Apapun yang diberikan Allah kepada manusia pasti baik, namun tidak semua yang diinginkan manusia mengandung kebaikan

Kamis, 13 Februari 2014

Perkawinan antar orang berbeda agama

Problematika Perkawinan Antar Orang yang Berbeda Agama

Dr. La Jamaa, MHI


A. Pendahuluan
Bila diamati secara mendalam, salah satu yang disyari'atkan Islam adalah pelestarian keturunan. Pernikahan disyari'atkan oleh Islam karena merupakan salah satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan serta mmenjadi kunci ketenteraman masyarakat. Oleh karena itu, adanya perkawinan merupakan suatu kebutuhan pokok ummat manusia guna memelihara kedamaian dan keteraturan dalam kehidupan. Dengan demikian maka masalah perkawinan yang diatur sedemikian rupa oleh Islam bukanlah suatu persoalan yang dikesampimgkan. Tetapi merupakan suatu institusi yang mutlak harus diikuti dan dipelihara.
Perkawinan adalah akad yang menghalalkan hubungan antara dua pihak yang berakad sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan syara’. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 disebutkan, bahwa:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Dengan demikian mendirikan rumah tangga yang kekal dan harmonis yang diikat tali perkawinan merupakan hal yang suci. Dengan demikian perkawinan bukan sekedar kontrak perjanjian perdata. Perjanjian dalam perkawinan merupakan perjanjian yang sakral di hadapan Tuhan. Namun demikian tidak jarang terjadi tugas yang mulia tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terjadi, karena orang muda yang akan menempuh kehidupan rumah tangga hanya dapat mengartikan cinta sebagai suatu keindahan dan romantisme belaka, mereka baru memiliki cinta dan emosi karena belum diikat oleh rasa tanggung jawab yang sempurna. Sehingga banyak yang berakhir dengan perceraian.2
Realitas menunjukkan bahwa terkadang anak muda memandang kehidupan dalam perkawinan sebagai kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan tanpa problematika sehingga pertimbangan keberagamaan terabaikan. Jelasnya, bahwa dalam memilih calon pendamping hidupnya hanya didasarkan kepada faktor fisik (cantik atau tampan) dan materi (kekayaan) tanpa mempertimbangkan kualitas keberagamaan calon isteri atau suaminya. Sehingga terjadi perkawinan antar orang yang berbeda agama, baik antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non muslim maupun sebaliknya.

Masalahnya, adalah bagaimana legalitas (keabsahan) perkawinan mereka menurut hukum Islam? Demikian juga keberadaan anal-anak yang lahir dari perkawinan antar beda agama tersebut?
B.  Konsepsi  Perkawinan Menurut Islam
Islam diturunkan sebagai agama yang sempurna yang di dalamnya terkandung nilai-nilai yang luhur sebagai petunjuk bagi umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Salah satu tuntunan Islam kepada umat manusia adalah pelembagaan perkawinan. Keberadaan lembaga perkawinan pada hekekatnya untuk mengakomodir kebutuhan manusia sekaligus untuk membedakan manusia yang mempunyai harkat dan martabat dengan binatang yang tidak membutuhkan lembaga perkawinan.

Secara fitrah setiap orang membutuhkan lawan jenisnya sebagai pendamping hidupnya. Hal itu didorong oleh naluri ketertarikan kepada lawan jenisnya. Dengan adanya lembaga perkawinan, naluri insaniah tersebut dapat tersalurkan secara legal,  mewujudkan kestabilan tatanan kehidupan umat manusia pada umumnya. Selain itu perkawinan memberikan ketenteraman dan ketenangan lahir dan batin bagi kedua belah pihak (laki-laki dan wanita). Hal ini diabadikan dalam QS. al-Rum: 21
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
’Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.’3
Kata   ِتَسْكُنُوا     taskunū   terambil  dari  kata  sakana yang berarti diam, tenang setelah sebelumnya goncang dan sibuk. Dari makna inilah, rumah dinamakan sakan karena dia menjadi tempat memperoleh ketenangan setelah sebelumnya penghuninya sibuk beraktivitas di luar rumah. Pernikahan melahirkan ketenangan batin. Kesempurnaan eksistensi makhluk hanya tercapai dengan bergabungnya masing-masing pasangan dengan pasangannya. Allah telah menciptakan dalam diri setiap makhluk dorongan untuk menyatu dengan pasangannya apalagi masing-masing mau mempertahankan eksistensi jenisnya. Dari sini Allah menciptakan pada diri mereka naluri seksual, yang dari hari ke hari memuncak dan mendesak pemenuhannya. Melalui kebersamaan dalam pernikahan, kekacauan pikiran dan gejolak jiwa itu mereda dan masing-masing memperoleh ketenangan.4 Ini berarti bahwa keluarga yang dibangun dalam ikatan pernikahan berwujud keluarga sakinah. Keluarga yang mampu memberikan ketenangan dan kedamaian penghuninya.
Terwujudnya keluarga sakinah dibutuhkan suasana mawaddah karena orang yang memiliki sifat mawaddah tidak akan rela pasangannya disentuh oleh sesuatu yang mengeruhkannya, kendati boleh jadi dia memiliki sifat dan kecenderungan bersifat kejam. Seorang penjahat yang dipenuhi hatinya oleh mawaddah, bukan saja tidak rela pasangan hidupnya menanggung keburukan bahkan ia bersedia mengorbankan diri demi kekasihnya. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Kalau seseorang menginginkan kebaikan dan mengutamakannya untuk orang lain, maka dia telah mencintainya. Tetapi jikwa seseorang menghendaki kebaikan untuk pasangannya, serta tidak menghendaki selain kebaikan untuknya- apa pun yang terjadi- maka mawaddah telah menghiasi hati orang itu.5
Pasangan suami isteri yang memiliki sifat mawaddah adalah tidak meletakkan kebahagiaan kehidupan keluarga pada kenikmatan duniawi. Dalam pandangannya tidak ada celah-celah yang menjadi sumber keburukan pasangannya dalam jiwanya. Implikasinya adalah pasangan suami isteri yang memiliki mawaddah tak akan pernah memutuskan hubungan apa pun yang terjadi.
Di samping membutuhkan cinta, mawaddah, keluarga sakinah juga membutuhkan rahmah, dan amanah Allah. Keempatnya merupakan tali temali ruhani perekat pernikahan, sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmah, dan kalau pun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara, karena Allah memerintahkan dengan firman-Nya dalam al-Nisa (4): 19
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ
 اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا    (النور : 19)
‘… Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.’6

Rahmah, adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikkan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami isteri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggunya.7

Al-Qur’an menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan pernikahan karena betapa pun  hebatnya seseorang (suami dan isteri), pasti mempunyai kelemahan dan betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Sehingga suami dan isteri harus berusaha untuk saling melengkapi sesuai isyarat QS. al-Baqarah (2): 187:   
                                        (البقرة : 187)      هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
’... Isteri-isteri kamu adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka...’8

Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami isteri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami isteri - yang masing-masing menurut kodratnya mempunyai kekurangan – harus dapat berfungsi menutup kekurangan pasangannya, seperti halnya pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya. Kalau pakaian merupakan hiasan bagi pemakainya, maka suami adalah hiasan bagi isterinya, begitu pula sebaliknya (QS. Al-A’raf (7): 26). Kalau pakaian mampu memelihara manusia dari sengatan panas dan dingin (QS. Al-Nahl: 81), maka suami terhadap isterinya dan isteri terhadap suaminya harus mampu melindungi pasangannya dari krisis dan kesulitan yang mereka hadapi.9

Dengan kata lain hubungan suami isteri dalam sebuah keluarga sakinah adalah seperti hubungan antara raga manusia dengan pakaian yang dikenakannya. Hati dan jiwa pasangan sudah sedemikian melekat sehingga keduanya hidup bersama secara damai dalam atmosfir cinta yang harmonis.10
Di samping itu pernikahan adalah merupakan amanah. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi. Dalam konteks ini, isteri adalah amanah di pelukan suami, suami pun adalah amanah di pangkuan isteri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui pernikahan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami dan isteri tak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya.11

Kesediaan seorang isteri untuk hidup bersama dengan seorang laki-laki, meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya, dan ”mengganti” semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama laki-laki ”asing” yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam, karena ia merasa yakin bahwa kebahagiaannya bersama suami akan lebih dan pembelaan suami terhadapnya tidak kurang dari pembelaan saudara-saudaranya. Dalam konteks ini Sayyid Quţb mengatakan bahwa al Qur’an mengabadikan tentang sentuhan kehangatan dan keceriaan yang memberikan kemesraan, kelembutan dan kesejukan dalam hubungan suami isteri, yang berbeda dengan citra kekasaran binatang.12
Ini berarti bahwa pasangan suami isteri yang membangun keluarga sakinah akan hidup harmonis di antara keduanya dan dengan anak-anaknya dalam suasana saling mengasihi dan menyayangi sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Mengingat kehidupan keluarga yang ideal menurut Islam, adalah keluarga sakînah, mawaddah dan rahmah, maka para ulama fiqh sepakat bahwa untuk memulai suatu pernikahan ada beberapa langkah yang perlu dilalui dalam upaya mencapai cita-cita keluarga sakinah.
Langkah-langkah itu dimulai dengan peminangan (khitbah) calon isteri oleh pihak laki-laki dan melihat calon isteri; sebaliknya pihak perempuan juga berhak melihat dan menilai calon suaminya dari segi keserasiannya. Dari berbagai rangkaian pendahuluan pernikahan itu menurut Muhammad Zaid al-Ibyanî (tokoh fiqh dari Bagdad), Islam mengharapkan dalam pernikahan nanti tidak muncul kendala yang akan menggoyahkan suasana sakĭnah, mawaddah, dan rahmah itu.13

Tidak kalah pentingnya pula, bahwa dasar utama pembentukan keluarga sakinah juga ditentukan keberagamaan pasangan hidup. Sebab hal ini akan mendorong terwujudnya saling pengertian dan mempercayai antara suami isteri. Keberagamaan pasangan hidup akan memberikan nilai positif dalam kehidupan keluarga. Nabi saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا
وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ 
                                                   14
Artinya:
’Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw bersabda: Perempuan itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka carilah yang beragama supaya kamu bahagia.’
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa perkawinan mempunyai suatu tujuan yang harus dipahami oleh calon suami istri, supaya terhindar dari keretakan dalam rumah tangga, yang biasanya berakhir dengan perceraian yanga sangat dibenci oleh Allah. Adapun tujuan perkawinan antara lain:
1.  Menentramkan Jiwa.
Allah menciptakan hamba-Nya hidup berpasangan dan tidak hanya manusia saja, tetapi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu adalah suatu yang alami, yaitu laki-laki tertarik kepada wanita dan begitu juga sebaliknya.
Bila sudah terjadi akad nikah si wanita merasa jiwanya tenteram, karena merasa ada yang melindungi dan ada yang bertangung jawab dalam rumah tangga. Si suami pun merasa tenteram karena merasa ada yang mendampinginya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka, dan teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. Sebagaimana diisyaratkan Allah dalam QS al-Rum: 21 di atas.

Ketenteraman jiwa yang dirasakan pasangan suami isteri dalam ikatan perkawinan itu bukan berarti tanpa kesalahpahaman atau perselisihan di antara keduanya. Namun kesalahpahaman dan perselisihan yang terjadi dapat diselesaikan secara bijak. Sehingga terjadinya kesalahpahaman dan perselisihan justru hanya merupakan romantikan dalam bahtera rumah tangga, dan bukan sebagai berkembang menjadi permusuhan.
2.  Mewujudkan (melestarikan) Keturunan.
Biasanya sepasang suami istri tidak ada yang mendambakan anak turunan untuk meneruskan kelengkapan hidup. Anak turunan diarahkan dapat mengambil alih tugas, perjuangan dan ide-ide yang pernah tertanam di dalam jiwa suami atau istri. Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah melalui firman-Nya dalam QS. Al-Nahl: 72:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
‘Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik….’15
Jelasnya, bahwa melalui perkawinan akan dilahirkan generasi (anak cucu) yang legal secara yuridis sehingga diharapkan akan memberikan kontribusi positif dalam pembangunan keluarga dan masyarakat yang beradab.

Kalau dilihat dari ajaran Islam, di samping alih generasi secara estafet, anak cucupun diharapkan dapat menyelamatkan orang tuanya (nenek-moyangnya) sesudah meninggal dunia dengan memanjatkan do'a kepada Allah. Bahkan anak menjadi investasi bagi kedua orangtua dalam menggapai keredaan Allah di dunia dan akherat. Nabi saw bersabda:
إذا مات الإ نسا ن إنقتع عنه عمله إلا من ثلا ثة : إلا من صد قة جا رية أو علم ينتفع به أو ولد
صالح يد عو له (رواه مسلم عن أبي هر يرة )                                                                    
16
Artinya:
‘Jika manusia sudah meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara. Sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakan orangtuanya.’ (HR. Muslim)
Dengan demikian anak yang dilahirkan dalam sebuah perkawinan, bukan hanya untuk melanjutkan keturunan secara kuantitas umat, namun terlebih untuk meningkatkan kualitas umat. Dalam konteks ini, anak merupakan amanah Tuhan kepada kedua orangtuanya. Dalam konteks ini pula perkawinan melahirkan berbagai tugas dan kewajiban bagi suami isteri- termasuk kewajiban mereka – kepada anak-anak yang dilahirkannya.
3. Memenuhi Kebutuhan Biologis.
Hampir semua manusia yang sehat jasmani dan rohaninya menginginkan hubungan seks. Bahkan dunia hewanpun berperilaku demikian. Keinginan demikian adalah alamiah, tidak perlu dibendung dan dilarang. Namun demikian pemenuhan kebutuhan biologis itu harus diatur melalui lembaga perkawinan, supaya tidak terjadi penyimpangan, tidak lepas bebas begitu saja sehingga norma-norma adat istiadat dan agama dilanggar.

Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan sexual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah. Kalau tidak ada kecenderungan dan keinginan untuk itu tentu manusia tidak akan berkembangbiak. Hal ini serupa dengn firman Allah dalam QS : An-Nisa :1

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
’Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak...’ 17
4. Latihan Memikul Tanggung Jawab.
Pada dasarnya, Allah menciptakan manusia didalam kehidupan ini tidak hanya untuk sekedar makan, minum, hidup kemudian mati seperti yang dialami oleh makhluk hidup lainnya. Lebih jauh lagi manusia diciptakan supaya berpikir, menentukan, mengatur, mengurus segala persoalan, mencari dan memberi manfaat untuk umat.
Sesuai dengan maksud penciptaan manusia dengan segala keistimewaan berkarya, maka manusia itu tidak pantas bebas dari tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab dalam keluarga, masyarkat dan Negara. Latihan itu pula dimulai dari ruang lingkup yang terkecil lebih dahulu (keluarga), kemudian baru meningkat kepada yang lebih luas lagi.
C. Aspek Hukum Perkawinan Antar orang yang Berbeda Agama

Yang di maksud dengan "perkawinan antar orang yang berbeda agama" di sini, ialah perkawinan orang Islam (laki-laki atau wanita) dengan wanita atau laki-laki non Islam. Dalam masalah ini, terdapat tiga kemungkinan, antara lain:
1) Perkawinan antar seorang laki-laki Muslim dengan wanita musyrik ;
2) Perkawinan antar seorang laki-laki Muslim dengan wanita Ahlul Kitab ;
3) Perkawinan antar seorang wanita Muslimah dengan laki-laki non Muslim
   1.  Perkawinan antara Seorang Muslim dengan Wanita Musyrik
Islam melarang perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik, berdasarkan firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
’Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia rnenarik hatimu.’18

Namun demikian di kalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu? Menurut Ibnu Jarir al-Thabari -seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti wanita Cina, India, dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghucu, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh19  juga sependapat dengan ini.

Tetapi kebanyakan (jumhur) ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah baik dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni Yahudi (Yudaisme) dan Kristen tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam, dan bukan pula Yahudi/Kristen tidak boleh dikawini oleh laki-laki Muslim, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu., Konghucu, Majusi/Zoroaster, karena pemeluk agama selain Islam, Kristen, dan Yahudi itu termasuk kategori "musyrikah".20
  2. Perkawinan antara Seorang Laki-laki Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab
Jumhur (kebanyakan) ulama, baik Hanafi, Maliki, Syafi’i, maupun Hanbali berpendapat, bahwa seorang laki-laki Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), sesuai firman Allah dalam QS.al-Maidah:  5
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
’Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu...’21
Ayat di atas memuat informasi bahwa seorang laki-laki muslim selayaknya mengawini wanita beriman yang menjaga kehormatannya. Ayat ini juga menjelaskan bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini wanita dari kalangan ahli kitab dengan persyaratan wanita tersebut menjaga kehormatannya (wanita baik-baik). Dengan demikian secara tekstual ayat, perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab- baik Kristen maupun Yahudi adalah boleh.
Selain berdasarkan Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan sunah Nabi, dimana Nabi saw pernah kawin dengan wanita Ahlul Kitab,  yang bernama Mariah al-Qibtiyah (beragama Kristen). Demikian pula ada seorang sahabat Nabi yang termasuk senior bernama Hudzaifah bin Al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya. Ini berarti, bahwa sahabat-sahabat Nabi yang lain setuju atas perkawinan Hudzaifah tersebut.

Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah Kristen dan Yahudi itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria) bagi umat Kristen, dan kepercayaannya  Uzair   putra  Allah  dan  mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi.22
Di samping itu pada awal ayat di atas ternyata memuat informasi tentang kehalalan makanan dan binatang sembelihan ahli kitab. Makanan dan binatang sembelihan yang dibolehkan bagi orang Islam tentunya bukan makanan dan binatang yang haram dikonsumsi oleh orang Islam. Dalam hal ini kebolehan mengawini ahli kitab digandengkan dengan kehalalan makanan dan binatang sembelihan ahli kitab. Dengan demikian kebolehan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab harus bersifat selektif.

Jelasnya, bahwa laki-laki muslim yang kawin dengan wanita ahli kitab haruslah memiliki keberagamaan yang mapan, bukan Islam KTP sehingga melalui pola pergaulan dalam kehidupan rumah tangga, isteri merasakan ciri khas nuansa Islam yang memiliki keunikan dalam jiwa isteri yang beragama lain. Sehingga bisa jadi isteri tertarik hatinya memeluk Islam setelah merasakan keunikan ajaran Islam melalui interaksi dengan suaminya yang muslim itu.
Sedangkan golongan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa laki-laki muslim tidak kawin dengan wanita ahli kitab.23

Karena itu menurut Yusuf Qardawi ada beberapa ketentuan yang wajib dipelihara saat mengawini wanita ahli kitab:
1) Harus dapat dipercaya keadaannya sebagai wanita ahli kitab, yakni beriman kepada agama samawi yang asli, seperti Yahudi dan Nasrani;
2) Wanita itu menjaga kehormatannya, karena Allah melarang kawin dengan sembarang wanita ahli kitab;
3) Wanita tersebut bukan dari kalangan yang memusuhi dan memerangi umat Islam;
4) Di balik perkawinan dengan wanira ahli kitab itu tidak menimbulkan fitnah atau mudarat yang diperkirakan pasti terjadi atau diduga kuat akan terjadi.24
   3.  Perkawinan antara  Seorang  Wanita Muslimah dengan laki-laki non  Muslim
Ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi (relevealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisime, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci, termasuk pula disini penganut Animisme, Atheisme, Politisme dan sebagainya.25
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim, ialah :
a.  Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 :
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Karena mereka (orang musyrikh) menarikmu ke neraka, padahal Allah mengajakmu ke surga dan ampunan dengan izin-Nya...’26
Ayat ini mengandung larangan menikahkan wanita mukmin dengan laki-laki musyrik. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan antara wanita mukmin dengan laki-laki musyrik adalah haram hukumnya karena al-aslu fi al-nahyi li al-tahrim (pada dasarnya larangan itu menunjukkan kepada haram).27
b. Ijma’ para Ulama tentang Larangan Perkawinan antara Wanita Muslimah dengan Laki-laki Non-Muslim.
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (laki-laki/wanita) dengan orang yang bukan Islam (laki-laki/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para nabi , kitab suci, malaikat, dan percaya pula pada hari kiamat; sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti "kepercayaan/ideologi" mereka.28  

Jelasnya, bahwa Islam mustahil bertemu (kompromi) dengan keberhalaan. Akidah tauhid yang murni bertentangan secara diametral dengan akidah syirik.29 Ibarat dua garis yang sejajar mustahil berpotongan, walaupun secara matematis pada jarak tak terhingga tampak seolah-olah berpotongan namun hal itu hanyalah khayalan, mustahil terjadi dalam kenyataan.
Mengenai hikmah diperbolehkannya perkawinan antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi, ialah karena pada hakikatnya agama Kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka kalau seorang wanita Kristen/Yahudi kawin dengan laki-laki Muslim yang baik, yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya sendiri masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga Islam. Sebab agama Islam mempunyai panutan/pedoman hidup yang lengkap, mudah/praktis, flexible, demokratis, menghargai kedudukan wanita Islam dalam keluarga, masyarakat, dan negara, toleran terhadap agama/kepercayaan lain yang hidup di masyarakat, dan menghargai pula hak-hak asasi manusia terutama kebebasan beragama, serta ajaran-ajarannya yang rasionable.

Fakta-fakta menunjukkan bahwa wanita-wanita Barat dan Timur yang kawin dengan laki-laki Muslim yang baik dan taat pada ajaran agamanya, dapat terbuka hatinya dan dengan kesadaran sendiri si istri masuk agama Islam.30 Namun, kalau seorang pemuda muslim itu kualitas iman dan Islamnya masih belum baik, misalnya Islamnya masih Islam KTP atau Islam Abangan, maka seharusnya ia tidak berani kawin dengan pemudi Kristen/Yahudi yang militan, karena ia dapat terseret kepada agama istrinya. Dan hal ini sesuai dengan taktik dan strategi Ahlul Kitab untuk memurtadkan umat Islam dan kemudian menariknya ke agama mereka dengan berbagai cara.31

Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang wanita Islam dengan laki-laki Kristen/Yahudi, karena dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-anak melebihi ibunya. Dalam hal ini, fakta-takta sejarah menunjukkan bahwa tiada sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka bumi ini yang memberikan kebebasan beragama dan bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain, seperti agama Islam. Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah: 120
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

‘Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka…’32

Dan berfirman Allah dalam Surat al-Nisa: 141
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

’...Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang beriman.’33

Ayat tersebut di atas mengingatkan kepada umat Islam, hendaknya selalu berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan berbagai cara. Dan hendaknya umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan kepada mereka untuk mencapai maksudnya, misalnya dengan jalan perkawinan seorang wanita dengan laki-laki non-Muslim.
Selaras dengan asumsi di atas, Cortenay Beale dalam bukunya Marriage Before & After mengingatkan, bahwa pasangan suami istri yang terdapat religious antagonism (perlawanan/permusuhan agama), misalnya perkawinan antara pemuda Katolik dengan pemudi Protestan atau Yahudi atau agnostik, yang masing-masing yakin dan konsekuen atas kebenaran agama/ideologinya, maka akan sulit sekali menciptakan rumah tangga yang harmonis dan bahagia, karena masalahnya adalah masalah yang sangat prinsip dan sensitif umat beragama.34

Menurut realitas, bahwa perkawinan antarorang yang berlainan agama bisa menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Karena itu, tepat dan bijaksanalah bahwa agama Islam pada dasarnya rnelarang perkawinan antara orang Islam (laki-laki/wanita) dengan orang yang bukan Islam, kecuali laki-laki Muslim yang kualitas iman dan Islamnya cukup baik, diperkenankan kawin dengan wanita Ahlul Kitab yang akidah dan praktek ibadah orang Islam. Sayang jauh menyimpang dari ajaran tauhid yang murni. Itulah sebabnya sebagian ulama melarang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi, walaupun secara tekstual berdasarkan QS. Al-Maidah ayat 5, jelas membolehkannya.
Karena itu, perkawinan antara orang Islam (laki-laki/wanita) dengan orang non-Islam, yang dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil, tidaklah sah menurut hukum Islam, karena perkawinannya tidak dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam, yakni tidak memenuhi syarat dan rukunnya, antara lain tanpa wali nikah dan mahar/maskawin serta tanpa ijab qabul menurut tata cara Islam.

Menurut hemat penulis, larangan perkawinan tersebut oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempunyai alasan yang cukup kuat, yakni :
Pertama, dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain ialah pasal 2 ayat (1) UU Noinor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua, dari segi hukum Islam, dapat disebutkan dalil-dalilnya sebagai berikut :
a. Sadduz zari’ah, artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara orang Islam dengan non-Islam;
b. Kaidah fiqh: د رء المفا سد مقد م على  جلب المصا لح                                              
Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan.’35
Dalam hal ini resiko dari perkawinan antara orang Islam dengan non Islam adalah terjadinya kemurtadan dan broken home- yang harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari manfaat yakni menariknya memeluk agama Islam (islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti,   dan keluarga besar dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
c. Pada prinsipnya   agama  Islam   melarang (haram) perkawinan antara seorang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam (Perhatikan Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 221), sedangkan izin kawin seorang laki-laki Muslim dengan seorang wanita dari Ahlul Kitab (Nasrani/Yahudi) berdasarkan QS.al-Maidah: 6 hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam laki-laki Muslim tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang tinggi (pindah agama atau cerai).36
Fenomena buruk dari perkawinan antara seorang muslim dengan non muslim memang telah menjadi dilema dalam kehidupan. Karena pada satu sisi dampak negatifnya sangat signifikan baik bagi ayah/ibu, maupun anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga tersebut. Namun di sisi lain tuntutan hak asasi manusia (HAM) justru menganggap perkawinan seperti itu sebagai bagian dari hak asasi setiap orang.
D. Kesimpulan
1. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik adalah haram hukumnya menurut hukum Islam. Demikian juga perkawinan wanita muslim dengan laki-laki non muslim
2. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, boleh menurut al-Qur’an,  dengan syarat laki-laki termasuk orang yang kuat imannya serta memiliki keberagamaan yang baik, serta wanita tersebut adalah wanita baik-baik.
3. Tetapi dalam perkembangan saat ini perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab lebih banyak mudaratnya ketimbang maslahatnya. Karena itu perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, dilarang.


KEPUSTAKAAN
Abū Dāud,  Sunan Abū Dāud,  Jilid I (Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.].
Beale, Courtenay. Marriage Before & After (London: The Wales Publishing Co., [t.th.].
Dahlan, Abdul Azis, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5. Cet. VI; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.
al-Dārimî.  Sunan al- Dārimî, Juz  II. Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.].
Departemen Agama R.I. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV Indah Press, 2002.
Glasse, Cyril. The Concise Encyclopedia of Islam.  Diterjemahkan oleh Ghufran A.Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam Ringkas. Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah Kontemporer Hukum Islam. Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Ibn Mājah. Sunan Ibn Mājah,  Juz I. Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.].
al-Jurjawi, Ali Ahmad. Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh, Juz II. Kairo: Al-Matba’ah al-Yusufiyah, 1931.
Muslim. Sahih Muslim, Juz II. Bayrut: Dar al-Fikr, 1992.
Nasution, Andi Hakim. Membina Keluarga Bahagia. Cet. III; Jakarta Antara, 1993.
Qardawi, Yusuf. Hady al-Islam Fatawi  Mu'asirah. Diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul  Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1. Cet. VI; Jakarta: PT Gema Insani Press, 2000.
Quţb, Sayyid.  Tafsir fi Zilāl al-Qur’ ān, Jilid I, Juz II. Cet. XII; Mekkah: Dār al-‘Ilm li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1986M/1406H.
Rida, Rasyid. Tafsir al-Manar, Juz VI. Kairo: Dar al-Manar, 1367H.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 11. Cet. III; Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 35.  
-------. Wawasan al-Qur’an. Cet. X; Bandung:Mizan, 2002.
Yanggo, H. Chuzaimah T., dan H.A.Hafiz Anshary A.Z. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Pertama. Cet. III; Jakarta: PT Pustaka Firdaus bekerja sama dengan LSIK, 1999.
Zein, H. Satria Effendi M. Ushul Fiqh. Cet. I; Jakarta: Prenada media, 2005.



1Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  (Jakarta: Ditjen Binpera Islam Depag R.I, 2001), h. 100.
2 Lihat Andi Hakim Nasution, Membina Keluarga Bahagia (Cet. III; Jakarta Antara, 1993), 3.
3 Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press, 2002), h.  644. 
4M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 11 (Cet. III; Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 35.  Sakinah, berarti ketenangan, kedamaian. Lihat Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam,  diterjemahkan oleh Ghufran A.Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam Ringkas (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 351.
5 Lihat ibid., h. 36.
6 Departemen Agama R.I., op.cit., h. 119.
7 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Cet. X; Bandung:Mizan, 2002), h. 208.
8 Departemen Agama R.I., op. cit., h.  45.
9Lihat Sayyid Quţb, Tafsîr fi Zilāl al-Qur’ ān, Jilid I, Juz II (Cet. XII; Mekkah: Dār al-‘Ilm li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1986M/1406H), h. 168-169.
10Ramlan Yusuf Rangkuti, “Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Hukum Islam,” dalam H. Chuzaimah T.Yanggo dan H.A.Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Pertama (Cet. III; Jakarta: PT Pustaka Firdaus bekerja sama dengan LSIK, 1999), h. 49.
11 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan, op.cit., h. 209-210.
12 Lihat Sayyid Quţb,  op.cit, h. 168.
13Lihat Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Cet. VI; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 1330.
14 Abū Dāud,  Sunan Abū Dāud,  Jilid I (Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 454. Lihat pula Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah,  Juz I (Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 597. al-Dārimî,  Sunan al- Dārimî, Juz II (Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.]),  h. 134.  
15 Departemen Agama R.I., op.cit., h.  412.
16 Muslim, Sahih Muslim, Juz III (Bayrut: Dar al-Tiras al-‘Arabi, 1955), h. 255.
17 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 114.
18 Ibid., h. 53.
19 Lihat Rasyid Rida,Tafsir al-Manar, Juz VI (Kairo: Dar al-Manar, 1367H), h. 187-188.  
20 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Cet. VI; Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1999)., h. 5.
21 Ibid., h. 158.
22 Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 5.
23Lihat M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah Kontemporer Hukum Islam (Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 11.  
24 Lihat Yusuf Qardawi, Hady al-Islam Fatawi  Mua’sirah, diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul  Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1 (Cet. VI; Jakarta: PT Gema Insani Press, 2000), h. 587-592.
25 Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 6.
26 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 53.
27 H. Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Cet. I; Jakarta: Prenada media, 2005), h. 192.
28 Lihat Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh, Juz II (Kairo: Al-Matba’ah al-Yusufiyah, 1931), h. 25-26.
29 Lihat Yusuf Qardawi, op.cit., h. 580-581.
30 Lihat al-Jurjawi,  op.cit., h. 26-27.
31 Lihat Rasyid Rida, op.cit., h. 193.
32 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 32.
33 Ibid., h. 146.  
34 Courtenay Beale, Marriage Before & After (London: The Wales Publishing Co., 9t.th.]), h. 120.
35 Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 74. 
36 Lihat Masjfuk Zuhdi,  op.cit., 10. 


Catatan Tambahan:

Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Hak-hak Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul "PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: Perspective Indonesian Criminal Law and Islamic Law," yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman. 
Buku tersebut dapat dibeli toko buku online, Morebooks, mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman seharga 59,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini:



https://www.morebooks.de/store/de/book/protection-of-the-rights-of-domestic-violence-victims/isbn/978-3-8484-8749-3


42 komentar:

  1. Assalamualaykum warohmatullahi wabarokatu..
    nama hamdan suat
    kls Js.A
    senestr 4

    Dalam realita kehidupan pernikahan beda agama seorang muslim dengan non muslim telah menjadi Fenomena buruk dalam kehidupan, apalagi di sisi lain tuntutan hak asasi manusia (HAM) justru menganggap perkawinan seperti itu sebagai bagian dari hak asasi setiap orang.
    Nah yg ingin saya tanyakan adakah upaya dari pada pemerintah kita untuk meluruskan pandangan masyarakat tenteng hal ter sebut..?

    BalasHapus
    Balasan
    1. asalamualaikum warahmatullahi wabarakatu

      maaf sebelumnya hamdan..
      saya rasa.. venomena septi itu sulit di luruskan
      di karenakan banyaknya produk undang" yg secara tidak di sadari
      memberikan peluang trsbut

      saya harap tanggapan mu Hamdan

      Maaf sebelumnya Pak' kalau saya minta pandangan teman saya
      saya harap bapk tidak keberatan

      Hapus
    2. Hamdan: Pemerintah telah berupaya meluruskan dan mengeliminir dampak perkawinan antar org berbeda agama dengan melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI).
      Dlm KHI ditentukan bhwa pernikahan beda agama dilarang dilakukan di Indonesia, perkawinan beda agama lbih banyak mudarat (bahaya)nya drpd maslahat (manfaat)nya, baik bagi suami, istri maupun anak-anaknya.

      Hapus
  2. Assalamu'alaikum wr.wb
    Saman Hudi Rumaf
    Js-A' / IV
    Nim : 0120104021

    jadi.. yang ingin saya tanyakan itu gini pak'
    Saya termasuk seorang hamba Allah di bumi Allah
    dan yang ingin menanyakan kasus berikut:

    Ada seorang laki-laki Muslim berbuat zina dengan seorang wanita Katolik sehingga hamil sekian bulan, lalu ia ingin bertanggung jawab dengan menikahinya dengan kondisi berikut:

    1. Wanita Katolik tesebut menginginkan menikah digereja dengan cara Katolik kemudian setelahnya menikah secara Islam, kemudian catatan negara dilakukan dengan administrasi Katolik, sedangkan secara Islam tanpa catatan.

    2. Kemudian keduanya setelah itu hidup berkeluarga dalam keadaan berbeda agama. Dalam hal ini pihak laki-laki istilahnya terpojokkan karena sudah menghamili. Sehingga HARUS menikahi dengan cara tersebut, dengan tetap pada keyakinan masing-masing. Dalam prosesnya, orangtua (bapak) dari laki-laki itu sudah mengusahakan dengan semaksimal mungkin untuk menikah dengan cara Islam tanpa syarat, wanita tersebut harus masuk Islam dulu. Namun dari pihak wanita (keluarganya) tetap tidak menyetujui. Kemudian akhirnya, dengan berbagai pertimbangan orangtua ini menyetujui prosesi tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masalah yg muncul bukan hanya bersumber dr perkawinan beda agama antara mempelai dan mempelai perempuan namun hamil sebelum nikah (nikah dalam kondisi hamil). Itu merupakan masalah yg rumit. Kerumitannya bukan disebabkan oleh aturan undang-undang atau syariat Islam, namun dimunculkan sendiri oleh kedua mempelai (hubungan biologis di luar perkawinan) yg sangat dilarang agama.
      Kalau dicermati dr QS al-Maidah ayat 5 menikahi perempuan ahlul Kitab sebenarnya boleh, namun kebolehannya menjadi dilarang mengingat berbagai dampak sosiologis dr perkawinan beda agama tsb.

      Dr aspek pelaksanaan ijab qabul jg menimbulkan masalah. Jika keduanya menikah menurut tata cara pernikahan agama Katolik tanpa dilakukan secara syariat Islam, maka perkawinan tdk sah.
      Kalau pun dinikahkan secara syariat, muncul masalah apakah akad nikahnya sah atau tdk?
      Wallahu a'lam bis shawwab

      Hapus
  3. Arsad B. Rahanyamtel
    Js-A' / IV
    Nim : 0120104001

    Asalamualaikum Watahmatullahi Wabarakatuh.

    yang ingin saya tanyakan pa' bila ada seorang wanita muslim yang menikan dengan lelaki non muslim
    saat itu pernikah mereka karena sudah mengandung. dia menikah denga cara islam dan cara agamanya.sekarang dia sudah dikaruniai 2 anak yang beragama islam dan perkawinan merekah berjalan baik2 saja sampai sekarang.

    Pertanyaan saya adalah sekarang si wanita ini ingin menjadi orang yang lebih baik untuk di akhirat nanti.apakah saya harus bercerai atau tidak/ moho tanggapanya pak'

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena menurut QS al-Baqarah ayat 221 perkawinan wanita muslim dgn laki-laki non muslim dilarang, maka menurut sebagian ulama fiqh, perkawinan mereka tdk sah, sehingga hubungan mereka berdua jg tdk sah. Namun menurut sebagian ulama yg lain perkawinan sah namun mereka haram.
      Jika si wanita ingin menjadi orang yang lebih baik maka pilih antara dua alternatif: gugat cerai suaminya atau minta kerelaan suaminya masuk Islam (ingat atas kemauan suami, dan bukan dipaksa).
      Pilihan cerai terpaksa dilakukan sebab perkawinan mereka haram, dan untuk menghindari keharamannya maka mereka harus pisah, sekaligus sebagai bentuk taubat si wanita muslim tsb.
      Wallahu a'lam bis shawwab

      Hapus
  4. Nama: Hayatudin Latulanit
    Nim: 0120104011
    Klas: js-a / IV

    asalamualaikum wr..... wb......

    Menurut informasi yang saya dengar bahwa hukum di indonesia tidak memungkinkan untuk melaksanakan hukum antaragama (islam dan kristen). benarkah demikian? seandainya sepasang lelaki dan perempuan yang berbeda agama ingin melangsungkan pernikahan, bagaimana caranya, apakah bisa dilakukan di indonesia atau harus pergi ke luar negeri. Apakah perkawinan beda agama dapat dilakukan melalui nikah siri? mohon penjelasan. terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dipertegas oleh KHI, maka perkawinan beda agama tdk bisa dilakukan di Indonesia.

      Kalau pun ada yang nekad menikah beda agama di Indonesia konon dilakukan secara siri. Jika perkawinan beda agama dilakukan melalui nikah siri maka telah muncul dua masalah yakni perkawinan beda agama dan nikah siri.
      Dalam nikah siri yg dirugikan umumnya adalah istri dan anak-anaknya krna status perkawinannya tdk tercatat. Sebab kalau mau dicatat di KUA disyaratkan calon suami istri harus seagama (tdk beda agama).
      Sehingga biasanya perkawinan beda agama dilakukan di luar negeri

      Hapus
  5. Bismillaah_
    Berbicara mengenai pernikahan beda agama baik itu antara pria muslim dan wanita musyrik, pria muslim dan wanita ahlul kitab, maupun wanita muslim dan pria non muslim telah menjadi perhatian para ahli hukum islam. Karena, hal tersebut selain mempunyai nash yang jelas, juga melanggar aturan UU perkawinan yang telah ditetapkan. Salah satu dasar keberatan dari pernikahan beda agama misalnya, dalam surah Al-baqarah:221. Dimana dalam ayat tersebut secara tegas mengharamkan pernikahan berbeda agama.konsekuensinya adalah pernikahan antara dua insan yang berbeda agama harus dibatalkan, Meskipun para fuqaha ada yang berbeda pendapat dalam menyikapinya. Namun, jika dikaitkan dengan soal hak asasi manusia dan kebebasan beragama, maka pernikahan beda agama selama diyakini tidak menghalangi keimanan seseorang, boleh saja dilakukan. Tetapi, yang harus diprioritaskan adalah pernikahan seagama, agar mencapai tujuan dari pernikahan dan juga mendapat ridha Allah SWT. Karena, berdasarkan realita, pernikahan orang yang seagama saja sering terjadi konflik apalagi pernikahan antara orang yang berbeda agama.
    Rika lisnawati T
    Jinayah Siyasah A (IV)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dari aspek HAM memang larangan nikah beda agama dianggap melanggar HAM asasi manusia. Namun perlu disadari bahwa apa yang ditentukan oleh Allah untuk manusia selaku hamba pasti yang terbaik untuk manusia. Menikah bukan sekedar untuk kepentingan kedua belah pihak (suami dan istri) tetapi juga berkaitan dengan kepentingan anak keturunan sekaligus tanggungjawab terhadap agama mereka.
      Kalau hanya mempertimbangkan hak asasi individu, maka hak asasi anak keturunan justru akan diabaikan.
      Dan yg lebih terpenting adalah mengenai tanggungjawab di hadapan Allah. Kita bisa mengemukakan beribu dalih tanpa disadari bahwa dalih-dalih tsb hanyalah tipuan muslihat hawa nafsu yg menyesatkan semata. Sebab mencari kepastian di dunia adalah suatu hal yg tak pasti.

      Hapus
  6. Ali wijaya Js A semester IV
    Assalamualaikum Pak
    Dalam perspektif HAM, membentuk
    keluarga melalui pernikahan
    merupakan hak prerogatif pasangan
    calon suami dan istri yang sudah
    dewasa. Kewajiban negara adalah
    melindungi, mencatatkan dan
    menerbitkan akte perkawinannya.
    Namun sayangnya, realitas ini tidak
    cukup disadari oleh negara, bahkan
    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
    tentang Perkawinan maupun KHI tidak
    memberi tempat bagi perkawinan beda
    agama. menurut Bapak bagaimana cara kita menyikapi hal tersebut ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dari aspek HAM memang larangan nikah beda agama dianggap melanggar HAM asasi manusia. Namun perlu disadari bahwa apa yang ditentukan oleh Allah untuk manusia selaku hamba pasti yang terbaik untuk manusia.
      HAM dalam perspektif barat terkadang kebablasan. Di dunia ini sebenarnya tdk ada yang bebas sebebas-bebasnya, setiap kebebasan pasti ada batasannya.
      Mengapa Islam tdk memberikan kebebasan mutlak dalam mencari calon istri dan suami?
      Di antara alasannya, adalah bahwa kebebasan seseorang jika diberikan tanpa batasan maka akan melanggar kebebasan orang lain.
      Perkawinan bukan untuk kepentingan suami istri namun jg berkaitan dengan kepentingan anak keturunan, sanak famili.
      Tujuan utama perkawinan adalah mencari kebahagiaan. Bagaimana mungkin kebahagiaan perkawinan bisa dicapai jika masing-masing suami istri memiliki keyakinan yang berbeda? Bagaimana pula mereka bisa melahirkan anak keturunan yg saleh jika keyakinan kedua orang tuanya berbeda. Padahal keyakinan agama adalah hal yg sensitif.

      Mungkin kebahagiaan duniawi dan materi bisa diwujudkan dalam perkawinan beda agama, namun kebahagiaan ukrawi akan sulit diwujudkan krna keyakinan anak keturunannya menjdi tdk jelas. Padahal orang tua akan dimintai tanggungjawab terhadap anak keturunannya.
      Jadi, pertimbangannya bukan untuk kepentingan temporer melainkan kepentingan jangka panjang (ukrawi).

      Dan yg lebih terpenting adalah mengenai tanggungjawab di hadapan Allah. Kita bisa mengemukakan beribu dalih tanpa disadari bahwa dalih-dalih tsb hanyalah tipuan muslihat hawa nafsu yg menyesatkan semata. Sebab mencari kepastian di dunia adalah suatu hal yg tak pasti.

      Hapus
  7. Nama : nurul syahni
    jurusan : JS a
    semester : lV

    Assalamu’alaikum.
    pak, saya ingin bertanya:

    - Bagaimana hukum bagi orang yang mempertahankan pernikahan dengan pemeluk agama lain, dengan harapan si wanita muslimah dapat membimbing suaminya yang non muslim untuk dapat menjadi seorang muslim?
    Sedangkan dampak dari hal tersebut adalah anak lebih sering bermain di tempat keluarga yang non muslim karena kesibukan ibunya yang bekerja di luar rumah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Meskipun istri bisa membimbing suaminya menjadi seorang muslim namun perkawinannya tetap dilarang.
      Krna kemungkinan tsb hanya bersifat kasuistik yg meski bisa terjadi tp tdk banyak terjadi dalam masyarakat. Padahal ketentuan hkm didasarkan kepd fakta yg banyak terjadi.
      Bahkan yg banyak terjadi dalam kasus perkawinan seperti itu justru istrilah yg murtad.
      Kecuali si suami telah masuk Islam atas kemauannya sendiri sebelum mereka menikah. Dalam hal itu perkawinan mereka bukanlah perkawinan beda agama tp perkawinan antar org yg seagama.

      Hapus
  8. Nama : Darja Rahantan
    KLS : JS/B/IV
    NIM : 0120104035,

    Bagemana jika sorang wanita muslim menika dengan laki2 ahlil kitab sedangkan di Al- Quran tidak di jelaskan seperti itu,

    menurut pemahaman bapak bagemana,, ????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yg dibolehkan QS al-Maidah ayat 5 adalah perkawinan antara seorang pria muslim dgn wanita ahlul Kitab sedangkan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria ahlul Kitab tdk diatur secara khusus. Tetapi berdasarkan QS al-Baqarah ayat 221 perkawinan wanita muslim dengan pria ahlul Kitab tsb dilarang.
      Menghindari bahaya lbih diutamakan/didahulukan dripada mencari manfaat.

      Hapus
  9. Assalamualaikum wr... Wb...
    Nama: lamael sinamur.
    Jurusan: js b.
    Smester: IV.

    Pak bagaimna kalau seorang wanita muslim menikah dgn pria non muslim dan mereka memperoleh 2 org anak laki-laki & perempuan, ktika anaknya dewasa mereka bercerai ttapi 2 org anak anak tersebut
    mengikuti agama ibunya...
    Pertanyaan saya adalah.
    Bagaimna kalau pada saat anak perempuannya menikah tanpa ada wali sah, apakah pernikahan tersebut sah atau tidak..mohon penjelasannya pak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pernikahan tidak sah apabila tidak ada wali yang sah, karena bapaknya non muslim maka yang berhak menjadi wali adalah wali hakim

      Hapus
    2. Komentar Ali betul. Meski secara biologis ayah memiliki hubungan darah dgn anak gadisnya namun secara hukum perdata Islam, ayah yg beragama non muslim tdk memiliki hubungan secara perdata.
      Dalam kasus tersebut yg menjadi wali dlm perkawinan anaknya adalah wali hakim.
      Dgn demikian perkawinan wanita muslim dgn pria non muslim merupakan masalah dari awal perkawinan hingga perkawinan anak keturunannya.
      Jika umat Islam mau berpikir rasional tanpa memperturutkan seleranya maka akan menghindari perkawinan seperti itu.
      Bukankah tujuan utama perkawinan adalah untuk meraih kebahagiaan, dan bukan untuk mencari masalah

      Hapus
    3. Pak bagaimana jika ada orang tua yang menjodohkan anak perempuannya menikah dengan laki-laki non muslim dikarnakan orang tua perempuan sedang sakit keras ( bisa dikatakan seandainya orangtua nya meninggal ini adalah wasiat terakhirnya )dan butuh uang untuk berobat yang notabene si laki-laki yang non muslim adalah orang kaya...apa yang harus dilakukan?

      Hapus
  10. Assalamu'alaikum Wr Wb.....
    bismillah...
    pertama-tama terimakasih kepada bapak karena dengan adanya blog ini dapat memberikan referensi bagi mahasiswa khususnya pada mahasiswa Fakultas Syari'ah dlm bidang kajian hukum perkawinan dan memberikan pemahaman kpd masyarakat pada umumnya.

    walaupun perkawinan merupakan hal keperdataan namun perkawinan harus sesuai dengan peraturan baik aturan negara maupun aturan syar'i.
    dilihat dari realita perkawinan sering melanggar aturan yang telah ditentukan, pelanggaran itu dapat dilihat pernikahan beda agama yang mempertahankan kepercayaannya masing-masing.
    Dalam poin maqasyid syariah salahsatunya adalah untuk melindungi agama
    pertanyaan saya
    bagaimana menurut pandangan bapak kalau perkawinan beda agama itu dmasukan dalam bentuk delik pidana?
    saya menduhuluinya terimakasi atas jawaban bapak
    Wasalam..
    Rasyid Malihu
    JS A
    SEMESTER IV

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha. Perkawinan dalam hukum Indonesia dn hukum negara di dunia dikategorikan sebagai bagian dr masalah perdata.
      Yg dikategorikan sebagai tindak pidana adalah penistaan agama, yg memang telah diatur dalam KUHP.
      Namun demikian tdk tertutup kemungkinan suatu saat nanti bisa sj persoalan yg Rasyid komentari itu menjadi bagian delik.
      Dulu tindak kekerasan suami kpd istri atau sebaliknya meski istri sudah babak beluk, namun jika dilaporkan kepd aparat penegak hukum tak akan disidik jika diketahui bahwa kasus yg dilaporkan merupakan bagian urusan rumah tangga.
      Namun sejak tahun 2004 kekerasan yg dilakukan suami kpd istrinya telah menjd tindak pidana/delik stlah disahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

      Hapus
  11. RUSJI RUMBIA
    0120104013
    JS-A
    sem 4
    Assalamualikum wr. wb
    pak saya ingin menanyakan bahwa sebenarnya perkawinaan beda agama bisa di laksanakan di indonesia atau tidak?
    karna yang saya tahu bahwa perkawinan beda agama tidak di izinkan di indonesia. tapi ko kenapah, banyak kalangan artis yang menikah di indonesia, melainkan di luar negeri yang mengizinkan beda agama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sesuai ketentuan hukum perkawinan di Indonesia, pernikahan beda agama tdk bisa dilayani. Karena itulah bagi pasangan yg mau menikah beda agama memilih pelaksanaan pernikahannya di luar negeri.

      Hapus
  12. asslamu'alaikum Wr...Wb...

    Nama Nursia keliata
    Nim 0120104025

    langsung saja ke pertanyaannya...
    bagaimana hukumnya bila saat menikah mereka satu agama, namun dikemudian hari salah satu dari mereka keluar dari agama islam. Apakah dalam hukum islam mereka dianggap ceai ataukah pernikahan mereka masih sah ?
    wassalam...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut hukum Islam, murtadnya salah seorang dr suami istri menjadi penyebab putusnya perkawinan mereka (fasakh). Krna itu perkawinan mereka tdk sah lg.

      Hapus
  13. Assalamu'alaikum Wr.Wb.

    Nama Fitri mano
    Nim 0120104006

    saya ingin bertanya tentang, bagaimana status anak-anak dari orang tua yang nikah beda agama dan bagaiman hukumnya dari orang tuanya yang nikah beda agama...?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Status anak dr org tua yang nikah beda agama, adalah anak sah. Namun masalahnya terletak pd pilihan agama yg mengikuti agama salah satu orgtuanya yg non muslim.

      Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik diharamkan oleh al-Quran surat al-Baqarah: 221. Begitu jg perkawinan antara wanita muslim dengn pria non muslim.

      Sedangkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlul Kitab dibolehkan menurut QS al-Maidah: 5 namun dengan pertimbangan sadduz zari'ah (menghindari dampak negatifnya) maka perkawinan tsb menurut KHI dilarang.

      Hapus
  14. Nama : Novia Alfitah
    Semester : 6
    Jurusan : Ahwal Al-Syakhsiyah (AS)

    Assalamualaikum,,, pak...
    Bgini, saya pernah baca ada artikel di salah satu blog yg terkait dengan perkawinan beda agama ini. Judul artikelnya tentang : "Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama"

    Jd di artikel tersebut tertulis bahwa pada salah satu seminar di Depok, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Empat cara tersebut adalah meminta penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan menikah di luar negeri.

    Saya ingin menanggapi sedikit tentang cara yg keempat utk menempuh perkawinan beda agama. Yakni menikah di luar negeri. Saya melihat bahwa banyak artis-artis Indonesia yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan Australia untuk melakukan perkawinan beda agama. Namun menurut saya, jika melakukan perkawinan di luar negeri, berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Kemudian dalam artikel yg saya baca, pasangan dari perkawinan beda agama tersebut mendapat akte dari negara tempat mereka melangsungkan perkawinan beda agama ini. Disebutkan bahwa akte di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak memperoleh akte lagi dari negara.

    Saya ingin memberi garis bawah pada pernyataan dalam artikel yang saya baca itu, yakni bahwa akte yg mereka dapatkan di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak memperoleh akte lagi dari negara.

    Pertanyaan saya,,, dari pernyataan yg saya garis bawahi tersebut. Menurut tanggapan bapak, apakah akte yg mereka dapatkan dri negara luar itu ketika mereka kembali di Indonesia, dapat dinyatakan sah atau tidak sah menurut hukum negara kita? Karena akte itu jelas dikeluarkan menurut ketentuan hukum negara luar yg penetapan nya berbeda dengan hukum di negara kita...

    Selanjutnya, muncul masalah baru dan hal ini juga ingin saya tanyakan pak. Yaitu, berhubung di negara kita ada berbagai contoh pasangan yg melakukan perkawinan beda agama seperti pada kalangan artis. Kemudian ada di antara mereka yg ingin bercerai. Ini yang membuat kebingungan, mengingat jika perceraian terjadi antara suami istri sesama muslim maka perceraian nya akan berproses di Pengadilan Agama. Sedangkan yg non-muslim di Pengadilan Negeri. Pertanyaan saya pak, bagaiman jika dikemudian hari nanti pasangan beda agama ini hendak bercerai, apakah bisa proses percerainnya di langsungkan di Pengadilan Negeri di Indonesia? Karena mengingat, hukum negara kita tidak mengatur tentang perkawinan beda agama ini. Jadi, apakah mereka harus melakukan proses perceraian nya di negara luar di mana tempat mereka melangsungkan perkawinan beda agama tersebut? Atau bagaimana dengan kejelasan hukumnya pak, terhadap kasus seperti ini?

    Demikian, wassalam...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jika betul Akte Nikah yg dikeluarkan pihak berwenang di luar negeri dicatatkan pd Kantor Catatan Sipil di Indonesia, maka hal itu hanya menjadi dokumen tentang hubungan keperdataan suami istri tsb.

      Namun demikian perkawinan mereka tetap dikategorikan haram dalam hukum Islam.

      Kalau mereka menikah bisa diajukan ke PN krna pernikahannya tdk melalui KUA (bg si muslim).

      Hapus
  15. nama : Umi Khusnul khotimah
    Jurusan/Semester : AS/VI (enam)


    Assalamu'alaikum Wr Wb
    pak saya ingin bertanya tentang pernikahan beda Agama



















































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































    BalasHapus
  16. nama : Umi Khusnul khotimah
    Jurusan/Semester : AS/VI (enam)


    Assalamu'alaikum Wr Wb
    pak saya ingin bertanya tentang pernikahan beda Agama, jika seorang laki'' non muslim menikah dengan wanita muslim/ laki'' mu'min menikah dengan wanita non muslim namun setelah menikah dikemudian hari salah satu dari pasangan suami istri tersebut murtad kembali. yang ingin saya tanyakan disini pak, berdasarkan syari'at bagaimana hukum pernikahannya orang tersebut? masih sah sebagai suami istri ataukah tidak? dan apakah pernikahan seperti ini yang harus difasakh dalam islam pak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jika terjadi seperti itu maka pernikahan mereka harus difasakh

      Hapus
  17. Nama : Wamisna Kaimuddin
    jur /semster : AS/VI

    Assalamu'alaikum ,,, Pak...
    dalam al-qur'an kebolehan menikahi wanita ahlil kitab itu sudah jelah dan untuk sekarang ini kita tidk temukan lagi wanita ahlil kitab. dan larangan menikah sama wanitah musyrik atau non muslim pun sudah jelas, namun realita yang ada bertentangan dengan aturan di dalam al-qur'an.realita sekarang banyak orang muslim wanita maupun laki-laki menikh dengn orang non muslim bahkan juga sebaliknya. di indonesia jelas-jelas di larang melakukan pernikahan tersebut, yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana dengan artis indonesia yang melakukan perkawinan beda agama di indonesia??? contohnya Asmiranda

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menikah dgn pria atau perempuan pilihan sebagai suami atau istri merupakan hak setiap orang. Namun sebagai hamba Allah keinginan manusia khususnya muslim harus disesuiakan dengan petunjuk Allah. Krna ketentuan Allah pasti mengandung kebaikan bg manusia, baik di dunia maupun di akherat.

      Hapus
  18. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  19. Nama : hastini Salatin

    jurusan : As / VI


    saya pingin bertanaya Pa ......


    PERTANYAAN.

    seorang perempuan mukmin yang menikah dengan dengan laki-laki yang non muslim ,dan mereka berdua selama menikah masing-masing mempertahankan agamanya, apakah perempuan yang mukmin itu , masih tetap di katakan sebagai seorang yang beragama islam walaupun mereka telah bercampur ..........??

    sedangkan jelas dasar hukum larangan perwakawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim , ialah

    surat Al-Bagarah ayat 221
    "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman sesungguhnya budak yang beriman lebih baik dari pada orang musyrik , walaupun dia menarik hatimu, karena mereka ( orang musyrik ) menarikmu ke neraka, padahal Allah mengajak mu ke surge dan ampunan dengan izinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya benar perkawinan wanita muslim dgn pria non muslim haram hukum berdasarkan ketentuan dalam QS al-Baqarah: 221. Meskipun demikian wanita muslim tsb masih berstatus muslim (beragama Islam) kecuali dia telah menyatakan dirinya keluar dr agama Islam.

      Hapus
  20. Asalamualaikum Wr, Wb.

    Nama : Ibrahim tunyanan
    Kls : Js, A / IV

    dari apa yang bapak paparkan saya setuju dan mrnutu Kompilasi hukum islam dalam Q.S. Al-Baqara ayat 221dan surat al-Maidah ayat 5. Surah Al-Baqarah ayat 221 mengharamkan mengawini wanita-wanita musyrikah kemudian surah al-Maidah ayat 5 menasakh sebagian hukum yang ada di dalam surah Al-Baqarah ayat 221 tersebut.Wanita-wanita ahl-al-Kitab dihalalkan oleh surah al-Maidah ayat 5. Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat Ibn ‘Abbas, Demikian juga dikatakan oleh Malik bin Anas dan Sufyan bin Sa’id al-Tsuri dan ‘Abdurrahman bin Umru al-Auza’i.
    jadi suda jelas adanya

    Wasalam..

    BalasHapus
  21. Nama :Siti Aisa Tuara
    Npm : 201314123
    Prodi : Kimia
    Klas : 47 B Pagi

    Assalamualaikum. Wr.. Wb...

    Bapak mohon maaf sebelumnya.

    Pertanyaan saya disi pabak. apakah selamanya kita umat muslim di indonesia pada kususnya. maluku akan selalu mengadopsi pemahaman dari bangsa luar/barat..?

    BalasHapus
  22. Hal itu sangat tergantung pada kesadaran setiap pribadi umat Islam pada khususnya dan umat Islam pada umumnya untuk mengambil pemikiran yang maslahat dan mengabaikan pemikiran yang tak bermanfaat
    Wallahu a'lam bis shawwab

    BalasHapus