Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Minggu, 21 Oktober 2018

DALIL-DALIL FIQH KONTEMPORER

        DALIL-DALIL FIQH KONTEMPORER 

Dr. La Jamaa, MHI 

 

Hidup dan kehidupan manusia tidak pernah statis, melainkan selalu bersifat dinamis yang senantiasa mengalami perubahan yang menimbulkan problematika hukum. Sedangkan wahyu yang mengatur dan memberi tuntunan kepada manusia dalam menghadapi berbagai problem kehidupannya justru telah berhenti sejak wafatnya Nabi saw. Dalam konteks ini ada sebuah kaidah menarik dalam ajaran Islam, bahwa:
الوحي قد ا نتهى والوقاءع لا تنتهى                                                                                  
‘Wahyu sudah selesai diturunkan, sedangkan peristiwa-peristiwa baru yang memerlukan penyelesaian hukum tidak pernah berakhir.’1

Kaidah di atas merupakan penyederhanaan dari ungkapan yang dikemukakan oleh Syahrastani, bahwa “nas (al-Qur’an dan hadis) telah berakhir, namun peristiwa-peristiwa hukum baru yang memburuhkan penyelesaian hukum selalu terjadi, sesuatu yang tidak berakhir tidak dapat diatur oleh sesuatu yang sudah berakhir”.2

Dari kaidah di atas dapat dipahami, bahwa penyelesaian berbagai problematika hukum yang muncul dalam era modern ini tidak selamanya telah memiliki pijakan hukum dalam wahyu. Akan tetapi justru banyak peristiwa hukum yang muncul itu tidak memiliki landasan hukum secara tekstual dalam al-Qur’an dan atau hadis Nabi saw. Sehingga dibutuhkan suatu ijtihad dalam merespon berbagai peristiwa hukum dimaksud. Karena di samping manfaatnya dalam meningkatkan kemakmuran umat manusia, teknologi modern juga mengandung unsur-unsur yang dapat membahayakan harkat dan martabat manusia, serta merusak keseimbangan ekologis lingkungan hidupnya.3

Dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi modern, masyarakat Islam tidak bisa mengelak dari realitas. Namun harus meresponnya dengan bijak. Di sinilah pentingnya ijtihad4 dengan metode pendekatan yang tidak hanya tekstual, tetapi juga kontekstual. Tegasnya, bahwa dalam mengistinbat-kan hukum terhadap berbagai problem hukum Islam kontemporer perlu menggunakan berbagai dalil yang relevan, seperti qiyas (analogi hukum antara kasus hukum yang telah ada nasnya dengan kasus hukum yang belum ada nasnya karena kedua kasus hukum itu sama illat (alasan hukum)nya; maslahah mursalah (penetapan hukum berdasarkan unsur/nilai kemaslahatannya bagi masyarakat umum/publik) atau konsep maqasid al-syari’ah5 (yang bertumpu pada pemeliharaan lima kemasalahatan: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta); sadd al-zari’ah penetapan hukum berdasarkan prinsip preventif, untuk menutup pintu kejahatan/dosa).

Perlu dijelaskan, bahwa meskipun suatu problem hukum kekinian dan kedisini-an telah ada landasan hukumnya, namun bisa jadi telah terjadi pergeseran lantaran perbadaan situasi sosial ketika wahyu itu turun atau hadis diinformasikan oleh Nabi saw. Dalam konteks ini menurut Baqir Sadr terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika nas-nas itu diturunkan dengan situasi sosial dewasa ini. Sehingga tidak jarang terjadi para fuqaha atau cendikiawan terjebak dalam empat bentuk kekeliruan, yaitu subyektifikasi, manipulasi, justifikasi, interpolasi.6

Dengan demikian pemikiran hukum Islam terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer masuk dalam wilayah fiqh. Fiqh secara etimologis berarti “maksud sesuatu” atau “ilmu pengetahuan.”7 Dengan kata, fiqh berarti pemahaman yang mendalam yang membutuhkan pengerahan potensi akal. Sedangkan secara terminologis, fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang didasarkan kepada dalil-dalil yang terinci, atau kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci.8

Dari uraian di atas yang dimaksud dengan fiqh kontemporer adalah kumpulan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hukum di era kontemporer, baik dari sisi teknologi, gender, hukum pidana, maupun politik.

Dalam pembahasan fiqh kontemporer selain mengacu kepada nas-nas juga akan digunakan rasio yang tentunya tetap berada dalam koridor nas atau setidaknya tidak bertentangan dengan nas secara substansial. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam memahami nas, tidak selamanya harus secara tekstual, namun harus dipertimbangkan kemungkinan pemahaman nas secara kontekstual. Hal ini selaras dengan prinsip al-Islam salihun li kulli zaman wa makan. Sehingga keberadaan nas tetap relevan dengan perkembangan zaman, terutama yang berkaitan dengan teknologi yang memang masuk dalam wilayah muamalah, dan bukan ibadah. Dalam ibadah memang berlaku prinsip ta’abbudi yang harus ditaati tanpa harus mengetahui alasan rasional suatu ibadah itu. Sedangkan urusan muamalah atau keduniaan merupakan ta’aqquli yang mempunyai alasan rasional bagi kemasalahatan manusia. Kalau dalam urusan ibadah berlaku kaidah “al-aslu fi al-asy-ya-I al-tahrimu hatta yadulla al-dalilu ‘ala al-ibahah (hukum pokok ibadah adalah haram, sehingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya)9 maka dalam urusan keduniaan berlaku kaidah:
                   10                            الا صل أن الأ شياء علي الإ باحة حتي يثبت النهي                
 Pada dasarnya (dalam urusan muamalah/keduniaan) adalah boleh sehingga ada ketetapan/dalil yang melarangnya’

Dengan demikian semua produk teknologi yang berkaitan dengan hajat kehidupan manusia pada hakekatnya adalah boleh dimanfaatkan. Namun demikian pemanfaatan produk teknologi, apapun bentuk, dan produsennya, tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dasar dalam ajaran Islam. Kalaupun tidak ada aturannya dalam nas al-Quran dan atau hadis, maka ia tidak boleh bertentangan dengan prinsip kemaslahatan ataupun tujuan syari’ah (maqasid al-syari’ah), yaitu pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.11 maslahat itu sendiri terbagi tiga yaitu (1) yang bersifat daruriyat (mest ada/primer), (2) hajiyat (dibutuhkan, sekunder), dan (3) tahsiniyat (dipuji, tersier).12

Karena itu meskipun bayi tabung dan kloning tidak disinggung oleh wahyu secara tekstual namun bukan berarti boleh digunakan atau ditolak secara mutlak. Perlu dipahami, bahwa pemanfaatan produk teknologi tidak bisa ditolak (diharamkan) hanya beralasan, bahwa teknologi tersebut tidak pernah digunakan oleh Nabi saw dan para sahabatnya. Hal itu tidak bisa dianalogikan dengan ibadah mahdah, yang memang sangat dilarang ditambah, dikurangi atau mengada-adakan yang ibadah ritual baru, yang biasa dikenal dengan bid’ah.

Sedangkan penggunaan teknologi bayi tabung dan kloning merupakan bagian dari urusan keduniaan. Namun harus dikonfirmasikasin dengan nilai-nilai kemaslahatan dalam pemanfaatan teknologi bayi tabung dan kloning. Nilai kemaslahatan tersebut harus juga mempertimbangkan unsur mafsadat (bahaya/kerugian) yang ditimbulkannya. Maka dalam kaitan ini harus mempertimbangkan kaidah fiqh, bahwa:
                                                                           13 در ء المفا سد مقدم على جلب المصا لح
Maksudnya, bahwa unsur kemaslahatan pemanfaatan teknologi apapun termasuk bayi tabung dan kloning sedapat mungkin harus mengeliminir dampak negatif (unsur mafsadat)nya. 
Dalam konteks ini  Izzuddin  bin ‘Abdul Salam mengatakan, bahwa    
                                          14    المصا لح   و الشريعة كلها مصا لح إما تدرأ المفا سد أو تجلب
‘Semua kandungan syari’ah adalah maslahat, baik dengan cara penolakan terhadap kerusakan-kerusakan (mafsadat) maupun dengan cara menarik manfaat-manfaat (masalahat).’

Menurut Izzuddin Abdul Salam, maslahah terbagi 4 jenis yaitu  (1) kelezatan, (2) sebab-sebab/sarananya, (3) kesenangan, dan (4) sebab-sebab/sarananya. Sedangkan mafsadah juga ada 4 jenis, yaitu (1) rasa sakit/tidak enak, (2) penyebab rasa sakit/tidak enak, (3) rasa sedih, dan (4) penyebab rasa sedih.15

Karena itu meskipun ada kemaslahatannya bagi pasangan suami isteri yang gagal memiliki anak secara alami, namun pemanfaatan teknologi bayi tabung dan kloning tersebut tidak boleh melanggar prinsip pemeliharaan keturunan sebagai salah satu maqasid al-syari’ah, sehingga penggunaan donor baik sperma maupun ovum serta rahim rental harus dihindari. Dengan demikian prinsip maslahah al-mursalah yang merujuk kepada maqasid al-syari’ah menjadi salah satu dalil dalam penyelesaian kasus fiqh kontemporer.

Di samping itu pemecahan masalah hukum Islam kontemporer juga harus menggunakan pendekatan interdisipliner, dalam hal ini ilmu-ilmu yang relevan. Dalam masalah hukum teknologi bayi tabung, kloning misalnya harus menggunakan pendekatan medis (ilmu kedokteran), khususnya embriologi, genetika. Demikian pula dalam masalah hukum aborsi, euthanasia, transplantasi organ tubuh, operasi selaput dara. Selain pendekatan medis perlu pula digunakan pendekatan sosiologis, psikologis, ekonomi, dan teleologis. Pendekatan ilmu-ilmu sosial ini sangat dibutuhkan dalam menganalisis masalah hukum keluarga berencana, aborsi, operasi selaput dara, transfusi darah, perkawinan antar orang beda agama, marital rape, pemanfaatan uang korupsi untuk kepentingan umum dan wanita sebagai kepala negara. Jelasnya, bahwa pemecahan masalah hukum Islam kontemporer tidak sekedar dengan metodologi ushul fiqh namun juga harus digunakan interpretasi kontekstual, intertekstual, di samping tekstual serta pendekatan interdisipliner.

Dengan penggunaan interpretasi multidisipliner tersebut diharapkan produk hukum Islam kontemporer dalam merespon problematika hukum Islam yang muncul pada masa kekinian dan kedisinian dapat aplikatif dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Sehingga prinsip al-Islam salihun li kulli zaman wa makan tidak sekedar slogan namun akan senantiasa menjadi living law dalam masyarakat Islam pada setiap ruang dan waktu. Sekaligus menegaskan bahwa hukum Islam bukan sekedar law in book, hukum yang tertulis dalam berbagai kitab fiqh. Namun hukum Islam merupakan law in action dalam kehidupan umat Islam.


1Jaih Mubarok, Fiqh Kontemporer dalam Bidang Peternakan (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2003), 19.
2Abu al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim bin Abu Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 200.
3Nurcholis Madjid, Islam Doktrin & Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Cet. V; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2005), h. 530.
4Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata kerja jahada yang berarti “pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh  suatu dari berbagai urusan.” Dengan kata lain, ijtihad berarti bersungguh-sungguh atau kerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Lihat Muhammad Musa Towana, al-Ijtihad: Maza Hajatina Ilaihi fi Haza al-Asr ([t.tp: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1972), h. 97. Sedangkan secara istilah, ijtihad adalah “pengerahan segenap kemampuan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syara.” Baca Muhammad Khudari Bik, Usul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 367.  
5Lihat Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Jilid I Juz II (Cet. III; Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424H/2003M).
6Subyektifikasi adalah mengambil sikap tertentu secara prematur terhadap nas, misalnya dua orang pemikir memahami nas yang sama, tetapi dengan kecenderungan yang berbeda, sehingga menimbulkan kesimpulan nas yang berbeda jika kesimpulan ditarik secara prematur sedemikian rupa tanpa dilakukan verifikasi. Manipulasi, adalah melepaskan dalil syar’I dari situasi dan kondisinya. Justifikasi, adalah pembenaran realitas baru dengan cara mendudukkan nas pada penafsiran yang sesuai atau justifikasi. Sedangkan interpolasi, adalah memasukkan nas ke dalam kerangka berpikir tertentu sesuai keinginannya. Lihat Sayyid Baqir Sadr, Iqtisaduna (Beirut: Dar al-Ta’ruf, 1979), h. 404-415.
7Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz  IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 442
8Abd al-Wahab al-Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indunisi li al-Da’wah al-Islamiyyah, 1972), h. 11.
9Zainal ‘Abidin bin Ibrahim bin Nujaim, Al-Asybah wa al-Naza’ir ‘ala Mazhab Abi Hanifat al-Nu’man (Kairo: Mu’assasah al-Risalah, 1968), h. 66. 
10Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Cet. V; Damsyiq: Dar al-Qalam, 2000M/1460H), h. 122.
11Abu Ishaq al-Syatibi, op.cit., h. 10. Penetapan kelima tujuan syariah ini telah disepakati ulama. Karena itu, setiap aturan hukum yang diistinbatkan haruslah mengarah kepada pemeliharaan kelima hal tersebut. Lihat Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 26.
12Ibid., h. 8.
13A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006), h. 11.
14Abu Muhammad Izzuddin Abdul Aziz bin Abdul Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Juz I (Kairo: al-Istiqamah, [t.th.]), h. 9.
15Ibid., h.  11-12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar