Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Rabu, 31 Desember 2014

Rahasia dan Keajaiban di Balik Sedekah

Oleh: Dr. La Jamaa, MHI


    Menurut informasi al-Qur'an, Allah akan melipatgandakan harta yang dikeluarkan seseorang muslim di jalan Allah, ibarat orang yang menanam sebutir biji lalu tumbuh dan berkembang menjadi pohon yang memiliki tujuh tangkai. Setiap tangkai tumbuh 100 buah. Bahkan Allah berkenan melipatgandakan lebih dari 700 kali lipat tersebut menurut kehendak-Nya. Hal itu bermakna bahwa harta yang dizakatkan, diwakafkan, disedekahkan atau diinfakkan karena mengharapkan reda Allah akan diberi balasan minimal 10 kali, 100 kali atau 700 kali lipat bahkan lebih dari 700 kali lipat (tak terhingga jumlahnya) oleh Allah. Hal itu sangat mudah bagi Allah, karena Dia Mahakaya lagi Mahapemurah.
        Hitungan-hitungan terhadap balasan Allah tersebut jika hanya dipahami dengan logika sekuler sepertinya tidak masuk akal. Sebab dalam logika sekuler yang kapitalis menganggap bahwa memberikan zakat, wakaf, sedekah, hibah atau infak sama artinya mengurangi jumlah harta yang dimiliki seseorang. Mana mungkin bisa bertambah hartanya setelah dikeluarkan dibagi kepada orang lan baik melalui zakat, wakaf, hibah, sedekah maupun infak? Yang nyatanya hartanya jadi berkurang pasca dikeluarkan sebagian apalagi semuanya untuk amal kebaikan itu.
       Namun jika dipahami dengan logika keimanan atau keyakinan kepada janji Allah, bahwa harta yang dimiliki seseorang pada hakekatnya adalah milik Allah, dan jika Allah menghendaki seseorang yang berbuat baik kepada sesama manusia melalui pemberian zakat, wakaf, hibah, sedekah dan infak, maka sangat mudah bagi Allah untuk memberikan rezeki yang berlipat ganda dari jumlah harta yang dikeluarkannya untuk kebaikan itu. Kalaupun tidak diberikan balasan berupa harta, bisa jadi Allah membalasnya dengan kesehatan, terhindar dari bahaya, ketenangan hidup. Bukankah banyak orang kaya yang mengeluarkan banyak uang untuk mencari tempat atau momen yang memberikan kedamaian/ketenangan hidup? Banyak juga orang yang habis harta untuk berobat dari penyakit yang tak kunjung sembuh.
   Melalui tulisan ini saya ingin berbagi cerita mengenai kekuatan sedekah dalam kehidupan.  
A. Lulus Doktor dalam waktu 2 Tahun 2 Bulan
   Sekitar bulan Maret tahun 2008 salah seorang teman dosen IAIN Ambon mengajak saya melanjutkan studi ke Program Doktor pada Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Ajakan tersebut pada satu sisi sangat menggembirakan hati saya sebab sudah lama ingin lanjut studi ke S3. Namun pada sisi lain, timbul keraguan, sebab saya belum memiliki tabungan/dana untuk biaya pendidikan S3 dimaksud. Apalagi konsentrasi Syariah/Hukum Islam yang akan saya daftar nanti bukan program Beasiswa, alias saya harus cari biaya sendiri. Pendaftaran di saat itu ditutup sekitar awal Agustus 2008. Alhamdulillah dalam jangka waktu 4 bulan bisa mendapatkan uang biaya kuliah dan biaya hidup selama beberapa bulan di Makassar.
   Saya bisa mengumpulkan uang/biaya awal kuliah S3 tersebut karena pertolongan Allah melalui sedekah yang disisipkan dari penghasilan saya. Jumlah sedekah tersebut memang tidak seberapa, namun keberkahannya luar biasa. Dalam beberapa bulan sebelum berangkat mendaftar S3, banyak kegiatan yang tak pernah diduga yang bisa saya ikuti dan memberikan rezeki sehingga bisa memiliki sedikit uang saat berangkat ke Makassar.
   Sebagai mahasiswa dengan mengandalkan biaya sendiri, kesulitan dana selama mengikuti perkuliahan dan terutama saat melakukan penelitian dan menyusunan disertasi serta konsultasi dengan para promotor, merupakan hal yang harus saya hadapi. Berbekal keyakinan kepada kemurahan Allah, saya mengupayakan untuk bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Ternyata keajaiban pun muncul. Saya mendapat tawaran mengajar pada dua perguruan tinggi di hari-hari tidak ada perkuliahan (semester II). Honorariumnya bisa sedikit meringankan kebutuhan selama kuliah. Bahkan kemudian saya mendapat bantuan dari IAIN Ambon sebanyak dua kali, sehingga bisa membayar SPP semester III s/d IV.
  Keajaiban berikutnya, adalah sebelum akhir semester II, proposal disertasi saya sudah dirampungkan sehingga bisa konsultasi dengan para promotor dan co-promotor sehingga awal semester III sudah bisa seminar proposal. Pengumpulan data banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Penyusunan disertasi pun berjalan lancar meski dalam kondisi sakit. Begitu pula konsultasi disertasi dengan para promotor dan co-promotor. Sehingga saya dapat menyelesaikan seluruh tahapan studi hingga ujian promosi doktor dengan total waktu 2 tahun 2 bulan 9 hari.
      Semua hal yang saya alami selama menempuh studi S3 hingga selesai tepat waktu tersebut saya yakini sebagai bagian dari pertolongan Allah. Secara material saya tidak mampu membayar berbagai kebutuhan selama studi S3 yang jumlahnya termasuk "besar" untuk ukuran kemampuan finansial saya saat itu. Bahkan sebelum berangkat mendaftar S3, ada seorang teman meragukan kemampuan finansial saya jika melanjutkan studi S3 tanpa beasiswa. Hal itu sangatlah wajar karena teman itu tahu persis kondisi keuangan saya. Menjelang akhir studi ada tema dosen juga yang bertanya kepada saya: "apa ada sanak familimu yang ikut membiayai studimu? Gajimu khan cuma cukup biaya hidup keluargamu. Kok bisa membayar biaya kuliah dan berbagai kebutuhan selama kuliah itu." Pertanyaan itu sebenarnya muncul dari adanya kontrodiksi secara materil yang saya miliki dengan biaya pendidikan yang cukup besar itu. Bagaimana bisa mahasiswa S3 hanya memiliki sisa gaji Rp. 1.200.000/bulan yang hanya cukup untuk kebutuhan keluarga di Ambon (istri, 2 anak, dan 1 ponakan). Ponakan saya saat itu sedang kuliah S1. Pertanyaan teman tersebut saya hanya jawab, bahwa "saya juga tidak tahu kenapa bisa biaya keperluan kuliah saya."  

B. Disertasi Diterbitkan oleh Penerbit Internasional
    
      Sedekah memang mempunyai keberkahan yang luar biasa. Menjelang akhir tahun 2013 ada orang yang membutuhkan bantuan materil, padahal keluarga saya juga sangat  memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun dengan penuh keyakinan, orang tersebut dibantu ala kadarnya. Nominalnya tak perlu disebutkan. Dan sungguh tak disangka-sangka tiba-tiba usulan naskah saya untuk diterbitkan penerbit internasional di Eropa diterima. Terus terang saya sangat kaget setelah menerima e-mail dari penerbit pada awal tahun 2014 yang menyatakan bahwa setelah diteliti editor, naskah saya dinyatakan diterima dan layak untuk diterbitkan, bahkan tak lama kemudian muncul email bahwa buku saya sudah dijual di berbagai negara di Eropa, Amerika, dan Asia pada berbagai toko buku online. Setelah saya cek di internet ternyata informasi tersebut memang benar.
   Yang membuat saya takjub bukan nilai royalti yang akan saya terima dari penerbitan buku tersebut, namun saya dapat berdakwah kepada orang-orang non Islam tentang tema yang saya tulis dalam buku tersebut. Apalagi tema tersebut terkadang disalahpahami oleh sebagian orang non muslim, sehingga Islam dianggap toleran dengan kekerasan yang dilakukan suami kepada istrinya dalam lingkup rumah tangga. Padahal berdasarkan hasil bacaan saya diketahui, bahwa agama Islam sangat anti terhadap kekerasan termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan para pemikir hukum Islam (ulama fiqh) klasik dan kontemporer telah menggagas upaya perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga terutama bagi istri. Perlindungan tersebut berbeda dengan perlindungan hukum pidana Indonesia yang hanya memberikan perlindungan secara represif dan kuratif setelah istri mengalami kekerasan dalam rumah tangga (menjadi korban) dari suaminya. Sedangkan hukum Islam justru telah memberikan perlindungan hukum kepada istri jauh sebelum dia menjadi korban, melalui upaya edukasi, preventif di samping represif.
    Buku tersebut sebenarnya pada awalnya sudah disetujui untuk diterbitkan oleh salah satu penerbit terkenal di pulau Jawa (maaf tidak etis menyebut nama penerbitnya). Bahkan saya sudah mendapat pemberitahuan via sms bahwa buku saya sudah selesai dicetak/diterbitkan, dan menanyakan alamat saya untuk pengiriman buku dimaksud. Namun ternyata yang dicetak dan terlanjur dikirim tersebut hanyalah "cetak ulang" buku saya yang telah diterbitkan sebelumnya, dan bukan dari naskah yang baru. Saya diminta untuk mengirim kembali naskah buku baru tersebut. Setelah saya kirim, saya menunggu beberapa bulan ternyata pihak penerbit keberatan untuk menerbitkannya dengan alasan mereka terlanjur cetak ulang buku saya yang pertama. Namun setelah saya renungkan ada hikmahnya juga. Dalam hal itu, disetujuinya naskah buku saya di penerbitkan internasional itu datang setelah sedekah kepada orang yang sangat membutuhkan bantuan pada saat kondisi saya juga lagi "kurang uang." Allah sungguh maha pemurah.
      Perlu dikemukakan bahwa sedekah yang diberikan kepada orang yang membutuhkannya HARUS DILANDASI NIAT LILLAHI TA'ALA (SEMATA-MATA MENCARI KEREDAAN ALLAH). Kalau pun muncul balasan yang diterima seorang hamba Allah yang bersedekah, maka hal itu hanyalah sebagai bentuk PANJAR dari pahala yang disediakan Allah di akherat kelak. Bersedekah dengan niat karena Allah dapat diibaratkan dengan menanam benih tanaman dengan baik, di samping tanamannya tumbuh dengan subur juga akan ditumbuhi rerumputan di sekitar tanaman tersebut. Begitu pula dengan sedekah yang diberikan karena Allah, ibarat tanaman yang tumbuh pahalanya yang akan dipanen di akherat nanti. Namun Allah akan berkenan memberikan balasan kepada yang bersangkutan sebagai PANJAR, dalam berbagai bentuk yang sangat dibutuhkannya.
     Balasan yang akan diperoleh seorang hamba dari sedekah yang diberikannya pada hakekatnya berbanding lurus dengan KUANTITAS DAN KUALITAS HAJAT/KEBUTUHANNYA. Jelasnya, bahwa jika mengharapkan sesuatu yang bernilai besar, maka sedekah yang diberikannya juga dianjurkan dalam jumlah besar. Ibarat pedagang, dalam bersedekah juga demikian. Bahkan mungkin terkesan tidak masuk akal dalam logika manusia. Jika ingin mendapatkan untung besar, maka perlu modal besar pula. Apalagi berbisnis dengan Allah yang Mahakaya, tentunya seorang hamba akan mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.     
    
Dari pengalaman tersebut saya berkesimpulan bahwa:
  1. Pahala sedekah merupakan rahasia Allah, baik wujud maupun nilainya sehingga bersifat gaib. Pahala sedekah tersebut pada dasarnya akan diberikan kepada hamba di akherat kelak.
  2. Meskipun demikian, Allah berkenan memberikan "sedikit panjar di dunia" dari balasan sedekah yang dilakukan seseorang. Sebab Allah adalah zat Yang Mahakaya, sehingga sedikit panjar yang diberikan kepada hamba-Nya yang bersedekah tak akan mengurangi kekayaan-Nya.
  3. Sedekah yang dikeluarkan haruslah dilandasi keikhlasan dan keyakinan kepada Allah. Ikhlas tanpa mengharapkan balasan dari orang yang dibantu. Yakin bahwa Allah akan membalas kebaikan yang dilakukan setiap hamba-Nya. Yakin pula, bahwa sedekah yang diberikan seseorang tak akan mengakibatkannya menjadi miskin.
  4. Bukti pula, bahwa orang yang menuntut ilmu karena mencari reda-Nya akan mendapat rezeki khusus dari Allah.
  5. Sedekah bukan saja mendatangkan pertambahan harta namun juga melindungi seseorang dari penyakit, dan bahaya lainnya. 
  6. Tidak/jarang orang menjadi miskin karena rajin sedekah. Yang sering terjadi justru banyak orang kaya yang jatuh miskin karena enggan bersedekah (kikir). 
  7. Bersedekah dalam jumlah besar dari harta yang paling dicintai merupakan puncak sedekah. Bersedekah dengan jumlah yang sedikit tidak identik dengan ikhlas, sebab kalau mau ikhlas seharusnya memberikan sedekah dari harta yang paling disenangi dengan jumlah yang besar. Hal itu tentunya berat sebab berlawanan kecenderungan hawa nafsu manusia yang condong kepada kikir. Wallahu a'lam bish shawwab.

Sabtu, 29 November 2014

USAHA MANUSIA DAN REZEKI ALLAH
Dr. La Jamaa, MHI

     Pada hakekatnya Allah telah menyiapkan rezeki untuk semua hamba-Nya termasuk manusia, sesuai isyarat al-Qur'an bahwa wa ma min dabbatin fil ardli illa 'alallahi rizquha. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan pula bahwa rezeki Allah untuk makhluk-Nya itu akan diberikan kepada dabbah, binatang melata. Ciri utama binatang melata adalah bergerak. Dengan demikian rezeki yang disiapkan Allah tersebut berbandingan lurus dengan kualitas dan kuantitas usaha manusia dalam menjemputnya rezekinya masing-masing.
      Usaha manusia dapat berupa usaha atau kerja fisik (olah otot), olah nalar dan olah batin. Bahkan idealnya usaha menjemput rezeki tersebut merupakan gabungan antara olah otot, olah pikir, dan olah batin. Karena itu Allah tidak akan memberikan rezeki-Nya kepada siapa pun yang berusaha sesuai sunnatullah secara maksimal tanpa memandang ketaatannya kepada Allah. Sehingga tidak mengherankan banyak orang yg tidak taat namun mereka kaya harta lantaran rajin bekerja. Sebaliknya, ada orang yang rajin beribadah tapi miskin, bisa jadi usahanya kurang maksimal sesuai sunnatullah. sebab salah satu ciri sunnatullah adalah bersifat objektif dan konstant. Objektivitas sunnatullah merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah. Sebab itu pula, bisa jadi ada orang yang tidak perlu bekerja (olah otot, olah nalar) secara maksimal namun dia bisa memperoleh rezeki Allah melalui olah batin seperti yang dinikmati oleh para wali (kekasih) Allah. Keistimewaan wali Allah sebenarnya diperoleh juga melalui usaha maksimal yakni olah batin. Jadi perbedaannya dengan manusia kebanyakan adalah bentuk usahanya. Manusia kebanyakan melalui usaha olah otot, dan olah nalar sedangkan wali melalui olah batin. Namun memiliki kesamaaan yakni kesungguhan dalam berusaha, baik dalam olah otot, olah nalar maupun olah batin.
Dengan demikian kerja keras dalam bidang apapun sesuai dengan keterampilan tiap-tiap orang adalah kunci sukses dalam hidup ini. Islam sangat mencela orang yang bersifat malas dan masa bodoh. Khalifah Umar pernah menegur seorang sahabat yang selalu berdoa namun tidak mau bekerja, bahwa “janganlah seorang dari kalian duduk dan malas mencari rezeki padahal dia mengetahui langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.”
Begitu pula sayidina Ali pernah menegaskan “Tuhan tidak akan pernah menurunkan Tangan bantuan-Nya kepada kami sebelum Dia melihat kami bersusah payah dalam mujahadah (berjuang).” Makna mujahada di sini bukan hanya kerja-kerja fisik, tetapi juga kerja spiritual dan intelektual. Karenanya, pengertian doapun bukan hanya olah batin, melainkan juga olah otot dan olah nalar. Jelasnya, doa adalah gabungan antara ikhtiar, usaha dan tawakal seorang hamba dalam memaknai titian takdirnya. Sebab, setiap kerja yang baik akan selalu menjadi doa yang tulus, dan setiap doa yang tulus akan selalu menjadi kerja yang baik bagi manusia.
Meskipun bekerja mencari harta sangat penting dalam ajaran Islam, namun demikian umat Islam tidak boleh menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya. Islam merupakan agama yang sarat dengan nilai etika dan norma atau akhlak, sehingga dalam bekerja pun, umat Islam harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral. Etika kerja Islami adalah mencari harta dilakukan dengan cara-cara yang benar, tanpa melanggar ketentuan syariat, dan diniatkan untuk meraih kebajikan serta dimanfaatkan untuk kebaikan pula.
Kerja yang Islami adalah bekerja untuk mencari rezeki yang halal dan diinfakkan pada jalan yang halal pula sehingga harta tersebut dapat menjadi wasilah untuk meraih kebahagian hidup dunia dan akherat. Sebaliknya, kerja tidak Islami, adalah bekerja mencari rezeki dengan cara yang melanggar ketentuan syariat (cara-cara yang haram) dan biasanya dihambur-hamburkan untuk kegiatan yang haram pula. Dalam realitas kehidupan banyak orang kaya dari uang panas biasanya digunakan untuk judi, mabuk-mabukan dan kemaksiatan lainnya. Sehingga orang tersebut sepintas tampak hidup bahagia, namun yang bersangkutan justru merasa hidup menderita, dan pelariannya bukan beribadah dan berzikir mengingat Allah, namun lari kepada miras dan narkoba. Harta yang diperoleh dengan cara-cara yang haram akan menjadi sumber penderitaan di dunia dan akherat.
Sebagai tuntunan dalam bekerja mencari rezeki, Nabi saw memberikan arahan dalam sebuah sabdanya: “sesungguhnya Jibril meniupkan ke dalam hatiku bahwanya jiwa itu tidaklah mati hingga dilengkapi rezekinya. Maka, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan berlaku baiklah dalam mencari rezeki. Janganlah karena keterlambatan rezeki itu menjadikan kalian mencarinya dengan melakukan maksiat kepada Allah. Sesungguhnya tidak akan dicapai apa yang terdapat di sisi Allah, melainkan taat kepada-Nya (HR Hakim).
Untuk kondisi saat ini pedagang yang menghalalkan cara akan menimbun barang untuk dijual pada saat harga barang naik seiring dengan rencana kenaikan harga BBM. Bahkan meskipun kenaikan harga BBM masih ditunda, namun para pedagang sudah ramai-ramai menaikkan harga barang dagangannya. Menaikan harga barang dagangan sebenarnya adalah wajar sesuai mekanisme pasar, namun menjadi tidak wajar bagi pedagang yang menimbun barang untuk dijual pada saat harga barang naik, yang dikenal dengan ihtikar dalam Islam. Tindakan menimbun barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat seperti sembako, dan BBM merupakan perbuatan haram karena sangat merugikan masyarakat. Penimbunan barang untuk mendapatkan keuntungan besar sama artinya bersenang-senang di atas penderitaan orang banyak.
Dalam setiap kerja disyaratkan (1) kita tidak merugikan orang lain, (2) saling meredlai, saling memberi manfaat, (3) dilakukan bukan secara haram, (4) tidak mengandung unsur penipuan, (5) saling meningkatkan kesejahteraan, dan (6) tidak merusak lingkungan kerja serta tidak maksiat kepada Allah.
Di samping itu etos kerja Islami juga tidak terlepas dari 3 hal, yaitu niat, cara dan tujuan. Dalam Islam kita dianjurkan untuk mengerjakan sesuatu dengan niat untuk mendapatkan redla Allah. Dengan niat seperti itu, berarti kita telah memberi makna yang lebih tinggi dan mendalam kepada pekerjaan kita. Suatu pekerjaan yang dilakukan tanpa tujuan luhur, untuk memperoleh redla Allah bagaikan bayang-bayang yang hampa tanpa wujud, tidak punya nilai substansial apa-apa. Firman Allah dalam QS an-Nur: 39 
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا 

‘Orang-orang kafir itu, amal perbuatannya bagaikan fatamorgana di lembah padang pasir. Orang yang kehausan mengiranya air, namun ketika didatangi, ia tidak mendapatkannya sebagai sesuatu apapun.’
Dengan niat yang ditujukan kepada Allah, kita tidak akan melakukan pekerjaan kita secara asal-asalan, namun dilakukan secara sungguh-sungguh dan teliti karena kita bertanggungjawab kepada-Nya. Dengan demikian etos kerja mengandung makna ganda, yakni sebagai sarana ibadah kepada Allah dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia. Dalam kaitan ini etos kerja merupakan manifestasi keyakinan seorang muslim bahwa kerja memiliki kaitan dengan tujuan hidup yaitu memperoleh keredhaan Allah. Dengan kata, etos kerja dalam islam adalah cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja bukan hanya memuliakan dirinya sendiri, atau mewujudkan kemanusiaannya, melainkan sebagai manifestasi amal saleh (karya produktif) yang karenanya memiliki nilai ibadah yang sangat luhur.
Penghargaan hasil kerja dalam Islam, kurang lebih setara dengan iman, bahkan bekerja dapat dijadikan jaminan atas ampunan dosa seperti sabda Nabi saw:

“Barangsiapa yang di waktu sorenya  merasakan kelelahan karena bekerja, bekerja dengan tangannya sendiri maka di sorenya itulah diampuni dosa-dosanya.”

Bahkan bekerja mencari nafkah itu baik untuk keperluan diri sendiri maupun untuk keluarga dinilai setara dengan jihad.  Bukankah bekerja mencari nafkah merupakan usaha memerangi kemiskinan, sehingga sangat wajar jika diposisikan setara dengan jihad. Karena itu dalam bekerja, seorang muslim dianjurkan untuk diniatkan untuk mencari reda Allah. Sehingga cucuran keringat dan kelelahan yang dialaminya tak sia-sia. Namun justru dicatat sebagai kerja ibadah di sisi Allah Yang Mahakaya dan Mahapemberi rezeki.
 


Jumat, 28 Maret 2014

PEREMPUAN SEBAGAI KEPALA NEGARA (Perspektif Hukum Islam)

Dr. La Jamaa, MHI


A. Pendahuluan
Sejalan dengan perkembangan zaman, perempuan telah berkiprah dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam kaitan ini telah banyak perempuan yang berhasil meraih jabatan, mulai dari yang rendah sampai posisi puncak dalam suatu lembaga atau negara. Bahkan sejarah telah mencatat beberapa perempuan yang jaya di panggung politik dan menduduki jabatan menteri, wakil peresiden hingga presiden atau perdana menteri.
Dari realitas tersebut telah muncul polemik di kalangan umat Islam, khususnya para ulama, berkaitan dengan pandangan hukum Islam terhadap keberadaan perempuan dalam jabatan-jabatan strategis di sektor publik itu. Polemik ini berawal dari pandangan tentang perbedaan struktur biologis antara laki-laki dan perempuan yang berimplikasi pada peran yang diembannya dalam masyarakat. Dari struktur anatomi biologis, perempuan  dianggap memiliki beberapa kelemahan dibandingkan dengan laki-laki.
Jelasnya, bahwa anatomi biologi laki-laki sangat memungkinkannya dalam menjalankan sejumlah peran utama dalam masyarakat (sektor publik) karena dianggap lebih potensial, lebih kuat dan lebih produktif. Organ reproduksi dinilai membatasi ruang gerak perempuan, karena secara kodrati mereka akan hamil, melahirkan dan menyusui. Sedangkan laki-laki secara kodrati tidak memiliki fungsi reproduksi tersebut. Perbedaan itu melahirkan pemisahan fungsi dan peran serta tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan. Dalam hal ini laki-laki dipandang cocok berperan di sektor publik sedangkan perempuan dipandang cocok berperan di sektor domestik (rumah tangga).
Bahkan kata “perempuan” itu sendiri dalam bahasa Arab mempunyai konotasi inferior (lemah lembut, pelupa, penghibur, akalnya kurang) berlawanan  dengan “laki-laki” yang dalam bahasa Arab berkonotasi superior (cerdas, berpikir, dan kuat).1 Tampaknya pandangan tersebut didukung oleh tekstual QS. Al-Nisa (4): 34 bahwa:   
                                                    عَلَى النِّسَاءِ   الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
‘Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan...’2
Terhadap ayat ini ada yang memahaminya secara zahir (tekstual), yang seakan-akan menunjukkan bahwa yang layak menjadi pemimpin hanyalah laki-laki. Sebaliknya perempuan hanya layak dipimpin oleh laki-laki. Pemahaman seperti ini diklaim mencakup segala aspek kehidupan dan peran sosial masyarakat. Dengan pemahaman ini, maka perempuan tidak bisa menjadi pemimpin apalagi pemimpin pada posisi puncak dalam sektor publik. Perempuan  hanya cocok berperan di sektor domestik sebagai ibu rumah tangga. Pemahaman tersebut mendasarkan argumentasinya pada sabda Nabi saw:     3 
                        لن  يفلح قوم  و لوا  أمر هم إمرأة   (رواه البخارى  )                            
‘Tidak akan beruntung (sukses) suatu kaum yang menyerahkan urusan (publik) mereka kepada perempuan.’ (HR Bukhari dari Abu Bakrah)
Namun masalahnya adalah apakah memang demikian makna ayat 3 surat al-Nisa di atas? Jelasnya, apakah teks QS. Al-Nisa: 34 mengandung makna bahwa hanya laki-laki saja yang dianggap memiliki kualifikasi (keahlian) sebagai pemimpin, baik sebagai kepala rumah tangga (sektor publik), maupun dalam kehidupan sosial masyarakat (sektor publik)? Kalau memang demikian pemahamannya, maka apakah tidak akan melahirkan image bahwa al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam telah melakukan diskriminasi terhadap peran sosial antara laki-laki dengan perempuan? Pertanyaan ini perlu didiskusikan lebih lanjut.
Berdasarkan asumsi di atas, tulisan ini bermaksud menganalisis tentang perempuan yang menduduki jabatan kepala negara dalam perspektif  hukum Islam.
B. Stereotype Laki-laki dan Perempuan
Secara biologis laki-laki dan perempuan memang memiliki anatomi yang berbeda. Dari sudut genetika, laki-laki dan perempuan memiliki kromosom seksual yang berbeda. Perempuan memiliki dua kromosom yang sejenis, ykni XX, sehingga disebut homogametics seks. Sedangkan laki-laki memiliki dua kromosom yang berbeda, satu di antaranya  X sama dengan perempuan, dan lainnya Y, khusus bagi laki-laki. Kromosom laki-laki disebut heterogametics seks, karena ia memiliki dua jenis kromosom yang berbeda yaitu XY.4
Dalam proses pembentukan embrio (zygota/janin) manusia, jenis kelamin anak menjadi laki-laki atau perempuan sejak ditentukan oleh kromosom ayah (laki-laki). Apabila sel sperma yang membuahi ovum (sel telur) perempuan pada saat konsepsi memuat kromosom Y, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki (XY). Sebaliknya, apabila sel sperma itu memuat kromosom X, maka anak yang akan lahir adalah seorang perempuan (XX).
Di samping itu secara genetika, komposisi kimia tubuh laki-laki lebih komplek daripada perempuan. Kehadiran kromosom Y memungkinkan terjadinya tambahan kontrol pada berbagai jaringan sel dalam tubuh laki-laki. Kekhususan ini dijadikan alasan di kalangan ilmuan untuk menyatakan bahwa “laki-laki secara biologis memiliki kekhususan-kekhususan dan sekaligus memberikan pengaruh secara psikologis dan sosiologis.”5
Perbedaan anatomis tubuh dan genetika antara laki-laki ternyata didramatisir terlalu jauh sehingga seolah-olah secara substansial perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Padahal anggapan laki-laki lebih kuat, lebih cerdas dan lebih stabil, sedangkan perempuan itu lemah, kurang cerdas, dan emosinya kurang stabil, hanyalah persepsi steriotyp terhadap jenis kelamin.
Jelasnya, bahwa kesuksesan seseorang sangat ditentukan oleh minimal tiga macam kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.6 Tingkat kecerdasan seseorang, sejauh yang diketahui tidak ada dua orang yang memiliki otak yang mirip. Bahkan, antara dua belahan otak pada seorang manusia sekalipun. Lekukan dan alur-alur yang terbentuk di antara keduanya sangat berbeda. Perbedaan itu akan menyebabkan perbedaan fungsi yang diperankan.6 Potensi dan fungsi otak tersebut dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Perbedaan otak bukan terletak pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi antara satu orang dengan orang lain secara umum. Siapa pun berpeluang menjadi cerdas.
Karena perkembangan kesdaran dan kecerdasan manusia, baik laki-laki maupun perempuan tidak semata-mata ditentukan oleh faktor genetik, akan tetapi ditentukan oleh faktor lingkungan dan kesempatan. Artinya, jika perempuan diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya, maka dia dapat meraih sukses seperti pemikir diperankan oleh Aisah-ummul mu’minin, Rabi’atul Adawiyah (guru para sufi) Sufyan al-Sauri, Sakinah binti Husain bin Ali, Syaikhah Syuhrah (guru Imam Syafi’i). Bahkan ada juga perempuan yang menjadi guru tokoh mazhab yaitu Mu’nisat al-Ayyubiyah binti al-Malik al-Adil, Syamiat al-Taimiyah dan Zainab binti Abd. Katif al-Bagdadi, al-Syifa Kepala Pasar Kota Madinah, Khadijah binti Khuwailid, isteri pertama Nabi saw yang sukses di bidang bisnis serta masi banyak lagi yang lainnya.8 Kenyataan biologis yang membedakan dua jenis kelamin itu telah melahirkan dua teori besar yaitu teori nature dan teori nurture.
Teori nature menganggap perbedaan peran laki-laki dan perempuan bersifat kodrati (nature: alam). Laki-laki memerankan peran utama dalam masyarakat karena dianggap lebih potensial, lebih kuat dan lebih produktif sedangkan peran sosial perempuan  terhambat oleh organ reproduksinya, sehingga hanya diberi peran di sektor domestik.
Sedangkan teori nurture beranggapan, bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak ditentukan oleh faktor biologis melainkan kontsruksi masyarakat. Jelasnya, peran sosial yang selama ini dianggap baku dan dipahami sebagai doktrin keagaamn yang absolut, sebenarnya bukanlah kehendak Tuhan dan juga bukan sebagai produk determinasi biologis sebagai produk konstruksi sosial masyarakat. 9
Dengan demikian kedua teori tersebut tidak identik sebagai ajaran agama yang bersifat mutlak kebenarannya. Justru sebaliknya penerapannya bersifat flesibel dalam kehidupan masyarakat.
C. Kepemimpinan Perempuan  dalam Fiqh
Sebelumnya perlu disajikan beberapa prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan . Dalam kaitan ini menurut Nasaruddin Umar, kesetaraan alaki-laki dan perempuan , antara lain:
1) Laki-laki dan perempuan  sama-sama sebagai hamba Allah (‘abid)
2) Laki-laki dan perempuan  sebagai khalifah di bumi
3) Laki-laki dan perempuan  menerima perjanjian primordial
4) Adam dan Hawa  terlibat secara aktif  dalam drama kosmis
5) Laki-laki dan perempuan  berpotensi meraih prestasi.10
Maksudnya, bahwa dalam  kapasitas manusia sebagai seorang hamba, laki-laki dan perempuan berpotensi dan berpeluang yang sama untuk menjadi hamba ideal (orang bertakwa), sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Hujurat (49): 13. Di samping kapasitasnya sebagai hamba, manusia adalah khalifah di bumi. Dalam hal ini laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya laki-laki dan perempuan  harus bertanggungjawab sebagai hamba Tuhan.
Begitu pula laki-laki dan perempuan  sama-sama mengemban amanat dan menerima perjanjian primordial dengan Allah (QS. Al-A’raf/7: 172). Menurut Fakhru al-Razi, bahwa tak seorang pun anak manusia yang lahir di muka bumi ini yang tidak berikrar tentang ekstensi Tuhan.11 Ini berarti, bahwa dari aspek  penerimaan perjanjian primordial itu, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan .
Semua ayat yang mengisahkan drama kosmis, yaitu cerita tentang keberadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan damir (kata ganti orang) untuk dua orang (huma) yang merujuk kepada Adam dan Hawa secara bersamaan. Penjelasan lebih rinci dikemukakan dalam QS. Al-Baqarah/2: 35, al-A’raf/7: 20, 22, 23 serta al-Baqarah/2:  187.
Dalam meraih prestasi maksimal pun, laki-laki dan perempuan  mempunyai potensi yang sama sesuai dengan QS. Al-Nisa (4): 124
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
‘Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan  sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.’12
Dari ayat di atas dapat dikemukakan bahwa al-Qur’an telah mengakui kemitrasejajaran peran laki-laki dan perempuan . Bahkan secara substansial Rasulullah saw menegaskan:
    13   إنما النساء شقا ئق الرجا ل (رواه أبو داود عن عائشة)            
‘Sesungguhnya perempuan  itu adalah belahan (mitra) laki-laki.’ (HR Abu Daud dari Aisyah)
Karena itu pemahaman terhadap ayat dan hadis yang berkaitan dengan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan  perlu diadakan reinterpretasi, termasuk fiqh. Dalam kaitan ini Amir Syarifuddin, salah seorang pakar ushul fiqh di Indonesia mengatakan, bahwa karena fiqh merupakan hasil pemikiran ulama mujtahid yang menurut dasarnya dapat mengalami perubahan/reformulasi dengan cara  mengadakan reinterpretasi terhadap dalil yang menjadi sandaran bagi pemikiran tersebut. Walaupun memang tidak melakukan reformulasi secara keseluruhannya.
Dengan demikian seandainya potensi perempuan  selama ini dianggap kurang berkembang yang menyebabkan kekurangberdayaannya dalam kehidupan masyarakat banyak disebabkan oleh budaya masyarakat yang mengitarinya dan bukan disebabkan oleh ajaran agama yang berdasarkan wahyu dan petunjuk Nabi dalam sunnahnya. Dalil-dalil yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan dalam interaksi sosial bukanlah harga mati, mengingat tampilnya Siti Aisyah dalam kehidupan sosial dan politik dengan seizin Nabi dan begitu pula para sahabat Nabi belakangan tidak pula menghalanginya.14
Bahkan al-Qur’an mengabadikan citra perempuan  ideal yang mempunyai kemandirian politik, seperti sosok Ratu Balqis, penguasan perempuan  yang mempunyai kekuasaan besar (super power), yang dikisahkan dalam QS. Al-Naml (27): 23  
                                    إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ 
‘Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan  yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.’15
Diabadikannya kisah Ratu Balqis (penguasaan kerajaan Saba pada masa Nabi Sulaiman) ini mengisyaratkan, bahwa al-Qur’an sumber pokok hukum Islam sejak dini telah mengakui keberadaan perempuan yang menduduki puncak kepemimpinan di sektor publik. Dengan kata lain, ayat ini secara tersirat membolehkan perempuan  menjadi pemimpin, termasuk sebagai kepala negara sekalipun.
Karena itu pula ayat dan hadis yang secara zahirnya melarang perempuan  menjadi pemimpin, perlu dikaji. Ayat tersebut di antaranya, adalah QS. Al-Nisa (4): 34
                                                                           ... عَلَى النِّسَاءِ   الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
‘Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan ...’16
Ayat ini harus dipahami secara komprehensif dan bukan sepotong-sepotong sebab dalam ayat ini ada kalimat lanjutannya, yakni “karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka,” (bima fadldlala Allahu ba’dlahum ‘ala ba’dlin wa bima anfaqu min anwalihim, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah “kepemimpinan dalam keluarga (rumah tangga), dan itulah derajat yang diberikan kepada laki-laki.”17 Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah (2): 228:
                                    ... وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
Terjemahnya:
‘... dan para perempuan  mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya…’18
Ayat di atas menurut Rasyid Rida merupakan kaidah umum yang berbicara tentang kedudukan yang sama antara perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, kecuali dalam masalah kepemimpinan dalam rumah tangga.20
Penempatan laki-laki (suami) sebagai kepala rumah tangga itu sebenarnya merupakan respon terhadap kondisi sosial masyarakat Arab menjelang dan ketika al-Qur’an diturunkan. Dalam hal ini peran laki-laki mendominasi berbagai bidang kehidupan termasuk dalam sistem keluarga. Dalam masyarakat Arab, laki-laki bertugas membela dan mempertahankan seluruh anggota keluarga, bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan anggota keluarga. Konsekuensinya, laki-laki memonopoli kepemimpinan dalam semua tingkatan.
Di samping itu ayat di atas secara tersirat menunjukkan bahwa secara kodrati, laki-laki “cenderung ingin melindungi perempuan  (nature).”21 Dengan kata lain, bahwa makna kata قَوَّامُونَ sangat beragam, antara lain pelindung, pembimbing, pengayom, maupun pembimbing. Tampaknya, para mufasir dan fuqaha klasik lebih cenderung mengartikan قَوَّامُونَ sebagai pemimpin ketimbang makna-makna lainnya. Bahkan menganggap “ayat ini menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan mendidik perempuan , serta menugaskannya berada di rumah dan melarangnya keluar. Perempuan  berkewajiban menaati dan melaksanakan perintah laki-laki selama itu bukan perintah maksiat.”22
Namun sekian banyak mufasir dan pemikir Islam kontemporer memandang bahwa ayat 34 surat al-Nisa tidak dipahami demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks kehidupan rumah tangga. Menurut Quraish Shihab, bahwa kata al-rijal dalam ayat al-rijal qawwamuna ‘alan nisa, bukan berarti laki-laki secara umum, tetapi adalah “suami” karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk isteri-isteri mereka. Jika yang dimaksud dengan kata “laki-laki” adalah kaum laki-laki secara umum, tentu konsideransnya tidak demikian. Apalagi lanjutan ayat itu secara tegas berbicara tentang para isteri dan kehidupan rumah tangga.23
Di samping itu ayat di atas menunjukkan, bahwa suami dalam kapasitasnya sebagai kepala keluarga berkewajiban membimbing, mengayomi, dan membahagiakan istrinya. Hal itu sebagai implikasi dari tugas dan tanggungjawab suami sebagai pemimpin terhadap istrinya. Bukan sebaliknya, suami hanya menuntut haknya dari istri namun tidak mau melaksanakan tugasnya sebagai suami.
Alasan kedua yang dijadikan dalil agama yang melarang perempuan  menjadi pemimpin adalah hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah, bahwa “tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” Dalam hal ini hampir seluruh ahli fiqh yang melarang keterlibatan perempuan sebagai pemimpin menggunakan hadis ini sebagai dalil. Belakangan mereka memberikan argumen penguat bahwa perempuan  adalah makhluk yang kurang akalnya dan labil mentalnya. Sehingga tertutup peluang bagi perempuan  untuk menempati jabatan pimpinan pada segala bidang yang mengurusi urusan orang banyak.24
Menyangkut hadis di atas, Hibbah Rauf Izzat mengatakan bahwa sesungguhnya hadis ini harus dipahami dan dikonfirmasikan kepada sejarah tentang Persia dan Kisra. Karena hadis ini disabdakan oleh Nabi saw dalam konteks peristiwa tertentu, yaitu orang-orang Persia telah mengangkat anak perempuan  Kisra sebagai raja mereka.24
Statemen Rasulullah saw mengenai kehancuran yang akan dialami kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan yang diungkapkan dalam hadis tersebut sejalan dengan realitas sejarah. Karena secara historis tercatat bahwa setelah Kisra menyerahkan kekuasaan kepada putranya, maka anaknya itu membunuh ayah dan saudara-saudara laki-lakinya. Setelah anak itu wafat, maka kekuasaan beralih ke tangan putri Kisra yang bernama Bavaran binti Syirawiyah bin Kisra, dimana di masa pemerintahannyalah kerajan Persia itu hancur.25
Dari asbab al-wurudnya dapat diungkapkan bahwa hadis ini khusus berkaitan dengan kasus kerajaan Persia. Kalau pun ingin dipandang berlaku umum, maka hadis ini berkaitan dengan kekuasaan umum yang dipegang oleh seorang penguasa yang umum berlaku dalam negara-negara kerajaan (monarki). Dalam tradisi kerajaan yang menggunakan sistem monarki, raja memiliki otoritas penuh (kekuasaan absolut) dan menangani semua masalah kenegaraan, baik militer, pemerintahan (eksekutif), legislatif maupun pengadilan (yudikatif). Sehingga tidak ada sistem pembagian kekuasaan sebagaimana terjadi dalam sistem pemerintahan modern dewasa ini.
Dalam kondisi sosial politik di negara mana pun dewasa ini, hampir tidak ada sebuah jabatan apa pun yang memiliki otoritas penuh untuk membuat keputusan (legislatif), melaksanakannya (eksekutif), dan sekaligus mengontrolnya (yudikatif). Sebagaimana konsep kekhalifahan yang menempatkan khalifah sebagai pemimpin negara sekaligus pemimpin agama yang memiliki otoritas yang sangat besar. Konteks hadis Abi Bakrah di atas, menunjukkan bahwa putri kaisar Persia diserahi segala urusan dalam posisinya sebagai ratu, seperti yang ditunjukkan oleh kata “wallau” (memberikan kekuasaan). Inilah yang tidak disetujui Nabi saw. Hadis di atas berlaku secara khusus. Sehingga jika ada seorang perempuan  memiliki kemampuan (keahlian/kecakapan) untuk menjabat pimpinan, maka di pos kepemimpinan mana pun dibolehkan oleh hukum Islam.26
Dengan demikian dalalah hadis Abu Bakrah harus digunakan kaidah: al’’ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafzi (yang dilihat adalah kekhusan sebab, bukan keumuman lafaz).27 Qurasih Shihab pun memandang hadis ini bersifat khusus. Hadis tersebut ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan.28
Dari segi dalil, hadis Abu Bakrah  tidak cukup syarat untuk dijadikan pelarangan keterlibatan perempuan  sebagai pemimpin. Karena menurut ushul fiqh, sebuah nash, baru dapat dikatakan menunjukkan larangan (pengharaman) jika memuat setidaknya hal-hal berikut:
(1) secara redaksional, nash dengan tegas mengatakan haram.
(2) nash dengan tegas melarangnya dalam bentuk nahi
(3) nash diiringi oleh ancaman
(4) menggunakan redaksi lain yang menurut gramatika bahasa Arab menunjukkan tuntutan harus dilaksanakan.29
Dengan demikian hadis di atas tidak melarang secara tegas perempuan menjabat tugas kepemimpinan. Tegasnya, bahwa kehancuran kerajaan Persia saat dipimpin oleh putri Kaisar bukan karena dia seorang perempuan  namun lebih disebabkan oleh kecakapan atau keahliannya sebagai kepala negara. Sebab keahlian dalam kepemimpinan tidak semata-mata berkaitan dengan kodratnya, sebagai laki-laki atau perempuan. Tetapi lebih dipengaruhi oleh lingkungan dan kesempatan seseorang dalam mengakses informasi ilmu pengetahuan. Tingkat keahlian dalam memimpin justru lebih logis dilihat dari sudut sosiologis, bahkan secara tekstual ada hadis yang mengkaitkan kegagalan suatu urusan yang dipercayakan kepada orang yang tidak ahli (profesional). Dalam hal ini Nabi saw bersabda:
30 إذا و سد الأمر إلى غير أهله فا نتظر الساعة (رواه البخارى عن أبي هر يرة)
‘Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka waspadalah terhadap datangnya kehancuran.’ (HR Bukhari dari Abu Hurairah)
Kata kehancuran (al-sa’ah) dalam hadis di atas berarti kebinasaan atau kehancuran, baik kehancuran kehidupan dunia pada hari kiamat maupun kehancuran di dunia ini akan dialami oleh kaum atau bangsa yang menyerahkan urusan umum (apalagi urusan kenegaraan) kepada orang yang tidak ahli.
Dengan demikian hadis Abu Bakrah berkaitan dengan ketidakcakapan putri Kaisar sebagai ratu (kepala negara) Persia dalam memimpin negaranya. Hal ini terjadi karena secara kultural di negara Persia, yang dididik untuk menggantikan raja adalah laki-laki sedangkan anak perempuan tidak diberi kesempatan mendapatkan pendidikan yang memadai. Jadi, bukan karena kodratnya sebagai  perempuan  yang menjadi pemicu negara Persia hancur di masa pemerintahannya. Kalau saja sang putri Kaisar mempunyai keahlian dalam memimpin negara Persia, maka kehancuran itu belum tentu terjadi.
Dalam konteks kepemimpinan putri kaisar Persia itulah pendapat Yusuf Qardawi sangat tepat. Menurut pendapat Yusuf Qardawi, bahwa perempuan dilarang menjadi kepala negara karena potensi perempuan biasanya tidak tahan untuk menghadapi situasi konfrontansi yang mengandung resiko berat.31 Karena model kepemimpinan kepala negara zaman klasik memang mengurus semua hal termasuk dalam masalah pertahanan negara sedangkan dalam sistem pemerintahan sekarang telah terjadi pembagian kekuasaan. Kepala negara tidak harus terjun langsung dalam masalah-masalah yang memang telah menjadi kewenangan bawahannya.
Berdasar pada asumsi keahlian dalam memimpin suatu urusan publik itu, maka perempuan  boleh menjadi pemimpin. Bukan saja dalam tingkatan yang rendah, tetapi boleh menduduki jabatan publik di posisi puncak. Bukan saja sebagai hakim seperti pendapat Abu Hanifah, tetapi bisa menjadi kepala negara sekalipun. Tegasnya, bahwa perempuan  boleh menjadi kepala negara, asalkan dia profesional atau cakap (memiliki keahlian) sebagai negarawan dalam memimpin negara.
D. Rangkuman
 
1. Ketentuan ayat al-rijal qawwamuna ‘ala al-nisa berlaku khusus dalam kehidupan rumah tangga, yakni
    suami sebagai kepala keluarga, apapun status sosial atau jabatan isteri dalam sektor publik walau presiden sekalipun seperti ibu Megawati tetap sebagai isteri, tidak bisa berubah status menjadi suami.

2. Hadis tentang berita kehancuran kerajaan Persia karena dipimpin oleh seorang perempuan, adalah berlaku khusus untuk kondisi zaman itu dan realitas sosial kerajaan Persia serta ketidakmampuan Putri Kaisar sebagai kepala negara.
3. Perempuan yang memiliki keahlian atau kompetensi memimpin negara, boleh menjadi kepala negara dalam konteks masyarakat modern karena sistem pemerintahan modern tidak sama dengan sistem monarki yang berlaku di masa klasik dimana kepala negara harus mengendalikan semua urusan kenegaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Anees, Munawar Ahmad.  Islam and Biological Futures: Ethics, Gender and Technolog, Diterjemahkan oleh Rahmani Astauti. Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia: Etika, Gender dan Teknologi Cet. III; Bandung: Mizan, 1993.
al-‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Juz VIII. Cet. I; Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989.
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim. Sahih al-Bukhari, Juz V. Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
-------. Sahih al-Bukhari, Juz I. Semarang: Toha Putra, [t.th.].
Departemen Agama R.I. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: CV Indah Press, 2002.
Izzat, Hibbah Rauf. al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyasi Ru’yah Islamiyyah. Diterjemahkan oleh Baharuddin al-Fanani, Perempuan dan Politik Pandangan Islam. Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997.
al-Khallaf, Abdul Wahab. ‘Ilm al-Usul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Falah, 1987.
Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru Tentang Relas Gender. Cet. I; Bandung: Mizan, 1999.
Pasiak, Taufik.  Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al-Quran. Cet. V; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.
Qardawi, Yusuf. Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah. Diterjemahkan oleh As’ad Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2. Cet. II; Jakarta: PT Gema Insani Press, 1996.
-------. Malamih al-Mujtama’ al-Muslim Allazi Nansyuduhu. Diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo, Anatomi Masyarakat Muslim. Cet. II; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000.
al-Qurtubi. Fi Zilal al-Qur’an, Juz II. Bayrut: Dar al-Tiras li al-‘Arabi, 1990.
Al-Razi, Fakhru al-Din. al-Tafsir al-Kabir, Jilid XV. Bayrut: Dar al-Ihya al-Tiras al-‘Arabi, 1990.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar, Juz II. Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992. 
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. XVI; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.
Al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as. Sunan Abi Daud, Juz III. Bayrut: Dar al-Fikr, 1990.
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur’an Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 1999.
Syarifuddin, Amir. Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer Indonesia. Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Djalil, Abdul, dkk. Fiqh Rakyat Pertautan dengan Kekuasaan. Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2000.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Cet. I; Jakarta; Paramadina, 1999.  
al-Zuhaili, Wahbah. Usul al-Fiqh al-Islami, Juz I. Bayrut: Dar al-Fikr, 1989.



1Lihat Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur’an (Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 18-19.
2Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press, 2002), h. 123.
3Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz V (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h. 160.
4Lihat Munawar Ahmad Anees, Islam and Biological Futures: Ethics, Gender and Technology, diterjemahkan oleh Rahmani Astauti, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia: Etika, Gender dan Teknologi (Cet. III; Bandung: Mizan, 1993), h. 200.
5Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an (Cet. I; Jakarta; Paramadina, 1999), h.  
6Lihat Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al-Quran (Cet. V; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), h. 15-17.
6Lihat ibid., h. 53.
8Lihat Zaitunah Subhan, op.cit., h. 57.
9Lihat Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender (Cet. I; Bandung: Mizan, 1999), 93.
10Lihat Nasaruddin Umar, op,cit., h. 248-263.
11Lihat Fakhru al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Jilid XV (Bayrut: Dar al-Ihya al-Tiras al-‘Arabi, 1990), h. 402.
12Departemen Agama R.I, op.cit., h. 142.
13Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz III (Bayrut: Dar al-Fikr, 1990), h. 120.
14Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer Indonesia (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.  179.
15 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 596.
16Ibid., h. 123.
17Yusuf Qardawi, Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah, diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2 (Cet. II; Jakarta: PT Gema Insani Press, 1996), h. 528.
18Departemen Agama R.I, op.cit., h. 55.
20Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Juz II (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h. 
21Ratna Megawangi, op.cit., h. 195.
22M. Quraish Shihab, Wawasan Al Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. XVI; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), h. 314. Lihat pula al-Qurtubi, Tafsir fi Zilal al-Qur’an, Juz II (Bayrut: Dar al-Tiras li al-‘Arabi, 1990), h.
23Lihat M. Quraish  Shihab, loc.cit.
24Lihat Abdul Djalil, dkk., Fiqh Rakyat Pertautan dengan Kekuasaan (Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 73.
24Lihat Hibbah Rauf Izzat, al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyasi Ru’yah Islamiyyah, diterjemahkan oleh Baharuddin al-Fanani dengan judul Perempuan  dan Politik Pandangan Islam (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 108.
25Lihat Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Juz VIII (Cet. I; Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), h. 160.
26 Lihat Abdul Djalil, dkk., op.cit., h. 76-77.
27Ibid., h. 76.
28Lihat M. Quraish Shihab, op.cit., h. 314.
29Lihat Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, Juz I (Bayrut: Dar al-Fikr, 1989), h. 46. Lihat pula Abdul Wahab al-Khallaf, ‘Ilm al-Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Falah, 1987), h. 113.  
30al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz I (Semarang: Toha Putra, [t.th.]), h. 21.
31Lihat Yusuf Qardawi, Malamih al-Mujtama’ al-Muslim Allazi Nansyuduhu, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo, Anatomi Masyarakat Muslim (Cet. II; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), h. 299.

Tulisan ini dalam bentuk document dapat didoawnload pada link berikut ini:
http://www.4shared.com/file/eP2WFOecce/PEREMPUAN_SEBAGAI_KEPALA_NEGAR.html