SUMBER HUKUM ISLAM
Dr. La Jamaa, MHI
A. Pengertian Sumber dan Dalil
Kata “sumber” dalam hukum Islam (fiqh) merupakan
terjemahan dari kata Mashdar ) مصد ر ). Kata ini sebenarnya
hanya dipakai oleh para Ulama Ushul Fiqh (literatur) kontemporer sebagai pengganti
kata dalil د ليل atau lengkapnya الأ
د لة ا لشر عية
Sedangkan
dalam literatur klasik, umumnya
digunakan kata dalil atau al-adillah
al-syar’iyyah dan tak pernah digunakan kata الأحكا م ا لشر عية مصا
در (mashadir
al-ahkam al-syar’iyyah).
Ulama
yang menggunakan kata mashdar (sumber) sebagai pengganti al-adillah,
beranggapan bahwa kedua kata itu sama artinya, karena sama-sama dipakai oleh
para ulama Ushul Fiqh.
Padahal
dilihat secara Etimologis serta kaitannya dengan kata syari’ah, kata mashdhar
tidak sama dengan kata Al-Adillah (dalil).
Kata
sumber ( مصد ر ) berarti
“suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum,”
sedangkan dalil hukum berarti “sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita
dalam menemukan hukum Allah.”
Jadi
sumber hukum mengandung makna pengambilan atau rujukan utama serta merupakan
asal dari norma hukum. Dalam artian ini, kata “sumber hukum” hanya dapat digunakan
untuk Al-Qur’an dan sunnah (hadis), karena keduanya merupakan wadah yang dapat
ditimba dan dikeluarkan (diisbathkan) hukum Islam.
Tetapi
ijma dan qiyas tidak bisa digolongkan sebagai sumber hukum, karena keduanya
hanyalah merupakan cara atau petunjuk dalam menemukan hukum. Sehingga kata
dalil mencakup Al-Qur’an, hadis serta Ijma dan Qiyas karena semuanya itu
menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.
Kata
dalil berasal dari bahasa Arab
yaitu د
ليل yang secara bahasa berarti “sesuatu yang
dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”.
Kata
“dalil” dan yang sekar dengannya, disebut sebanyak 8 kali dalam Al-Qur’an
dengan arti tersebut, diantaranya QS al-Furqan:
45
ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ
عَلَيْهِ دَلِيلًا
“Kemudian kami jadikan matahari
sebagai dalil (petunjuk)”
Secara Terminologi (istilah) Ushul Fiqh, dalil adalah “segala
sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar
untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali, baik secara qath’i maupun
secara zhanni.”
Jadi
dalil hukum ialah “segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan
dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ berdasarkan pertimbangan yang
benar dan tepat”
Al-Syathibi
mengemukakan prinsip suatu dalil sebagai berikut :
1. Dalil syara’
tidak bertentangan dengan tuntutan akal. Prinsip ini didasarkan kepada :
a.
Kalau menyalahi akal, maka
ia bukan dalil syara bagi hamba yang berakal
b.
Sumber taklif (pembebanan
hukum) adalah akal
2. Tujuan
pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manusia dalam perhitungannya.
3. Setiap dalil
bersifat Kulli (glabal). Jika ia bersifat Juz’i (terinci) adalah disebabkan
oleh hal-hal yang datang kemudian, bukan menurut
asal penetapan.
4. Dalil syara’
terbagi kepada Qath’i dan Zhanni
5. Dalil syara
terdiri dari dalil naqli dan dalil aqli.
Al-Amidi membagi
dalil dalam 2 kelompok besar yaitu :
1)
Dalil yang Shahih menurut dirinya dan wajib diamalkan, terdiri dari :
a. Dalil yang disampaikan oleh Nabi dalam
bentuk terbaca, yaitu Al-Qur’an
b. Dalil yang disampaikan oleh Nabi dalam
bentuk tidak terbaca, yaitu sunnah,
Al- Qur’an dan sunnah yang disebut
DALIL NASH
c. Dalil yang tidak disampaikan oleh Nabi
atau bukan NASH, terdiri dari :
1)
Terpelihara dari kesalahan
(ijma)
2)
Tidak terpelihara dari
kesalahan tapi dapat dihubungkan kepada Nash, yaitu Qiyas
3)
Tidak terpelihara dari
kesalahan dan tidak pula dihubungkan kepada Nash yaitu Istidlal
Nash
(Al-Qur’an, Sunnah) dan Ijma adalah dalil pokok sedangkan Qiyas dan Istidlal
adalah cabang yang mengikuti kepada Nash dan Ijma.
2) Sesuatu yang diperkirakan dalil
Shahih, tapi sebenarnya bukan dalil yaitu syaru’ man qablana, mazhab sahabi,
Ishtihsan dan maslahah mursalah.
Jadi
dalil syara ada 2 kelompok yaitu :
1) Dalil-dalil
syara yang disepakati: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas
2) Dalil-dalil
syara yang tidak disepakati : Istihsan, maslahah mursalah, istishab, naf,
syar’u man qablana dan mazhab shahabi.
Kedudukan Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas disepakati
oleh Ahlus Sunnah sebagai dalil secara prinsip, walaupun berbeda dalam kadar
penggunaannya.
Keempat dalil
itu mendapat landasan hukum yang kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu
a. QS. Al-Nisa
: 59
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Hai
orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan Ulil Amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Qur’an) dan Rasul (Sunnah.”
Ä Perintah mentaati Allah berarti perintah menjalankan hukum yang terdapat
dalam Al-َQur’an
Ä Perintah mentaati Rasul berarti perintah mengamalkan apa yang
disampaikan Rasul dalam Sunnahnya.
Ä Perintah mengikuti/mematuhi Ulul Amri berarti perintah mengamalkan
hukum yang ditemukan berdasarkan Ijma.
Ä Perintah mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah dan Rasul berarti perintah
mengamalkan hukum yang ditemukan melalui Qiyas.
b.
Hadis Nabi saw tentang percakapkan Nabi saw.,
dengan Mu’az tentang langkah apa yang harus ditempuh Mu’az dalam memutuskan
perkara hukum yang diajukan kepadanya.
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM / DALIL
1. Pengertian Al-Qur’an
Secara
etimologis Qur’an merupakan mashdar (kata turunan) dari kata qara’a (قرأ)
mengikuti wazan fu’lan ( فعلا ن ) yang
berarti “bacaan, berbicara tentang apa yang tertuli padanya atau melihat dan menelaah.”
Dalam pengertian ini kata قرأ ن berarti مقروء yaitu isim maf’ul (obyek) dari قرا. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam, QS. Al-Qiyamah:
17-18
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ
وَقُرْءَانَهُ
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ
“Sesungguhya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila kami telh selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.”
قَرَأْنَاهُ di sini berarti قرا ء ته = bacannya/cara membacanya.
Jadi, قرأته , قرأ ن قرأة , dan قرأ نا , artinya sama saja, yaitu bacaan.
Menurut istilah
Muhammad Abu Syahbah mendefinisikan Al-Qur’an sebagai :
كتا ب عز و جل ا لمنز
ل علي خا تم أ نبيا ئه محمد صلي ا لله عليه و سلم بلفظه و معناه ا لمنقول با
لتواتر ا لمفيد للقطع و ا ليقين ا لمقتو ب في ا لمصا حف من أول سو رة ا لفا تحة
إلي سو رة ا لنا س
“Kitab yang diturunkan Allah SWT kepada penutup pra NabiNya
Muhammad SAW, baik lafaz dan maknanya yang dinukilkan secara mutawatir dan
meyakinkan, yang tertulis dalam lembaran-lembaran mushaf mulai dari awal surat
Al-Fatihah sampai dengan akhir surat An-Nas”
Disamping itu Dr. Subhi Al-Salih merumuskan definisi
Al-Qur’an yng dapat diterima oleh para
ahli/ulama terutama ahli bahasa, fiqh dn Ushul fiqh, yaitu :
ا لقرأ ن هو ا لكتا ب ا لمعجز علي ا لنبي صلي ا لله عليه و
سلم ا لمكتوب في لمصاحف ا لمنقول عليه با لتواتر ا لمتعبد بتلا وته
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang
bersifat/berfungsi mu’jizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad),
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang tertulis dalam mushaf-mushaf,
yang diriwayatkan dengan jalan mutawatir dan dipandang beribadah membacanya.”
Penamaan
kitab ini dengan Al-Qur’an di antara kitab-kitab Allah itu, karena kitab ini
mencakup inti dan kitab-kitab Allah bahkan mencakup inti dari semua ilmu. Sesuai firman Allah dalam QS. Al-Nahl : 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Qur’an)
sebagai penjelasan bagi segala sesuatu”
Dalam
hal ini Dr. Muhammad Abdullah Daraz, berkat:a “Ia dinamakan Qur’an karena ia
dibaca dengan lisan dan dinamakan Al Kitab karena ia ditulis dengan pena. Kedua
nama ini menunjukan makna yang sesuai dengan kenyataannya.”
Ini menunjukan
bahwa Al-Qur’an harus dijaga dalam bentuk hafalan dan tulisan.
2.
Fungsi Al-Qur’an
Di
antara fungsi Al-Qur’an yang terpenting diantaranya:
a. Sebagai mukjizat Rasulullah SAW, untuk
membuktikan kenabian dan kerasulannya serta kebenaran bahwa Al-Qur’an adalah
firman Allah, bukan ucapan atau ciptaan Nabi Muhammad saw. Karena
kemukjizatannya Al-Qur’an (tidak bisa ditandingi atau ditiru oleh siapapun) itu
berlaku sepanjang masa dan untuk seluruh umat mausia. (Lihat QS. Al-Baqarah:
23, Hud: 13 dan Al-Isra: 2)
b. Sebagai sumber segala macam aturan tentang hukum,
sosial, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral, dsb, yang harus dijadikan
pedoman hidup bagi umat manusia untuk menyelesaikan berbagai problema yang
dihadapi, sesuai QS. Al-Ahzab : 36
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Tak
ada (hak) bagi laki-laki mukmin dan wanita mukmin memilih dalam urusan mereka,
bila Allah dan Rasulnya telah memutuskan urusan itu”
c. Sebagai Hakim yang telah diberi wewenang oleh
Allah untuk memberikan keputusan terakhir mengenai beberapa masalah yang
diperselisihkan dikalangan pemimpin agama, sekaligus sebagai korektor yang
mengoreksi kepercayaan-kepercayaan/pandangan-pandangan/anggapan-anggapan yang
salah dikalangan umat beragama.
d. Sebagai penguat yang mengokohkan dan menguatkan
kebenaran adanya kitab-kitab suci yang pernah diturunkan Allah sebelum Nabi
Muhammad saw. Hanya saja ajaran-ajaran para Nabi sebelum Muhammad saw beserta
kitab sucinya sudah tidak murni lagi, sebab ada yang sudah diubah oleh para
pemimpin agama mereka, sesuai QS. Al-Maidah: 48
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“Kami
telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (hai Muhammad) dengan (membawa)
kebenaran, yang membenarkan kitab yang dihadapannya serta mengawasinya, sebab
itu hukumlah antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah
engkau turuti hawa nafsu mereka, (dan berpaling) dari kebenaran yang telah
datang kepadamu.”
Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, sesuai dengan
nam-namanya, Al-Qur’an memiliki multi fungsi antara lain :
1).
Al-Huda : Petunjuk = ا لهدى
Fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk terbagi
3 kategori
a). Petunjuk bagi manusia secara umum : QS.
Al-Baqarah : 185
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan
Ramadhan (adalah) bulan diturunkannya Al-Qur’an yang menjadi petunjuk bagi
manusia, menjadi penjelas terhadap petunjuk itu serta sebagai pembeda antara
yang hak dengan yang batil.”
b). Petunjuk bagi orang-orang yang beriman
(mukmin):
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ
ءَامَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Katakanlah
:Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman” (QS. Fushilat : 44)
c). Petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ
“Itulah
Al-Kitab (Al-Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya menjadi petunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 2)
2). Sebagai
Rahmat: Keberuntungan yang diberikan Allah dalam bentuk kasih sayangNya:
QS.
Luqman: 2-3
تِلْكَ ءَايَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ(2)هُدًى
وَرَحْمَةً لِلْمُحْسِنِينَ(
“Inilah
ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung rahmat bgi orang-orang yang berbuat
kebaikan “
3) Sebagai Furqan: Pembeda/pemisah, patokan (ugeran)
untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang haq dan yang bathil, antara
yang benar dan yang salah, antara yang halal dan yang haram. QS. Al-Baqarah :
185
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan
Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dengan yang bathil) ”.
4). Sebagai Mau’izhah:
Nasehat/pengajaran yang akan mengajarkan dan membimbing umat dalam kehidupannya
untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً
“Dan
telah kami tuliskan untuk Musa pada Luh-Luh (Taurat) seala sesuatu sebaai
pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu” (QS. al-A’raf:145)
5) Sebagai Busyra: berita gembira bagi orang yang
telah berbuat baik kepada Allah dan sesama manusia.
طس تِلْكَ ءَايَاتُ الْقُرْءَانِ
وَكِتَابٍ مُبِينٍ1 هُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ(
“Tha-Sin
(surat) ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan (ayat-ayat) kitab yang menjelaskan,
untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman” (QS.
Al-Naml : 1-2).
6). Sebagai Tibyan (Penjelasan) atau mubin: yang
menjelaskan terhadap segala sesuatu yang disampaikan Allah. QS. Al-Nahl : 89
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ
الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى
لِلْمُسْلِمِينَ
“Kami
telah menurunkan kepadamu Al-kitab (Al-Qur’an) yang menjadi penjelasan bagi
segala sesuatu serta menjadi petunjuk dan berita gembira bagi orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah).”
7). Sebagai Nur: Cahaya yang akan menerangi
kehidupan manusia dalam menempuh jalan menuju keselamatan. QS. Al-Maidah : 46
فِيهِ
هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ
“Didalamnya
(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi) dan membenarkan kitab yang
sebelumnya “
8). Sebagai Syifa’: obat bagi penyakit-penyakit yang
ada dalam dada (penyakit rohani/ penyakit psikologi). QS. Yunus : 57
يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ
مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ
“Wahai
manusia sungguh telah datang kepadamu pengajaran dari Tuhanmu dan obat terhadap
penyakit yang ada dalam dada”
Sesuai
redaksi ayat ini, penyakit yang disembuhkan oleh (dengan membaca)
Al-Qur’an adalah penyakit rohani (شِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ) dan
bukan penyakit fisik seperti demam, sakit gigi, dsb. Namun bisa saja penyakit
fisik, misalnya sakit kepala, yang dapat dismbuhkan dengan membaca ayat-ayat
Al-Qur’an, jika sakit kepala tsb diakibatkan oleh stress, yang memang
sebenarnya merupakan gangguan psikologis. Jadi penyakit kepala demikian itu
pada hakekatnya merupakan penyakit psikologis (secara tidak langsung) .
Semua
fungsi Al-Qur’an tersebut dapat dirangkum dalam 2 hal pokok, yaitu :
(1). Sebagai
Rahmat yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia. Maksudnya, kalau mereka menerima dan mengamalkan keseluruhan
isi Al-Qur’an, maka akan memperoleh kehidupan yang bahagisa di dunia dan
akhirat
(2). Sebagai
petunjuk (Al-Huda)
Al-Qur’an sebagai petunjuk (pedoman hidup) dapat di
ibaratakan dengan lampu pengatur lalu lintas (traffic light )
-
Lampu merah menunjukan
larangan yang dalam hukum Islam disebut haram, Dalam hal ini
jika larangan tersebut tidak diindahkan, maka bisa mengakibatkan kecelakaan
lalu lintas, minimal kemacetan lalu lintas. Demikian juga jika larangan Allah
(melanggar yang haram) akan menimbulkan bahaya, baik bagi pelakunya mau pun
orang lain. Sebaliknya jika ia mentaatinya, maka ia akan terhindar dari
kecelakaan lalu lintas atau bahaya dalam kehidupannya di dunia dan siksaan di
akherat.
-
Lampu kuning menunjukan kehati-hatian
perantaraan larangan dengan kebolehan, yang dalam hukum Islam disebut syubhat (antara halal dan haram, seharusnya
dijauhi agar tidak terjerumus kepada bahaya atau dosa)
-
Lampu hijau melambangkan kebolehan melanjutkan
perjalanan. Dalam hukum Islam disebut mubah atau halal. Jika masa larangan (haram) telah selesai, maka muncul
kebolehan untuk melakukan sesuatu yang tadinya dilarang (diharamkan) sehingga
yang bersangkutan akan memperoleh kebaikan pula.
Dalam
kaitan ini lampu merah tak memperlambat seseorang sampai ke tempat tujuan.
Bahkan ia merupakan salah satu faktor utama yang memelihara pengendara dari
mara bahaya. Demikian pula halnya dengan lampu-lampu merah atau
larangan-larangan agama pada hakekatnya untuk menghindarkan manusia dari bahaya
walaupun mungkin tidak menyadari atau memahaminya.
Dalam
kaitannya Al-Qur’an sebagai sumber penujuk bagi kehidupan manusia, petunjuk
Al-Qur’an itu dapat diklasifikasikan ke dalam 2 bentuk:
(1)
Petunjuk Langsung; berupa aturan, ketentuan dan petunjuk dalam bentuk tuntutan
(keharusan), larangan atau membiarkan (membolehkan). Di sini terdapat batasan
mengenai apa saja yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, baik dalam
hubungan vertikal dengan Allah, maupun hubungan horisontal dengan sesama
manusia dan alam sekitarnya.
Al-Qur’an
menjelaskan bila manusia mengikuti petunjuk dan batas-batas yang telah
ditentukan Allah, maka bahagialah hidupnya di dunia dan akherat. Sebaliknya
bila manusia melapaui ketentuan Allah, baik meninggalkan yang diperintah maupun
melakukan yang dilarang, celakalah hidupnya di dunia dan di akhirat. Ia akan
memikul dosa dan pembalasan yang buruk. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa : 13-14
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ
مُهِينٌ
“(Hukum
itu) adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan
RasulNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir sungai-sungai
didalamnya dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa mendurhakai Allah
dan RasulNya danmelanggar ketentuan-ketentuan Allah, maka niscaya Allah akan
memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal didalamny dan baginya siksa
yang menghinakan.”
Petunjuk
Al-Qur’an dalam bentuk ini menjadi sumber pokok dalam perumusan hukum Islam:
(2)
Petunjuk yang tak langsung
Maksudnya, dalam Al-Qur’an terdapat pokok-pokok
dasar ilmu pengetahuan yang mencakup segenap bidang. Pokok-pokok dasar ilmu
pengetahuan dalam Al-Qur’an itu memerlukan pengembangan melalui nalar manusia
sehingga menjadi satu ilmu sistematis. Melalui penerapa ilmu hasil nalar itu,
manusia akan mendapatkan rahmat dan membukakan matanya untuk menempuh kehidupan
di dunia sebagai persiapan bagi kehidupannya di akhirat.
Penjelasan Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan, ada
yang berbentuk keterangan tentang hakikat kejadian alam dan sekitarnya
(QS.Al-Ghasyiyah: 17-20).
Dari
hasil penelitian itu, manusia akan dapat memperoleh ilmu pengetahuan tentang
alam dengan petunjuk ayat-ayat atau tanda–tanda yang diperlihatkan Allah.
KEDUDUKAN AL-QUR’AN DALAM SYARI’AT ISLAM
Syari’at mencakup Ushuluddin (sesuatu yang
berkaitan dengan Allah dan sifat-sifatNya serta berhubungan dengan akhirat
dsb). Yang dibahas dala ilmu Tauhid atau ilmu Kalam. Juga mencakup ilmu Ahlak
serta hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan amal perbuatan yang dibahas dalam
ilmu Fiqh.
Para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an berkedudukan sebagai dasar/sumber
pertama dan utama syariat Islam.
Hal ini didasarkan
kepada :
1) QS. Al-An’am :
38
ْمَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْء
“Tiadalah kami alpakan sesuatupun di
dalam Al-Qur’an”
2)
QS. Al-Nisa : 59
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil Amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadis)Nya, jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”
3) QS. Al-Azhab :
36
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan takanlah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukmin, bila
Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu ketetapan, (menentukan) pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan
RasulNya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata”
4) Hadis riwayat Mu’az bin Jabbal yang memuat dialog Rasulullah SAW
dengan Mu’az ketika akan diutus menjadi Gubernur di Yaman tentang dasar hukum
yang digunakan dalam menyelesaikan perkara hukum, Nabi bersabda:
كيف تقضى إذا عرض لك قضاء؟
قال أقضى بكتا ب الله قال فان لم تجد في كتا ب الله ؟ قال فبسنة رسول الله قال فان
لم تحد فى سنة رسول الله؟ قال أجتهد برأ يى و ولا آلوا قال فضرب رسول الله على
صدره وقال ألحمد لله الذى وفق رسول رسول الله لما يرضى رسول الله
“Bagaimana engkau memberikan keputusan (hukum) ketika dimintakan
suatu keputusan? Muaz menjawab: “Dengan
Al-Qur’an.“ Nabi saw bertanya: “Jika kau tak mendapatkannya dalam Al-Qur’an?
Muaz menjawab: Maka (kuputuskan) dengan Sunnah RasulNya“. Kemudian Nabi
bertanya lagi : Jika kau tak mendapati dalam Sunnah RasulNya? Muaz menjawab:
“Aku berijtihad dengan pendapatku”. Rawi berkata ; Maka Rasulullah SAW menepuk
dada Muaz seraya bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik
kepada Utusan Rasulullah yang karenanya telah membuat kerelaan Rasulullah”
Dengan Demikian, Al-Qur’an merupakan
sumber utama hukum Islam sekaligus juga dalil utama Fiqh Islam, juga merupakan
sumber dari segala Hukum Islam.
Karena Al;-Qur’an berkedudukan sebagai
sumber utama dan pertama dalam penetapan hukum, maka bila seseorang hendak
menemukan hukum terdapat suatu kejadian, maka tindakan pertama yang harus
dilakukan ialah mencari jawaban penyelesaiannya dalam Al-Qur’an. Selama
hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari
jawaban lain di luar Al-Qur’an.
Disamping itu, penggunaan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an harus
sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan tak boleh melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan Al-Qur’an. Jadi sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tak
boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
D. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap
Hukum
Al-Qur’an merupakan sumber dan rujukan yang
pertama bagi syariat, karena didalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat
global beserta rinciannya.
Karena itu Abdullah bin Umar berkata: “Barang siapa hafal Al-Qur’an,
maka ia telah memperoleh keagungan, lantaran seakan-akan ia memperoleh status
kenabian hanya saja ia tak mendapat wahyu.” Bahkan Ibnu Hazan berkata “Setiap
bab dalam fiqh, pasti mempunyai landasan dalam Al-Qur’an yang dijelaskan oleh
Sunnah, sebagaimana firman Allah yang berbunyi
ما فرطنا
فى الكتا ب من شيء
“Kami tidaklah mengalpakan
sesuatupun dalam al-kitab (Al-Qur’an)”
Yakni,
setiap peristiwa pasti terdapat hukumannya dalam Al-Qur’an.
Jika Al-Qur’an
merupakan syariat Islam yang bersifat menyeluruh, maka mayoritas penyelesaian
adalah bersifat global dan sedikit sekali yang terinci.
Penjelasan
Al-Qur’an terhadap hukum terbagi 3 macam ;
1). Penjelasan
Al-Qur’an yang bersifat sempurna (terinci) atau penjelasan Al-Qur’an secara
juz’i. Dalam hal itu Allah dalam Al-Qur’an memberikan penjelasan, secara
lengkap sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, walaupun tidak
dijelaskan dalam hadis.
Misalnya: * Ayat –
ayat tentang kewarisan (QS. Al;-Nisa : 11-12)
* Ayat – ayat tentang sanksi
terhadap kejahatan zina (QS. Al-Nur ; 4)
Terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an semacam ini, hadis hanya berfungsi menetapkan makna yang
dikandungnya.
Misalnya, QS.
Al-Baqarah : 185
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
“Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya ) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
2).
Nash Al-Qur’an bersifat mujmal atau penjelasan Al-Qur’an secar Kulli (global).
Penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih membutuhkan
penjelasan dari al-Hadis dalam pelaksanaannya.
Penjelasan hadis
tersebut ada yang bersifat/berbentuk pasti sehingga tidak memungkinkan adanya
pemahaman lain.
Misalnya: ayat-ayat
tentang perintah mendirikan shalat bersifat mujmal, kemudian dijabarkan
pelaksanaannya oleh hadis.
صلوا كما رأيتمني أصلي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian mel;ihat aku shalat “ (HR.
Bukhary)
Dan ada juga
penjelasan hadis dalam bentuk yang masih samara dan memungkinkan adanya
beberapa pemahaman.
Misalnya ayat
tentang larangan riba memang telah dijelaskan lebih lanjut oleh hadis, tetapi
hadis itu tidak menjelaskan secara sempurna dan pasti arti riba tersebut,
sehingga masih dibutuhkan ijtihad untuk menjelaskannya.
3).
Penjelasan secara Isyarah: Penjelasan terhadap apa yang secara lahir di
sebutkan didalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat. Disamping itu, juga
memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain, sehingga satu ayat
Al-Qur’an dapat memberikan beberapa maksud. Misalnya:
(a)
QS. Al-Baqarah : 233 وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang baik”
Ayat
ini mengandung arti adanya kewajiban suami untuk memberi belanja dan pakaian
kepada istrinya, tetapi juga mengandung isyarat bahwa nasab seorang anak
dihubungkan kepada ayahnya.
(b)
QS. Al-Nisa: 25
فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ
مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
“Dan bila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka
melakukan perbuatan keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami.“
Ayat ini memberi isyarat bahwa hukuman hamba
sahaya adalah separuh dari hukuman oorang yang merdeka. Ayat ini kemudian
dijadikan kaidah yang bersifat umum dalam agama Islam. Dalam kaitan ini hadis
berfungsi menjelaskan batas-batas penerapan kaidah tersebut, baik dalam hukum
pidana, maupun yang menyangkut hak-hak hamba sahaya.
Ayat-ayat Al-Qur’an dari segi kejelasan
artinya ada 2 macam yang dijelaskan dalam QS. Ali Imran: 7 yaitu ayat Muhkam
dan ayat mutasyabih.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ
ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
“Dialah
yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isinya ) ada
ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyabihat”
(1) Ayat Muhkam adalah ayat yang jelas
maknanya, tersingkap secara terang sehingga menghindarkan keraguan dalam
mengartikan dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman.
2) Ayat Mutasyabih adalah ayat yang tidak
pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan.
Adanya
beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat disebabkan oleh 2 hal, yaitu
(a). Lafaz itu
dapat digunakan untuk 2 maksud dengan pemahaman yang sama.
Misalnya :
* Kata quru’ ( قروء ) dalam QS. Al-Baqarah: 228 yang berarti
suci atau haid.
* Kata ‘Uqdat
Al-Nikah ( عقدة النكاح) dalam QS. Al-Baqarah: 237
yang berarti wali/istri
(b).
Lafaz yang menggunakan nama/kiasan yang menurut lahirnya menimbulkan keraguan
disebabkan penggunaan sifat yang ada pada manusia untuk Allah, padahal Allah
tidak sama dengan mahlukNya.
Misalnya :
* Penggunaan kata “wajah” atau “muka” untuk
Allah (QS.Al-Rahman : 27)
* Penggunaan kata “bersemayam” untuk Allah
(QS. Yunus : 3 )
Ayat yang berbentuk muhkam dengan penjelasan yang lengkap penunjukannya
terhadap hukum adalah pasti (qath’i
dilalah). Hukum yang ditunjuk secara pasti itu berlaku secara universal dan
tak akan mengalami perubahan walaupun waktu dan tempatnya telah berubah.
Penunjukan yang pasti (muhkam) ini umumnya berlaku dalam bidang akidah,
dan mengnai ibadah-ibadah pokok (seperti keharusan melakukan shalat) serta
masalah norma yang akan berubah (seperti keharusan berbuat baik kepada ibu
bapak).
Ayat-ayat bersifat zhanni umumnya berlaku dalam bidang muamalah
(hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan masyarakat). Penerepan
hukumnya dapat berubah berdasarkan perubahan waktu dan tempat.
Jadi ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan masalah-masalah hukum secara
global (masih memerlukan penjelasan hadis), oleh para ulama ditetapkan bahwa
dilalah ayat Al-Qur’an tersebut terhadap hukum-hukumnya, ada yang bersifat
zhanni, dan ada yang bersifat qath’i.
Dilalah ayat Al-Qur’an dalam bentuk global/mujmal bersifat zhanni. Bila
penjelasan hadis terhadap makna ayat yang mujmal itu tidak jelas (terang)
Misalnya :
* QS. Al-Baqarah: 228 tentang quru’
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
‘Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah
menahan diri (beriddah) selama tiga kali quru.’
Kata quru’ dalam ayat ini dapat berarti suci,
juga dapat berarti haid. Dalam kaitan ini penjelasan hadis terhadap arti quru’
ini tidak jelas karena penjelasan hadis tidak menunjuk kepada salah satu dari
dua makna diatas. Sebab itu ayat ini, dilalahnya bersifat zhanni.
Dilalah ayat Al-Qur’an dalam bentuk
global/mujmal bersifat qath’I, bila penjelasan hadis terhadap ayat ini cukup
jelas.
Misalnya :
Ayat yang
menyangkut perintah mendirikan shalat, membayar zakat dsb. Kemudian di jelaskan
oleh hadis secara sempurna (cukup jelas) sehingga dapat dilaksanakan. Dalam hal
ini ayat-ayat tersebut, awalnya bersifat zhanni tetapi kemudian meningkat
menjadi qath’I dilalahnya setelah adanya penjelasan hadis secara lengkap itu.
Perlu dijelaskan bahwa dari segi sanad,
seluruh ayat Al-Qur’an adalah bersifat mutawatir (qath’i = tidak diragukan ). Sedangkan
yang terkadang bersifat zhanni hanya terdapat pada dilalahnya (petunjuknya
terhadap hukum).
Ungkapan-ungkapan
(shigat) yang digunakan Al-Qur’an dalam menjelaskan hukum-hukum syara ada
beberapa macam yaitu :
1)
Bentuk perintah (Misalnya: QS. At-Thalaq: 2 )
و أقيموا الشهادة لله
“Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”
2)
Bentuk Larangan ( QS. Al-Isra : 33 )
ولا تقتلوا النفس التى حرم
الله إلا با لحق
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali
dengan suatu alas an yang benar “
3)
Dengan menetapkan, bahwa suatu perbuatan itu diwajibkan/difardhukan (Qs. Al.
Baqarah: 178)
كتب عليكم القصا ص فى القتلى
“Diwajibkan atasmu qishash berkenaan dengan
orang – orang yang dibunuh “
4)
Menyebutkan larangan, dengan meniadakan kebaikan dalam suatu perbuatan
Misalnya : QS.
Al-Baqarah : 189
َلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ
ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى
“Dan bukanlah kebaikan itu memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan
tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertakwa.”
5) Bentuk perintah dengan menyebutkan akibat
dari suatu perbuatan, baik berupa pahala bagi yang mentaatinya, maupun siksa
bagi yang menetangnya. (QS. Al-Nisa: 13-14, setelah menjelaskan hukum waris)
Dengan demikian, pada hakekatnya Al-Qur’an
bukan merupakan suatu kitab perundang-undangan yang mengikuti satu metode
tertentu, akan tetapi Al-Qur’an merupakan kitab nasehat dan pelajaran yang
menggunakan bentuk bahasa yang indah.
Setiap
mujtahid yang menggali hukum dari Al Qur’an harus memperhatikan bentuk- bentuk ungkapan
dia atas. Setiap perbuatan yang dipuji oleh Allah atau dijanjikan pahala, maka
perbuatan itu diperintahkan. Sebaliknya, jika diancam dengan siksa, maka
perbuatan itu dilarang. Sedang perbuatan yang tidak dipuji atau dicek, tidak
dijanjikan pahala atau tidak diancam siksa, bahkan disebut dengan kata-kata
halal, maka perbuatan tersebut adalah diperbolehkan.
Disarikan dari buku Ushul Fiqh Jilid 1 karya Prof. Dr. Amir Syarifuddin dan buku-buku lain yang relevan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar