Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Minggu, 15 Desember 2013

Integrasi Matematika dan Islam



Integrasi Matematika dan Islam
Dr. La Jamaa, MHI
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang diturunkan kepada umat manusia dalam segala ruang, waktu dan kondisi. Karena itu ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang universal sehingga bisa cocok untuk semua manusia yang mau menerima kebenaran. Dalam kaitan ini Rasulullah saw telah mengajarkan bahwa ad-dinu huwa al-‘aqlu la dina la ‘aqla lahu (agama Islam sejalan dengan akal sehat, maka dianggap tak beragama bagi orang yang tak berakal).
Makna hadis di atas bisa dikaitkan dengan kondisi manusia yang secara usia telah masuk kategori dewasa karena telah berusia 17 tahun ke atas misalnya namun jiwanya tidak sehat (gila) maka yang bersangkutan dianggap tidak cakap hukum sehingga tidak dibebani kewajiban agama. Namun demikian makna hadis itu bisa dikaitkan dengan manusia yang tidak menggunakan akal sehatnya untuk menerima kebenaran. Dengan demikian ajaran Islam sangat menghargai pemanfaatan akal atau rasio yang mengantarkannya kepada kebenaran yang hakiki dan sumber kebenaran itu sendiri yaitu Allah. Bahkan dalam banyak ayat al-Qur’an diisyaratkan dalam bentuk pertanyaan: afala ta’qilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir)?
Berdasarkan asumsi di atas, matematika sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan bisa digunakan sebagai pendekatan dalam menjelaskan beberapa doktrin dalam ajaran Islam. Penggunaan pendekatan matematika di sini bukan berarti bahwa lemahnya doktrin ajaran Islam tersebut melainkan hanya untuk menambah keyakinan umat Islam bahwa semua ilmu pengetahuan itu bernilai kebaikan dan bisa mengantarkan kepada kebaikan yang hakiki serta meningkatkan keimanan dan kedekatan kepada Allah. Bukankah dalam al-Qur’an sendiri, banyak ditemukan ayat yang menggunakan angka-angka dalam menyampaikan informasi kebenaran kepada manusia?
Karena itu tulisan ini akan mengulas sekilas hubungan matematika dengan Islam, atau analisis beberapa doktrin ajaran Islam dengan pendekatan matematika.
B. Syarat dan Nilai Amal Ibadah
Ibadah berasal dari akar kata    عبد   يعبد       عبا د ةyang berari “doa, mengabdi, tunduk atau patuh kepada Allah.” Secara istilah, ibadah adalah “segala aktivitas yang dilakukan dengan tujuan/motivasi (niat) untuk memperoleh redha Allah (pahala).” Atau “segala kepatuhan yang dilakukan untuk mencapai rida Allah atau dengan mengharapkan pahala-Nya di akherat.”
Dengan demikian ibadah tidak hanya terbatas kepada aktivitas yang telah ditentukan oleh syariat sebagai kewajiban atau anjuran (sunnat) akan tetapi ibadah memiliki cakupan yang sangat luas. Kebanyakan umat Islam membatasi ibadah hanya pada ibadah salat, puasa, zakat, haji serta beberapa ibadah lainnya. Sedangkan aktivitas seperti menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah bukan dikategorikan sebagai ibadah, melainkan hanya aktivitas keduniaan semata. Padahal menurut Islam semua aktivitas manusia bisa diarahkan kepada ibadah dan memang seharusnya semua tindakan manusia harus bernilai kebaikan.
Ibadah dapat dibagi berdasarkan:
1. Tata cara pelaksanaannya, ibadah terbagi dua macam:
    a. Ibadah Mahdah (ibadah khusus), yaitu ibadah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur secara jelas dan rinci (khusus) oleh syara, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dsb.
       Ibadah mahdah disebut juga ibadah ritual karena harus dilakukan sesuai dengan ritual (tata upacara) yang telah ditentukan dan orientasi utamanya untuk menjalin hubungan dengan Allah. Dalam ibadah ini tidak boleh diubah tata caranya berbeda dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam bidang ibadah mahdah dikenal bid’ah, yakni amalan ibadah mahdah yang ditambah atau dikurangi dari apa yang dicontohkan oleh Nabi saw atau sahabatnya, apalagi amal ibadah yang diada-adakan.
   b. Ibadah ghairu mahdah (ibadah umum/universal), yaitu ibadah yang tata cara pe-laksanaannya tidak diatur secara jelas dan rinci oleh syara, seperti menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, menutup aurat, dsb.
       Disebut ibadah umum/universal karena eksistensinya sebagai ibadah bersifat universal (umum) tetapi tata cara pelaksanaannya diserahkan kepada adat istiadat (hasil kreasi, inovasi) manusia.
        Dalam ibadah ini syariat hanya menegaskan bahwa menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, menutup aurat wajib hukumnya (ibadah) namun tata caranya tidak ditentukan oleh syariat tetapi diserahkan kepada kreativitas dan inovasi manusia. Yang terpenting ilmu yang dituntut itu bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan, bukan ilmu sihir atau ilmu yang membahayakan manusia.
       Misalnya:
       Menutup aurat (kewajiban memakai jilbab) termasuk ibadah ghairu mahdah karena yang dijelaskan al-Qur’an dan hadis hanya ketentuan wajib menutup aurat tetapi ketentuan mengenai mode, kualitas kain dan sebagainya diserahkan kepada hasil kreasi manusia. Dalam hal ini yang terpenting jilbab tersebut memenuhi syarat pakaian yang menutup aurat yakni tidak ketat, tidak transparan serta tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya (tidak merangsang).     
       Dalam bekerja mencari harta syariat hanya mengatur agar harta diperoleh dengan cara-cara yang benar serta dimanfaatkan untuk kebaikan. Namun tidak diberikan rincian mengenai jenis usaha yang akan digeluti dan teknik pelaksanaannya. Hal itu mengandung hikmah agar umat manusia termasuk umat Islam memiliki kebebasan dalam mencari jenis usaha dan bagaimana mewujudkannya. Yang terpenting dan harus diperhatikan adalah usaha yang digeluti itu bukan jenis usaha yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur'an dan hadis, seperti riba, melakukan jual beli barang haram, atau mengandung penipuan dan sejenisnya.
       Menuntut ilmu juga adalah ibadah umum karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an dan hadis namun tata caranya tidak ditentukan secara khusus oleh syara. Hal itu mengandung makna bahwa semua ilmu adalah berasal dari Allah dan karena itu mengandung kebaikan untuk manusia dan kemanusiaan serta alam semesta. Ilmu yang dilarang dipelajari hanya ilmu sihir atau black magic, yang memang tidak bermanfaat dan bahkan dapat mendatangkan bahaya bagi manusia, baik di dunia maupun di akherat.
2. Berdasarkan manfaatnya, ibadah terbagi dua macam:
    a. Ibadah Syakhsiyah (ibadah individual), yaitu ibadah yang berupa hubungan individu dengan Tuhannya serta manfaat (pahala)nya hanya diperoleh/dinikmati individu yang bersangkutan, seperti shalat, puasa, dsb. Jadi, manfaatnya hanya bersifat pribadi. Ibadah syakhsiyah hanya memberikan pahala dan manfaat bagi pelakunya.
   b. Ibadah ijtima’iyah (ibadah sosial), yaitu ibadah yang berupa hubungan antar sesama manusia serta dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain, seperti zakat, sedekah, infaq, berkurban, menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, dsb.
       Disebut ibadah sosial karena dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut selain  menjalin komunikasi dan hubungan dengan Allah juga dapat terjalin hubungan harmonis dengan sesama manusia (penerima zakat, sedekah, infaq, hewan kurban, murid yang menerima ilmu, orang lain dapat memenuhi nafkahnya) dsb.
       Memberi zakat, sedekah, infaq disebut ibadah sosial sebab diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dan manfaatnya dapat dirasakan oleh orang yang menerima zakat, sedekah dan infaq tersebut. Demikian juga menuntut ilmu adalah ibadah sosial dan manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak orang jika ilmunya diajarkan kepada orang lain. Karena itulah meski orang berilmu telah tiada namun pahalanya akan terus mengalir berbanding lurus dengan jumlah orang yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
Meskipun demikian perlu diketahui kriteria suatu amalan bisa dikategorikan sebagai ibadah (bernilai kebaikan dan berpahala) atau justru menjadi dosa. Banyak orang mengira suatu perbuatan bisa bernilai ibadah (kebaikan dan berpahala) jika diniatkan untuk kebaikan, tanpa memperhatikan cara atau prosesnya. Sehingga dalam realitas menimbulkan berbagai penyimpangan tanpa merasa bersalah bahkan merasa telah melakukan kebaikan (ibadah) dengan bangga. Seolah-olah segala bentuk perbuatan manusia akan langsung dinilai ibadah hanya berdasarkan pada niat baiknya. Hal itu merupakan kesalahpahaman terhadap hadis niat, bahwa innamal a'malu bin niyyat.
Padahal suatu perbuatan baru bisa dikategorikan sebagai ibadah jika memenuhi minimal dua syarat secara kumulatif, yakni cara harus benar dan niatnya juga harus benar menurut syara. Hal itu bisa digunakan pendekatan perkalian dalam matematika, yang bisa diilustrasikan dengan rumus berikut ini.
   Ibadah: caranya benar (+) x niatnya benar (+) =  + (pahala/diredai Allah).
   Misalnya: shalat dilakukan sesuai syarat dan rukunnya serta niatnya karena Allah.
Tata cara dan niat yang benar disimbolkan dengan tanda positif (+). Menurut logika matematika perkalian positif (+) dengan positif (+) selamanya akan menghasilkan positif (+) pula. Tidak pernah terjadi (mustahil) perkalian positif (+) dengan positif (+) akan menghasilkan negatif (-).
Amalan tersebut harus dilakukan secara benar sesuai syariat dan diniatkan karena Allah. Dalam shalat, harus dilakukan dengan tata cara yang benar seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, baik syarat maupun rukun serta menghindari hal-hal yang membatalkannya. Proses pelaksanaan shalat yang benar itu baru akan dinilai sebagai ibadah di sisi Allah jika shalat yang didirikan itu diniatkan karena Allah.
Sebaliknya, menurut ajaran Islam suatu amalan tak akan dinilai ibadah di sisi Allah jika niatnya salah (-), bukan karena Allah meskipun tata cara pelaksanaan amalan tersebut telah benar (+), sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Hal itu bisa dibuktikan dengan amalan yang diniatkan karena pamer (riya) yang dalam Islam justru dikategorikan sebagai salah satu perbuatan dosa (-). Jadi, jika salah satu atau kedua syarat amalan tersebut bernilai negatif (-) maka amalan itu akan bernilai dosa (-). Ilustrasinya seperti di bawah ini.
* Bukan ibadah: caranya benar (+) x niatnya salah (-) =  - (dosa/dimurkai Allah).
Misalnya: shalat, zakat, sedekah dilakukan sesuai syarat dan rukunnya tetapi niatnya karena riya. Begitu juga menikah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya tetapi niatnya untuk menyakiti istri/suami.
* Bukan ibadah: caranya salah (-) x niatnya benar (+) =  - (dosa/dimurkai Allah).
   Misalnya: mencuri dengan niat untuk menolong orang miskin dengan uang curian itu.
   Memberi jawaban ujian kepada teman dengan niat menolong sesama teman.
Tata cara atau niat yang salah disimbolkan dengan tanda negatif (-). Menurut logika matematika perkalian negatif (-) dengan positif (+) atau sebaliknya selamanya akan menghasilkan nilai negatif (-) pula. Tidak pernah terjadi (mustahil) perkalian negatif (-) dengan positif (+) akan menghasilkan positif (-).
Berdasarkan rumus di atas shalat, nikah, yang dilakukan bisa saja tata caranya benar sesuai syariat namun karena niatnya tidak benar (karena ingin dipuji, riya) maka nilai shalat dan nikah tersebut bukan ibadah melainkan dosa (-). Demikian pula pemberian bantuan kepada fakir miskin atau orang-orang yang membutuhkannya, bisa jadi dari harta yang halal namun jika bantuan itu diberikan dengan niat agar dianggap dermawan apalagi agar dipilih dalam Pemilu/Pemilukada, maka bantuan itu tidak akan bernilai ibadah (+) melainkan dosa (-). Sehingga sedekah/zakat yang disebut-sebut untuk riya tak akan bernilai pahala, seperti diungkapkan dalam QS al-Baqarah: 264
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.’
Rumus itu berlaku juga dalam amalan yang dilakukan dengan niat yang baik, karena mencari reda Allah (+) namun dilakukan dengan cara yang salah, bertentangan dengan syariat (-), maka tak akan menjadi ibadah (+) melainkan dosa (-). Misalnya, memberikan bantuan untuk panti asuhan, pembangunan masjid, madrasah dan fasilitas sosial lainnya dari uang korupsi. Maka meskipun diniatkan karena Allah namun karena uang sumbangan diperoleh dari cara yang salah maka nilai amalannya bernilai dosa (-). Dalam kaitan ini dosa korupsi tidak bisa dicuci dengan sedekah sebab yang disedekah/disumbangkan bukan haknya melainkan hak rakyat. Hal itu dapat diibaratkan dengan mandi, tujuan utamanya adalah untuk membersihkan badan dari kotoran/keringat. Namun tujuan dari mandi tadi tak akan terwujud jika dia mandi menggunakan air kotor.
Di samping itu dalam perbuatan zina yang terkadang mengakibatkan kehamilan digunakan rumus:
* Bukan ibadah: caranya salah (-) x niatnya salah (-) =  + (dosa/dimurkai Allah).
Karena berzina merupakan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan perkawinan (cara yang salah) dan niatnya juga tentu bukan untuk hamil, namun biasanya mudah hamil (+). Dalam tes kehamilan secara medis, peristiwa kehamilan lebih dikenal dengan istilah positif, tidak hamil dikenal dengan negatif.
Karena itu dalam melakukan kebaikan hendaklah senantiasa memperhatikan dua aspek yakni tata caranya harus benar dan diniatkan untuk Allah. Tidak bisa hanya memperhatikan aspek tata cara dengan mengabaikan aspek niat. Begitu pula sebaliknya.
Simbol-simbol matematika di atas dapat juga dibaca dengan makna bahwa + x + = + jika sesuatu yang benar dianggap benar maka hal itu benar. Akan tetapi + x - = - jika sesuatu yang benar dianggap salah maka hal itu salah. Begitu juga - x +  = - jika sesuatu yang salah dianggap benar, maka hal itu salah. Namun - x - = + jika sesuatu yang salah dianggap salah maka hal itu adalah benar.
C. Nilai Balasan atas Zakat, Infak dan Sedekah
Salah satu ajaran terpenting dalam Islam adalah mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah. Bahkan kepedulian untuk berbagi harta kepada sesama manusia itu menjadi salah satu indikator orang bertakwa (muttaqin) seperti yang diisyaratkan dalam QS al-Baqarah: 2-3
ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين الذين يوءمنون بالغيب و يقيمون الصلوة و مما رزقناهم ينفقون                   
‘Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Anjuran berbagi baik melalui infak, sedekah maupun zakat bukan sekedar kewajiban melainkan mengandung nilai investasi baik di akherat maupun di dunia. Nilai investasi akherat tentu berupa pahala yang mengantarkan ke surga yang memberikan kebahagiaan tak ternilai. Di samping itu juga Allah yang Mahakaya akan berkenan memberikan “panjar” dalam kehidupan dunia dari sebagian balasan kebaikan dalam “berbagi” itu. Hal ini dapat ditelaah dari QS al-Baqarah: 261
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
‘Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah sama dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai tumbuh 100 biji. Allah melipat gandakan (balasan) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.’
Menafkahkan sebagian harta di jalan Allah biasanya akan terasa berat dibandingkan dengan menafkahkan sebagian harta di jalan setan. Karena itu Allah menyediakan ganjaran pahala yang besar sebesar 700 kali lipat bahkan hingga jumlah yang tak terhingga. Jika kandungan ayat ini dicermati, maka dapat diketahui bahwa nilai pahala atau balasan yang akan diterima si pemberi berbanding lurus dengan nilai keikhlasannya saat berbagi atau memberi kepada orang lain. Dengan kata lain berbanding terbalik dengan besar harapan memperoleh imbalan/balasan dari pemberiannya itu
Kandungan ayat ini dapat dijelaskan dengan pendekatan matematika melalui pembagian. Dalam sistem pembagian terdapat tiga komponen, yakni:
·         Penyebut melambangkan pemberian (dengan simbol P)
·         Pembagi melambangkan harapan si pemberi (dengan simbol h)
·         Hasil melambangkan jumlah balasan yang bisa diterima dari si pemberi (H).
Rumusnya adalah    Pemberian  = Hasil
                                     harapan

Misalnya: Seseorang memberikan sedekah atau infak  sebesar Rp. 1 juta kepada orang miskin dengan harapan yang berbeda-beda. Orang tersebut akan memperoleh balasan yang berbeda-beda pula yang dapat diilustrasikan sesuai dengan rumus di atas:  
                        1 jt/500.000 = 2                     
           1jt/400.000 = 2,5                     
            1jt/300.000 = 3,3
           1jt/200.000 = 5
            1jt/100.000 = 10
            1jt/50.000 = 20
            1jt/25.000 = 40
           1jt/20.000 = 50
           1jt/10.000 = 100
          1jt/5.000 = 200
           1jt/2.500 = 400
          1jt/1.000 = 1.000
           1jt/0 = ∞
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa semakin besar harapan si pemberi akan mendapat balasan dari selain Allah maka akan semakin kecil nilai balasan yang akan diperoleh secara riil. Sebaliknya, semakin kecil harapan si pemberi akan mendapat balasan dari selain Allah, maka akan semakin besar nilai balasan yang akan diperoleh secara riil. Besar kecilnya harapan kepada selain Allah itu dalam ajaran Islam disebut IKHLAS. Jelasnya, semakin ikhlas dalam memberi maka akan semakin kecil pengharapannya kepada selain Allah. Bahkan dalam tataran tertentu jika yang bersangkutan mengosongkan harapannya kepada selain Allah, maka Allah akan berkenan memberikan balasan yang tak terhingga jumlahnya secara riil. Itulah IKHLAS yang sebenarnya. 
Karena itu pula ikhlas tidak didasarkan kepada ucapan si pemberi, misalnya: "saya beri dengan ikhlas" sebab yang tahu pemberian itu ikhlas atau tidak, hanyalah Allah dan si pemberi. Yang menjadi tolok ukur keikhlasan dalam berbagi kepada sesama adalah niat, dan niat itu ada dalam hati sehingga tiidak bisa direkayasa dengan ucapan seolah-olah ikhlas.
Bukankah dalam realitas banyak orang yang memberi karena mengharapkan sesuatu kepada manusia, baik berupa pujian, imbalan materi, kedudukan, status sosial dan sebagainya. Namun terkadang merasa kecewa lantaran harapannya tak terwujud. Membagi-bagi uang atau sembako kepada calon pemilih, memberi sumbangan kepada panitia pembangunan masjid, majelis ta’lim dengan harapan agar mereka berkenan memilihnya dan jika menang dalam pemilihan maka akan memperoleh gaji plus tunjangan besar sehingga bisa memperoleh uang atau harta yang banyak. Namun ternyata harapannya melesat sehingga mengalami kerugian.
Sebaliknya, pemberian secara ikhlas meski nilai nomimalnya kecil namun bisa mendatangkan keberkahan hidup. Yang terpenting sebenarnya bukan besarnya nilai materi yang dimiliki namun nilai keberkahannya. Bisa jadi, harta yang dimiliki besar jumlahnya namun belum tentu memberikan kebahagiaan lantaran tidak berkah. Hartanya melimpah namun hidupnya tidak bahagia karena anaknya ketagihan miras atau narkoba.
Itu bukan berarti umat Islam dilarang kaya namun alangkah berbahagianya jika kekayaannya dapat memberikan kebahagiaan kepada orang lain melalui infak, sedekah dan zakat yang diberikannya kepada orang yang membutuhkannya. Kebahagiaan orang yang dibantunya secara psikologis akan memantul juga ke dalam hati si pemberi. Rasa bahagia seperti itu sebenarnya sangat besar nilai bahkan tak ternilai dengan materi. Namun terkadang manusia mencari kebahagiaan semu dan meninggalkan kebahagiaan yang hakiki.
Memang banyak orang bahagia bukan karena pada manfaat dari apa yang dimilikinya namun pada berapa jumlah yang dimilikinya. Sehingga bisa jadi hidupnya tampak seperti orang miskin, padahal uangnya banyak. Dia tidak memanfaatkan uangnya untuk kemaslahatan dirinya karena baginya, bahagia saat melihat tumpukan uangnya, atau jumlah deposita.
Sedangkan orang dermawan bahagianya lantaran bisa membahagiakan orang lain yang sedang kesusahan, karena itu dia tak akan mengharapkan balasan apa-apa (pengharapannya nol) dari orang yang dibantunya, namun yang menjadi pengharapannya adalah reda Allah. Jika keredlaan Allah bisa diraih maka hal itu bisa memberikan manfaat besar dunia dan akherat. Wallahu a'lam bis shawab.


CATATAN TAMBAHAN:

Bagi yang berminat mengkaji, meneliti atau mendampingi korban kekerasan dalam rumah tangga khususnya perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam perspektif hukum pidana Indonesia maupun hukum Islam, dapat membaca buku saya yang berjudul "PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS:  Perspective Indonesian Criminal Law and Islamic Law," yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing, Jerman. 
Buku tersebut dapat dibeli di toko buku online, Morebooks, mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman seharga 59,90 Euro. Untuk jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini:
 ttps://www.morebooks.de/store/de/book/protection-of-the-rights-of-domestic-violence-victims/isbn/978-3-8484-8749-3

 


Kamis, 12 Desember 2013

Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon



Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa Tingkat Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon

      Untuk meningkatkan wawasan akademik mahasiswa, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon telah melaksanakan kegiatan lomba menulis makalah ilmiah bagi semua mahasiswa kelima Jurusan pada Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam.
      Pada babak penyisihan dilaksanakan dalam bentuk menulis makalah dengan tema KORUPSI dan PENGARUHNYA. Analisisnya didasarkan kepada kompetensi jurusan masing-masing mahasiswa peserta lomba, yakni jurusan Jinayah Siyasah, Muamalah (hukum Ekonomi Islam), Perbandingan Mazhab dan Hukum, Ahwal al-Syakhsiyah (hukum Keluarga) dan Ekonomi Syariah.
        Lomba tersebut diikuti oleh 12 peserta. Setelah dinilai Tim Penilai dari Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam sendiri, ditetapkan 5 peserta yang memperoleh nilai tertinggi untuk maju ke babak final. Mereka diharuskan menulis makalah sesuai dengan judul semula pada waktu yang ditentukan dan dalam ruangan yang telah ditentukan panitia. Babak Final dilaksanakan pada tanggal 28 Nopember 2013 bertempat di lantai II Laboratorium Hukum dan Falak Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, dari pukul 09.00 s/d 17.00 wit. Para peserta menulis makalah di dalam ruangan dan diawasi panitia dan Tim Penilai dengan tujuan untuk mengeliminir kemungkinan peserta melakukan copy paste dari makalah yang sudah jadi. Karena itu mereka hanya diizinkan membawa buku referensi dan dilarang membawa referensi dalam bentuk makalah yang isinya sama dengan judul makalah yang bersangkutan. Peserta diberi waktu selama kurang lebih 5 jam untuk menyelesaikan makalahnya.
       Makalah para peserta digandakan oleh panitia dan diserahkan kepada Tim Penilai untuk dinilai dan dilanjutkan dengan presentasi secara bergilir. Dari hasil penilaian makalah ilmiah kelima peserta, Tim Penilai menetapkan Marlima Waly mahasiswa Jurusan Muamalah sebagai Juara I, Hidayat Rumatiga, mahasiswa Jurusan Jinayah Siyasah, sebagai Juara II, dan Wiwin Masuku mahasiswa Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah sebagai Juara III. Para juara I, II, dan III masing menerima hadiah sebuah notebook dari panitia. Sedangkan juara harapan I dan  II masing-masing menerima hadiah uang masing-masing Rp. 1,5 juta dan Rp. 1 juta.
       Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon, Drs. Husin Anang Kabalmay, MH pada acara penutupan Lomba dimaksud mengharapkan agar para peserta terus meningkatkan wawasan pengetahuannya baik dengan membaca, melakukan diskusi, maupun melakukan penelitian baik kepustakaan maupun lapangan. Kegiatan lomba ini diharapkan dapat semangat kompetesi yang positif sehingga dapat menjadi mahasiswa yang cerdas dan berakhlak muliah (berbudi). Bapak Dekan juga berjanji akan mengupayakan agar kegiatan lomba karya ilmiah bagi mahasiswa ini akan bisa dilaksanakan pada tahun-tahun yang akan datang.www.iainambon.ac.id 


Informasi Penting:
 
Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Hak-hak Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul "PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: Perspective Indonesian Criminal Law and Islamic Law," yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman. 
Buku tersebut dapat dibeli toko buku online, Morebooks, mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman seharga 59,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini:


https://www.morebooks.de/store/de/book/protection-of-the-rights-of-domestic-violence-victims/isbn/978-3-8484-8749-3

Senin, 09 Desember 2013

Bayi Tabung


Hukum Islam Kontemporer



BAYI TABUNG DAN RAHIM RENTAL

Dr. La Jamaa, MHI
A. Pendahuluan
Perkawinan merupakan institusi yang melegalkan hubungan biologis antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Perkawinan dilembagakan untuk memberikan kebahagiaan kepada pasangan suami isteri. Sumber kebahagiaan itu ternyata tidak semata-mata diperoleh dari materi, namun ada sumber kebahagiaan lain yang selalu didambakan  pasangan suami isteri, yaitu anak.
Keberadaan anak dalam sebuah rumah tangga menjadi idaman sehingga tanpa kehadirannya akan menyebabkan kehidupan rumah tangga terasa “kurang.” Perasaan “kurang” karena belum memiliki anak mungkin tidak dapat diganti dengan harta yang berlimpah sekalipun.
Pasangan suami isteri yang belum memperoleh anak bahkan gagal memiliki anak itu disebabkan oleh berbagai faktor. Bisa jadi isteri yang lemah kandungannya atau mandul. Bisa juga disebabkan suami yang mandul (spermanya tidak mampu membuahi ovum isterinya). Jadi, idealnya proses pembuahan antara spermatozoa suami dengan ovum isterinya terjadi secara alamiah melalui hubungan seksual (biologis). Namun karena adanya kendala-kendala reproduksi tersebut, maka pembuahan gagal terjadi.
Kondisi tersebut akan menjadi problematika yang sulit dipecahkan jika kehamilan hanya mengandalkan proses pembuahan secara alamiah. Atas dasar itu maka teknologi kedokteran telah berhasil menemukan solusi dalam mengangani problema kegagalan memperoleh anak melalui pembuahan secara alamiah. Melalui teknologi kedokteran seorang wanita (isteri) dapat hamil melalui proses bayi tabung atau inseminasi buatan.
Keberaadaan teknologi bayi tabung pada satu sisi memberikan kemaslahatan kepada suami isteri yang sulit mendapatkan anak melalui proses reproduksi alamiah, namun di sisi lain muncul masalah baru, yaitu bagaimana legalitas hukum dari bayi tabung itu? Hal ini penting dipertimbangkan karena anak yang lahir akan memiliki hak dan kewajiban hukum secara perdata dengan orang yang melahirkannya. Di samping itu bagaimana kalau kandungan isteri ternyata lemah, tidak bisa menerima transfer embrio yang terjadi melalui proses bayi tabung, apakah bisa digunakan rahim rental (rahim sewaan)? Lalu bagaimana pula hubungan anak dengan ibu yang mengandungnya melalui rahim sewaan itu? Beberapa permasalahan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini.
B. Pengertian Bayi Tabung
Bayi tabung atau inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial insemination. Artificial berarti “buatan atau tiruan,” sedangkan insemination berasal dari bahasa Latin, inseminatus yang berarti “pemasukan atau penyampaian.” Menurut makna kamus, artificial insemination berarti “pembuahan buatan.”1 Inseminasi buatan dalam bahasa Arab disebut talqin al-şina’i seperti tercantum dalam kitab al-Fatawa karya Mahmud Syaltut.2
Secara terminologis, inseminasi buatan adalah suatu upaya pembuahan rahim (uterus) hewan atau manusia untuk mendapatkan keturunan tanpa melalui proses kopulasi alamiah. Inseminasi buatan pada hewan dilakukan dengan cara mengambil sperma (spermatozoa) pejantan dan diinjeksikan ke dalam rahim hewan betina sejenis. Inseminasi buatan pada manusia dilakukan dengan cara  mengambil sperma laki-laki dan diinjeksikan ke dalam vagina atau rahim wanita, baik wanita itu isteri pemilik sperma maupun bukan.3
Dengan demikian yang dimaksud dengan inseminasi buatan pada manusia adalah pembuahan (penghamilan) buatan yang dilakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui cara alamiah, melainkan dengan cara memasukkan sperma laki-laki ke dalam vagina atau rahim wanita tersebut melalui bantuan dokter.
Dengan kata lain, inseminasi buatan pada manusia adalah proses pembuahan (penghamilan) buatan di luar rahim wanita dan atau tanpa melalui hubungan biologis yang alamiah. Sedangkan yang dimaksud dengan bayi tabung (tets tube baby), adalah bayi yang diperoleh (dilahirkan) melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga terjadinya embrio (zygota) tidak secara alamiah, melainkan dengan bantuan teknologi kedokteran.4 Hal ini terjadi baik pada hewan maupun pada manusia. Berikut ini akan dibahas tentang bayi tabung pada manusia.
C. Proses Reproduksi Bayi Tabung
Realitas menunjukkan bahwa tidak semua pasangan suami isteri memperoleh anak melalui proses reproduksi alamiah, padahal mereka sangat mendambakannya. Dalam rangka mendapatkan keturunan bagi suami isteri yang sulit mendapatkan keturunan melalui cara alamiah, para ahli medis menawarkan cara lain, yaitu bayi tabung atau inseminasi buatan.
Menurut penulis Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3 bahwa inseminasi buatan pada manusia agak berbeda dengan bayi tabung. Inseminasi buatan pada manusia dilakukan sama dengan cara inseminasi buatan pada hewan, yaitu dengan mengambil sperma laki-laki, kemudian diinjeksikan ke dalam vagina atau rahim wanita. Upaya ini dilakukan karena beberapa sebab, di antaranya karena terjadinya penyumbatan saluran telur sehingga sperma sulit mencapai dan menyatu dengan sel telur (ovum). Sedangkan bayi tabung diproses dengan cara mengambil sperma laki-laki dan ovum wanita, kemudian mempertemukan sperma dengan ovum dan memprosesnya dalam tabung (di luar rahim). Setelah terjadi pembuahan (embiro), lalu embrio itu dimasukkan ke dalam rahim wanita kembali.5 Namun kebanyakan pakar memandang bayi tabung sama dengan inseminasi buatan.
Dengan demikian proses pembuahan- dengan metode bayi tabung antara sel sperma suami dengan sel telur isteri, merupakan upaya medis untuk memungkinkan bertemunya sel sperma dengan sel telur (ovum) isteri. Dalam proses bayi tabung tersebut, sel sperma akan membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang alami (rahim), tetapi pembuahan terjadi di dalam tabung. Setelah sel telur dibuahi oleh sel sperma, lalu embrio yang terbentuk ditransfer ke dalam rahim isteri dengan metode tertentu sehingga terjadi kehamilan secara alami di dalam rahim.
Pada dasarnya pembuahan yang alam terjadi dalam rahim melalui cara yang alami pula (hubungan seksual). Tetapi jika pembuahan yang alami itu sulit terjadi, misalnya karena rusak atau tertutupnya saluran kandung telur (tuba falopi) yang membawa sel telur ke rahim, serta tidak dapat diatasi dengan cara membuka (mengobati)nya. Atau karena sel sperma suami lemah atau tidak dapat menjangkau rahim isteri untuk bertemu dengan sel telur serta tidak dapat diatasi dengan memperkuat sel sperma tersebut, atau mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri agar bertemu dengan sel telur. Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan cara medis agar pembuahan antara sel sperma dengan sel telur dapat terjadi di luar rahim.
Sperma tersebut diperiksa terlebih dahulu apakah mengandung benih yang memenuhi persyaratan medis/tidak. Begitu juga dengan sel telur, dokter berusaha menentukan  dengan tepat saat ovulasi (bebasnya sel telur dari kandung telur) dan memeriksa apakah ada sel telur yang masak/tidak pada saat ovulasi itu. Bila ada sel telur yang benar-benar masak, maka sel telur itu dihisap dengan sejenis jarum suntik melalui sayatan pada perut. Sel telur lalu diletakkan dalam suatu tabung kimia dan agar sel telur tetap dalam keadaan hidup, sel telur itu disimpan di laboratorium yang diberi suhu menyamai panas badan seorang wanita.6 Jadi, proses bayi tabung membutuhkan kecermatan dan kehati-hatian dari segi medis.
Dari segi teknik, bayi tabung terbagi atas dua macam, yaitu:
1. Fertilazation in Vitro (FIV), yaitu dengan cara mengambil sperma suami dan ovum isteri, kemudian diproses dalam vitro (tabung) dan setelah terjadi pembuahan lalu ditransfer ke dalam rahim isteri sendiri. Ovum diambil dari kandung telut isteri (dihisap dengan sejenis jarum suntik melalui sayatan pada perut) tepat pada saat ovulasi (bebasnya sel telur dari kandung telur).
     Sperma diambil dari ejakuasi seorang suami setelah diketahui bahwa sperma tersebut memenuhi syarat medis. Sel telur dan sperma itu kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang telah diberi suhu menyamai panas badan seorang wanita. Kedua sel kelamin itu bercampur sehingga terjadilah fertilisasi (pembuahan) yang menghasilkan zygota yang kemudian berkembang menjadi morulla (embrio) dan selanjutnya ditransfer (dimasukkan) ke dalam rahim isteri. Sehingga akhirnya isteri hamil.
2. Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT), dengan cara mengambil sel sperma suami lalu disuntikkan ke dalam vagina atau uterus isterinya. Atau dengan cara mengambil sel sperma dan ovum isteri. Setelah dicampur terjadilah pembuahan, maka segera ditanam di saluran telur (tuba felopi).7
Teknik kedua ini lebih alamiah daripada teknik pertama, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba felopi setelah terjadi ejakuasi (pancaran mani/sperma) melalui hubungan seksual. Dalam hal ini hasil fertilisasi (pembuahan) antara sperma dan ovum di luar rahim langsung dimasukkan ke dalam saluran telur isteri yang memang merupakan tempat alami sperma membuahi ovum setelah terjadinya ejakuasi dalam hubungan seksual.
D. Aspek Hukum Bayi Tabung
Persoalan bayi tabung atau inseminasi buatan pada manusia merupakan persoalan baru yang muncul di zaman modern, sehingga menjadi maslah fiqh kontemporer yang pembahasannya tidak dijumpai dalam buku-buku fiqh klasik. Karena itu pembahasan bayi tabung/inseminasi buatan pada manusia di kalangan para ahli fiqh kontemporer lebih banyak mengacu kepada pertimbangan kemaslahatan umat manusia, khususnya kemaslahatan suami isteri.
Di samping itu harus dikaji secara multidisipliner karena persoalan ini hanya bisa dipahami secara komprehensif jika dikaji berdasarkan ilmu kedokteran, biologi- khususnya genetika, dan embriologi- serta sosiologi.
Aspek hukum penggunaan bayi tabung didasarkan kepada sumber sperma dan ovum, serta rahim. Dalam hal ini hukum bayi tabung ada 3 macam, yaitu:
1. Bayi tabung yang dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami isteri sendiri serta tidak ditransfer ke dalam rahim wanita lain- walau isterinya sendiri selain pemilik ovum (bagi suami yang berpoligami) baik dengan teknik FIV maupun GIFT, hukumnya adalah mubah, asalkan kondisi suami isteri itu benar-benar membutuhkan bayi tabung (inseminasi buatan) untuk memperoleh anak, lantaran dengan cara pembuahan alami, suami isteri itu sulit memperoleh anak.8 Padahal anak merupakan suatu kebutuhan dan dambaan setiap keluarga. Di samping itu salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk memperoleh anak dan keturunan yang sah serta bersih nasabnya atau anak saleh. Apalagi anak saleh merupakan investasi tak ternilai harganya bagi kedua orang tua sehingga pengorbanan mereka dibalas dengan balasan pahala yang bersifat kontinyuitas meski keduanya telah meninggal dunia. Karena itu bayi tabung merupakan suatu hajat (kebutuhan yang sangat penting) bagi suami isteri yang gagal memperoleh anak secara almi. Dalam hal ini kaidah fiqh menentukan bahwa:
الحجة تنز يل منزلة الضرورة و الضرورة تبيح المحظورات
‘Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergency) padahal keadaan darurat/terpaksa membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.’9
2. Bayi tabung yang dilakukan dengan menggunakan sperma dan atau ovum dari donor, haram hukumnya10 karena hukumnya sama dengan zina, sehingga anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung tersebut tidak sah dan nasabnya hanya dihubungkan dengan ibu (yang melahirkan)nya. Termasuk juga haram sistem bayi tabung yang menggunakan sperma mantan suami yang telah meninggal dunia, sebab antara keduanya tidak terikat perkawinan lagi sejak suami meninggal dunia.
3. Haram hukumnya bayi tabung yang diperoleh dengan sperma dan ovum dari suami isteri yang terikat perkawinan yang sah tetapi embrio yang terjadi dalam proses bayi tabung ditransfer ke dalam rahim wanita lain atau buka ibu genetik (bukan isteri atau isteri lain bagi suami yang berpoligami), haram hukumnya. Jelasnya, bahwa bayi tabung yang menggunakan rahim rental, adalah  haram hukumnya. Ini berarti bahwa kondisi darurat tidak mentolerir perbuatan zina atau yang bernuansa zina. Zina tetap haram walau darurat sekalipun.
Keharaman penggunaan sperma, atau ovum donor atau rahim rental tersebut dapat terjadi pada salah satu kemungkinan berikut ini:
a. Bayi tabung yang menggunakan sperma suami, untuk membuahi ovum wanita lain (donor) kemudian embrionya yang terjadi dalam proses bayi tabung ditransfer ke dalam rahim istri sendiri. Keharamannya terjadi, karena dalam bayi tabung model itu suami telah berzina dengan wanita yang bukan istrinya melalui jarum suntik. Istri juga telah melakukan hubungan sejenis (lesbian) karena embrio yang ditanam dan dikembangkan dalam rahimnya bukan hasil pembuahan sperma suami dengan ovumnya sendiri namun itu pembuahan sperma suaminya dengan ovum wanita lain. Sperma suami + ovum donor -- embrio ke rahim istri= haram, bukan anak sah.
b. Bayi tabung yang menggunakan sperma laki-laki lain (donor), untuk membuahi ovum istri kemudian embrio yang terjadi dalam proses bayi tabung ditransfer ke dalam rahim istri sendiri. Keharamannya terjadi, karena dalam bayi tabung model itu istri telah berzina dengan laki-laki yang bukan suaminya melalui jarum suntik.  Sperma donor+ovum istri ---   rahim istri = haram, bukan anak sah.
c. Bayi tabung yang menggunakan sperma suami, untuk membuahi ovum istri kemudian embrionya yang terjadi dalam proses bayi tabung ditransfer ke dalam rahim wanita lain (rahim rental). Keharamannya terjadi, karena dalam bayi tabung model itu suami telah berzina dengan wanita yang disewa rahimnya (bukan istrinya) melalui jarum suntik. Istri juga telah melakukan hubungan sejenis (lesbian) karena ovum yang telah dibuahi sperma suaminya ditanam dan dikembangkan ke dalam rahim wanita lain. Sperma suami + ovum istri ----  rahim rental = rahim, bukan anak sah.
d. Bayi tabung yang menggunakan sperma suami, untuk membuahi ovum wanita lain (donor) kemudian embrionya yang terjadi dalam proses bayi tabung ditransfer ke dalam rahim wanita lain (rahim rental). Keharamannya terjadi, karena dalam bayi tabung model itu suami telah berzina dengan dua orang wanita yakni pemilik ovum donor dan wanita yang disewa rahimnya (bukan istrinya) melalui jarum suntik. Kedua wanita (pemilik ovum donor) dan wanita pemilik rahim rental) itu juga telah melakukan hubungan sejenis (lesbian) melalui jarum suntik. Sperma suami + ovum donor ----   rahim rental = haram, bukan anak sah.
e. Bayi tabung yang menggunakan sperma laki-laki lain (donor), untuk membuahi ovum istri kemudian embrio yang terjadi dalam proses bayi tabung ditransfer ke dalam rahim wanita lain (rahim rental). Keharamannya terjadi, karena dalam bayi tabung model itu istri telah berzina dengan laki-laki yang bukan suaminya, dan istri juga telah melakukan hubungan sejenis (lesbian) dengan pemilik wanita ovum melalui jarum suntik. Sperma donor + ovum istri  ---    rahim rental =   haram, bukan anak.
f. Bayi tabung yang menggunakan sperma laki-laki lain (donor), untuk membuahi ovum wanita lain (donor) kemudian embrio yang terjadi dalam proses bayi tabung ditransfer ke dalam rahim wanita lain (rahim rental). Keharamannya terjadi, karena dalam bayi tabung model itu laki-laki pemilik sperma donor telah berzina dengan wanita pemilik ovum donor sekaligus dengan wanita pemilik rahim rental. Demikian juga wanita pemilik ovum donor telah melakukan hubungan sejenis (lesbian) dengan pemilik wanita pemilik rahim rental melalui jarum suntik. Sperma donor + ovum donor   ----   rahim rental = haram, bukan anak sah.
Dalam kaitan ini Yusuf Qardawi mengemukakan bahwa keharaman bayi tabung dengan menggunakan sperma yang berasal dari laki-laki lain baik diketahui maupun tidak, atau sel telur yang berasal dari wanita lain, karena akan menimbulkan problem tentang siapa sebenarnya ibu dari bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, ataukah wanita yang menderita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkannya? Begitu pula jika wanita yang mengandungnya adalah isteri lain dari suaminya sendiri, haram karena dengan cara ini tidak diketahui siapa sebenarnya dari kedua isteri itu yang menjadi ibu dari bayi yang akan dilahirkan nanti. Juga kepada siapa nasab (keturunan) sang bayi disandarkan, apakah kepada pemilik sel telur atau si pemilik rahim?
Dalam kasus ini para ahli fiqh berbeda pendapat. Pendapat pertama (yang dipilih Yusuf Qardawi), bahwa ibu bayi itu adalah si pemilik sel telur. Sedangkan pendapat kedua, bahwa ibunya adalah wanita yang mengandung dan melahirkannya.11 Pendapat ini sejalan dengan zahir QS.al-Mujadilah: 2
إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ
‘...Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka...’12
Sedangkan pendapat pertama di atas selaras dengan genetika, bahwa anak akan mewarisi karakter (sifat-sifat) dari wanita pemilik sel telur dan laki-laki pemilik sel sperma. Karena dalam sel telur dan sperma itu terdapat kromosom dan di dalam kromosom itulah terdapat gen. Gen inilah yang memberikan sifat menurun (hereditas) kepada anak. Namun janin tidak memperoleh kontak batin dengan ibu genetiknya karena berada dan berkembang dalam rahim rental. Sehingga dalam perkembangan kehidupan anak dikuatirkan akan menimbulkan problem bagi anak, terutama dari sisi karakter anak.
Menurut M. Syuhudi Ismail, sewa rahim sebagai salah satu bentuk rekayasa genetika adalah haram hukumnya. Alasannya, pada zaman jahiliah telah dikenal empat jenis perkawinan dan hanya satu yang sesuai dengan perkawinan menurut Islam. Jenis perkawinan lain adalah  perkawinan bibit unggul, poliandri sampai 9 orang suami, dan perkawinan massal (sejumlah laki-laki mengawini sejumlah wanita). Perkawinan bibit unggul memiliki persamaan dengan perkawinan bibit unggul yang terjadi pada zaman modern ini melalui jasa bank sperma. Perbedaannya, perkawinan bibit unggul pada zaman jahilah berjalan secara alamiah sedangkan sekarang ini berjalan secara ilmiah.
Di samping itu, praktek sewa rahim bertentangan dengan tujuan perkawinan. Karena salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan dengan jalan halal dan terhindar dari perbuatan yang dilarang agama, sedangkan dalam sewa rahim akan melahirkan banyak masalah bagi anak yang lahir, pemilik bibit, pemilik rahim dan sebagainya.13 Baik tidaknya karakter anak ikut dipengaruhi oleh proses reproduksi yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Menurut Umar Shihab, keharaman sewa rahim disebabkan oleh (1) akan menambah masalah lain yang akan muncul, seperti definisi anak yang akan berbeda dengan anak yang lahir dari bibit dan rahim yang sama; dan siapakah ibu yang sebenarnya, apakah ibu genetisnya atau ibu yang mengandungnya;  (2) dapat diqiyaskan dengan jual beli yang diharamkan, jual beli yang mengandung najis (darah).14
Sewa rahim dapat disamakan dengan jual beli dari segi syarat dan rukunnya. Salah satu syaratnya adalah barangnya harus halal. Barang najis dilarang untuk diperjualbelikan dan salah satu barang najis yang diperjualbelikan adalah darah. Memang sperma dan ovum tidak termasuk najis, namun antara keduanya kelak berubah menjadi segumpal darah yang melekat pada dinding rahim yang berarti kelak menjadi najis. Dalam hal ini juga terdapat hubungan timbal balik, sebab pemilik rahim (ibu penghamil) dibayar sesuai dengan perjanjian dengan pemilik ovum (ibu genetis), yang berarti hukum keduanya adalah sama. Selain itu, praktek sewa menyewa rahim tidak dapat digolongkan dalam keadaan darurat, melainkan termasuk kebutuhan (hajat). Maksudnya, sewa rahim tidak dapat dibenarkan. Jika seseorang ingin punya anak maka harus berusaha sedemikian rupa dengan cara yang dibenarkan agama.15
 Karena seseorang yang tidak punya anak, tak akan terancam salah satu dari lima kebutuhan pokoknya. Tidak punya anak memang identik dengan terputusnya nasab, namun jika nasab tersambung dengan cara yang mengarah kepada zina justru mengancam eksistensi nasab itu sendiri.
Alasan-alasan haramnya bayi tabung dengan menggunakan sperma dan atau ovum dari donor atau ditransfer ke dalam rahim wanita lain, adalah:
a. Firman Allah dalam QS. Al-Isra: 70                        وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ
‘Sesungguhnya Kami telah memuliakan manusia...’17
Dalam hal ini bayi tabung dengan menggunakan sperma dan atau ovum dari donor itu pada hakekatnya merendahkan harkat manusia sejajar dengan hewan yang diinseminasi, padahal Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia.
b. Hadis Nabi saw:
لا يحل لإمرئ يؤمن با لله و اليوم الآخر ان يسقي ماءه  زرع غيره(رواه أبو داود عن رويفع بن ثابت)
‘Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan air (sperma)nya ke dalam tanaman (vagina isteri) orang lain.’   (HR Abu Daud dari Ruwaifa’ bin Sabit)18
Hadis ini tidak saja mengandung arti penyiraman sperma ke dalam vagina seorang wanita melalui hubungan seksual, melainkan juga mengandung pengertian memasukkan sperma donor melalui proses bayi tabung, yaitu percampuran sperma dan ovum di luar rahim, yang tidak diikat perkawinan yang sah.
Padahal hubungan biologis antara suami isteri, di samping untuk menikmati karunia Allah dalam menyalurkan nafsu seksual, terutama dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan yang halal dan diredai Allah. Karena itu sperma seorang suami hanya boleh ditumpahkan di tempat yang telah dihalalkan Allah, yaitu isteri sendiri. Dengan demikian bayi tabung dengan cara mencampurkan sperma dan ovum donor dari orang lain identik dengan prostitusi terselubung yang dilarang syariat Islam.
c. Kaidah fiqh:   د رء المفا سد مقد م على  جلب المصا لح                                           
    Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan.’19
Dalam hal ini maslahah bayi tabung dengan menggunakan donor adalah membantu  pasangan suami  isteri dalam mendapatkan anak, yang secara alamiah kesulitan memperoleh anak, karena adanya hambatan alami  menghalangi bertemunya sel sperma dengan sel telur (misalnya saluran telurnya terlalu sempit atau ejakulasi (pancaran sperma)nya terlalu lemah.
Namun demikian mafsadah (bahaya) bayi tabung dengan donor jauh lebih besar dari manfaatnya, antara lain:
1) Percampuran nasab, padahal Islam sangat memelihara kesucian, kehormatan dan kemurnian nasab, karena ada kaitannya dengan kemahraman (siapa yang halal dan siapa yang haram dikawini) serta kewarisan;
2) Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam;
3) Statusnya sama dengan zina, karena percampuran sperma dan ovum tanpa perkawinan yang sah;
4) Anak yang dilahirkan bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tangga, terutama bayi tabung dengan bantuan donor akan berbeda sifat-sifat fisik, dan karakter/mental dengan ibu bapaknya;
5) Anak yang dilahirkan melalui bayi tabung yang percampuran nasabnya terselubung dan dirahasiakan donornya, lebih jelek daripada anak adopsi yang umumnya diketahui asal/nasabnya;
6) Bayi tabaung dengan menggunakan rahim rental (sewaan) akan lahir tanpa proses kasih sayang yang alami (tidak terjalin hubungan keibuan antara anak dengan ibunya secara alami). Sehingga akan menimbulkan masalah di kemudian hari.20
Inseminasi Buatan pada Hewan
Tujuan yang hendak  dicapai dalam inseminasi buatan terhadap hewan adalah untuk menghasilkan hewan yang sehat dan penuh gizi yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Di samping itu dengan tumbuh berkembangnya hewan ternak yang sehat dan berdaging gemuk, akan dihasilkan keuntungan di bidang ekonomi, baik bagi peternak maupun devisa negara.
Inseminasi buatan pada hewan yang berkembang di berbagai belahan dunia saat ini adalah perkawinan silang antara jenis hewan dari suatu negara/daerah dan hewan di negara/daerah lain. Di Indonesia misalnya, sperma sapi dari Selandia baru yang dikenal baik dan bertubuh besar diinjeksikan ke dalam vagina atau rahim sapi betina Indonesia. Dalam penelitian para ahli hewan, ternyata cara ini memberikan keuntungan yang berlipat ganda bagi para peternak dan negara. Dengan demikian, inseminasi buatan terhadap hewan memberikan dampak positif bagi perekonomian pribadi dan negara serta dapat menunjang kesehatan masyarakat.21
Permasalahan inseminasi buatan pada hewan ini merupakan masalah kontemporer karena tidak pernah dibahas dalam buku-buku klasik. Memang ada hadis Nabi saw yang menyatakan, bahwa “Rasulullah saw melarang mengambil upah dari sapi pejantan.”(HR Bukhari,Abu Daud dari Ibn Umar). Terhadap hadis ini, jumhur ulama fiqh memahaminya sebagai larangan memperjualbelikan sperma pejantan. Jumhur ulama fiqh mengemukakan bahwa dalam hadis lain Rasulullah saw melarang menjual sperma hewan pejantan (HR. Muslim). Di samping itu jumhur ulama fiqh mengajukan alasan, bahwa memperjualbelikan sperma hewan pejantan termasuk memperjualbelikan harta yang dianggap tidak bernilai   oleh syara,  karena  tidak  jelas  kuantitas  barang yang dijual, dan tidak bisa dilakukan serah terima barang yang diperjualbelikan. Karena itu menurut mereka, tidak boleh memperjualbelikan sperma hewan pejantan, dan tidak boleh mengambil upah dari kopulasi yang dilakukan hewan pejantan seseorang kepada hewan betina orang lain.
Sebagian ulama lain, di antaranya imam Syafi’i dan imam Malik, membolehkan pemilik hewan pejantan mengambil upah dari kopulasi yang dilakukan hewan pejantan itu dari pemilik sapi betina yang dikopulasikan hewan pejantan, dengan syarat ditentukan lama kopulasinya. Alasan yang digunakan, ialah mengqiyaskannya dengan penyerbukan tetumbuhan yang banyak dilakukan di zaman Rasulullah saw. Sedangkan pendapat moderat dikemukakan Ibn Hajar dan Nuruddin Itr, bahwa jika kopulasi telah terjadi, lalu pemilik hewan betina secara sukarela memberikan sebuah hadiah, tanpa disyaratkan sebelumnya, maka hukumnya boleh saja.22
Sedangkan menurut Mahmud Syaltut, bahwa pada dasarnya ulama membolehkan inseminasi buatan pada hewan, jika dilakukan dengan sukarela, baik sukarela dalam artian gratis maupun sukarela dengan pemberian hadiah oleh pemilik hewan betina kepada pemilik hewan pejantan setelah kopulasi terjadi, dengan syarat hadiah itu tidak ditentukan sebelum kopulasi. Pendapat ini sejalan dengan kaidah fiqh bahwa al-aslu fi al-asya-u al-ibahah hatta yaquma al-dalil ‘ala al-tahrim (pada dasarnya segala sesuatu boleh dilakukan hingga ada dalil yang melarangnya). Namun demikian Wahbah al-Zuhaili mengingatkan agar peternak harus pula mempertimbangkan keberadaan hewan yang mempunyai hawa nafsu, sperti halnya manusia. Bila seekor hewan hanya dikembangbiakan melalui inseminasi buatan, tanpa melalui hubungan seksual bisa memutuskan sama sekali gairah seksual hewan yang menjadi fitrahnya.23 Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa:
1. Hewan  yang haram dimakan, haram dilakukan inseminasi buatan;
2. Hewan yang halal dimakan, boleh dilakukan inseminasi buatan.
Dasar hukum dibolehkannya inseminasi buatan pada hewan yang halal dimakan, antara lain:
a. Berdasarkan qiyas dimana Nabi saw membolehkan inseminasi buatan pada tumbuhan dengan sabda: ‘Lakukanlah pembuahan buatan. Kalian lebuh tahu tentang urusan duniamu.’24
Dalam kaitan ini hewan memiliki kesamaan dengan tumbuhan, yaitu sama-sama diciptakan Tuhan untuk kesejahteraan manusia.
b. Kaidah fiqh bahwa:
الآ صل فى الآشياء الإ باحة حتى يقو م الد ليل على التحر يم
‘Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sehingga ada dalil yang konkrit melarangnya.’25
Dalam kaitan ini tidak ada ayat dan hadis yang secara tekstual melarang inseminasi buatan pada hewan. Karena itu berdasarkan kaedah fiqh di atas boleh melakukan inseminasi buatan pada hewan, apalagi dari sisi maslahah al-mursalah, insiminasi buatan pada hewan yang halal dimakan dapat memberikan kemaslahatan bagi publik berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan terhadap daging, telur, susu dan berbagai hal yang berasal dari hewan.
Rangkuman
1. Bayi tabung halal hukumnya jika dilakukan terhadap pasangan suami isteri, yaitu sel sperma dan ovum dari suami isteri sendiri dan embrionya ditransfer ke dalam rahim isteri (pemilik ovum) sendiri.
2. Bayi tabung haram hukumnya jika menggunakan:
a. Sel sperma donor, dengan ovum istri sendiri dan embrionya ditransfer ke rahim istri sendiri.
b. Sel sperma suami, dengan ovum donor dan embrionya ditransfer ke rahim istri sendiri.
c. Sel sperma donor, dengan ovum donor dan embrionya ditransfer ke rahim istri sendiri.
d. Sel sperma suami dengan ovum istri pertama dan embrionya ditransfer ke rahim istri kedua.
e. Sel sperma suami dengan ovum istri dan embrionya ditransfer ke rahim rental.
f. Sel sperma donor, dengan ovum istri dan embrionya ditrasfer ke rahim rental.
g. Sel sperma suami dengan ovum donor dan embrionya ditransfer ke rahim rental.
h. Sel sperma donor dengan ovum dan embrionya ditransfer ke rahim rental.
i.  Sel sperma mantan suami yang disimpan di bank sperma dengan ovum mantan istri yang dilakukan setelah suami meninggal atau bercerai hidup dan embrionya ditransfer ke rahim mantan istri sendiri.
3. Bayi tabung dengan menggunakan bantuan donor lebih banyak mudarat/kerugiannya daripada maslahat/manfaatnya.
4. Melakukan inseminasi buatan terhadap hewan adalah halal jika dilakukan terhadap hewan yang halal dimakan, sebaliknya menjadi haram jika dilakukan terhadap hewan yang haram dimakan.


KEPUSTAKAAN
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005.
Dahlan, Abdul Azis, et al. (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3. Cet. VI; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.
Departemen Agama R.I, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press, 2002.
Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Mugniyah, Muhammad Jawad. Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Khamsah. Diterjemahkan oleh Masykur AB, dkk dengan judul Fiqih Lima Mazhab. Cet. XII; Jakarta: Lentera, 2005.
Musbikin, Imam. Qawa’id al-Fiqhiyah. Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Qardawi, Yusuf. Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah. Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattami, dkk. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
al-Tirmizi. al-Jami’al-Sahih, Juz  III. Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.].
Syaltut, Mahmud.  Al-Fatawa. Cet. III; Kairo: Dar al-Qalam, [t.th.].
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Cet. X; Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.



1M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 70.
2Lihat Mahmud Syaltut,  Al-Fatawa (Cet. III; Kairo: Dar al-Qalam, [t.th.]), h. 325.
3Abdul Azis Dahlan, et al. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3 (Cet. VI; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 727.

4M. Ali Hasan, op.cit., h. 70.
5Abdul Azis Dahlan, et al. (ed.), op.cit., h. 728-729.
6Lihat M. Ali Hasan, op.cit., h. 71.
7Lihat Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Cet. X; Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), h. 20. Lihat pula Abdul Azis Dahlan, et al. (ed.), op.cit., h. 729-730.
8Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 21. Lihat pula Mahmud Syaltut, op.cit., h. 327-328.
9Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 21-22.
10Lihat ibid., h. 20. Lihat pula Mahmud Syaltut, op.cit.,h. 328-329. Lihat pula Muhammad Jawad Mugniyah, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Khamsah, diterjemahkan oleh Masykur AB, dkk dengan judul Fiqih Lima Mazhab (Cet. XII; Jakarta: Lentera, 2005), h. 411.
11Lihat Yusuf Qardawi, Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattami, dkk., Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3 (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 659-660.
12Departemen Agama R.I, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press, 2002), h.  908.
13 Lihat Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof.Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 247-248. 
14Ibid., h. 248.
15Ibid.
17Departemen Agama R.I, op.cit., h. 
18Abu Daud,Sunan Abud Daud, Jilid I (Bayrut: Dar al-Fikr, 1990), h. 478.
19Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 74.
20Lihat Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 25-26. Lihat pula Arifuddin Ahmad, op,cit., h. 247-248.
21Lihat Abdul Azis Dahlan, et al. (ed.), op.cit., h. 727.
22Ibid.
23Ibid., h. 728-729.
24Masjfuk Zuhdi, op.cit., h.
25Imam Musbikin, op.cit., h. 58. 


Catatan Tambahan:

Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: Perspective Indonesian Criminal Law and Islamic Law yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman. Buku tersebut dapat dibeli toko buku online mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman seharga 74,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini: http://www.morebooks.de/store/bookprice_offer/show?token=58128ac02eb5828663bd59fe736ca2a9941d106a&auth_token=d3d3LmxhcC1wdWJsaXNoaW5nLmNvbToyZWQxNTcyMDM5M2YwMDMzYzhkYjE2MjFiYmJjYjQ3Zg==&locale=gb