Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Minggu, 21 Oktober 2018

SUMBER HUKUM ISLAM


SUMBER HUKUM ISLAM

Dr. La Jamaa, MHI

A.      Pengertian Sumber dan Dalil

Kata “sumber” dalam hukum Islam (fiqh) merupakan terjemahan dari kata Mashdar ) مصد ر  ). Kata ini sebenarnya hanya dipakai oleh para Ulama Ushul Fiqh (literatur) kontemporer sebagai pengganti kata dalil د ليل   atau lengkapnya  الأ د لة ا لشر عية
Sedangkan dalam literatur klasik, umumnya  digunakan kata dalil atau al-adillah al-syar’iyyah dan tak pernah digunakan kata   الأحكا م ا لشر عية  مصا در  (mashadir al-ahkam al-syar’iyyah).
Ulama yang menggunakan kata mashdar (sumber) sebagai pengganti al-adillah, beranggapan bahwa kedua kata itu sama artinya, karena sama-sama dipakai oleh para ulama  Ushul Fiqh.
Padahal dilihat secara Etimologis serta kaitannya dengan kata syari’ah, kata mashdhar tidak sama dengan kata Al-Adillah (dalil).
Kata sumber (  مصد ر ) berarti “suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum,” sedangkan dalil hukum berarti “sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.”
Jadi sumber hukum mengandung makna pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal dari norma hukum. Dalam artian ini, kata “sumber hukum” hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunnah (hadis), karena keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba dan dikeluarkan (diisbathkan) hukum Islam.
Tetapi ijma dan qiyas tidak bisa digolongkan sebagai sumber hukum, karena keduanya hanyalah merupakan cara atau petunjuk dalam menemukan hukum. Sehingga kata dalil mencakup Al-Qur’an, hadis serta Ijma dan Qiyas karena semuanya itu menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.
Kata dalil berasal dari bahasa Arab yaitu       د ليل    yang secara bahasa berarti “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”.
Kata “dalil” dan yang sekar dengannya, disebut sebanyak 8 kali dalam Al-Qur’an dengan arti tersebut, diantaranya QS al-Furqan: 45
ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلًا  
           “Kemudian kami jadikan matahari sebagai dalil (petunjuk)”
Secara Terminologi (istilah) Ushul Fiqh, dalil adalah “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali, baik secara qath’i maupun secara zhanni.
Jadi dalil hukum ialah “segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ berdasarkan pertimbangan yang benar dan tepat”
Al-Syathibi mengemukakan prinsip suatu dalil sebagai berikut :
1. Dalil syara’ tidak bertentangan dengan tuntutan akal. Prinsip ini didasarkan kepada :
a.       Kalau menyalahi akal, maka ia bukan dalil syara bagi hamba yang berakal
b.      Sumber taklif (pembebanan hukum) adalah akal
2. Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manusia dalam perhitungannya.
3. Setiap dalil bersifat Kulli (glabal). Jika ia bersifat Juz’i (terinci) adalah disebabkan oleh hal-hal yang datang kemudian, bukan menurut asal penetapan.
4. Dalil syara’ terbagi kepada Qath’i dan Zhanni
5. Dalil syara terdiri dari dalil naqli dan dalil aqli.
Al-Amidi membagi dalil dalam 2 kelompok besar yaitu :
1) Dalil yang Shahih menurut dirinya dan wajib diamalkan, terdiri dari :
   a. Dalil yang disampaikan oleh Nabi dalam bentuk terbaca, yaitu Al-Qur’an
   b. Dalil yang disampaikan oleh Nabi dalam bentuk tidak terbaca, yaitu sunnah,
        Al- Qur’an dan sunnah yang disebut DALIL NASH
   c. Dalil yang tidak disampaikan oleh Nabi atau bukan NASH, terdiri dari :
1)     Terpelihara dari kesalahan (ijma)
2)     Tidak terpelihara dari kesalahan tapi dapat dihubungkan kepada Nash, yaitu Qiyas
3)     Tidak terpelihara dari kesalahan dan tidak pula dihubungkan kepada Nash yaitu Istidlal
      Nash (Al-Qur’an, Sunnah) dan Ijma adalah dalil pokok sedangkan Qiyas dan Istidlal adalah cabang yang mengikuti kepada Nash dan Ijma.
2) Sesuatu yang diperkirakan dalil Shahih, tapi sebenarnya bukan dalil yaitu syaru’ man qablana, mazhab sahabi, Ishtihsan dan maslahah mursalah.
Jadi dalil syara ada 2 kelompok yaitu :
1) Dalil-dalil syara yang disepakati: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas
2) Dalil-dalil syara yang tidak disepakati : Istihsan, maslahah mursalah, istishab, naf, syar’u man qablana dan mazhab shahabi.
Kedudukan Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas disepakati oleh Ahlus Sunnah sebagai dalil secara prinsip, walaupun berbeda dalam kadar penggunaannya.
Keempat dalil itu mendapat landasan hukum yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu
a. QS. Al-Nisa : 59
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Qur’an) dan Rasul (Sunnah.”
Ä  Perintah mentaati Allah berarti perintah menjalankan hukum yang terdapat dalam Al-َQur’an
Ä  Perintah mentaati Rasul berarti perintah mengamalkan apa yang disampaikan Rasul dalam Sunnahnya.
Ä  Perintah mengikuti/mematuhi Ulul Amri berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan berdasarkan Ijma.
Ä  Perintah mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan  hukumnya kepada Allah dan Rasul berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan melalui Qiyas.
b. Hadis Nabi saw tentang  percakapkan Nabi saw., dengan Mu’az tentang langkah apa yang harus ditempuh Mu’az dalam memutuskan perkara hukum yang diajukan kepadanya.


AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM / DALIL
1. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologis Qur’an merupakan mashdar (kata turunan) dari kata qara’a (قرأ) mengikuti wazan fu’lan  ( فعلا ن ) yang berarti “bacaan, berbicara tentang apa yang tertuli padanya atau melihat dan menelaah.” Dalam pengertian ini kata قرأ ن berarti مقروء yaitu isim maf’ul (obyek) dari قرا. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam, QS. Al-Qiyamah: 17-18
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ  فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ 
“Sesungguhya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telh selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.”
قَرَأْنَاهُ  di sini berarti    قرا ء ته = bacannya/cara membacanya. Jadi,  قرأته   ,  قرأ ن قرأة    , dan    قرأ نا   , artinya sama saja, yaitu bacaan.
Menurut istilah Muhammad Abu Syahbah mendefinisikan Al-Qur’an sebagai :
كتا ب عز و جل  ا لمنز ل علي خا تم أ نبيا ئه محمد صلي ا لله عليه و سلم بلفظه و معناه ا لمنقول با لتواتر ا لمفيد للقطع و ا ليقين ا لمقتو ب في ا لمصا حف من أول سو رة ا لفا تحة إلي سو رة ا لنا س
“Kitab yang diturunkan Allah SWT kepada penutup pra NabiNya Muhammad SAW, baik lafaz dan maknanya yang dinukilkan secara mutawatir dan meyakinkan, yang tertulis dalam lembaran-lembaran mushaf mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai dengan akhir surat An-Nas”
Disamping itu Dr. Subhi Al-Salih merumuskan definisi Al-Qur’an  yng dapat diterima oleh para ahli/ulama terutama ahli bahasa, fiqh dn Ushul fiqh, yaitu :
ا لقرأ ن هو ا لكتا ب ا لمعجز علي ا لنبي صلي ا لله عليه و سلم ا لمكتوب في  لمصاحف  ا لمنقول عليه با لتواتر ا لمتعبد بتلا وته
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat/berfungsi mu’jizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad), yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang diriwayatkan dengan jalan mutawatir dan dipandang beribadah membacanya.”
Penamaan kitab ini dengan Al-Qur’an di antara kitab-kitab Allah itu, karena kitab ini mencakup inti dan kitab-kitab Allah bahkan mencakup inti dari semua ilmu. Sesuai firman Allah dalam QS. Al-Nahl : 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
 “Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Qur’an) sebagai penjelasan bagi segala sesuatu”
Dalam hal ini Dr. Muhammad Abdullah Daraz, berkat:a “Ia dinamakan Qur’an karena ia dibaca dengan lisan dan dinamakan Al Kitab karena ia ditulis dengan pena. Kedua nama ini menunjukan makna yang sesuai dengan kenyataannya.”
Ini menunjukan bahwa Al-Qur’an harus dijaga dalam bentuk hafalan dan tulisan.
2.      Fungsi Al-Qur’an
Di antara fungsi Al-Qur’an yang terpenting diantaranya:
a. Sebagai mukjizat Rasulullah SAW, untuk membuktikan kenabian dan kerasulannya serta kebenaran bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan ucapan atau ciptaan Nabi Muhammad saw. Karena kemukjizatannya Al-Qur’an (tidak bisa ditandingi atau ditiru oleh siapapun) itu berlaku sepanjang masa dan untuk seluruh umat mausia. (Lihat QS. Al-Baqarah: 23, Hud: 13 dan Al-Isra: 2)
b. Sebagai sumber segala macam aturan tentang hukum, sosial, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral, dsb, yang harus dijadikan pedoman hidup bagi umat manusia untuk menyelesaikan berbagai problema yang dihadapi, sesuai  QS. Al-Ahzab : 36
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Tak ada (hak) bagi laki-laki mukmin dan wanita mukmin memilih dalam urusan mereka, bila Allah dan Rasulnya telah memutuskan urusan itu”
c. Sebagai Hakim yang telah diberi wewenang oleh Allah untuk memberikan keputusan terakhir mengenai beberapa masalah yang diperselisihkan dikalangan pemimpin agama, sekaligus sebagai korektor yang mengoreksi kepercayaan-kepercayaan/pandangan-pandangan/anggapan-anggapan yang salah dikalangan umat beragama.
d. Sebagai penguat yang mengokohkan dan menguatkan kebenaran adanya kitab-kitab suci yang pernah diturunkan Allah sebelum Nabi Muhammad saw. Hanya saja ajaran-ajaran para Nabi sebelum Muhammad saw beserta kitab sucinya sudah tidak murni lagi, sebab ada yang sudah diubah oleh para pemimpin agama mereka, sesuai QS. Al-Maidah: 48
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“Kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (hai Muhammad) dengan (membawa) kebenaran, yang membenarkan kitab yang dihadapannya serta mengawasinya, sebab itu hukumlah antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau turuti hawa nafsu mereka, (dan berpaling) dari kebenaran yang telah datang kepadamu.”
Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, sesuai dengan nam-namanya, Al-Qur’an memiliki multi fungsi antara lain :
1). Al-Huda : Petunjuk =  ا لهدى
     Fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk terbagi 3 kategori
  a). Petunjuk bagi manusia secara umum : QS. Al-Baqarah : 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan (adalah) bulan diturunkannya Al-Qur’an yang menjadi petunjuk bagi manusia, menjadi penjelas terhadap petunjuk itu serta sebagai pembeda antara yang hak dengan yang batil.”
   b). Petunjuk bagi orang-orang yang beriman (mukmin):
 قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Katakanlah :Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman”  (QS. Fushilat : 44)
    c). Petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa:
 ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Itulah Al-Kitab (Al-Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 2)
2). Sebagai Rahmat: Keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayangNya:
     QS. Luqman:  2-3
      تِلْكَ ءَايَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ(2)هُدًى وَرَحْمَةً لِلْمُحْسِنِينَ(
“Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung rahmat bgi orang-orang yang berbuat kebaikan “
3) Sebagai Furqan: Pembeda/pemisah, patokan (ugeran) untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang haq dan yang bathil, antara yang benar dan yang salah, antara yang halal dan yang haram. QS. Al-Baqarah : 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dengan yang bathil) ”.
4). Sebagai Mau’izhah: Nasehat/pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing umat dalam kehidupannya untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.  
                              وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً
“Dan telah kami tuliskan untuk Musa pada Luh-Luh (Taurat) seala sesuatu sebaai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu” (QS. al-A’raf:145)
5) Sebagai Busyra: berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan sesama manusia.  
  طس تِلْكَ ءَايَاتُ الْقُرْءَانِ وَكِتَابٍ مُبِينٍ1 هُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ(
“Tha-Sin (surat) ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan (ayat-ayat) kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman” (QS. Al-Naml : 1-2).
6). Sebagai Tibyan (Penjelasan) atau mubin: yang menjelaskan terhadap segala sesuatu yang disampaikan Allah. QS. Al-Nahl : 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Kami telah menurunkan kepadamu Al-kitab (Al-Qur’an) yang menjadi penjelasan bagi segala sesuatu serta menjadi petunjuk dan berita gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
7). Sebagai Nur: Cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia dalam menempuh jalan menuju keselamatan. QS. Al-Maidah : 46  
      فِيهِ هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ
“Didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) dan membenarkan kitab yang sebelumnya “
8). Sebagai Syifa’: obat bagi penyakit-penyakit yang ada dalam dada (penyakit rohani/ penyakit psikologi). QS. Yunus : 57
يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ
“Wahai manusia sungguh telah datang kepadamu pengajaran dari Tuhanmu dan obat terhadap penyakit yang ada dalam dada”
Sesuai redaksi ayat ini, penyakit yang disembuhkan oleh (dengan membaca) Al-Qur’an  adalah penyakit rohani (شِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ) dan bukan penyakit fisik seperti demam, sakit gigi, dsb. Namun bisa saja penyakit fisik, misalnya sakit kepala, yang dapat dismbuhkan dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, jika sakit kepala tsb diakibatkan oleh stress, yang memang sebenarnya merupakan gangguan psikologis. Jadi penyakit kepala demikian itu pada hakekatnya merupakan penyakit psikologis (secara tidak langsung)  .
Semua fungsi Al-Qur’an tersebut dapat dirangkum dalam 2 hal pokok, yaitu :
(1). Sebagai Rahmat yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia. Maksudnya, kalau  mereka menerima dan mengamalkan keseluruhan isi Al-Qur’an, maka akan memperoleh kehidupan yang bahagisa di dunia dan akhirat
(2). Sebagai petunjuk (Al-Huda)
Al-Qur’an sebagai petunjuk (pedoman hidup) dapat di ibaratakan dengan lampu pengatur lalu lintas (traffic light )
-       Lampu merah menunjukan larangan yang dalam hukum Islam disebut haram, Dalam hal ini jika larangan tersebut tidak diindahkan, maka bisa mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, minimal kemacetan lalu lintas. Demikian juga jika larangan Allah (melanggar yang haram) akan menimbulkan bahaya, baik bagi pelakunya mau pun orang lain. Sebaliknya jika ia mentaatinya, maka ia akan terhindar dari kecelakaan lalu lintas atau bahaya dalam kehidupannya di dunia dan siksaan di akherat.
-       Lampu kuning menunjukan kehati-hatian perantaraan larangan dengan kebolehan, yang dalam hukum Islam disebut syubhat (antara halal dan haram, seharusnya dijauhi agar tidak terjerumus kepada bahaya atau dosa)
-       Lampu hijau melambangkan kebolehan melanjutkan perjalanan. Dalam hukum Islam disebut mubah atau halal. Jika masa larangan (haram) telah selesai, maka muncul kebolehan untuk melakukan sesuatu yang tadinya dilarang (diharamkan) sehingga yang bersangkutan akan memperoleh kebaikan pula.
Dalam kaitan ini lampu merah tak memperlambat seseorang sampai ke tempat tujuan. Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pengendara dari mara bahaya. Demikian pula halnya dengan lampu-lampu merah atau larangan-larangan agama pada hakekatnya untuk menghindarkan manusia dari bahaya walaupun mungkin tidak menyadari atau memahaminya.
Dalam kaitannya Al-Qur’an sebagai sumber penujuk bagi kehidupan manusia, petunjuk Al-Qur’an itu dapat diklasifikasikan ke dalam 2 bentuk:
(1) Petunjuk Langsung; berupa aturan, ketentuan dan petunjuk dalam bentuk tuntutan (keharusan), larangan atau membiarkan (membolehkan). Di sini terdapat batasan mengenai apa saja yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, baik dalam hubungan vertikal dengan Allah, maupun hubungan horisontal dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.
Al-Qur’an menjelaskan bila manusia mengikuti petunjuk dan batas-batas yang telah ditentukan Allah, maka bahagialah hidupnya di dunia dan akherat. Sebaliknya bila manusia melapaui ketentuan Allah, baik meninggalkan yang diperintah maupun melakukan yang dilarang, celakalah hidupnya di dunia dan di akhirat. Ia akan memikul dosa dan pembalasan yang buruk. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa : 13-14
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ  وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
“(Hukum itu) adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya danmelanggar ketentuan-ketentuan Allah, maka niscaya Allah akan memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal didalamny dan baginya siksa yang menghinakan.”
Petunjuk Al-Qur’an dalam bentuk ini menjadi sumber pokok dalam perumusan hukum Islam:
(2) Petunjuk yang tak langsung
Maksudnya, dalam Al-Qur’an terdapat pokok-pokok dasar ilmu pengetahuan yang mencakup segenap bidang. Pokok-pokok dasar ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an itu memerlukan pengembangan melalui nalar manusia sehingga menjadi satu ilmu sistematis. Melalui penerapa ilmu hasil nalar itu, manusia akan mendapatkan rahmat dan membukakan matanya untuk menempuh kehidupan di dunia sebagai persiapan bagi kehidupannya di akhirat.
Penjelasan Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan, ada yang berbentuk keterangan tentang hakikat kejadian alam dan sekitarnya (QS.Al-Ghasyiyah: 17-20).
Dari hasil penelitian itu, manusia akan dapat memperoleh ilmu pengetahuan tentang alam dengan petunjuk ayat-ayat atau tanda–tanda yang diperlihatkan Allah.
KEDUDUKAN AL-QUR’AN DALAM SYARI’AT ISLAM
Syari’at mencakup Ushuluddin (sesuatu yang berkaitan dengan Allah dan sifat-sifatNya serta berhubungan dengan akhirat dsb). Yang dibahas dala ilmu Tauhid atau ilmu Kalam. Juga mencakup ilmu Ahlak serta hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan amal perbuatan yang dibahas dalam ilmu Fiqh.
Para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an berkedudukan sebagai dasar/sumber pertama dan utama syariat Islam.
Hal ini didasarkan kepada :
1) QS. Al-An’am : 38 
                            ْمَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْء
      “Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Qur’an”
2) QS. Al-Nisa : 59
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadis)Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”

3) QS. Al-Azhab : 36
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan takanlah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukmin, bila Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu ketetapan, (menentukan) pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata”
4) Hadis riwayat Mu’az bin Jabbal yang memuat dialog Rasulullah SAW dengan Mu’az ketika akan diutus menjadi Gubernur di Yaman tentang dasar hukum yang digunakan dalam menyelesaikan perkara hukum, Nabi bersabda:
كيف تقضى إذا عرض لك قضاء؟ قال أقضى بكتا ب الله قال فان لم تجد في كتا ب الله ؟ قال فبسنة رسول الله قال فان لم تحد فى سنة رسول الله؟ قال أجتهد برأ يى و ولا آلوا قال فضرب رسول الله على صدره وقال ألحمد لله الذى وفق رسول رسول الله لما يرضى رسول الله
“Bagaimana engkau memberikan keputusan (hukum) ketika dimintakan suatu keputusan? Muaz menjawab: “Dengan Al-Qur’an.“ Nabi saw bertanya: “Jika kau tak mendapatkannya dalam Al-Qur’an? Muaz menjawab: Maka (kuputuskan) dengan Sunnah RasulNya“. Kemudian Nabi bertanya lagi : Jika kau tak mendapati dalam Sunnah RasulNya? Muaz menjawab: “Aku berijtihad dengan pendapatku”. Rawi berkata ; Maka Rasulullah SAW menepuk dada Muaz seraya bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada Utusan Rasulullah yang karenanya telah membuat kerelaan Rasulullah”
            Dengan Demikian, Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam sekaligus juga dalil utama Fiqh Islam, juga merupakan sumber dari segala Hukum Islam.
            Karena Al;-Qur’an berkedudukan sebagai sumber utama dan pertama dalam penetapan hukum, maka bila seseorang hendak menemukan hukum terdapat suatu kejadian, maka tindakan pertama yang harus dilakukan ialah mencari jawaban penyelesaiannya dalam Al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an.
Disamping itu, penggunaan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan tak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Jadi sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
D. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Al-Qur’an merupakan sumber dan rujukan yang pertama bagi syariat, karena didalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat global beserta rinciannya.
Karena itu Abdullah bin Umar berkata: “Barang siapa hafal Al-Qur’an, maka ia telah memperoleh keagungan, lantaran seakan-akan ia memperoleh status kenabian hanya saja ia tak mendapat wahyu.” Bahkan Ibnu Hazan berkata “Setiap bab dalam fiqh, pasti mempunyai landasan dalam Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Sunnah, sebagaimana firman Allah yang berbunyi
ما فرطنا فى الكتا ب من شيء
           “Kami tidaklah mengalpakan sesuatupun dalam al-kitab (Al-Qur’an)”
Yakni, setiap peristiwa pasti terdapat hukumannya dalam Al-Qur’an.
Jika Al-Qur’an merupakan syariat Islam yang bersifat menyeluruh, maka mayoritas penyelesaian adalah bersifat global dan sedikit sekali yang terinci.
Penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum terbagi 3 macam ;
1). Penjelasan Al-Qur’an yang bersifat sempurna (terinci) atau penjelasan Al-Qur’an secara juz’i. Dalam hal itu Allah dalam Al-Qur’an memberikan penjelasan, secara lengkap sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, walaupun tidak dijelaskan dalam hadis.
Misalnya: * Ayat – ayat tentang kewarisan (QS. Al;-Nisa : 11-12)
                 * Ayat – ayat tentang sanksi terhadap kejahatan zina (QS. Al-Nur ; 4)
Terhadap ayat-ayat Al-Qur’an semacam ini, hadis hanya berfungsi menetapkan makna yang dikandungnya.
Misalnya, QS. Al-Baqarah : 185
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
“Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya ) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
2). Nash Al-Qur’an bersifat mujmal atau penjelasan Al-Qur’an secar Kulli (global).
Penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara  garis besar, sehingga masih membutuhkan penjelasan dari al-Hadis dalam pelaksanaannya.
Penjelasan hadis tersebut ada yang bersifat/berbentuk pasti sehingga tidak memungkinkan adanya pemahaman lain.
Misalnya: ayat-ayat tentang perintah mendirikan shalat bersifat mujmal, kemudian dijabarkan pelaksanaannya oleh hadis.
صلوا كما رأيتمني أصلي          
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian mel;ihat aku shalat “ (HR. Bukhary)
Dan ada juga penjelasan hadis dalam bentuk yang masih samara dan memungkinkan adanya beberapa pemahaman.
Misalnya ayat tentang larangan riba memang telah dijelaskan lebih lanjut oleh hadis, tetapi hadis itu tidak menjelaskan secara sempurna dan pasti arti riba tersebut, sehingga masih dibutuhkan ijtihad untuk menjelaskannya.
3). Penjelasan secara Isyarah: Penjelasan terhadap apa yang secara lahir di sebutkan didalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat. Disamping itu, juga memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain, sehingga satu ayat Al-Qur’an dapat memberikan beberapa maksud. Misalnya:
(a) QS.  Al-Baqarah : 233                  وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik”
Ayat ini mengandung arti adanya kewajiban suami untuk memberi belanja dan pakaian kepada istrinya, tetapi juga mengandung isyarat bahwa nasab seorang anak dihubungkan kepada ayahnya.
(b) QS. Al-Nisa: 25   
فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
“Dan bila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita  merdeka yang bersuami.“
Ayat ini memberi isyarat bahwa hukuman hamba sahaya adalah separuh dari hukuman oorang yang merdeka. Ayat ini kemudian dijadikan kaidah yang bersifat umum dalam agama Islam. Dalam kaitan ini hadis berfungsi menjelaskan batas-batas penerapan kaidah tersebut, baik dalam hukum pidana, maupun yang menyangkut hak-hak hamba sahaya.
Ayat-ayat Al-Qur’an dari segi kejelasan artinya ada 2 macam yang dijelaskan dalam QS. Ali Imran: 7 yaitu ayat Muhkam dan ayat mutasyabih.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isinya ) ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat”
(1) Ayat Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikan dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman.
2) Ayat Mutasyabih adalah ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan.
Adanya beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu
(a). Lafaz itu dapat digunakan untuk 2 maksud dengan pemahaman yang sama.
Misalnya :
  * Kata quru’ ( قروء   ) dalam QS. Al-Baqarah: 228 yang berarti suci atau haid.
   * Kata  Uqdat Al-Nikah (    عقدة النكاح) dalam QS. Al-Baqarah: 237 yang berarti wali/istri
(b). Lafaz yang menggunakan nama/kiasan yang menurut lahirnya menimbulkan keraguan disebabkan penggunaan sifat yang ada pada manusia untuk Allah, padahal Allah tidak sama dengan mahlukNya.
Misalnya :
   * Penggunaan kata “wajah” atau “muka” untuk Allah (QS.Al-Rahman : 27)
   * Penggunaan kata “bersemayam” untuk Allah (QS. Yunus : 3 )
Ayat yang berbentuk muhkam dengan penjelasan yang lengkap penunjukannya terhadap hukum adalah pasti (qath’i dilalah). Hukum yang ditunjuk secara pasti itu berlaku secara universal dan tak akan mengalami perubahan walaupun waktu dan tempatnya  telah berubah.
Penunjukan yang pasti (muhkam) ini umumnya berlaku dalam bidang akidah, dan mengnai ibadah-ibadah pokok (seperti keharusan melakukan shalat) serta masalah norma yang akan berubah (seperti keharusan berbuat baik kepada ibu bapak).
Ayat-ayat bersifat zhanni umumnya berlaku dalam bidang muamalah (hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan masyarakat). Penerepan hukumnya dapat berubah berdasarkan perubahan waktu dan tempat.
Jadi ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan masalah-masalah hukum secara global (masih memerlukan penjelasan hadis), oleh para ulama ditetapkan bahwa dilalah ayat Al-Qur’an tersebut terhadap hukum-hukumnya, ada yang bersifat zhanni, dan ada yang bersifat qath’i.
Dilalah ayat Al-Qur’an dalam bentuk global/mujmal bersifat zhanni. Bila penjelasan hadis terhadap makna ayat yang mujmal itu tidak jelas (terang)
Misalnya :
    * QS. Al-Baqarah: 228 tentang quru’  وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
   ‘Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah menahan diri (beriddah) selama tiga kali quru.’
Kata quru’ dalam ayat ini dapat berarti suci, juga dapat berarti haid. Dalam kaitan ini penjelasan hadis terhadap arti quru’ ini tidak jelas karena penjelasan hadis tidak menunjuk kepada salah satu dari dua makna diatas. Sebab itu ayat ini, dilalahnya bersifat zhanni.
Dilalah ayat Al-Qur’an dalam bentuk global/mujmal bersifat qath’I, bila penjelasan hadis terhadap ayat ini cukup jelas.
Misalnya :
Ayat yang menyangkut perintah mendirikan shalat, membayar zakat dsb. Kemudian di jelaskan oleh hadis secara sempurna (cukup jelas) sehingga dapat dilaksanakan. Dalam hal ini ayat-ayat tersebut, awalnya bersifat zhanni tetapi kemudian meningkat menjadi qath’I dilalahnya setelah adanya penjelasan hadis secara lengkap itu.
Perlu dijelaskan bahwa dari segi sanad, seluruh ayat Al-Qur’an adalah bersifat mutawatir (qath’i = tidak diragukan ). Sedangkan yang terkadang bersifat zhanni hanya terdapat pada dilalahnya (petunjuknya terhadap hukum).
Ungkapan-ungkapan (shigat) yang digunakan Al-Qur’an dalam menjelaskan hukum-hukum syara ada beberapa macam yaitu :
1) Bentuk perintah (Misalnya: QS. At-Thalaq: 2 )
و أقيموا الشهادة لله
“Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”
2) Bentuk Larangan ( QS. Al-Isra : 33 )
ولا تقتلوا النفس التى حرم الله إلا با لحق
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu alas an yang benar “
3) Dengan menetapkan, bahwa suatu perbuatan itu diwajibkan/difardhukan (Qs. Al. Baqarah: 178)
كتب عليكم القصا ص فى القتلى
       “Diwajibkan atasmu qishash berkenaan dengan orang – orang yang dibunuh “
4) Menyebutkan larangan, dengan meniadakan kebaikan dalam suatu perbuatan
Misalnya : QS. Al-Baqarah : 189
َلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى
“Dan bukanlah kebaikan itu memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertakwa.”
5) Bentuk perintah dengan menyebutkan akibat dari suatu perbuatan, baik berupa pahala bagi yang mentaatinya, maupun siksa bagi yang menetangnya. (QS. Al-Nisa: 13-14, setelah menjelaskan hukum waris)
Dengan demikian, pada hakekatnya Al-Qur’an bukan merupakan suatu kitab perundang-undangan yang mengikuti satu metode tertentu, akan tetapi Al-Qur’an merupakan kitab nasehat dan pelajaran yang menggunakan bentuk bahasa yang indah.
Setiap mujtahid yang menggali hukum dari Al Qur’an harus memperhatikan bentuk- bentuk ungkapan dia atas. Setiap perbuatan yang dipuji oleh Allah atau dijanjikan pahala, maka perbuatan itu diperintahkan. Sebaliknya, jika diancam dengan siksa, maka perbuatan itu dilarang. Sedang perbuatan yang tidak dipuji atau dicek, tidak dijanjikan pahala atau tidak diancam siksa, bahkan disebut dengan kata-kata halal, maka perbuatan tersebut adalah diperbolehkan.

Disarikan dari buku Ushul Fiqh Jilid 1 karya Prof. Dr. Amir Syarifuddin dan buku-buku lain yang relevan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar