DALIL-DALIL FIQH KONTEMPORER
Dr. La Jamaa, MHI
Hidup dan kehidupan manusia tidak
pernah statis, melainkan selalu bersifat dinamis yang senantiasa mengalami
perubahan yang menimbulkan problematika hukum. Sedangkan wahyu yang mengatur
dan memberi tuntunan kepada manusia dalam menghadapi berbagai problem
kehidupannya justru telah berhenti sejak wafatnya Nabi saw. Dalam konteks ini
ada sebuah kaidah menarik dalam ajaran Islam, bahwa:
الوحي قد ا نتهى والوقاءع لا
تنتهى
‘Wahyu sudah selesai diturunkan,
sedangkan peristiwa-peristiwa baru yang memerlukan penyelesaian hukum tidak
pernah berakhir.’1
Kaidah di atas
merupakan penyederhanaan dari ungkapan yang dikemukakan oleh Syahrastani, bahwa
“nas (al-Qur’an dan hadis) telah berakhir, namun peristiwa-peristiwa hukum baru
yang memburuhkan penyelesaian hukum selalu terjadi, sesuatu yang tidak berakhir
tidak dapat diatur oleh sesuatu yang sudah berakhir”.2
Dari kaidah di atas dapat dipahami,
bahwa penyelesaian berbagai problematika hukum yang muncul dalam era modern ini
tidak selamanya telah memiliki pijakan hukum dalam wahyu. Akan tetapi justru
banyak peristiwa hukum yang muncul itu tidak memiliki landasan hukum secara
tekstual dalam al-Qur’an dan atau hadis Nabi saw. Sehingga dibutuhkan suatu
ijtihad dalam merespon berbagai peristiwa hukum dimaksud. Karena di samping
manfaatnya dalam meningkatkan kemakmuran umat manusia, teknologi modern juga
mengandung unsur-unsur yang dapat membahayakan harkat dan martabat manusia,
serta merusak keseimbangan ekologis lingkungan hidupnya.3
Dalam kaitannya dengan kemajuan
teknologi modern, masyarakat Islam tidak bisa mengelak dari realitas. Namun
harus meresponnya dengan bijak. Di sinilah pentingnya ijtihad4 dengan metode pendekatan yang tidak hanya tekstual, tetapi juga
kontekstual. Tegasnya, bahwa dalam mengistinbat-kan hukum terhadap
berbagai problem hukum Islam kontemporer perlu menggunakan berbagai dalil yang
relevan, seperti qiyas (analogi hukum antara kasus hukum yang telah ada
nasnya dengan kasus hukum yang belum ada nasnya karena kedua kasus hukum itu
sama illat (alasan hukum)nya; maslahah mursalah (penetapan hukum
berdasarkan unsur/nilai kemaslahatannya bagi masyarakat umum/publik) atau
konsep maqasid al-syari’ah5
(yang bertumpu pada pemeliharaan lima
kemasalahatan: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta); sadd al-zari’ah penetapan
hukum berdasarkan prinsip preventif, untuk menutup pintu
kejahatan/dosa).
Perlu dijelaskan, bahwa meskipun
suatu problem hukum kekinian dan kedisini-an telah ada landasan hukumnya, namun
bisa jadi telah terjadi pergeseran lantaran perbadaan situasi sosial ketika
wahyu itu turun atau hadis diinformasikan oleh Nabi saw. Dalam konteks ini
menurut Baqir Sadr terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial ketika
nas-nas itu diturunkan dengan situasi sosial dewasa ini. Sehingga tidak jarang
terjadi para fuqaha atau cendikiawan terjebak dalam empat bentuk kekeliruan,
yaitu subyektifikasi, manipulasi, justifikasi, interpolasi.6
Dengan demikian pemikiran hukum Islam
terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer masuk dalam wilayah fiqh. Fiqh
secara etimologis berarti “maksud sesuatu” atau “ilmu pengetahuan.”7 Dengan kata, fiqh berarti pemahaman yang mendalam yang membutuhkan
pengerahan potensi akal. Sedangkan secara terminologis, fiqh adalah pengetahuan
tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang didasarkan kepada
dalil-dalil yang terinci, atau kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci.8
Dari uraian di atas yang dimaksud
dengan fiqh kontemporer adalah kumpulan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa hukum di era kontemporer, baik dari sisi teknologi, gender,
hukum pidana, maupun politik.
Dalam pembahasan fiqh kontemporer
selain mengacu kepada nas-nas juga akan digunakan rasio yang tentunya tetap
berada dalam koridor nas atau setidaknya tidak bertentangan dengan nas secara
substansial. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam memahami
nas, tidak selamanya harus secara tekstual, namun harus dipertimbangkan
kemungkinan pemahaman nas secara kontekstual. Hal ini selaras dengan prinsip al-Islam
salihun li kulli zaman wa makan. Sehingga keberadaan nas tetap relevan
dengan perkembangan zaman, terutama yang berkaitan dengan teknologi yang memang
masuk dalam wilayah muamalah, dan bukan ibadah. Dalam ibadah memang berlaku
prinsip ta’abbudi yang harus ditaati tanpa harus mengetahui alasan
rasional suatu ibadah itu. Sedangkan urusan muamalah atau keduniaan merupakan ta’aqquli
yang mempunyai alasan rasional bagi kemasalahatan manusia. Kalau dalam urusan
ibadah berlaku kaidah “al-aslu fi al-asy-ya-I al-tahrimu hatta yadulla
al-dalilu ‘ala al-ibahah (hukum pokok ibadah adalah haram, sehingga ada
dalil yang menunjukkan kebolehannya)9
maka dalam urusan keduniaan berlaku kaidah:
Pada dasarnya (dalam urusan muamalah/keduniaan) adalah boleh
sehingga ada ketetapan/dalil yang melarangnya’
Dengan demikian semua produk
teknologi yang berkaitan dengan hajat kehidupan manusia pada hakekatnya adalah
boleh dimanfaatkan. Namun demikian pemanfaatan produk teknologi, apapun bentuk, dan
produsennya,
tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dasar dalam ajaran Islam. Kalaupun tidak
ada aturannya dalam nas al-Quran dan atau hadis, maka ia tidak boleh
bertentangan dengan prinsip kemaslahatan ataupun tujuan syari’ah (maqasid
al-syari’ah), yaitu pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.11 maslahat itu sendiri terbagi tiga yaitu (1) yang bersifat daruriyat
(mest ada/primer), (2) hajiyat (dibutuhkan, sekunder), dan (3) tahsiniyat
(dipuji, tersier).12
Karena itu meskipun bayi tabung dan
kloning tidak disinggung oleh wahyu secara tekstual namun bukan berarti boleh digunakan
atau ditolak secara mutlak. Perlu dipahami, bahwa pemanfaatan produk teknologi
tidak bisa ditolak (diharamkan) hanya beralasan, bahwa teknologi tersebut tidak
pernah digunakan oleh Nabi saw dan para sahabatnya. Hal itu tidak bisa
dianalogikan dengan ibadah mahdah, yang memang sangat dilarang ditambah,
dikurangi atau mengada-adakan yang ibadah ritual baru, yang biasa dikenal
dengan bid’ah.
Sedangkan penggunaan teknologi bayi
tabung dan kloning merupakan bagian dari urusan keduniaan. Namun harus
dikonfirmasikasin dengan nilai-nilai kemaslahatan dalam pemanfaatan teknologi
bayi tabung dan kloning. Nilai kemaslahatan tersebut harus juga
mempertimbangkan unsur mafsadat (bahaya/kerugian) yang ditimbulkannya.
Maka dalam kaitan ini harus mempertimbangkan kaidah fiqh, bahwa:
Maksudnya, bahwa unsur kemaslahatan
pemanfaatan teknologi apapun termasuk bayi tabung dan kloning sedapat mungkin
harus mengeliminir dampak negatif (unsur mafsadat)nya.
Dalam konteks
ini Izzuddin bin ‘Abdul Salam mengatakan, bahwa
‘Semua kandungan syari’ah adalah
maslahat, baik dengan cara penolakan terhadap kerusakan-kerusakan (mafsadat)
maupun dengan cara menarik manfaat-manfaat (masalahat).’
Menurut Izzuddin Abdul Salam,
maslahah terbagi 4 jenis yaitu (1)
kelezatan, (2) sebab-sebab/sarananya, (3) kesenangan, dan (4)
sebab-sebab/sarananya. Sedangkan mafsadah juga ada 4 jenis, yaitu (1) rasa
sakit/tidak enak, (2) penyebab rasa sakit/tidak enak, (3) rasa sedih, dan (4)
penyebab rasa sedih.15
Karena itu meskipun ada
kemaslahatannya bagi pasangan suami isteri yang gagal memiliki anak secara
alami, namun pemanfaatan teknologi bayi tabung dan kloning tersebut tidak boleh
melanggar prinsip pemeliharaan keturunan sebagai salah satu maqasid
al-syari’ah, sehingga penggunaan donor baik sperma maupun ovum serta rahim
rental harus dihindari. Dengan demikian prinsip maslahah al-mursalah yang
merujuk kepada maqasid al-syari’ah menjadi salah satu dalil dalam
penyelesaian kasus fiqh kontemporer.
Di samping itu pemecahan masalah
hukum Islam kontemporer juga harus menggunakan pendekatan interdisipliner,
dalam hal ini ilmu-ilmu yang relevan. Dalam masalah hukum teknologi bayi tabung,
kloning misalnya harus menggunakan pendekatan medis (ilmu kedokteran),
khususnya embriologi, genetika. Demikian pula dalam masalah hukum aborsi,
euthanasia, transplantasi organ tubuh, operasi selaput dara. Selain pendekatan
medis perlu pula digunakan pendekatan sosiologis, psikologis, ekonomi, dan
teleologis. Pendekatan ilmu-ilmu sosial ini sangat dibutuhkan dalam
menganalisis masalah hukum keluarga berencana, aborsi, operasi selaput dara,
transfusi darah, perkawinan antar orang beda agama, marital rape, pemanfaatan
uang korupsi untuk kepentingan umum dan wanita sebagai kepala negara. Jelasnya,
bahwa pemecahan masalah hukum Islam kontemporer tidak sekedar dengan metodologi
ushul fiqh namun juga harus digunakan interpretasi kontekstual, intertekstual,
di samping tekstual serta pendekatan interdisipliner.
Dengan penggunaan interpretasi
multidisipliner tersebut diharapkan produk hukum Islam kontemporer dalam
merespon problematika hukum Islam yang muncul pada masa kekinian dan kedisinian
dapat aplikatif dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Sehingga prinsip al-Islam
salihun li kulli zaman wa makan tidak sekedar slogan namun akan senantiasa
menjadi living law dalam masyarakat Islam pada setiap ruang dan waktu.
Sekaligus menegaskan bahwa hukum Islam bukan sekedar law in book, hukum
yang tertulis dalam berbagai kitab fiqh. Namun hukum Islam merupakan law in
action dalam kehidupan umat Islam.
1Jaih Mubarok, Fiqh Kontemporer dalam
Bidang Peternakan (Cet. I; Bandung:
Pustaka Setia, 2003), 19.
2Abu al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim bin Abu
Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 200.
3Nurcholis Madjid, Islam Doktrin &
Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemoderenan (Cet. V; Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 2005), h. 530.
4Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata
kerja jahada yang berarti “pencurahan segala kemampuan untuk
memperoleh suatu dari berbagai urusan.”
Dengan kata lain, ijtihad berarti bersungguh-sungguh atau kerja keras untuk mendapatkan
sesuatu. Lihat Muhammad Musa Towana, al-Ijtihad: Maza Hajatina Ilaihi fi
Haza al-Asr ([t.tp: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1972), h. 97. Sedangkan secara
istilah, ijtihad adalah “pengerahan segenap kemampuan oleh seorang ahli fiqh
atau mujtahid untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syara.” Baca
Muhammad Khudari Bik, Usul
al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 367.
5Lihat Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat
fi Usul al-Syari’ah, Jilid I Juz II (Cet. III; Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424H/2003M).
6Subyektifikasi adalah mengambil sikap
tertentu secara prematur terhadap nas, misalnya dua orang pemikir memahami nas
yang sama, tetapi dengan kecenderungan yang berbeda, sehingga menimbulkan
kesimpulan nas yang berbeda jika kesimpulan ditarik secara prematur sedemikian
rupa tanpa dilakukan verifikasi. Manipulasi, adalah melepaskan dalil syar’I
dari situasi dan kondisinya. Justifikasi, adalah pembenaran realitas baru
dengan cara mendudukkan nas pada penafsiran yang sesuai atau justifikasi.
Sedangkan interpolasi, adalah memasukkan nas ke dalam kerangka berpikir
tertentu sesuai keinginannya. Lihat Sayyid Baqir Sadr, Iqtisaduna (Beirut: Dar al-Ta’ruf, 1979), h. 404-415.
7Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya,
Mu’jam Maqayis al-Lugah, Juz IV (Beirut:
Dar al-Fikr, 1979), h. 442
8Abd al-Wahab al-Khallaf, ‘Ilm Usul
al-Fiqh (Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indunisi li al-Da’wah al-Islamiyyah,
1972), h. 11.
9Zainal ‘Abidin bin Ibrahim bin Nujaim, Al-Asybah
wa al-Naza’ir ‘ala Mazhab Abi Hanifat al-Nu’man (Kairo: Mu’assasah
al-Risalah, 1968), h. 66.
10Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id
al-Fiqhiyyah (Cet. V; Damsyiq: Dar al-Qalam, 2000M/1460H), h. 122.
11Abu Ishaq al-Syatibi, op.cit., h.
10. Penetapan kelima tujuan syariah ini telah disepakati ulama. Karena itu,
setiap aturan hukum yang diistinbatkan haruslah mengarah kepada pemeliharaan
kelima hal tersebut. Lihat Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam
Al-Ghazali Maslahah Mursalah & Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam (Cet.
I; Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002), h. 26.
13A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Cet.
I; Jakarta:
Kencana, 2006), h. 11.
14Abu Muhammad Izzuddin Abdul Aziz bin Abdul
Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, Juz I (Kairo: al-Istiqamah,
[t.th.]), h. 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar