuanya atau mahramnya yang lain atau teman-teman perempuan yang bisa dipercaya, asal saja dalam keadaan berpakaian yang menutup auratnya yang dianjurkan agama Islam. Dengan hal itu laki-laki dapat mengetahui ukuran mentalitas, perasaan dan kepribadian perempuan yang mau dipinang dan sebaliknya, perempuan juga bisa mengenali laki-laki yang akan menjadi pasangan hidupnya.
B. KHITBAH
1. ARTI KHITBAH
Khitbah berarti pinangan yakni permintaan seorang laki-laki kepada anak perempuan/gadis untuk menjadi istrinya dengan cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat. Khitbah atau pinangan termasuk usaha pendahuluan sebelum dilakukan pernikahan, agar kedua pihak saling mengenal sehingga pelaksanaan pernikahan nanti benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.
Menurut M.Quraish Shihab khitbah mirip dengan masa pacaran atau tunangan dalam pengertian “teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, untuk menjadi tunangan, dan kemudian istri.” Pacaran yang dibenarkan Islam hanya merupakan sikap batin, bukan yang dipahami sebagian orang terutama remaja sekarang, yakni sikap batin yang disusul dengan tingkah laku, berdua-duaan, saling berpegangan dan seterusnya. Islam tidak menghalangi pacaran dalam artian di atas. Islam hanya mengarahkan dan membuat batas-batas agar tidak terjadi kecelakaan.
2. KRITERIA CALON YANG DIPINANG DAN YANG MEMINANG
Pembinaan keluarga merupakan faktor terpenting dalam pembinaan eksistensi kemasyarakatan, bahkan pembinaan umat seluruhnya. Karena keluarga merupakan landasan dasar yang dari padanya bergantung keselamatan masyarakat dan kemuliaan umat. Dalam membangun bangunan yang terdiri dari batu dan tanah, manusia tidak dapat melakukannya secara sembarang, apalagi dalam membangun dan membina keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak. Pemilihan dan penelitian dalam pembinaan keluarga lebih membutuhkan perhatian. Bangunan batu hanya berorientasi pada dunia fana, sedangkan pembangunan keluarga tidak saja berkaitan erat dengan kebahagiaan hidup di dunia, namun juga berkaitan dengan kebahagiaan hidup di akherat. Untuk mendapatkan ketenteraman dan kebahagiaan dalam rumah tangga, Islam meletakkan garis panduan untuk memilih pasangan hidup yang sesuai menurut ajaran Islam.
a. Asas Pemilihan Calon Istri
1) Pemilihan atas Dasar Agama
Agama yang dimaksudkan adalah pemahaman yang benar tentang Islam dan sekaligus mempraktekkan seluruh ajarannya. Perempuan yang salehah selalu berpegang teguh pada ajaran Islam dan tidak mengabaikan tanggung jawabnya terhadap Allah serta mengetahui arah tujuan hidup yang benar. Dia dapat menahan dirinya dari dorongan nafsu lawwamah yang mungkin membawanya ke jurang kehinaan. Sebab itu Rasulullah saw memberikan tuntunan laki-laki yang mau menikah hendaklah memilih istri yang berpegang teguh pada agama, agar dapat melaksanakan kewajiban terhadap suami dan pendidikan anak-anak sesuai sabda Nabi saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ                                                  
’Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw bersabda: Perempuan itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka carilah yang beragama supaya kamu bahagia.’ (HR Bukhari Muslim)



2) Mempunyai Akhlak yang Baik
Perempuan yang berakhlak baik adalah perempuan yang senantiasa menjaga kehormatan dirinya ketika suami tidak ada di rumah dan seandainya ia bekerja di luar rumah, ia menjaga perilakunya di hadapan teman-temannya. Menurut Prof. Dr. Huzaemah T. Yanggo, ada 6 sifat perempuan yang kurang pantas dinikahi, yaitu:
(1)   Ammanah: perempuan yang senantiasa kesusahan dan mengeluh
(2)   Hammanah: suka mengungkit perbuatan di hadapan suami
(3)   Hannanah: ingin menikahi orang lain
(4)   Haddaqah: pintar membujuk dan merayu karena menginginkan sesuatu, sehingga menjadi beban bagi suami untuk memenuhi keinginannya
(5)   Barraqah: selalu berhias diri dan bersolek tanpa memperhatikan kewajibannya terhadap suami
(6)   Syaddaqah: terlalu banyak bicara.
Dengan demikian selain agama, Islam menganjurkan untuk memilih calon istri dari perempuan shalehah. Ciri-ciri perempuan shalehah di antaranya berakhlak mulia, jika dilihat suaminya, suaminya akan merasa senang dan terhibur, serta menjaga kehormatan dirinya. Dia juga bisa menjaga harta suami jika diamanatkan kepadanya di samping memberi pendidikan yang baik kepada anak-anak dan menjalin hubungan silaturrahmi dengan mertua dan keluarga suaminya.
3) Wanita karena Kecantikan
Kecenderungan terhadap kecantikan merupakan fitrah hidup manusia. Sebab itu untuk memenuhi salah satu tuntutan perasaan maka Nabi saw menganjurkan memilih perempuan yang cantik untuk pasangan hidup.
4) Wanita yang Rendah Maharnya
Rasulullah saw mengatakan perempuan yang baik adalah yang cantik dan rendah maharnya.
5) Wanita yang Subur
Di antara tujuan pernikahan adalah untuk memperbanyak umat sebagai generasi penerus. Rasulullah saw bangga dengan umatnya yang banyak. Karena itu Nabi saw menganjurkan memilih perempuan yang subur yang dapat melahirkan anak yang banyak. Anak yang banyak di sini dimaksudkan adalah anak-anak banyak yang baik dan berkualitas.
6) Diutamakan Gadis
Dalam memilih calon istri, diutamakan gadis, karena menurut tabiat manusia ia akan merasa lebih sesuai dengan orang yang pertama ditemuinya. Namun hal ini tidak berarti dilarang menikahi janda.
7) Karena Keturunannya
Dari keturunan yang baik akan melahirkan kerukunan dalam rumah tangga. Nabi saw melarang menikahi perempuan cantik yang lahir dari asal keturunan yang tidk baik.
8) Menghindari perkawinan dengan Kerabat Dekat
Dalam memilih jodoh, diutamakan perempuan asing yang tidak ada kaitan dengan nasab dan keluarga. Tujuannya untuk menjaga kecerdasan anak dan keselamatan jasmani dari penyakit menular dan cacat keturunan. Imam Syafi’i mengatakan bahwa sunat hukumnya menikahi perempuan asing. Menurut al-Zanjani bahwa tujuan dari pernikahan adalah untuk mengadakan hubungan dengan suku-suku lain sehingga dapat saling membantu dan tolong menolong.


b. Asas Pemilihan Calon Suami
1) Agama dan Akhlak
Agama dan akhlak merupakan dasar utama dalam menentukan seorang suami, sesuai dengan sabda Nabi saw:

 زوجها ممن بتقى الله فان أحبها أكرمها و ان أبغضها لم يظلمها                                     

‘Nikahkanlah (anak/saudara perempuanmu) dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah, kalau dia mencintainya, dia akan menghormatinya dan jika dia tidak mencintainya, maka dia tidak akan menzalimi istrinya.’
Dalam hadis lain disebutkan: “Bila datang kepadamu orang yang kamu senangi agamadan akhlaknya, maka nikahkanlah dia dengan anak perempuanmu. Jika tidak, niscaya akan mendatangkan fitnah di bumi ini dan kerusakan yang mengerikan.”
2) Jangan menikahi laki-laki fasik, zalim dan peminum Miras
Sebab Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki fasik, maka sungguh dia telah memutuskan hubungannya.” Begitu juga laki-laki zalim dan peminum miras, merupakan pembuat kriminal dalam agama, karena dengan perbuatannya itu akan memutuskan tali silaturrahmi. Dia akan mudah menyakiti dan menzalimi istrinya. Sebab itulah khalifah Ali bin Abi Thalib menambah hukuman had bagi peminum khamar menjadi 80 kali lantaran suami yang mabuk sering menuduh istrinya berzina tanpa bukti. Bahkan suami yang mabuk seringkali menyiksa istrinya baik secara fisik maupun psikologis.
3) Tidak berpenyakit, seperti gila, kusta dan impoten
 Sebab laki-laki yang berpenyakit tersebut di atas tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai suami secara baik, sehingga istrinya tidak bisa mendapatkan hak-haknya secara layak.
Dengan demikian selain agama, Islam menganjurkan untuk memilih calon suami yang mempunyai akhlak mulia (suami yang saleh). Ciri-ciri suami shaleh adalah yang dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terhadap istri dan anak-anaknya, menghormati perasaan istri, membantu istri mengurus pekerjaan rumah jika dibutuhkan, tidak egois dan memperhatikan kemaslahatan orang-orang yang di bawah tanggungannya.
3. SYARAT KHITBAH/PEMINANGAN
Meminang harus memenuhi dua syarat:
1) Tidak didahului oleh pinangan laki-laki lain secara syar’i sesuai sabda Nabi saw:
Al-mu’minu akhul mi’mini falā yahillu lahu an yabtā’a ‘ala bay’i akhîhi wa lā yakhthubu ‘ala khithbati akhîhi hatta yadzara (seorang mukmin adalah saudara mukmin. Maka tidak halal baginya membeli/menawar pembelian saudaranya dan tidak boleh meminang pinangan saudaranya, hingga saudaranya membatalkan pinangan itu).
2) Perempuan yang dipinang tidak terhalang oleh halangan syariat sebagaimana disebutkan di atas (bersuami atau dalam pinangan pria lain, terlarang dinikahi atau dalam masa iddah talak raj’i).
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sbb:
1)      Tidak dalam pinangan orang lain.
2)      Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan
3)      Perempuan itu tidak dalam masalah iddah karena talak raj’i (talak 1 atau talak 2 yang masih mungkin rujuk dengan suaminya).
4)      Perempuan yang berada dalam masa iddah talak ba’in harus dipinang secara kinayah (sindiran).


4. Melihat Pinangan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa calon suami boleh melihat calon istrinya. Begitu juga calon istri boleh melihat calon suaminya sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
5. Meminang Pinangan Orang Lain
Meminang pinangan orang lain hukumnya HARAM, sebab berarti menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketenteraman, serta melanggar tata susila. Nabi saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ
’Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: janganlah seseorang laki-laki meminang perempuan pinangan saudaranya.’ (HR Muslim)
Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bila perempuan itu telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan mengizinkannya, bila izin itu memang dibutuhkan. Tetapi jika pinangan semua ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau karena laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka hal itu diperbolehkan.
Turmizi meriwayatkan dari imam Syafi’i tentang makna hadis tersebut sbb: ”bila perempuan yang dipinang merasa rida dan senang maka tidak ada seorangpun boleh meminangnya lagi, tetapi kalau belum diketahui rida dan senangnya, maka tidaklah berdosa meminangnya.”
Jika pinangan laki-laki pertama sudah diterima, namun perempuan itu menerima pinangan laki-laki kedua kemudian menikah dengannya, maka hukumnya berdosa tetapi pernikahannya sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedangkan meminangnya itu bukan merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Karena itu pernikahannya tidak boleh dibatalkan walaupun meminangnya itu merupakan tindakan pelanggaran. Tetapi menurut imam Abu Dawud: ”pernikahannya dengan peminang kedua harus dibatalkan, baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.”
Ibnul Qasim berpendapat bahwa yang dimaksud larangan itu adalah jika seorang yang baik (saleh) meminang di atas pinangan orang saleh juga. Tetapi jika peminang pertama tidak baik, sedang peminang kedua adalah baik, maka pinangan semacam itu dibolehkan.
Adapun waktu pelaksanaan pernikahan, para ulama berpendapat waktunya adalah ketika masing-masing pihak (peminang dan yang dipinang) sudah cendrung satu dengan lainnya, dan bukan pada waktu awal peminangan.
6. Meminang Perempuan Yang Sedang Dalam Masa Iddah
Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa iddah, baik karena kematian suaminya, karena cerai raj’i (bisa rujuk lagi dengan mantan suaminya) maupun talak ba’in (tidak bisa rujuk lagi) maka hukumnya haram.
Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i maka ia haram dipinang karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya masih berhak merujuknya kembali sewaktu-waktu ia suka. Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i, maka ia haram dipinang secara terang-terangan karena mantan suaminya masih berhak terhadap dirinya, juga masih berhak untuk menikahinya dengan akad baru. Jika ada laki-laki lain meminangnya di masa iddahnya, berarti ia melanggar hak mantan suaminya.
Mengenai boleh/tidaknya meminang perempuan yang sedang iddah secara sindiran, maka para ulama berbeda pendapat, tetapi pendapat yang benar adalah menyatakan boleh. Perempuan yang sedang iddah karena kematian suaminya, dia boleh dipinang secara sindiran selama masa iddah, karena hubungan suami istri di sini telah putus sehingga hak suami terhadap istrinya hilang sama sekali. Namun demikian, dilarang meminang dia secara terang-terangan, untuk menjaga agar perempuan itu tidak terganggu dan tercemar oleh para tetangganya serta menjaga perasaan anggota keluarga suami dan para ahli warisnya.
Yang dimaksud ”kata sindiran” tersebut adalah seseorang mengatakan kata-kata tersuratnya berlainan dengan yang tersiratnya. Misalnya, saya mau menikah, atau saya mengharapkan sekali agar Allah memudahkan jalan bagiku untuk memperoleh istri yang saleh. Atau memberikan hadiah kepada perempuan yang sedang dalam masa iddah.
7. Menyendiri Dengan Tunangannya
Menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena bukan mahramnya. Islam tidak membolehkan melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali melihat. Karena menyendiri dengan pinangan akan rentan mengarahkan kepada perbuatan yang dilarang agama (zina). Tetapi bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya perbuatan maksiat, maka dibolehkan. Rasulullah saw bersabda:
لا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
’Janganlah sekali-laki seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan, dan janganlah dia bepergian dengan perempuan kecuali disertai oleh mahramnya.’ (HR Ahmad)
Meskipun perempuan yang telah dipinang (dikhitbah) boleh dilihat calon suaminya dan sebaliknya, namun demikian kebiasaan menyendiri dengan tunangan sebagaimana yang menjadi trend remaja yang pacaran saat ini telah keluar dari rambu-rambu syariat, sehingga rentan menjerumuskan mereka kepada zina.
C. KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN
1. Pengertian Kafa’ah
Kafaah berasal dari bahasa Arab dari kata كفىء yang berarti ”sama, setara, sepadan atau sebanding.” Kata ini terpakai dalam bahasa Ara dan terdapat dalam al-Qur’an dengan arti “sama,” atau “setara” seperti terungkap dalam QS al-Ikhlas: 4 و لم يكن له كفوا أحد  yang berarti tidak suatu pun yang sama dengan-Nya.
Kata kufu, atau kafaah dalam pernikahan mengandung arti adalah perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafaah mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dapat pernikahan sifat itu diperhitungkan, harus ada pada laki-laki yang menikahinya. Dengan demikian kafaah mengandung arti setara dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan antara calon suami dengan calon istri.
Jadi, tekanan dalam hal kafaah  adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yakni akhlak dan ibadah. Sebab jika kafa’ah diartikan dengan persamaan dalam hal harta, atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia di sisi Allah adalah sama. Hanya ketakwaannyalah yang membedakannya.
  2. Kriteria dan Kedudukan Kafaah dalam Pernikahan
Kafa’ah dalam pernikahan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafaah itu disyariatkan dalam pernikahan Islam namun karena dalil yang mengaturnya tidak spesifik dalam al-Qur’an dan hadis, sehingga menimbulkan perdebatan di kalangan ulama, baik kedudukannya dalam pernikahan maupun kriteria yang digunakan dalam penentuan kafaah itu.
Penentuan kafaah merupakan hak perempuan yang akan nikah sehingga bila dia akan dinikahkan oleh walinya dengan orang yang tidak se-kufu dengannya, dia dapat menolak atau tidak memberikan izin untuk dinikahkan oleh walinya. Begitu juga sebaliknya sebagai hak wali yang akan menikahkan, sehingga bila si anak perempuan menikah dengan laki-laki yang tidakn se-kufu, maka wali dapat mengintervensinya dengan menuntut pencegahan pernikahan itu.
Yang menjadi kriteria penentuan kafaah itu adalah status sosial pihak perempuan karena dialah yang akan dipinang oleh laki-laki untuk dinikahi. Laki-laki yang menikahinya paling tidak harus sama dengan perempuan, seandainya lebih tidak menjadi halangan. Kalau pihak istri dapat menerima kekurangan laki-laki tidak menjadi masalah. Masalah timbul kalau laki-laki yang kurang status sosialnya sehingga dikategorikan laki-laki tidak se-kufu dengan istri.
Mengenai ukuran kafaah, Ibn Hazm berpendapat bahwa tidak ada ukuran dalam masalah kafaah. Menurut Ibn Hazm: ”semua umat Islam asal tidak berzina, boleh menikah dengan perempuan muslimah yang tidak tergolong perempuan lacur. Dan orang Islam bersaudara. Walaupun dia anak seorang hitam yang tidak dikenal, ia tidak diharamkan menikah dengan anak khalifah Bani Hasyim. Meskipun seorang muslim yang fasik, asal tidak berzina, maka ia kufu’ untuk perempuan Islam yang pasik asal bukan perempuan pezina. Alasannya, firman Allah dalam QS al-Hujurat: 10
 انما المءمنون اخوة
’...sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara...’
Menurut ulama Hanafiah yang menjadi dasar/standar kafaah adalah:
1)      Nasab: keturunan atau kebangsaan
2)      Islam: dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam
3)      Hirfah: profesi dalam kehidupan
4)      Kemerdekaan dirinya
5)      Diyanah: tingkat kualitas keberagamaan dalam Islam
6)      Kekayaan
Menurut ulama Malikiah yang menjadi kriteria kafaah adalah:
1)      Nasab: keturunan atau kebangsaan
2)      Kualitas keberagamaan
3)      Kemerdekaan diri
4)      Usaha dan profesi
Menurut ulama Malikiah yang menjadi kriteria kafaah hanyalah diyanah (kualitas keberagamaan) dan bebas dari cacat fisik.
Menurut ulama Hanabilah yang menjadi kriteria kafaah adalah:
1)      Kualitas keberagamaan
2)      Usaha dan profesi
3)      Kekayaan
4)      Kemerdekaan diri
5)      Kebangsaan
Para ulama sepakat menempatkan dien atau diyanah (tingkat ketaatan beragama) sebagai kriteria kafaah, bahkan menurut ulama Malikiah hanya inilah satu-satunya dapat dijadikan kriteria kafaah itu. Kesepakatan ulama itu didasarkan kepada firman Allah QS as-Sajdah: 18
أفمن مءمنا كمن كان فاسا لا يستون
‘Apakah orang-orang beriman sama seperti orang-orang fasik; mereka tidaklah sama.’
Di antara ulama yang sepakat ini mayoritas di antara mereka tidak menempatkan kafaah sebagai syarat pernikahan. Kafaah dalam hal ini hanyalah keutamaan bila dibandingkan dengan yang lain. Dalam mengambil menantu misalnya bila kompetisi antara yang taat dengan biasa-biasa saja, maka harus dahulukan yang taat.
Bila seorang ayah menolak menikahkan anak perempuannya dengan alasan calon yang diajukan itu tidak memenuhi kriteria kafaah, dia tidak boleh dinyatakan sebagai adhal, atau enggan yang mengakibatkan kewalian pindah kepada wali hakim. Begitu juga anak perempuan dapat menolak kehendak walinya yang akan menikahkannya dengan laki-laki yang tidak memenuhi kriteria kafaah itu.
Dalam penempatan nasab atau kebangsaan sebagai kriteria kafaah, ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama menempatkan nasab/kebangsaan sebagai kriteria dalam kafaah. Dalam pandangan ini, orang yang bukan Arab tidak setara dengan orang Arab. Ketinggian nasab Arab itu menurut mereka karena Nabi saw sendiri adalah orang Arab. Bahkan di antara sesama orang Arab, kabilah Quraisy lebih utama dibandingkan dengan bukan Quraisy, sebab Nabi saw berasal dari kabilah Quraisy.
Namun sebagian ulama tidak menempatkan kebangsaan sebagai kriteria kafaah. Di samping berdalil dengan ayat 18 QS as-Sajdah di atas, mereka juga berpedoman kepada realitas banyak terjadi pernikahan antar bangsa di waktu Nabi masih hidup dan Nabi saw tidak mempermasalahkannya. Di antaranya hadis muttafaq ‘alaih:
أمر رسول الله صلى الله عليه و سلم فاطمة بنت قيس أن تنكح أسامة بن زيد مولاه فنكحها  بأمره     
‘Rasulullah saw menyuruh Fatimah binti Qais untuk nikah dengan Usamah bin Zaid, hamba sahaya Rasulullah saw, maka Usamah menikahi Fatimah itu berdasarkan perintah Rasulullah saw itu.’ (HR Bukhari Muslim)
Para ulama juga berbeda pendapat tentang kekayaan sebagai kriteria kafaah. Sebagian ulama di antaranya imam Ahmad dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa kekayaan itu merupakan salah satu syarat kafaah. Hal itu berarti laki-laki yang akan menikahi seorang perempuan hendaknya kekayaan yang dimilikinya tidak kurang dari kekayaan pihak perempuan Dalilnya adalah hadis Nabi dari Samrah yang diriwayatkan Ahmad: al-hasbu al-maal wa qaala inna ahsaban naasi baynahum fi hadzihid dunyaa hadzal maal (Derajat seseorang terletak pada harta. Yang paling berharga manusia di antara mereka di dunia ini adalah harta ini).
Dalam riwayat kedua yang didukung sebagian ulama berpendapat bahwa kekayaan dan harta itu tidak dapat dijadikan syarat kafaah. Karena kurang harta itu terkadang menyebabkan tingginya kualitas keberagamaan seseorang. Dalil kelompok ulama ini adalah doa Nabi saw dari Anas: allahumma ahyiiniy miskiinan wa amitniy miskiinan (Ya Allah hidupkanlah saya dalam keadaan miskin dan matikanlah saya dalam keadaan miskin).
Kedudukan usaha atau profesi sebagai kriteria kafaah juga menjadi perdebatan di kalangan ulama. Yang menjadikan profesi sebagai kriteria kafaah berdalil dengan hadis yang oleh mayoritas ulama tidak dianggap hadis sahih: al-‘Arabu ba’dhuhum liba’dhin akfaa-u illa haa-ikan aw haajiman (Orang Arab itu sekufu antar sesamanya kecuali tukang jahit atau tukang bekam).
Kafaah yang menjadi perbincangan di semua kitab fiqh sama sekali tidak disinggung dalam UU Perkawinan dan hanya disinggung sekilas dalam pasal 61 KHI dalam kaitannya dengan pencegahan pernikahan dan yang diakui sebagai kriteria kafaah itu adalah kualitas keberagamaan (sesuai dengan yang telah menjadi kesepakatan ulama).
Kedudukan kafaah dalam pernikahan diperselisihkan ulama. Jumhur ulama termasuk Malikiah, Syafi’iah dan Hanafiah serta satu riwayat dari imam Ahmad berpendapat, bahwa kafaah tidak termasuk dalam syarat pernikahan, dalam artian kafaah itu hanya keutamaan semata, dan sah pernikahan antara orang yang tidak sekufu. Alasan mereka adalah firman Allah dalam QS Hujurat: 13
ان أكرمكم عند الله أتقكم 
‘Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu.’
            Sebagian ulama termasuk satu riwayat dari Ahmad mengatakan bahwa kafaah itu termasuk syarat sahnya pernikahan. Sebab itu tidak sah pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang tidak sekufu. Dalilnya adalah sepotong hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Daraqutni yang dianggap lemah oleh kebayakan ulama: laa tunkihun nisaa-a illaa minal akfaa-i walaa tuzawwijuhunna illaa minal auliyaa-i (Janganlah kamu menikahkan perempuan kecuali dari yang sekufu dan janganlah mereka dinikahkan kecuali dari walinya).