Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Minggu, 23 Juni 2013

Hukum Islam Kontemporer
ANARKIS DALAM PEMBERANTASAN KEMUNGKARAN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


Dr. La Jamaa, MHI

          Pemberantasan kemungkaran merupakan salah satu ajaran penting dalam agama Islam. Banyak ayat dan hadis yang memberikan perhatian khusus mengenai amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan ada hadis yang secara khusus mengatur tentang tata cara mengatasi kemungkaran yang terjadi dalam masyarakat: man ra'a minkum munkaran fal yugayyru bi yadihi, fa in lam yastathi'i fa bilisanih fa in lam yastathi' fa bi qalbih. Menurut hadis ini, bahwa langkah awal mengatasi atau merubah kemungkaran tersebut adalah dengan pendekatan kekuasaan (bi yadih). Anjuran atau perintah hadis itu dipahami sebagian orang Islam bahwa dalam merubah kemungkaran boleh dilakukan dengan cara-cara anarkis. Namun pertanyaan yang muncul adalah apakah hadis tersebut menjustifikasi tindakan anarkis dalam memberantas kemungkaran? Apakah Nabi saw dan sahabatnya melakukan tindakan anarkis dalam merubah kemungkaran yang terjadi di zamannya?    
      Masalah di atas perlu ditelaah dari perspektif hukum Islam, agar tidak menimbulkan salah persepsi.

A. Pengertian Anarkis dan Munkar

Anarkis adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan sebagai upaya untuk menekan pihak-pihak yang dianggap merugikan baik kepada pelaku maupun kepada masyarakat umum. Perbuatan anarkis sering diwujudkan dengan merusak tempat-tempat maksiat atau yang disinyalir menimbulkan keresahan masyarakat karena melanggar larangan-larangan agama (khususnya Islam) seperti menjual minuman keras, membuka warung, rumah makan, restoran pada siang hari di bulan Ramadan, dan lokalisasi Pekerja seks komersial (PSK).

Terjadinya berbagai kemungkaran itu pada dasarnya erat kaitannya dengan potensi fujur yang dimiliki manusia di samping potensi takwanya. Potensi fujur mendorong manusia kepada perkataan dan perbuatan munkar. Sedangkan potensi takwa mendorong manusia kepada perbuatan saleh dan maslahat. Hal ini diisyaratkan dalam QS al-Syams: 8
                                                                                       فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
 'Kami telah mengilhamkan ke dalam (jiwa manusia) potensi fujur dan takwa.’

Karena itu fenomena kemungkaran akan selalu muncul dalam kehidupan manusia dengan kadar kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda. Hal itu pada satu sisi merupakan kelemahan manusia sehingga pada sisi lain perlu ditanggulangi agar kemungkaran tidak merajalela dalam kehidupan manusia pada umumnya dan umat Islam khususnya. Dalam konteks ini Islam memerintahkan umatnya untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Motivasi untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut seringkali dilakukan dengan terlalu bersemangat sehingga cenderung mengarah kepada tindakan anarkis. Pertanyaannya, adalah apakah Islam mentolerir tindakan anarkis dalam pemberantasan kemungkaran? Untuk itu perlu dijelaskan makna anarkis dan munkar itu sendiri.


Kata munkar berasal dari bahasa Arab, yang berarti sesuatu yang tidak dikenal. Munkar merupakan lawan dari kata ma’ruf, yang berarti sesuatu yang dikenal kebaikannya, munkar, adalah sesuatu yang dikenal kejelekannya.[1]

Munkar tidak hanya berupa perbuatan atau tindakan, akan tetapi juga berupa perkataan. Setiap perkataan yang menjauhkan diri dari Allah adalah perkataan munkar. Di antara perbuatan munkar adalah:

1) Homoseksual atau lesbian

Salah satu masalah yang dihadapi nabi Luth as adalah merajalelanya homoseks (lesbian) dalam masyarakatnya. Sehingga beliau berkata kepada kaumnya seperti diabadikan dalam QS al-Ankabut: 29

                          أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ 
ِِِ'Apakah kalian patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan itu.’

Homoseksual dan lesbian telah merajalela pula di zaman ini terutama di kota-kota besar yang banyak diperankan oleh para waria bagi peminat homoseksual dan sesama wanita bagi peminat lesbian. Bahkan praktek homoseksual dan lesbian tersebut terkadang dilakukan secara terang-terangan sehingga menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, karena kemungkaran homoseksual dan lesbian harus diberantas.

2)  Berzina

Zina adalah hubungan seksual antara laki-laki dengan wanita di luar akad perkawinan yang dilakukan secara suka sama suka. Hal ini identik dengan pemerkosaan yaitu hubungan seksual antara laki-laki dengan wanita yang bukan suami istri yang dilakukan dengan paksaan dari pelaku kepada korban. Pada umumnya pelaku pemerkosaan adalah laki-laki sedangkan korbannya adalah wanita. Dalam kasus zina, laki-laki dan wanita merupakan pelaku kemungkaran sedangkan dalam kasus pemerkosaan yang melakukan kemungkaran adalah laki-laki, dan yang wanita menjadi korban kemungkaran itu sendiri.

Praktek zina telah menjadi fenomena dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah. Namun pada masa sekarang, zina seolah-olah telah dianggap sebagai perbuatan biasa, lumrah dan hampir tidak dianggap tabu atau dosa lagi. Sehingga zina telah menjadi gaya hidup, bahkan diorganisir dan dilokalisir menjadi industri bisnis yang mendatangkan keuntungan yang sangat besar baik di kota-kota besar maupun kota-kota kecil. Bahaya zinapun bukan saja menjadi sumber penyebab keretakan rumah tangga hingga perceraian namun berkembang menjadi penyebab penyakit HIV AIDS yang mematikan itu.

Sebenarnya zina sebagai suatu kemungkaran telah dirasakan oleh manusia sejak masa dahulu seperti ketika Maryam menggendong bayi (putranya Isa bin Maryam), padahal Maryam belum mempunyai suami karena memang belum menikah, maka kaumnya menuduh Maryam telah berbuat kemungkaran (zina) seperti yang disebutkan dalam QS Maryam: 27
                                                                                           يَا مَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئًا فَرِيًّا

’Hai Maryam sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar (fariyya).’


3) Membunuh

Sebelum nabi Musa as mengikuti Khidir, sudah diberi syarat oleh Khidir agar Musa tidak mempertanyakan apa yang dilakukan Khidir sebelum diberi penjelasan. Ketika Khidir membocorkan perahu, Musa tidak sabar dan menanyakan alasan pembocoran itu kepada Khidir. Begitu pula ketika Khidir membunuh seorang pemuda, Musa berkata ”mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau telah melakukan perbuatan yang mungkar (nukra)’ (QS al-Kahfi: 74)

Ketiga jenis perbuatan yang disebutkan di atas hanya sebagian kecil jenis kemungkaran. Karena masih banyak jenis kemungkaran lainnya, seperti:
  • Zihar terhadap isteri (istri dibiarkan terlantar, tidak diberi nafkah lahir dan batin tetapi tidak diceraikan). Zihar tersebut mengakibatkan penderitaan lahir dan batin bagi istri, karena istri tidak memiliki kepastian tentang status dirinya. Pada satu sisi dia masih terikat pernikahan dengan suaminya namun pada sisi lain dia tidak mendapatkan hak-haknya sebagai istri sah (baik nafkah lahirian, maupun nafkah batin). Hal itu menyebabkan istri dalam kondisi dilematis. Penderitaannya tak diketahui secara pasti akan berakhir, apalagi dia juga tidak bisa menikah dengan laki-laki lain lantaran dia masih terikat pernikahan dengan suami yang telah menziharnya. Begitu juga sikap 'ila yang dilakukan suami kepada istrinya yang menyebabkan istri tersiksa, statusnya terkatung-katung. Hanya berstatus sebagai istri sah namun tidak mendapatkan hak-haknya. Hal yang sama suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, maupun penelantaran rumah tangga. Dalam kaitan ini suami telah melakukan kemungkaran. 
  • Mencuri, sebagai suatu tindakan mengambil barang orang lain secara diam-diam untuk dimiliki secara melawan hukum tanpa diketahui pemiliknya. Tindakan pencurian merupakan salah satu jenis kemungkaran yang telah diketahui oleh semua manusia pada semua tempat dan setiap zaman. Seiring dengan perkembangan zaman, term pencurian berkembang menjadi lebih luas berupa suap, gratifikasi baik bentuk uang, barang maupun seks, korupsi. Akibat kerugian yang disebabkan pencurian pada dasarnya lebih kecil dibandingkan dengan suap, gratifikasi dan korupsi. Dengan demikian suap, gratifikasi dan korupsi merupakan kemungkaran seperti halnya pencurian.
  • Meminum minuman keras dan mengkonsumsi narkoba. Pada zaman dahulu kemungkaran yang terjadi hanya melalui minuman keras yang lebih dikenal bangsa Arab zaman jahiliah dengan khamar, yang dilarang karena memabukkan. Dalam konteks kekinian, melakukan jual beli wanita untuk kepentingan seks komersial. Hal yang sama adalah premanisme yang marak terjadi dalam masyarakat yang mengakibatkan korban cedera bahkan meninggal dunia.

B. Ciri Kemungkaran

Kemungkaran ditandai dengan adanya sikap melampaui batas, sebagaimana pernah dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani (al-Ankabut: 45). Kemungkaran itu merugikan orang lain dan diri sendiri. Hati nurani manusia bisa merasakan keberadaan sesuatu yang munkar. Pelaku kemungkaran tidak akan merasakan ketenteraman dan ketenangan karena hal itu bertentangan denga nurani dan fitrah manusia. Tegasnya, kemungkaran adalah perbuatan dosa.

Dengan demikian ciri khas perbuatan mungkar adalah perbuatan yang bernuansa melanggar etika dan hukum Islam atau menimbulkan kerugian baik kepada orang lain maupun diri sendiri serta mengandung nilai dosa. Dalam kaitan ini Nabi saw telah memberikan tanda (parameter) untuk mengetahui suatu perbuatan dosa, yakni ”suatu perbuatan yang malu jika diketahui orang lain.” Sehingga bisa diketahui atau dideteksi oleh hati nurani yang bersih. Karena itu akan menimbulkan rasa bersalah dalam hati setelah perbuatan itu dilakukan. Namun tingkat kekuatan deteksi hati nurani  akan menurun atau lemah jika yang bersangkutan telah terbiasa melakukan kemungkaran atau dosa.

C. Dakwah Penanggulangan Kemungkaran

Pada prinsipnya kemungkaran harus diberantas. Minimal diminimalisir dalam kehidupan manusia. Dalam kaitan upaya yang harus dilakukan dapat dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap preventif dan kuratif.

Tindakan preventif terhadap bahaya kemungkaran dapat dilakukan untuk kehidupan individu, maupun kelompok masyarakat. Sebagai upaya preventif Allah memberi resep agar manusia terhindar dari kemungkaran dengan melakukan shalat seperti firman Allah dalam QS al-Ankabut: 45
                                                               إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ 

”Sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.’

Shalat dapat menghindarkan manusia dari kemungkaran karena salat merupakan media komunikasi antara seorang hamba (manusia) dengan Allah serta memberikan kesadaran tentang pengawasan Allah terhadap segala tutur kata dan tindakannya. Walaupun tutur kata atau perbuatannya tidak didengar, dilihat atau diketahui orang lain namun dia sadar bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Jangkauan CC TV Allah maha luas, mampu menjangkau segala sesuatu yang dilakukan manusia di mana dan kapan saja, sehingga tidak ada peluang lepas dari pantauan kamera CC TV Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat itu. 

Akan tetapi saat ini banyak orang yang melakukan gerakan shalat tetapi sekaligus menjadi pelaku kemungkaran. Hal itu mengisyaratkan bahwa mutu salatnya belum sesuai dengan standar yang diinginkan Allah swt.

Menurut hukum Islam untuk menghindari kemungkaran dan menanggulangi kemungkaran yang sudah terjadi adalah melalui dakwah amar ma’ruf nahi munkar yakni memerintahkan kepada yang makruf (perbuatan baik) dan melarang yang mungkar (perbuatan dosa). Tegasnya, amar ma’ruf nahi munkar, adalah memerintahkan atau mengajak diri sendri dan orang lain melakukan hal-hal yang dipandang baik oleh agama, dan melarang/mencegah diri sendiri dan orang lain dari melakukan hal-hal yang dipandang buruk oleh agama.[2]

Amar ma’ruf nahi munkar menurut ulama adalah merupakan kewajiban atau fardu kifayah dan bahkan ada yang menganggapnya sebagai fardu ’ain bagi setiap muslim. Hal itu didasarkan kepada QS Ali Imran: 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

’Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.’

Demikian juga diperkuat dalam hadis Nabi saw

قَالَ أَبُو سَعِيدٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ[3]


’Abu Sa’id berkata; saya mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu (berbuat demikian), maka ubahlah dengan lisannya. Maka jika tidak mampu (berbuat demikian juga), maka ubahlah dengan hatinya (mendoakan), yang demikian adalah selemah-lemah iman.’ (HR Nasai)

Menurut Ibn Taimiyah makna hadis ini adalah mengubah dengan tangan yaitu dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar melalui kekuasaan. Atas dasar itu, amar ma’ruf nahi munkar dalam kasus seperti ini menjadi wewenang wilayat al-hisbah yang dijalankan oleh petugasnya yang disebut dengan muhtasib. Tugas amar ma’ruf nahi munkar bagi muhtasib ini hukumnya fardu ’ain (kewajiban individu).

Melakukan amar ma’ruf nahi munkar melalui lisan dan hati merupakan tugas setiap muslimin, sehingga hukumnya menjadi fardu kifayah (kewajiban kolektif), yang jika sudah dilakukan sebagian kaum muslimin, maka gugurlah kewajiban kaum muslimin yang lain. Al-Gazali juga berpendapat sama bahwa amar ma’ruf nahi munkar bagi setiap muslim adalah fardu kifayah. Al-Gazali menafsirkan kata ”min” dalam QS Ali Imran: 104 mengandung makna tab’id (sebagian).[4]

Menurut al-Gazali, amar ma’ruf nahi munkar dalam kerangka wilayat al-hisbah harus memenuhi 4 syarat, yakni (1) al-muhtasib (petugas khusus yang ditunjuk untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar); (2) al-muhtasab fih (perbuatan yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar); (3) al-muhtasab ’alaih (orang yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar); dan (4) nafs al-muhtasib (pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar).

Syarat al-muhtasib ada 4: (1) mukallaf: orang Islam yang telah dibebani tanggung jawab keagamaan, jika ia sudah berusia balig dan berakal; (2) beriman; (3) adil, dan (4) mampu melakukan tugas amar ma’ruf nahi munkar baik dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya, baik secara langsung maupun melalui tulisan.

Perbuatan mungkar yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar (al-muhtasab fih), harus memenuhi 4 syarat:

1) Yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar hendaklah perbuatan yang benar-benar mungkar, yakni dilarang oleh agama, siapa pun pelakunya. Misalnya seorang anak kecil yang ditemukan sedang meminum khamar atau seorang pria gila yang ditemui sedang berzina dengan wanita yang gila.

2) Perbuatan mungkar itu terjadi di hadapan al-muhtasib atau perbuatan itu tidak terjadi di hadapannya tetapi diketahuinya melalui qarinah (tanda-tanda penguat) yang menunjukkan adanya perbuatan mungkar tersebut, atau ada pengaduan dari orang yang dirugikan dengan bukti-bukti yang nyata.

3) Perbuatan mungkar itu diketahui dengan jelas oleh al-muhtasib bukan atas dasar isu atau desas desus, karena pengetahuan yang didasarkan pada isu dan desas desus dilarang oleh Allah dalam QS al-Hujurat/49: 12
وَلا تَجَسَّسُوا
   ’...Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain

4) Perbuatan mungkar itu diketahui secara pasti, bukan atas dasar ijtihad. Sebab sesuatu yang dipandang buruk berdasarkan ijtihad seseorang, bukan akan dipandang baik oleh orang lain.

Orang yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar (muhtasab ’alaih) mencakup semua manusia dengan segala bentuk kepercayaan dan profesinya, baik mukallaf atau bukan, pria atau wanita mencakup semua lapisan sosial.

Tindakan amar ma’ruf nahi munkar mencakup beberapa tingkatan, yakni:

1) al-Ta’ruf, yaitu upaya untuk mengenal kemungkaran secara jelas dan obyektif, bukan melalui isu dan desas desus.

2) al-Ta’rif, yaitu memperkenalkan hal yang ma’ruf kepada orang yang melakukan perbuatan mungkar karena mungkin ia berbuat demikian karena dia tidak tahu terhadap yang ma’ruf.

3) Mencegah perbuatan yang mungkar dengan pengajaran yang baik dan nasehat-nasehat yang bijaksana serta mengemukakan takhwif bi Allah, yaitu bagaimana siksaan Allah atas orang yang melakukan kemungkaran.

4) Al-Sabb wa ta’nif (mencerca dan bertindak tegas) atas pelaku perbuatan mungkar dengan kata-kata yang keras dan kasar. Hal ini ditempuh jika telah dilakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara halus dan lembut. Cara terakhir ini pernah dilakukan oleh nabi Ibrahim dengan ucapannya: ”ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah.’[5]

Berdasarkan uraian di atas tampaknya tidak layak melakukan tindakan anarkis dalam memberantas kemungkaran. Karena akan menimbulkan ironi kemungkaran diatasi dengan kemungkaran pula. Hal itu tentu berbeda dengan tindakan tegas dari aparat penegak hukum (mirip al-muhtasib) terhadap pelaku kemungkaran.

Bahkan menurut al-Qur’an dakwah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan tiga metode yaitu (1) mengemukakan hikmah (perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil), (2) pengajaran yang baik, dan (3) diskusi atau berdebat, sesuai QS al-Nahl/6: 125




ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ 
’Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.’


  Statemen al-Qur’an ini tidak mengisyaratkan penggunaan tindakan anarkis dalam memberantas kemungkaran. Penggunaan tindakan anarkis dalam pemberantasan kemungkaran bukanlah suatu langkah yang Islami (amar ma’ruf nahi munkar). Justru tindakan itu merupakan amar munkar, dan bukan nahi munkar. Karena itu pemberantasan kemungkaran tetap harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan etika dan hukum Islam atau tidak melanggar etika dan hukum Islam.
Namun demikian tindakan tegas dalam memberantas kemungkaran tidak identik/tidak bisa disamakan dengan tindakan anarkis.  Sebab dalam realitas kehidupan umat Islam dewasa ini, seringkali muncul perilaku kemungkaran yang dilakukan secara terang-terangan. Bahkan dipertontonkan kepada khalayak ramai, seolah-olah sebagai perilaku yang lumrah. Sebab standar lumrahnya suatu perbuatan bukan semata-mata berdasarkan adat istiadat, namun ditentukan oleh aturan syariat bagi muslim. Sikap tegas sekali lagi bukanlah anarkis, sebab aturan hukum pada hakekatnya bersifat MEMAKSA. Hal itu menunjukkan bahwa setiap muslim wajib tunduk dan patuh kepada perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya. 




















[1]Ahmad Hariady, “Munkar,” Tafsir Kunci Al-Qur’an, http://katakuncialquran.wordpress.com/ 2007/07/12/munkar (30-9-2012)
[2]Lihat Abdul Azis Dahlan, et al. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 1 (Cet. I; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h.104.
[3] CD Digital Hadis Sunan al-Nasai, kitab al-iman wa Syara’ih nomor hadis 3922
[4] Lihat Abdul Azis Dahlan, et al, op.cit., h. 104-105.


[5] Lihat ibid., h.106.


Catatan Tambahan:

Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul: PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: In Indonesia Criminal Law and Islamic Law yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman. Buku tersebut dapat dibeli toko buku online mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman seharga 74,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini: http://www.morebooks.de/store/bookprice_offer/show?token=58128ac02eb5828663bd59fe736ca2a9941d106a&auth_token=d3d3LmxhcC1wdWJsaXNoaW5nLmNvbToyZWQxNTcyMDM5M2YwMDMzYzhkYjE2MjFiYmJjYjQ3Zg==&locale=gb

2 komentar:

  1. Assalamu'alaikum wr wb, dari tulisan bapak di atas,Alhamdulillah saya dapat memahami bagaimana caranya menagatasi kemungkaran dalam pandangan islam, dan saya sarankan kepda sesama umat islam jangan hanya dengan memahami hadits dan ayat Al-qur'an dalam hal kontekstual saja, akan tetapi haruslah memahaminya dari penafsiran para mufassir. dengan demikian kita dapat memahami hukum islam ini secara kaffah. dan mengajak orang kepda kebaikan dengan bil hikmah,

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum.wr.wb . . .

    Muhammad Zaid Ulath [ JS A ]
    Pendapat saya adalah bahwa pilihan bernahi mungkar (tangan, lisan. hati) sangat berkaitan erat dengan kondisi sosial hal inilah yang diamalkan oleh para ulama kita, berbeda dengan pemahaman orang – orang yang mengangap bahwa pilihan bernahi mungkar berkaitan dengan kondisi orang yang bernahi mungkar. Mereka menganggap bahwa siapa yang bisa memberantas kemungkaran dengan tangannya maka dialah orang yang paling kuat imannya, siapa orang yang bisa memberantas kemungkaran hanya dengan lisan maka orang itu memiliki iman yang menengah, dan orang yang hanya bisa dengan hati maka itulah orang yang mempunyai iman orang yang paling lemah, dan semua itu tanpa melihat dari efek apa yang mereka lakukan. Kentaralah sekarang, bahwa pemahaman ini sangat keliru dan tidak diamalkan oleh para ulama kita.

    Solusinya sekarang jika kita melihat ada orang yang keliru memahami cara bernahi mungkar, maka mari kita tunjuki orang itu , kita jelaska bagaimana jalan yang benar dalam bernahi mungkar sehingga warna islam kembali bercahaya di bumi ini.
    Wallahu a’lam bi shawab . . .

    Trimkasih.

    BalasHapus