METODE ISTINBAT DAN KLASIFIKASI LAFAZ
Dr. La Jamaa, MHI
A. METODE ISTINBATH
Istinbath secara etimologis
berarti “mengeluarkan air dari sumbernya.” Jadi, istinbath hukum adalah
proses perumusan hukum Islam yang bersumber dari ayat-ayat Alquran dan hadis.
Dalam istinbat hukum Islam, digunakan dua
metode yaitu metode literal atau lafziyyah dan metode ma’nawiyah. Metode literal atau lafziyyah
dipergunakan untuk memahami makna (petunjuk hukum) ayat dan hadis, karena kedua
sumber hukum tersebut berupa lafaz.
Metode
lafziyah secara garis besarnya dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:
1. Dari segi jelas dan tidaknya makna lafaz
2. Dari segi
petunjuk hukum (dalalah)nya suatu lafaz
3. Dari segi luas
sempit cakupan makna lafaz
4. Dari
segi taklifnya
B. METODE LITERAL (LAFZIYYAH)
Metode istinbath melalui pengkajian lafaz
dari segi jelas/terang dan tidaknya lafaz dikenal dengan METODE LITERAL atau METODE
LAFZIYAH.
Dari segi jelas (terang) dan
tidaknya arti
yang terkandung dalam lafaz, secara garisnya lafaz terbagi atas dua kelompok,
yaitu
·
Lafaz yang terang artinya
·
Lafaz yang tidak terang artinya
Yang
dimaksudkan dengan Lafaz terang/jelas,
adalah lafaz yang terang artinya yang ditunjuk oleh lafaz itu, sehingga untuk
sampai kepada arti tersebut tidak perlu adanya suatu bantuan di luar lafaz itu.
a.
Lafaz yang terang arti (makna)nya terdiri dari 4 macam, yakni:
·
1. Lafaz Zahir
·
2. Lafaz Nash
·
3. Lafaz Mufassar
·
4. Lafaz Muhkam
b.
Lafaz yang tidak terang arti (makna)nya terdiri dari 6 macam, yakni:
·
1. Lafaz Khafiy
·
2. Lafaz Musykil
·
3. Lafaz Mujmal
·
4. Lafaz Mutasyabih
·
5. Lafaz Tafsir
·
6. Lafaz Ta’wil
C. LAFAZ YANG TERANG MAKNANYA
1. Lafaz Zahir
Lafaz
zahir mempunyai beberapa pengertian, di antaranya:
* Zahir, adalah suatu lafaz jelas
petunjuknya kepada suatu makna tanpa memerlukan faktor lain di luar lafaz itu,
tetapi masih memungkinkan dapat dita’wilkan dalam arti yang lain dan juga
mungkin dapat dimansukhkan (dibatalkan) hukumnya.
* Zahir, adalah lafaz yang masih menerima
kemungkinan arti lain.
*Zahir, adalah lafaz/kalimat yang
menunjukkan kepada makna yang jelas, tetapi lafaz/kalimat itu tidak ditujukan dalam konteks makna tersebut.
Contoh:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
a. QS. Al-Baqarah: 275
‘Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.’
Zahir lafaz
pada ayat di atas menunjukkan:
halalnya jual beli dan haramnya riba.
Walau pun mungkin makna itu yang
dikendaki dalam redaksi potongan ayat ini.
b. QS.
adz-Dzariyat: 47 وَالسَّمَاءَ
بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ
‘Kami telah membina (menegakkan) langit
dengan tangan-tangan.’
Zahir dari lafaz أَيْدٍ
(tangan-tangan) ialah anggota badan yang telah dikenal artinya, tetapi
lafaz tangan di sini dapat menerima
ta’wil (makna lain), yaitu kekuatan ( القوة ), atau kekuasaan ( القد رة ).
Karena lafaz tangan dalam ayat ini disandarkan kepada Allah dan maha
suci Allah dari menyerupai makhluk (mustahil Allah memiliki tangan seperti
tangan makhluk-Nya).
Jadi
lafaz أَيْدٍ dalam
ayat ini dipalingkan kepada makna lain yaitu kekuatan (القوة ), atau kekuasaan ( القد رة ).
Lafaz zahir yang dipalingkan kepada makna yang
bukan zahir atau yang dipalingkan kepada makna lain karena adanya suatu
qarinah, seperti lafaz أَيْدٍ di atas, disebut MUAWWAL.
*HUKUM ZAHIR
Hukum
zahir,
adalah wajib diamalkan menurut arti yang ditunjuki oleh laafz itu, kecuali ada
dalil lain yang menta’wilkannya. Jika zahir berupa lafaz muthlaq, maka harus
diamalkan menurut kemuthlaqan-nya sampai ada dalil yang membatasi kemutlakan
itu. Jika zahir
berupa lafaz amm (umum) maka harus diamalkan menurut keumumannya sampai ada
dalil lain yang mentakhsiskan (mengkhususkan)nya. Atau diamalkan menurut arti
yang ditunjuki lafaz itu sehingga ada dalil yang memansukhkan (membatalkan)nya.
Misalnya:
QS al-Nisa: 24 وَأُحِلَّ
لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
‘Dan
dihalalkan bagi kamu selain wanita-wanita yang demikian itu…’
Ayat
di atas bersifat mutlak tentang kebolehan mengawini wanita selain wanita-wanita
yang disebutkan di awal ayat ini, tetapi kemutlakannya
dibatasi oleh QS al-Nisa: 3
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
‘Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu
sukai, dua, tiga, atau empat.’
Juga pengkhususan terhadap keumuman kebolehan jual beli, yang terdapat dalam QS
al-Baqarah: 275, dengan jual beli yang tidak disertai dengan penipuan.
Maksudnya, secara umum jual beli adalah halal, tetapi secara khusus jual beli
yang disertai penipuan, haram hukumnya.
2. Lafaz Nash
* Nash, adalah lafaz yang tidak mungkin
mengandung pengertian lain, selain yang dimaksudkan oleh lafaz itu sendiri,
tetapi masih dapat dita’wilkan atau
*
Nash, adalah lafaz yang tegas
petunjuknya kepada makna yang dimaksud, akan tetapi masih menerima takhsis bila
ia ‘amm, dan menerima ta’wil bila ia khash.
* Nash, adalah afaz yang tidak menerima
arti lain dalam petunjuk hukumnya
* Nash, adalah lafaz/kalimat yang menunjukkan
kepada makna yang jelas, sesuai dengan konteks kalimat itu sendiri.
Contoh:
a.
QS. al-Baqarah: 275 وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
‘Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.’
Nash
ayat di atas menyatakan dengan jelas bahwa jual
beli tidak sama/berbeda dengan riba sekaligus sebagai sanggahan terhadap
persangkaan kaum kafir Quraisy yang diungkapkan dalam awal ayat ini, bahwa:
‘Bahwasanya jual beli itu sama dengan
riba.’
b. QS. al-Nisa: 3 فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
‘Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu
senangi, dua, tiga, atau empat.’
Ayat
ini dengan tegas menyatakan pembatasan
jumlah isteri ialah maksimal 4 orang.
Dari
contoh-contoh di atas menunjukkan,
bahwa lafaz zahir dan nash mungkin berkumpul dalam satu lafaz.
HUKUM NASH
Sebagaimana hukum zahir, nash juga
harus diamalkan menurut arti yang ditunjukkan oleh lafaz nash tersebut sampai ada dalil yang
menta’wilkan yaitu kalau lafaz nash itu berupa lafaz mutlak, maka harus
diamalkan menurut kemutlakannya sampai ada dalil yang mengtaqyidkan
(membatasi)nya, dan kalau lafaz nash berupa lafaz amm maka harus diamalkan
menurut arti yang ditunjuki sampai ada dalil yang memansukh (membatal)kannya.
Contoh:
1. Hukum wasiat yang dinyatakan
secara mutlak dalam Qs al-Nisa: 12
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
‘Sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat (dan) atau sesudah dibayar hutangnya.’
Maksudnya, wasiat dan hutang harus didahulukan daripada pembagian
warisan. Wasiat pada ayat ini dinyatakan
secara mutlak. Kemudian dibatasi maksimal 1/3 harta warisan berdasarkan hadis
Nabi saw:
‘(Wasiat itu) 1/3 dan 1/3 itu sudah banyak (HR Bukhary dan Muslim)
2.
Keumuman lafaz nash iddah 3 quru bagi wanita yang ditalak yang diterangkan
dalam QS al-Baqarah: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
‘Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (beriddah) 3 kali quru.’
Ayat ini bersifat umum berlaku bagi semua
wanita yang ditalak, baik yang masih haid mau pun yang belum/tidak haid lagi.
Namun keumumannya ditakhsiskan dengan masa iddah 3 bulan bagi wanita yang
ditalak tetapi belum haid atau sudah monopouse (tidak haid lagi); juga
ditakhsiskan dengan masa iddah sampai melahirkan bayi bagi wanita yang ditalak
dalam keadaan hamil yang diterangkan dalam QS al-Thalaq: 4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ
الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ
وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ
‘Dan wanita-wanita
yang putus dari haid di antara wanita/isteri-2mu jika kamu ragu (tentang masa
iddahnya) maka iddah mereka adalah 3 bulan dan begitu pula wanita-wanita yang
tak haid lagi. Dan wanita-wanita yang hamil masa iddah mereka sampai melahirkan
kandungannya.’
Demikian
pula ditakhsiskan dengan tidak adanya masa iddah bagi wanita yang ditalak tapi
belum pernah digauli berdasarkan QS al-Ahzab: 49.
3. Lafaz Mufassar
-ialah suatu lafaz yang
terang petunjuknya kepada arti yang dimaksud (dengan disusunnya) lafaz itu yang
tidak mungkin dita’wilkan kepada arti yang lain tetapi dapat menerima nasakh (pembatalan hukum) pada masa
Rasulullah saw.
Lafaz
Mufassar terbagi atas dua macam, yaitu: Mufassar lizatihi dan mufassar
bighairih.
a. Mufassar Lizatihi, adalah lafaz yang tidak
membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang
dimaksudkan., atau
Mufassar
lizatihi, adalah lafaz yang terang
maknya yang tidak membutuhkan penjelasan lagi dari luar lafaz itu sendiri.
Contoh:
1)
QS al-Taubah: 36 وَقَاتِلُوا
الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً
‘Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya.’
Dengan
adanya lafaz كَافَّةً (semuanya) dalam akhir ayat
di atas, menunjukan tidak adanya takhsis terhadap lafaz ‘amm الْمُشْرِكِينَ (kaum musyrik). Jadi, dengan adanya lafaz كَافَّةً itu sudah menjadi jelas arti
yang dimaksudkan, tanpa membutuhkan penjelasan dari yang lain. Artinya, semua
kaum musyrik harus diperangi tanpa kecuali.
2). QS al-Nur: 2 الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
‘Wanita dan laki-laki yang
berzina, maka deralah dari setiap mereka 100 kali.’
Lafaz مِائَةَ
(100) adalah lafaz khash karena merupakan lambang bilangan) yang tidak
membutuhkan penjelasan dan tak mungkin juga dita’wilkan, misalnya ditambah atau
dikurangi. Jadi, ayat di atas mengandung arti, bahwa penzina laki-laki dan
wanita dihukum dera 100 kali tidak boleh kurang atau pun lebih.
b. Mufassar Bighairihi, ialah lafaz yang masih
membutuhkan penjelasan dari yang lain untuk terangnya petunjuk kepada arti yang
dimaksudkan.
Misalnya:
Lafaz mujmal (global) yang membutuhkan penjelasan dari yang lain agar arti yang
dikehendaki menjadi terang, seperti lafaz shalat dalam QS al-Baqarah: 43
‘dan dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat.’ وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
Lafaz
shalat menurut bahasa berarti doa. Lalu lafaz shalat dipakai oleh syara untuk
arti yang lebih terperinci. Tetapi lafaz shalat dalam ayat ini dikemukakan
secara mujmal (global) sehingga tidak jelas arti yang dimaksudkan. Karena itu
diperlukan penjelasan dari luar lafaz ini yang dalam hal ini dijelaskan oleh
hadis Nabi saw:
‘Shalatlah kamu sebagaimana kalian
melihat aku shalat.’
Hukum
Mufassar: wajib mengamalkan arti yang ditunjuki oleh
mufassar, kecuali ada dalil yang shahih yang memansukh (membatalkan)nya.
4. Muhkam
-adalah lafaz yang terang
petunjuknya kepada arti yang dimaksudkan (dengan disusunnya) lafaz itu, dengan
tidak mungkin dita’wilkan dan tidak dimansukh (dibatal)kan hukumnya pada masa
Rasulullah saw.
Tidak
dimansukhkannya muhkam, karena hukum-hukum yang ditunjuki merupakan hukum-hukum
yang pokok dalam agama Islam, seperti:
-
Beribadah hanya kepada Allah swt;
-
Keharusan iman kepada Rasul dan
kitab-kitabnya;
-
Yang berkaitan dengan amaliah yang terpuji
yang tak akan berubah karena
perubahan keadaan/tempat, seperti berbakti kepada kedua orang tua.
-
Yang berkaitan dengan hukum-hukum cabang yang
dinyatakan berlaku untuk selamanya, seperti tidak boleh menerima kesaksian
orang yang melakukan jarimah qadzaf/menuduh orang baik-baik berzina tanpa bukti,
berdasarkan QS. Al-Nur: 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
‘Dan orang-orang yang menuduh orang baik-baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka deralah mereka 80 kali dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selamanya.’
Dilihat
dari sebab tidak dapat dimansukh (dibatal)kan, muhkam terbagi 2 yakni:
a. Muhkam Lizatihi
-ialah
muhkam yang semata-mata karena arti yang ditunjuki itu, yang tidak mungkin
dimansukh (dibatal)kan hukumnya.
*Misalnya: Keharusan beribadah hanya kepada
Allah semata dan berbuat baik kepada kedua orangtua sesuai QS al- Isra: 23
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا
تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
‘Dan Tuhan telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain dia hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya.’
b. Muhkam Lighairihi
-
ialah muhkam karena disertai suatu lafaz yang
menunjukan atas keabadian berlakunya, sehingga tidak dapat dimansukhkan
(dibatalkan) hukumnya.
Misalnya: Hukum yang terdapat dalam QS al-Nur: 4
di atas, bahwa tidak dapat diterima kesaksian orang yang berbuat jarimah qadzaf
untuk selama-lamanya karena pada ayat itu disertai dengan lafaz أَبَدًا
(selama-lamanya).
HUKUM MUHKAM
Karena muhkam tidak dapat menerima ta’wil dan tak
dapat pula dibatalkan hukumnya, maka tidak ada arti lain, selain arti yang
ditunjuki, kepada suatu makna yang sudah pasti karena itu muhkam wajib
diamalkan.
PERTENTANGAN ANTARA LAFAZ-LAFAZ YANG TERANG
Pembagian
lafaz-lafaz yang terang ke dalam 4 bagian itu adalah didasarkan kepada
tingkatan ketegasan arti dan makna yang ditunjuk oleh lafaznya, dimulai dari
kurang terang kemudian yang terang dan seterusnya kepada yang paling terang.
Pembagian ini sangat berguna untuk menentukan lafaz yang harus
dipilih (ditarjih) bila terjadi
pertentangan antara satu macam lafaz dengan macam lafaz yang lain. Dalam kasus
ini lafaz yang lebih terang harus didahulukan daripada lafaz yang lain. Karena
itu, muhkam harus didahulukan daripada
lafaz mufassar, nash dan zahir. Mufassar harus didahulukan dari nash dan zahir.
Nash harus didahulukan dari zahir.
Misalnya:
1)
Pertentangan antara mufassar dengan muhkam.
Mufassar terdapat dalam QS. Al-Thalaq: 2 وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ
عَدْلٍوَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
‘…dan persaksikanlah dengan 2 orang saksi
yang adil di antara kamu.’
Muhkam
terdapat dalam QS al-Nur: 4 وَلَا
تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
‘… dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka (pelaku qadzaf) untuk selama-lamanya
Dalam
kasus ini ketentuan dalan QS al-Nur: 4 harus didahulukan/dipilih
karena dia adalah muhkam sedangkan ketentuan QS al-Thalaq: 2 merupakan mufassar,
kurang tegas. Jadi, orang yang telah melakukan tindak pidana qadzaf,
tidak dapat diterima kesaksiannya untuk selama-lamanya.
2)
Pertentangan antara muhkam dengan zahir.
Muhkam terdapat dalam QS al-Ahzab: 53
وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ
تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ
أَبَدًا
‘…dan kamu tidak boleh menyakiti (hati)
Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya sesudah ia wafat untuk
selama-lamanya.’
Sedangkan
zahir terdapat dalam QS al-Nisa: 3
فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
‘… maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi dua, tiga atau empat.’
Zahir
ayat 3 surat al-Nisa menunjukkan kebolehan mengawini wanita-wanita yang
disukai, baik gadis mau pun janda tanpa dibatasi oleh janda tertentu. Tetapi QS
al-Ahzab: 53 secara jelas menunjukkan larangan mengawini janda (isteri)
Rasulullah saw untuk selama-lamanya. Dalam kasus ini, ayat 53 surat al-Ahzab
harus didahulukan daripada ayat 3 surat al-Nisa sebab ayat 53 surat al-Ahzab
adalah muhkam sedangkan ayat 3 surat al-Nisa adalah zahir.
Catatan:
-
Pertentangan ini hanya berlaku terhadap lafaz
yang terdapat dalam sumber hukum yang sama tingkatannya berdasarkan tertib
sumber hukum Islam, yakni ayat dengan ayat, hadis dengan hadis.
-
Tetapi bila tidak sama tingkatannya dalam
tertib sumber hukum Islam, misalnya antara ayat dengan hadis, pertentangan
antara lafaz-lafaz yang terang itu tidak berlaku. Dalam hal ini, ayat harus
didahulukan daripada hadis.
LAFAZ YANG TIDAK TERANG (SAMAR)
- adalah
lafaz yang petunjuknya kepada arti (makna) yang dimaksudkan, masih samar (tidak
terang) disebabkan oleh lafaz itu sendiri atau oleh karena hal-hal lain di luar
lafaz itu, atau
Lafaz Samar, adalah lafaz yang
menunjukan kepada makna yang dikehendaki bukan oleh sighat (susunan) itu
sendiri, tetapi dikarenakana adanya ketergantungan kepada sesuatu dari luar
teks itu sendiri. Ketergantungan itu dikarenakan adanya kekaburan pada
lafaznya.
Lafaz Samar terbagi atas 6 macam, yaitu (1) Khafiy, (2)
Musykil, (3) Mujmal, (4) Mutasyabih, (5) Tafsir, dan (6) Ta’wil.
1. Lafaz Khafiy
-ialah
suatu lafaz yang terang maknanya, tetapi pengaplikasian makna sebagian afrad
(satuan-satuan/bagian-bagian)nya mengandung kesamaran, sehingga membutuhkan
pemikiran yang mendalam (pengkajian dan ijtihad).
Misalnya: QS al-Maidah: 38 وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ
فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
‘Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya…’
Lafaz السَّارِقُ (pencuri) berarti orang yang
mengambil harta orang lain dari tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi.
Tetapi arti pencuri itu menjadi samar (tidak terang) jika diterapkan pada
satuan-satuannya yang memiliki nama tersendiri. Seperti pencopet, sebab
pencopet mengambil barang orang lain
dengan cara yang tidak sembunyi-sembunyi. Sehingga hukuman bagi pencopet
menjadi tidak terang, apakah disamakan dengan hukuman pencuri atau tidak.
Demikian pula Nubasy yaitu seseorang yang
mengambil kain kafan mayat dari dalam kubur. Apakah tindakan itu termasuk ke
dalam arti lafaz السَّارِقُ atau tidak? Dalam kaitan ini terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Menurut ulama Hanafiah, nubasy tidak tercakup
ke dalam arti lafaz السَّارِقُ , sehingga tidak dikenakan
hukuman potong tangan seperti pencuri, sebab:
a.
Benda yang diambil tidak termasuk benda yang disukai;
b.
Benda yang diambil tidak terdapat di tempat penyimpanan yang wajar;
c.
Benda yang diambil tidak ada pemiliknya, baik mayat mau pun ahli warisnya.
Sedangkan menurut imam Syafi’i, imam Malik,
imam Ahmad dan imam Abu Yusuf, nubasy
termasuk ke dalam arti lafaz السَّارِقُ , karena itu dikenakan
hukuman potong tangan kepada pelakunya, alasannya bahwa:
a.
Pengambil benda itu dilakukan di saat sepi orang;
b.Tempat
penyimpanan benda adalah disesuaikan dengan bendanya, dan tidak ada tempat
penyimpanan kain kafan bagi mayat kecuali di dalam kubur.
Contoh
khafiy yang sebagian satuannya mempunyai sifat tertentu yang membedakan dari
satuan yang lain, di antaranya lafaz القاتل (pembunuh) dalam hadis:
ليس للقاتل مراث شيء
‘orang yang membunuh tidak menerima warisan
sedikit pun (HR Nasai & Daraqutny)
Pengertian lafaz القاتل (al-qatil) secara tegas adalah orang
yang membunuh dengan sengaja. Sedangkan yang tidak terang ialah orang yang
membunuh karena kekeliruan, apakah termasuk ke dalam arti lafaz القاتل (al-qatil)
pada hadis di atas atau tidak?
Dalam kasus ini menurut ulama Hanafiah, orang
yang membunuh karena kekeliruan termasuk dalam pengertian lafaz القاتل (al-qatil)pada
hadis di atas. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, tidak.
2. Lafaz Musykil
- ialah lafaz yang tidak terang
petunjuknya kepada arti yang dimaksud kecuali dengan perantaraan dalil-dalil
atau qarinah lain yang menjelaskan maksudnya.
Kemusykilan
itu disebabkan antara lain:
a) Karena laafz itu mengandung beberapa arti
sedangkan makna yang dikehendaki hanya satu dan lafaz itu sendiri tidak
menentukan salah satu arti yang dimaksudkan.
b) Suatu lafaz yang dalam penerapan
pengertiannya mempunyai makna majazi di satu pihak dan di pihak lain mempunyai
makna yang lain pula.
Misalnya: QS al- Baqarah: 228 وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
‘Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) 3 kali quru.’
Lafaz
قُرُوءٍ
adalah musykil, karena memiliki 2 arti, yaitu al-thuhur (suci) dan
(haid),
sehingga arti yang dikehendaki lafaz itu menjadi tidak terang (samar): apakah
masa iddah wanita yang ditalak itu 3 kali suci ataukah 3 kali haid.
Menurut
ulama Syafi’iah dan sebagian ulama yang lain, bahwa lafaz quru' dalam ayat ini berarti suci
sehingga masa iddah wanita yang ditalak itu adalah 3 kali suci berdasarkan
qarinah bahwa isim ‘adad (kata bilangan)
ثَلَاثَةَ (tiga) pada ayat di atas
berbentuk muannats (jenis perempuan). Penggunaan ‘adad muannats
menunjukkan, bahwa ma’dud (jenis dibilang/terbilang)nya mudzakkar, yaitu
al-Thuhur (suci) dan bukan
muannats yaitu al-haidlah. Karena
menurut ketentuan bahasa Arab, dalam masalah tarkib ‘adad ma’dud, bahwa bila
‘adad-nya berbentuk muannats, maka ma’dud-nya harus mudzakkar
dan sebaliknya bila ‘adad-nya berbentuk mudzakkar, maka ma’dud-nya
harus muannats.
Sedangkan
menurut ulama Hanafiah, lafaz quru pada
ayat di atas, berarti haid, karena
adanya qarinah sebagai berikut:
a. Hikmah disyariatkan wajib
adanya masa iddah bagi wanita yang ditalak adalah untuk mengetahui kesucian
kandungan wanita itu dari kehamilan. Dan kehamilan itu dapat diketahui karena
adanya haid bukan karena keadaan kesucian wanita itu.
b. Firman Allah dalam QS. Al-Thalaq: 4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ
نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ
يَحِضْنَ
‘Dan wanita-wanita yang sudah
putus dari haid di antara wanita-wanita
jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah 3
bulan, dan begitu (pula) wanita-wanita yang belum haid.’
Pada
ayat ini dasar perhitungan masa iddah 3 bulan karena ketiadaan haid wanita yang
ditalak. Jadi, pada dasarnya masa iddah dihitung dengan haid.
c. Hadis riwayat Daraqutniy dari Ibn ‘Amr:
‘Talak bagi hamba sahaya itu 2 kali dan masa iddahnya 2 kali haid.’
Hadis ini menunjukkah bahwa quru berarti haid. Hadis ini merupakan
penjelasan terhadap laafz quru untuk masa iddah bagi wanita merdeka.
3. Lafaz Mujmal
- ialah lafaz yang tidak diketahui
maknanya jika dilihat dari segi laafznya, dan tidak mungkin dapat diketahui
arti yang dimaksud, kecuali dengan adanya penjelasan dari syara.’
Mujmal
dapat terjadi karena adanya lafaz-lafaz yang diambil oleh syara dari
pemakaiannya menurut bahasa ke dalam arti menurut istilah syara (hukum).
Misalnya: lafaz al-shalah الصلاة
yang menurut bahasa al-shalah, berarti doa.
امساك (imsak),
berarti menahan diri dari sesuatu. Atau
karena adanya lafaz yang mempunyai arti umum tetapi digunakan oleh syara untuk
arti khusus, seperti lafaz
al-qari’ah (QS al-Qari’ah: 1) secara umum berarti celaka, wa
al-thariq (QS al-Thariq: 1) secara
umum berarti: yang datang di waktu malam.
Bila
lafaz-lafaz mujmal itu mendapat penjelasan secara sempurna dari syara, maka
mujmal berubah menjadi mufassar.
Misalnya:
(1) Penjelasan syara terhadap lafaz al-shalah الصلاة
dalam QS al- Baqarah: 43
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ
الرَّاكِعِينَ
melalui hadis Nabi saw:صلوا كما
رأيتمونى أصلى ‘Shalatlah kalian seperti
kalian melihat aku salat.’
(2) Penjelasan syara terhadap lafaz al-hajji الحج dalam QS Ali Imran: 97
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلا
‘…mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang-orang yang mampu
mengadakan perjalanan ke Baitullah.’
Oleh sunnah Nabi saw dengan
sabdanya: خذوا عنى
مناسككم
‘Ambillah dariku perbuatan-perbuatan ibadah
hajimu.’
Bila
lafaz mujmal itu mendapat penjelasan secara tidak sempurna dan pasti dari
syara, mujmal berubah menjadi musykil sehingga diperlukan ijtihad untuk
menjelaskannya
Misalnya: Lafaz الرِّبَا QS. al-Baqarah: 275) وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
‘…Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...’
Lafaz الرِّبَا mendapat penjelasan dari hadis Nabi saw:
‘Emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, semuanya harus sama ukurannya dan harus berhadapan muka, Bila
berbeda jenis-jenis itu, maka berjual belilah sekehendakmu jika masih berhadapan muka.’ (HR Muslim)
Tetapi
penjelasan hadis ini terhadap arti riba tidak secara sempurna dan pasti,
sehingga masih dibutuhkan ijtihad untuk menjelaskannya. Dalam kaitan ini, para
ulama mengambil jalan dengan mengqiyaskan (menganalogikan) benda-benda lain kepada benda-benda yang
disebutkan dalam hadis di atas. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang illat
hukumnya:
- Menurut Abu Hanifah: illat hukumnya, adalah
persamaan jenis dan kadar (timbangan/takarannya)
- Menurut Malik: illat hukumnya adalah kontan
pada emas dan perak atau berupa makanan yang mengenyangkan dan dapat disimpan
pada selain emas dan perak.
-Menurut Syafi’i: illat hukumnya adalah salah
satu dari 2 hal yaitu dengan kontan atau berupa makanan.
4. Lafaz Mutasyabih
-
ialah lafaz yang tidak terang arti yang
dimaksudkan karena pada lafaz itu sendiri dan tidak tidak ada qarinah yang
menjelaskannya.
Masalah mutasyabih dapat dilihat
dari 2 aspek:
a) Lafaz yang mengandung 2
pengertian atau lebih dan arti dari segi pendekatan bahasa, makna lafaz mencerminkan
persamaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
Misalnya: Lafaz yang dalalah zahirnya menimbulkan sangkaan arti bahwa
Allah serupa dengan makhluk-Nya seperti Allah memiliki tangan,QS al-Fath:10
‘…
tangan Allah di atas tangan mereka…’
Ayat
ini tidak mungkin dipahami artinya secara bahasa sebab Allah mustahil serupa
dengan makhluk-Nya. Dalam kaitan ini Allah juga tidak menjelaskan arti yang
dikehendaki lafaz yadun dalam
ayat ini.
b) Lafaz yang tersembunyi
maknanya, dan tidak ada keterangan/penjelasan dari Al Quran dan sunnah, yaitu
tidak diketahui artinya, kecuali orang yang mendalam ilmunya yang dapat
memahaminya.
Misalnya: Huruf-huruf yang berdiri sendiri (huruf Hija’iyah) pada awal
beberapa surat dalam Al Quran di antaranya:
Dalam
hal ini Allah juga tidak menjelaskan arti yang dimaksud dari huruf-huruf itu.
Mengenai
arti yang dikehendaki lafaz mutasyabih ini, para ulama Salaf dari golongan
sahabat dan tabi’in serta mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari ulama ilmu
kalam, menyerahkan artinya kepada Allah.
Sedangkan
golongan ulama Khalaf dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan ulama Mu’tazilah
berpendapat bahwa mutasyabih dapat dita’wilkan dengan arti yang selaras dengan
arti bahasa dan selaras pula dengan kemahasucian Allah dari sifat-sifat yang
tidak layak baginya (mustahil Allah mempunyai tangan/serupa dengan makhlukNya).
Karena
itu arti zahirnya harus dita’wilkan kepada arti majazi. Lafaz yadun (QS al-Fath: 10) diartikan
dengan al-qudrah: kekuasaan.
Demikian pula lafaz al-wajhu (wajah) (QS. Al-Rahman: 26-27)
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ
وَالإكْرَامِ
‘Semua yang ada di bumi akan
binasa kecuali Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesar dan kemuliaan.’
Dita’wilkan
kepada arti ذاته (Dzat-Nya).
SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA TENTANG ARTI YANG
DIKEHENDAKI LAFAZ MUTASYABIH, adalah:
- Karena perbedaan mereka dalam
memberi waqaf (tempat berhenti) pada ayat 7 surat Ali Imran:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي
الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلا أُولُو الألْبَابِ
‘… padahal tidak ada yang
mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabih, semua itu dari sisi Tuhan
Kami.’
Bagi
mereka yang memberi waqaf setelah lafaz Allah, mengatakan bahwa yang
mengetahui ta’wil lafaz mutasyabih hanya Allah, karena itu mereka menyerahkan
sepenuhnya arti lafaz mutasyabih itu kepada Allah.
Sedangkan
mereka yang memberi waqaf setelah lafaz
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ mengatakan bahwa orang-orang yang mendalam
ilmunya mampu menta’wilkannya dengan arti yang mungkin dimaksud oleh lafaz
tersebut yang sesuai dengan kemahasucian Allah dari sifat-sifat penyerupaan dengan
makhlukNya.
Keterangan:
Menurut
penelitian ulama, mutasyabih tidak terdapat dalam ayat-ayat dan hadis-hadis
hukum. Hal ini sesuai dengan ungkapan QS Ali Imran: 3
نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ
‘Dialah yang menurunkan Al Kitab
(Al Quran) kepadamu. Di antara (isinya) ada ayat-ayat muhkamat, itulah
pokok-pokok isi Al Quran dan yang lainnya mutasyabihat…’
DALALAH
Dalalah berasal dari kata kerja (fi’il) dalla—yadullu-
dalilun, yang berarti “petunjuk untuk menemukan sesuatu,” atau “petunjuk
hukum”. د ل يدل دليل
LAFAZ dapat diklasifikasi atas beberapa jenis
berdasarkan DALALAH (petunjuk hukum) yang dikandungnya.
Menurut ulama HANAFIAH, dalalah ada 4 macam:
1. Dalalah
‘Ibarah (hukum yang
tertulis dalam lafaz/teks,
mirip lafaz
zahir)
2. Dalalah
Isyarah (hukum yang tidak tertulis dalam lafaz atau diisyaratkan dalam lafaz)
3. Dalalah
Nash (hukum yang
tidak tertulis s/d hukum yang tertulis, mirip qiyas)
4. Dalalah
Iqtidlah (hukumnya tidak jelas karena adanya kata yang dihilangkan)
a. DALALAH IBARAH, adalah petunjuk hukum
yang dapat dipahami langsung dari teks atau lafaz berdasarkan zahirnya.
Misalnya:
a. QS. al-Baqarah: 275 وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
‘Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.’
Ayat ini
mengandung dalalah ibarah: kehalalan jual beli dan keharaman riba.
b.
QS al-Maidah: 38 وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri hendaklah dipotong tangannya masing-masing.”
Ayat ini mengandung dalalah ibarah: hukuman potong tangan bagi pencuri,
baik laki-laki maupun perempuan.
b. DALALAH ISYARAH, adalah petunjuk hukum
yang dapat dipahami bukan langsung dari teks atau lafaz melainkan petunjuk
hukum yang berada di balik teks/lafaz. Misalnya:
a. QS. al-Baqarah: 275) وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
‘Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.’
Ayat ini
mengandung dalalah isyarah: perbedaan jual beli dengan riba.
b.
QS al-Baqarah: و على
المولود له رزقهن و كسوتهن بالمعروف
“Suami berkewajiban memberikan
nafkah dan pakaian kepada istrinya secara layak.”
Ayat ini mengandung dalalah ibarah: kewajiban suami menanggung nafkah
dan pakaian istri secara layak.
Namun ayat ini juga mengandung dalalah isyarah (hukum yang tidak tertulis dalam
lafaz ayat ini), yakni:
1) Kewajiban
ayah menanggung nafkah dan pakaian anaknya
2) Nasab anak
dihubungkan dengan ayahnya, seperti diisyaratnya dalam kalimat له
3) Harta anak adalah
milik orang tua. Orang tua berhak atas harta anaknya. Jika orangtua mengambil
harta anaknya tanpa sepngetahuan anak, maka itu bukan mencuri.
c. DALALAH NASH, adalah petunjuk hukum yang tidak tertulis dalam teks sama dengan petunjuk hukum yang disebutkan dalam teks atau lafaz. Misalnya:
1) Ayat larangan
berkata ah kepada kedua orang tua: فلا تقل
لهما أف
“Janganlah kamu
berkata ah kepada keduanya.”
DALALH IBARAH
ayat ini adalah larangan berkata ah kepada kedua orang tua.
Namun adalah DALALAH NASH (hukum
tidak tertulis yang sama dengan hukum yang tertulis) yakni larangan (keharaman)
memaki, memukul, membunuh orang tua. Karena kesemuanya itu sama-sama menyakiti
hati orang tua.
2)
Ayat larangan mendekati zina : لا تقربوا الزنى
Dalalah ibarahnya: keharaman mendekati
zina. Karena itu dalalah nashnya: haramnya berzina.
d. DALALAH IQTIDLAH adalah petunjuk hukum pada suatu lafaz yang sengaja dihilangkan satu
kata yang menyebabkan kurang sempurnanya makna lafaz tersebut.
Misalnya:
Larangan
menikahi ibu, saudara perempuan, anak perempuan
حرمت عليكم أمها تكم و بنا تكم و
أخواتكم
Disarikan dari buku Ushul Fiqh Jilid 2 kartya Prof.Dr. Amir Syarifuddin dan buku lain yang relevan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar