HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Dr. La Jamaa, MHI
A. Pengertian Hadis
Ada beberapa istilah yang sering dikaitkan dengan
hadis, yaitu Sunnah, khabar dan atsar. Kata hadis (الْحَدِيثُِ ) berasal dari bahasa Arab yang secara
etimologi (lughawiyah/bahasa) berarti komunikasi, percakapan religius atau
sekuler, kisah histories atau komtemporer.
Bila
digunakan sebagai kata sifat, hadis berarti “ yang baru (yang pernah tidak ada)”
( َاْلجَدِيُد ) lawan dari kata qadim yang berarti “yang lama (yang
tidak memiliki awal)”. Karena hadis disandarkan kepada Nabi SAW sedangkan qadim
disandarkan kepada Allah. Di samping itu hadis juga berarti Al-Qarib (yang dekat) dan al-Khabar (berita).
Penggunaan
kata “Hadis” dalam Al-Qur’an untuk arti :
a) Komunikasi Religius =
Risalah atau Al-Qur’an
* Qs. Al-Zumar : 23 َاللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ
كِتَابًا
“Allah menurunkan secara bertahap hadis
(risalah) yang paling baik dalam bentuk kitab”
Kata Hadis pada Qs Al-Zumar : 23 ini
bermakna risalah
* Qs. Al-Qalam : 44 فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا
الْحَدِيثِ
“Maka
serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan hadis
(Al-Qur’an ) ini.”
Kata Hadis pada Qs Al-Qalam : 44 bermakna Al-Qur’an
b) Kisah
tentang suatu watak sekular atau umum
* Qs. Al-An’am : 68
وَإِذَا
رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى
يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ
“Dan
bila kamu melihat orang-orang memperolok-olokan ayat-ayat kami, maka
tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan hadis (perkataan) yang lain”
c) Kisah
Historis:
* Qs. Thaha : 9 وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
“Apakah
telah sampai kepadamu hadis (kitab) Musa?“
d) Kisah
Kontemporer / Percakapan
* Qs. Al-Tahrim : 3 وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ
أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا
“Ketika
Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya suatu
hadis (kisah)”
Penggunaan
kata Hadis dalam ucapan Nabi SAW dalam arti:
a) Komunikasi Religius, Nabi
SAW bersabda :
“Hadis
(perkataan) yang terbaik adalah kitab Allah” (HR. Bukhari : Adab 70)
b)
Percakapan atau cerita : sekuler atau umum
Nabi
SAW bersabda:
“Barang
siapa berusaha mendengar hadis (percakapan) suatu kaum padahal mereka tidak mau
ia mendengarnya, dan hendak menhindarinya, maka akan di tuangkan ke dalam
telinganya (di akhirat) cairan tembaga yang mendidih” (HR. Bukhary
Tab’ir: 45)
c) Kisah
Historis; Nabi SAW bersabda:
“Kalian
boleh menyampaikan hadis (kisah) dari Bani Israil.”(HR. Bukhar: Anbiya, 50)
d) Kisah
Rahasia atau Percakapan Kontemporer, Nabi SAW bersabda :
“Bila
seseorang menyampaikan suatu kisah (rahasia) lalu ia pergi, maka kata-katanya
itu menjadi amanat” (HR. Turmizi: al-Birr, 39 )
Jadi,
secara etimologis kata Hadis
mengandung arti: kisah atau komunikasi atau pembicaraan atau berita.
Sedang
secara terminologi (istilah) terdapat keragaman pengertian hadis dikalanganUlama
terutama ahli hadis dan ahli Ushul Fiqh membedakan hadis dengan sunnah.
a. Menurut Ahli Hadis bahwa hadis
adalah :
مَا أ ضيف إِِلى النبي صلي الله عليه و
سلم من قول او فعل او تقر ير او صفة
“Segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir maupun sifat”
atau:
ما نقل عن النبي صلي الله عليه و سلم من
قول او فعل او تقر ير او غير ذ لك
“Segala
yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun
selain itu”
b. Menurut
Ulama Ushul Fiqh, Hadis adalah :
ما نقل عن النبي صلي الله عليه و سلم من
قول او فعل او تقر ير ا لتى تثبت ا لأ حكام
“Segala
yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir yang berkaitan dengan penetapan hukum”.
Perbedaan
pengertian hadis tersebut disebabkan karena :
- Ulama
Hadis memandang Nabi SAW sebagai manusia yang sempurna yang dapat dijadikan
suri teladan bagi umat Islam, sesuai firman Allah dalam QS. Al-Ahzab: 21
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah Saw itu suri teladan yang baik bagimu”
Karena itu Ulama Hadis membicarakan segala
sesuatu yang berkaitan dengan Nabi SAW, baik yang menyangkut ketetapan hukum
Syariat Islam maupun tidak, baik ketika beliau sudah menjadi Rasul ataupun
sebelumnya.
- Sedang
Ulama Ushul Fiqh memandang Nabi sebagai ‘MUSYARRI”
atau Pembuat Undang-Undang di samping Allah. Hal ini sesuai dengan isyarat QS. Al-Hasyr : 7
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa
yang diperintahkan Rasul kepadamu, jalankanlah apa-apa yang dilarang Rasul
atasmu maka tinggalkanlah”.
Sehingga
sesuatu informasi yang berasal dari Rasulullah SAW, tetapi tidak berkaitan
dengan persoalan hukum, tidak dikategorikan sebagai sunnah/hadis oleh ulama
Ushul Fiqh.
Dalam hubungannya dengan SUNNAH :
* Para Ulama Hadis (mayoritas)
memandang bahwa kata-kata SUNNAH dan HADIS merupakan kata-kata yang sinonim;
sedangkan
*Ulama
Fiqh dan Ushul Fiqh memandang 2 kata tersebut berbeda artinya. Dalam hal ini
Dr. Yusuf Musa dalam bukunya FIQHUL KITAB
WA AL – SUNNAH mengatakan :
ا لسنة ما صد ر عن ا
لرسول من قول أو فعل أو تقرير وا لحد يث
ما صد ر عن ا لرسول من قول فقط
“Sunnah
adalah apa yang berasal dari Rasulullah SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrirnya, sedangkan Hadis adalah apa yang berasal dari Rasulullah saw
berupa perkataan saja.”
Secara Etimologi, Sunnah berasal dari kata
sanna سن yang berarti لطريقة المسلوكة ا = jalan yang ditempuh, baik terpuji maupun tidak (tercela). Hal
ini didasarkan kepada Hadis Nabi SAW:
من سن سنة حسنة فله
اجرها و اجر من عمل بها الي يوم القيا مة و من سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من
عمل بها الي يو م القيا مة
“Barang
siapa yang mempelopori suatu perbuatan
yang baik maka ia mendapat pahala atas perbuatannya itu dan pahala orang-orang
yang mengerjakannya hingga hari qiamat. Dan barang siapa mempelopori suatu
perbuatan jahat maka ia berdosa atas perbuatannya itu dan menanggung dosa orang-orang yang mengikuti jejaknya hingga hari kiamat.”(HR. Bukhary & Muslim)
2. Fungsi Hadis
Fungsi utama hadis adalah menopang Al-Qur’an dalam
menjelaskan hokum-hukum Islam. Dalam kaitan ini hadis berfungsi
memberikan penjelasan/keterangan serta perincian terhadap hal-hal yang
disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebab pada umumnya hal-hal yang dibicarakan dalam
Al-Qur’an itu bersifat mujmal (garis besar) yang secara amaliah belum dapat
dilaksanakan tanpa penjelasan dari Hadis. Hal ini sesuai QS. Al-Nahl : 44
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan
kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu agar kamu menjelaskan kepada manusia
apa yang diturunkan kepada mereka semoga mereka memikirkannya”
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai
sumber asli bagi Hukum Islam, maka Hadis disebut sebagai BAYANI atau penjelas.
Dalam
kedudukan Hadis sebagai Bayani/penjelas terhadap Al-Qur’an, Hadis mempunyai
fungsi sebagai berikut :
a. Menguatkan dan menegaskan hukum–hukum yang
tersebut dalam Al-Qur’an atau fungsi TA’KID dan TAQRIR. Dalam bentuk ini hanya
seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an misalnya:
QS.
Al-Baqarah : 110 وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا
الزَّكَاةَ
“
Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat”
Ayat
di atas dikuatkan oleh Hadis Nabi SAW :
بني الإسلا م علي خمس شها دة ان لا اله
الا الله و ان محمدا رسو ل الله و اقام الصلا ة و ايتاء الزكوة و صو م ر مضا ن و
حج ا لبيت من استطاع اليه سبيلا
“Islam itu
didirikan di atas 5 perkara (pondasi) yaitu kesaksian bahwa tak ada tuhan
selain Allah dan sesungguhnya aku (Muhammad) itu adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan ramadhan dan mengerjakan
ibadah haji bagi orang yang mampu
melaksanakannya”
*Hadis Nabi saw:
لا يحل ما ل امرئ مسلم إلا بطيب من نفسه
“Tidak halal harta seorang muslim kecuali
yang baik dari usaha dirinya sendiri.“
(HR. Dailani)
Hadis ini menguatkan ayat :
لا
تأ كلوا اموا لكم بينكم باللبا طل
“Janganlah
kamu memakan harta sesamamu dengan jalan (cara) yang bathil”
b. Memberikan
penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an
Dalam hal ini ada 4 macam BAYANI;
§ Menjelaskan arti yang masih
samar / ijmal dalam Al-Qur’an
§ Merinci apa-apa yang disebutkan
Al-qur’an secara garis besar
§ Membatasi apa-apa yang
disebutkan Al-Qur’an secara umum
§ Memperluas maksud dari sesuatu
yang tersebut dalam Al-Qur’an
1)
Menjelaskan arti yang masih samar / ijmal dalam Al-Qur’an atau TAUDLI’UL MUSYKIL توضع ا
لمشكل Misalnya:
(1). QS. Al-Baqarah : 110 وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
“Dan
dirkanlah shalat dan tunaikanlah zakat...”
Kata “shalat” dalam ayat ini
masih samara/ijmal artinya karena dapat saja shalat itu berarti “doa” seperti
yang biasa dipahami secara umum saat itu. Kemudian Nabi SAW melakukan
serangkaian perbuatan yang terdiri dari ucapan dan perbuatan yang secara jelas
dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam.
Setelah itu Nabi bersabda :
صلوا كما رأيتمو ني اصلي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku mengerjakan shalat”
Demikian juga penjelasan hadis Nabi SAW terhadap
zakat, haji, dsb.
(2). QS. Al-Baqarah: 185
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Makanlah dan minumlah sehingga jelas (perbedaan
antara ) benang putih dan benang hitam yaitu fajar. “
Kata الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ
(benang putih ) dan الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ (benang hitam ) dalam ayat ini samar artinya ( tidak
jelas ) maka hadis Nabi Saw menjelaskan bahwa :
- Kata الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ berarti بيا
ض النها ر terangnya
siang
- Kata الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ berarti سواد
الليل gelapnya malam
2) Merinci apa yang disebutkan secara garis besar
dalam Al-Qur’an atau menjelaskan hal-hal yang bersifat garis besar = BAYANUL
MUJMAL
Misalnya: Qs. Al-Nisa : 103 إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya
shalat itu adalah suatu fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.”
Kandungan
hukum ayat ini dirinci oleh hadis Nabi saw, bahwa waktu zhuhur adalah bila
matahari telah condong dan baying-bayang orang sama dengan tinggi
orangnya, sementara waktu ashar belum tiba. Waktu ashar adalah selama matahari
belum menguning. Waktu magrib adalah selama mega belum hilang. Waktu isya
adalah sampai pertengahan malam dan
waktu shalat subuh adalah sejak terbitnya fajar selama matahari belum terbit.”(HR. Muslim)
3) Membatasi
hal-hal yang disebutkan secara umum atau mutlak dalam Al-Qur’an = meng-khususkan sesuatu dari lingkungan umum atau membatasi
sesuatu dari lingkungan mutlak = TAKHSISUL
‘AMM atau TAQYIDUL MUTLAQ
Misalnya :
(1). QS Al-Nisa : 11 يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan 2 orang anak perempuan.”
Ayat
ini bersifat umum bagi anak laki-laki dan anak perempuan dalam pembagian
warisan tetapi dibatasi/dikhususkan kepada anak-anak yang bukan penyebab
kematian orangtuanya sesuai hadis Nabi SAW :
ليس للقا تل من الميرا ث شيء
“Tak ada (hak ) warisan untuk si
pembunuh.” (HR. Nasai dan Daraquthny)
(2).
Firman Allah dalam QS. Al-Maidah:38
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Pencuri laki-laki dan pencuri
perempuan potonglah tangan keduanya.“
Dalam
hadis dijelaskan bahwa perkataan أيد yang
menjadi jamak dari kata يد dalam ayat di atas, ialah
tangan kanan sampai pada pergelangannya saja, bukan seluruh tangannya ini
merupakan qayid (pembatasan)
terjhadap kemutlakan lafaz أيد dalam
ayat di atas.
4) Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut
dalam Al-Qur’an
Misalnya:
Larangan seorang laki-laki memadu 2 orang wanita yang bersaudara dalam QS.
Al-Nisa : 23 وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ …
“dan (diharamkan pula ) mengumpulkan (dalam
perkawinan ) dua wanita yang bersaudara”
Ayat
ini diperluas oleh Nabi Saw dengan sabdanya :
لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ
وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Tidak boleh memadu seorang
wanita dengan saudara (perempuan) ayahnya dan tidak boleh pula antara seorang
wanita dengan saudara (perempuan) ibunya.“
(HR.
Bukhary Muslim)
Juga QS
Al-Nur : 2 الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا
كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Wanita yang berzina dan
laki-laki yang berzina, deralah mereka masing-masing 100 kali”
Menurut ayat ini hukuman penzina (ghairu muhshan) baik laki-laki maupun
perempuan adalah 100 kali cambuk, tetapi hukuman cambuk itu oleh hadis ditambah
dengan hukuman pengasingan 1 tahun:
ا لبكر با لبكر ماءة جلدة و تغر يب عا م
“Orang yang belum pernah kawin
yang berzina itu didera 100 kali dan diasingkan 1 tahun.”
Lafaz و
تغر يب عا م merupakan tambahan hukuman dari hadis sebab
ayat hanya menyebut hukuman 100 kali cambuk.
c. Menetapkan
suatu hukum dalam hadis yang secara jelas tidak disinggung dalam Al-Qur’an
Fungsi
hadis dalam bentuk ini disebut ITSBAT (إثبا ت) atau INSYA ( إنشاء )
Misalnya :
*Allah mengharamkan memakan bangkai, darah dan
daging babi, sesuai QS. Al-Maidah: 3
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan
bagimu ( memakan ) bangkai, darah dan daging babi, dan binatang disembelih atas
nama selain Allah “
Kemudian Nabi SAW menyebut haramnya
binatang buas dan burung buas.
كل ذى نا ب من ا لسبا ع و أكله حرا م
“Setiap binatang buas yang bertaring haram
dimakan “.
Larangan
hadis secara zahirnya merupakan hukum baru yang ditetapkan Nabi SAW yang secara
jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an
B.
Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam
Pada dasarnya hadis merupakan mubayan atau penjelas terhadap hukum–hukum yang terdapat dal;am
Al-Qur’an. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadis terkadang memperluas
hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan
Allah dalam Al-Qur;’an.
Kedudukan
hadis sebagai Bayani atau menjalankan
fungsi untuk menjelaskan hukum
Al-Qur’an, telah disepakati oleh semua ulama. Tetapi kedudukan hadis sebagai
dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an menjadi
bahan perdebatan di kalangan ulama. Hal itu muncul disebabkan oleh keterangan
Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an atau ajaran Islam itu telah
sempurna (QS. Al-Maidah: 3), sehingga tak perlu lagi ditambah oleh sumber lain,
termasuk hadis.
Jumhur
Ulama berpendapat bahwa hadis berkedudukan sebagaisumber atau dalil kedua
sesudah Al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk
semua umat Islam. Jumhur utama mengemukakan alirannya dengan beberapa dalil,
antara lain:
1). Banyak ayat Al-Qur’an yang
menyuruh umat Islam untuk mentaati Rasul. Ketaatan kepada Rasul sering
dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah.Misalnya QS al-Nisa: 59
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ
“Hai
orang–orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri
di antara kamu.”
Bahkan di tempat lain Al-Qur’an
mengatakan bahwa orang mentaati Rasul berarti mentaati Allah, seperti tersebut
dalam QS. Al-Nisa : 80
مَنْ يُطِعِ
الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ
حَفِيظًا
“Barang
siapa mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah dan barang siapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.”
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat
tersebut, adalah mengikuti apa-apa yang dikatakan atau dilakukan oleh Rasul
sebagaimana tercakup dalam hadisnya.
2). Ayat Al-Qur’an sering menyuruh umat beriman kepada
Rasul dan menetapkan beriman kepada Rasul bersama – sama dengan kewajiban
beriman kepada Allah.
Misalnya
QS. Al-A’raf : 158
الَّذِي
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ فَآمِنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِفَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ
“Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, Nabi yang ummi yang beriman kepada
Allah dan kepada Kitab-kitabnya “
Kewajiban beriman kepada Rasul berarti mempercayai kedudukannya sebagai
Rasul Allah, mematuhi apa-apa yang dikatakannya dan mengikuti apa-apa yang
dilakukannya. Hal ini
menempatkan hadis sebagai dalil yang mempunyai kekuatan hukum.
3). Ayat-ayat Al-Qur’an menetapkan bahwa apa-apa
yang dikatakan Nabi bahwa seluruhnya adalah berdasarkan wahyu, karena beliau
tidak berkata menurut kehendak sendiri, tetapi semua itu berdasarkan wahyu yang
diturunkan Allah.
Misalnya: QS. Al- Najm : 3-4 إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُو حىَ وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
“Dan
taklah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
Dari ayat ini jelaslah bahwa
hadis adalah juga wahyu, bila wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum,
maka hadispun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi.
Kekuatan hadis sebagai sumber
hukum ditentukan oleh 2 segi :
1) kekuatan materinya (wurudnya)
2) kekuatan penunjukannya terhadap hukum
(dilalahnya)
ad.
1. Dari segi kebenaran materinya (wurudnya), kekuatan hadis mengikuti kebenaran
pemberitaannya yang terdiri darti 3 tingkatan, yaitu mutawatir, masyhur dan
ahad.
Hadis
mutawatir ditinjau dari kuatitas sahabat yang meriwayatkannya dari Nabi dan
juga kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnyaadalah QATH’I dalam arti diyakini kebenarannya
bahwa hadis itu betul-betul dari Nabi walaupun jumlah hadis mutwatir ini tak
banyak tetapi mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an.
Para
Ulama sepakat bahwa hadis mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka
berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai ilmu yakin itu, apakah secara dharuri (tanpa memerlukan pembuktian),
ataukah nazhari (memerlukan
pembuktian tentang kebenarannya).
Hadis
masyhur, karena yang manarimanya dari Nabi SAW secara perorangan, maka
kebenarannya tak meyakinkan (zhanni),
tapi karena hadis masyhur ini yang menerima dan menyampaikannya dari tingkat
sahabat dan seterusnya dalam jumlah yang banyak (mutawatir), maka kebenarannya
dari sahabat cukup meyakinkan (qath’i).
Sedangkan
sebagian ulama menganggap hadis masyhur hanya bersifat zhanni seperti yang
dilakukan pada hadis ahad, sebab yang menerimanya dari Nabi SAW hanya seorang
yang kemungkinan salah masih ada.
Hadis
Ahad (periwayatan perorangan) pada dasarnya tidak mengandung kekuatan yang
meyakinkan, tapi bila didukung oleh hal-hal lain yang menguatkannya – seperti
pribadi yang menyampaikan berita itu adil dan kuat ingatannya, maka hadis ahad
itu mempunyai kekuatan.
Ad.
2. Dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum atau dilalahnya, hadis
terbagi 2;
a) Penunjukan yang pasti (qath’i),
yaitu hadis yang memberikan penjelasan terhadap hukum dalam Al-Qur’an secara
tegas, jelas dan terinci sehingga tidak mungkin dipahami dengan maksud lain dan
tak ada alternative pemahaman lain.
Misalnya: hadis riwayat Abu
Daud dari Ali bin Abi Thalib, Nabi SAW bersabda
إذا كا نت لك ما ء تا د رهم و حا ل عليه
ا لحول ففيها خمسة د راهيم
“Bila
engkau memiliki 200 dirham dan telah berlalu 1 tahun maka diwajibkan zakatnya
sebesar 5 dirham.”
Hadis ini merupakan penjelasan
terhadap kewajiban zakat yang tersebut dalam Al-Qur’an. Dari penjelasan yang
terinci ini, jelas sekali bahwa perak wajib dizakatkan, nisabnya 200 dirham dan
kadar yang dizakatkan adalah 5 dirham atau 21/2 %. Hukum yang timbul dari hadis
ini adalah pasti (qath’i) sehingga disepakati ulama dalam hal kewajiban, nisab
dan kadar wajib zakat perak.
b) Penunjukan
yang tidak pasti (zhanni) yaitu hadis yang memberikan penjelasan terhadap hukum
dalam Al-Qur’an secara tidak tegas dan terinci, sehingga dapat menimbulkan
beberapa kemungkinan dalam memahaminya dan karenanya menimbulkan perbedaan
pendapat.
Contoh dalam hadis Nabi yang
menjelaskan kebaikan orang bersedekah dalam hadis Nabi dari Hakim Ibn Hazani
melalui riwayat Muttafaq’alaih.
ا
ليد ا لعلي خير من ا ليد ا لسفلي
“Tangan diatas (yang memberi ) lebih baik
dari tangan yang dibawah (yang meminta).”
Hadis
tersebut mengandung maksud yang tidak pasti. Dapat berarti menurut lafaz
zahirnya, yaitu tangan diatas lebih baik dari tangan yang di bawah, dapat
berarti pula bukan dalam arti yang sebenarnya yaitu orang memberi itu lebih
baik dari orang yang meminta.
Hadis yang mempunyai martabat tertinggi dalam kedudukannya
sebagai sumber atau dalil hukum adalah hadis yang qath’i dari segi wurud atau sanadnya, yaitu kebenaran
materinya datang dari Nabi, dan qath’i
dari segi dilalag atau penunjukannya terhadap hukum.
Namun
jumlah hadis yang qath’i ini sangat terbatas yang banyak jumlahnya adalah hadis
zhanni dari segi materinya atau dari segi dilalahnya (penunjukannya) atau dari
segi kedua-duanya. Meskipun demikian yang zhanni pun dapat dijadikan dalil bila
ada hal lain (qarimah) yang mendukungnya.
Disarikan dari buku Ushul Fiqh Jilid 1 karya Prof. Dr. Amir Syarifuddin dan buku-buku lain yang relevan
Lucky Club - Online Casino UK
BalasHapusLucky Club offers you access to over £400 FREE to play games, including progressive jackpot slots and 카지노사이트luckclub Blackjack games. The casino offers over 600 different online Rating: 3.7 · 3,128 votes