THAHARAH
Dr. La Jamaa, MHI
A. PENGERTIAN THAHARAH
Secara bahasa
(etimologis), thaharah berarti bersih
(nazhafah), suci (nazhahah), dan terbebas dari kotoran (khulus),
baik yang bersifat hissy (konkret atau yang dapat diindera) maupun
maknawiy (abstrak). Karena itulah dalam kitab-kitab fiqh biasanya kata thaharah
diaertikan dengan bersuci.
Secara
terminologis (syara), thaharah ialah membersihkan diri dari kata hadas
atau menghilangkan najis dan kotoran. Atau kegiatan bersuci dari hadas dan
najis, agar seseorang diperbolehkan mengerjakan suatu ibadah. Misalnya shalat
dan thawaf.
Menurut ulama Hanafiah, bahwa thaharah berarti bersih dari hadas dan
kotoran (khubuts). Menurut Hanafiah, suci itu mencakup pengertian:
sesuatu yang dibersihkan oleh seseorang atau bersih (suci) dengan sendirinya
seperti terkena air yang banyak sehingga najisnya hilang.
Misalnya:
Sesuatu
yang terkena air dan air itu menghilangkan najisnya.
Menurut ulama Malikiah, bahwa thaharah adalah sifat hukmiyah yang
menyebabkan orang yang disifatinya boleh melakukan shalat dengan pakaian yang
dipakainya dan di tempat ia melakukan shalat. Sifat tersebut adalah suci dari
hadas kecil dan hadas besar.
Menurut ulama Syafi’iah,
thaharah dalam syara ada 2 pengertian:
1) Thaharah berarti
melakukan sesuatu yang membolehkan (seseorang) melakukan shalat, seperti wudlu,
mandi, tayammum dan menghilangkan najis; atau
Menghilangkan
hadas dan najis atau melakukan sesuatu yang semakna dan sebentuk dengan wudhu
dan tayamum seperti wudhu ketika masih keadaan berwudhu, tayamum sunnah dan
mandi sunnah. Thaharah ini bersifat syar’iyyah (dianjurkan oleh syariat) saja,
bukan syarat diperbolehkannya shalat. Sebab yang membuat shalat diperbolehkan
adalah wudhu pertama, tayamum pertama dan mandi janabat (mandi wajib)
2) Thaharah berarti suci
dari semua najis.
Jadi Thaharah merupakan sifat yang diakibatkan oleh suatu perbuatan.
Menurut ulama Hanabilah, bahwa
thaharah ialah hilangnya hadas dan yang semakna dengan itu atau hilangnya hukum
semua itu. Hilangnya hadas berarti hilangnya sifat yang menjadi penghalang bagi
shalat dan lainnya, karena hadas merupakan sifat hukmiyah yang dapat mengena
pada seluruh badan atau sebagiannya.
Yang dimaksudkan dengan sesuatu
yang semakna dengannya adalah sesuatu yang semakna dengan hilangnya hadas,
seperti hilangnya hadas karena memandikan mayat. Dengan demikian, thaharah secara
syariat Islam terbagi dua bagian yakni: thaharah dari hadas dan thaharah dari
najis dan kotoran.
Thaharah dari hadas ada 3 cara, yaitu wudlu, mandi dan tayammum.
Sedangkan thaharah dari najis dan kotoran dengan cara membasuh dan
membersihkan najis dan kotoran dengan air dan alat thaharah lainnya. Atau
menghilangkan najis yang ada pada badan, pakaian dan tempat.
DASAR HUKUM THAHARAH
Dasar hukum
diperintahkannya untuk thaharah (bersuci atau menjaga kebersihan) antara lain:
1) Firman
Allah dalam QS al-Mudddatsir: 4-5 وَثِيَابَكَ فَطَهِّر ْوَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
“Bersihkanlah pakaianmua dan jauhilah
perbuatan kotor (dosa).”
2) Firman
Allah dalam al-Baqarah: 222
Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang mensucikan dirinya.’
3). Hadis Nabi saw: النظافة من الاءيمان
“Kebersihan itu sebagian
dari iman.” (HR Muslim)
4. Hadis Nabi saw
لا تقبل الصلاة
بغير الطهور
“Tidak diterima shalat orang yang tidak
bersuci.” (HR Muslim)
Pembahasan mengenai najis, hadas serta cara membersihkan
(thaharah)nya akan diuraikan lebih lanjut.
B. TAHARAH DARI HADAS
1. Pengertian Hadas
Kata hadas saat ini telah
menjadi salah satu kosa kata dalam bahasa Indonesia, bahkan populer dalam
kajian keilmuan (Fiqh atau hukum-hukum Islam). Secara bahasa, hadas berarti
tidak suci, keadaan badan tidak suci.
Sedangkan hadas
secara istilah syariat, adalah
1) sifat syar’i yang mengenai sebagian atau seluruh anggota badan
sehingga menghilangkan kesucian, atau;
2) kondisi tidak suci yang mengenai pribadi seorang muslim, sehingga
menyebabkan terhalangnya orang itu melakukan shalat, tawaf dan i’tikaf;
3) keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan
dengan cara berwudu, mandi wajib dan tayamum. Dalam kondisi tersebut dilarang
(tidak sah) mengerjakan ibadah yang disyaratkan kondisi badan bersih dari hadas
dan najis, seperti shalat, tawaf dan i’tikaf
2. Jenis Hadas
a. Hadas Kecil
Hadas
kecil adalah sesuatu kotoran yang bersifat maknawi (tak dapat dilihat dengan
mata kasar), yang berada pada anggota badan yang menghalanginya melakukan
ibadah shalat, tawaf dan i’tikaf dan dibersihkan wudhu atau tayamum. Hadas ini
disebut hadas kecil karena hadas ini berada dalam kawasan kecil atau sempit,
yakni sebatas anggota wudhu saja.
Hadas
kecil ini disebabkan oleh beberapa penyebab, yaitu:
1) Buang air kecil dan buang air besar sesuai QS al-Maidah: 6
أو جاء أحد منكم من الغاءط
‘atau salah seorang di antaramu datang dari jamban (buang air)’
2)
Kentut sesuai hadis Nabi saw:
‘Allah
tidak akan menerima shalat seseorang kalau ia berhadas sampai ia berwudhu. Maka
seorang lelaki dari Hadramaut bertanya; apakah itu hadas itu ya Abu Hurairah?
Ia menjawab: kentut dan buang air besar.’
3) Keluar madzi, wadi
Ketiga hal di atas disepakati oleh ulama.
4)
Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram sesuai QS
al-Maidah: 6
أولامستم النساء
‘atau kamu menyentuh perempuan’
Hal
ini diperselisihkan oleh ulama. Menurut mazhab Syafi’iah, bersentuhan kulit
laki-laki dan perempuan yang bukan mahram menyebabkan hadas kecil (membatalkan
wudhu) secara mutlak.
Menurut mazhab Hanbali, bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan
tanpa penghalang menyebabkan hadas kecil (batal wudhu), baik muhrim maupun
bukan, hidup maupun mati, muda atau tua renta, besar atau kecil kecuali
menyentuh rambut, kuku dan gigi.
Menurut mazhab Maliki, jika seseorang menyentuh orang lain dengan
tangan atau anggota badan lainnya, maka menyebabkan hadas kecil (batal wudhu).
Tetapi dengan syarat bagi yang menyentuh adalah balig dan berniat untuk
mendapatkan rasa nikmat atau mendapatkan nikmat saat menyentuhnya. Syarat orang
yang disentuh adalah tidak memakai apapun atau hanya menggunakan penghalang
yang tipis, orang yang menimbulkan syahwat.
Menurut mazhab Hanafi; bersentuhan itu tidak menyebabkan hadas kecil
(batal wudhu) secara mutlak.
5) Hilang akal, seperti gila, ayan, tidur, mabuk dan
pingsan.
Menurut mazhab Hanbali, tidur menyebabkan hadas kecil (batal wudhu),
kecuali tidur yang sebentar.
Menurut mazhab Syafi’i; tidur membatalkan wudhu (menyebabkan hadas
kecil), jika tidak tetap di tempat duduknya, walaupun jelas-jelas tidak keluar
hadas.
Mazhab Hanafi; tidur tidak menyebabkan hadas kecil (batal wudhu);
kecuali tidurnya miring pada lambung sampingnya; tidur dalam kondisi terlentang
pada tengkuknya dan tidur bersandar pada salah satu kedua pahanya. Sebab pada 3
kondisi itu seseorang hilang konsentrasinya dan persendiaannya juga mengendur.
Tetapi kalau dia tetap pada tempat duduknya, tidak menyebabkan hadas kecil.
Mazhab Maliki, tidur yang menyebabkan hadas kecil (batal wudhu)
adalah tidur yang berat (pulas), baik sebentar maupun lama. Jika tidurnya tidak
pulas, maka tidak membatalkan wudhu, hanya disunatkan saja untuk berwudhu.
Ukuran pulasnya, dia tak mendengar suara apapun atau tidak merasa kehilangan
jika ada sesuatu yang jatuh dari tangannya atau air liurnya mengalir dari
mulutnya.
) Memegang kemaluan.6
Menurut mazhab Hanafi, memegang kemaluan tidak membatalkan wudhu
walaupun dengan syahwat dan telapak tangan
Menurut mazhab Syafi’i, yang memagang kemaluannya batal wudhunya.
Orang yang sedang hadas
kecil dilarang: shalat, tawaf, I’tikaf
b. Hadas Besar
Hadas
besar adalah sesuatu kotoran yang bersifat maknawi (tak dapat dilihat dengan
mata kasar), yang berada pada anggota badan yang menghalanginya melakukan
ibadah shalat, tawaf dan i’tikaf dan dibersihkan dengan mandi janabah atau
tayamum. Hadas ini disebut hadas besar karena hadas ini berada dalam kawasan
luas, yakni seluruh badan.
Hadas
kecil ini disebabkan oleh beberapa penyebab, yaitu:
1) Keluar mani disertai syahwat, baik saat tidur maupun terjaga,
laki-laki maupun perempuan, sesuai hadis: al-ma’u minal ma-i (air atau
mandi junub disebabkan adanya air mani) (HR. Muslim).
Juga hadis Ummu Salamah
ra, bahwa Ummu Sulaim bertanya: Ya Rasulullah sesungghnya Allah tidak malu
tentang kebenaran. Wajibkah perempuan itu mandi bila ia bermimpi? Nabi saw menjawab:
Ya, bila ia melihat air. (HR Bukhari dan Muslim)
Kecuali mani yang keluar
tanpa syahwat, tetapi karena sakit atau dingin, maka tak wajib mandi (tidak
menyebabkan hadas besar). Atau bermimpi tapi tak menemukan mani.
2) Hubungan seksual laki-laki dengan perempuan meskipun tak keluar
mani sesuai QS al-Maidah: 6
أولامستم النساء
Dan jika kamu junub maka hendaklah kamu
bersuci (mandi)’
3) Haid dan nifas sesuai firman Allah: dan janganlah kamu
mencampuri mereka sebagaimana diperintahkan oleh Allah.
4) Meninggal dunia, sehingga wajib dimandikan.
5) Orang kafir masuk Islam.
Orang yang sedang hadas besar dilarang: shalat,
tawaf, i’tikaf, menyentuh dan membawa mushaf al-Qur’an, membaca al-Qur’an.
C. TAHARAH DARI NAJIS
1. Pengertian Najis
Kata najis saat ini telah
menjadi salah satu kosa kata dalam bahasa Indonesia, bahkan populer dalam
kajian keilmuan (Fiqh atau hukum-hukum Islam).
Secara etimologis (bahasa), kata najis
berasal dari bahasa Arab yang dalam makna aslinya berarti: “sesuatu yang
kotor,” sinonim dengan khubuts (kotor). Kata najis sendiri
berasal dari kata kerja (fi’il) najasa.
Menurut Syariat Islam, najis adalah benda yang kotor yang mencegah sahnya mengerjakan ibadah
yang diharuskan dalam keadaan suci seperti shalat dan tawaf. Dengan kata lain, secara terminologis fiqh
Islam, bahwa najis berarti:
“sesuatu
yang menurut syara dianggap kotor dan jika melekat pada sesuatu tempat, maka
bekas lekatannya itu harus dibersihkan, baik yang ada pada badan, pakaian mau
pun tempat shalat.”
Benda
kotor ternyata tida identik dengan najis. Begitu
pula sebaliknya, benda yang bernajis kadang bersih.
Contoh:
Pakaian yang terkena tanah
kelihatannya menjadi kotor, tetapi itu tidak berarti bernajis
(kotor tidak sama dengan najis), sehingga sah digunakan untuk shalat, walau
pun memang sebaiknya dibersihkan karena shalat merupakan sarana komunikasi
dengan Allah. Sebaliknya pakaian yang terkena air kencing walau pun
kelihatannya bersih, namun karena terkena najis, maka tidak sah dipakai
untuk shalat.
Dalam aplikasinya, term najis
lebih banyak digunakan dalam kajian fiqh, sedangkan:
* Al Quran
menggunakan kata najis bukan dlam
pengertian najis (kotor) secara fisik, tetapi najis dalam pengertian
maknawiah seperti tertuang dalam Qs al- taubah ayat 28 yang mengungkapkan bahwa
orang-orang musyrik itu najis,
yakni kotor sistem kepercayaan teologisnya.
* Al
Hadis/sunnah menggunakan istilah rijsun untuk mengungkapkan kekotoran
sebauh benda, sebagaimana yang digunakan oleh al Quran.
Jadi, istilah najis dan
rijsun (rijis) merupakan dua istilah hukum yang bermakna sama, tetapi
digunakan dalam tempat yang berbeda. Dalam hal ini Al Quran dan Hadis/sunnah
lebih banyak digunakan istilah rijis (Rijsun) yang lebih mengarah kepada
makna perbuatan keji atau kotor, di samping kotor/najisnya benda
yang disebutkan itu sendiri. Perbuatan kotor/keji di sini lebih bermakna
dosa.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa :
*Najis, adalah kotoran yang wajib bagi setiap muslim
mensucikan diri dari padanya dan mensucikan apa yang dikenainya. Jadi, najis
biasanya berupa BENDA.
*Hadas, adalah peristiwa yang dialami manusia yang menjadi
SEBAB PENGHALANG sahnya suatu ibadah ritusl/ibadah mahdah, khususnya shalat,
thawaf, dan puasa.
2. Dasar Hukum Kenajisan
Suatu Benda
Hadas sendiri tidak
mengungkapkan secara detail tentang benda-benda yang termasuk najis. Rumusan
kenajisan sebuah benda semata-mata hasil kajian para ulama dalam bentuk rumusan
pemikiran fiqh.
Setidak-tidaknya pendekatan kajian yang dilakukan ulama fiqh untuk
menyimpulkan kenajisan sesuatu benda, yaitu:
a) Mengidentifikasi
kenajisan melalui analisis keharaman benda itu untuk dikonsumsi oleh manusia.
b)
Mengidentifikasi kenajisan melalui analisis terhadap perintah-perintah
Rasulullah saw untuk membersihkan berbagai benda lain yang terkena benda tsb.
Ad.a) Berdasarkan
pendekatan pertama, maka di antara benda-benda najis itu adalah bangkai, darah
dan daging babi, karena benda-benda tersebut haram untuk dikonsumsi oleh
manusia sebagaimana tertuang dalam QS al-Maidah: 3
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan daging binatang
yang disembelih atas nama selain Allah.”
Ungkapan senada tersebut dalam QS al-An’am: 145
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ
خِنْزِيرٍ
“Katakanlah:
‘Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu berupa
bangkai, darah yang mengalir atau daging babi.’
Kedua ayat di atas menyatakan,
bahwa bangkai binatang darat atau binatang yang disembelih atas nama selain
Alah, termasuk dalam benda yang tidak boleh dimakan dagingnya. Begitu
pula darah yang mengalir (darah sembelihan binatang) dan daging babi juga haram untuk dikonsumsi manusia.
Jadi, benda-benda itu
tergolong najis, sehingga bila mengenai tubuh, pakaian atau tempat
shalat serta meninggalkan bekas, maka tubuh, pakaian serta tempat shalat tsb
terkotori atau mutanajis (terkena najis).
Karena terkotori/najis,
maka harus disucikan/dibersihkan saat akan melakukan ibadah ritual yang
dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Zat yang Maha Suci.
Dari aturan itu diharapkan
kebiasaan bersih akan selalu mewarnai perilaku hidupnya, tidak hanya saat
menghadap Allah, tetapi juga di sepanjang hari dalam semua kesempatan.
Identifikasi kenajisan
melalui keharaman untuk dikonsumsi berlaku juga untuk khamar, seperti
tersebut dalam QS al- Maidah: 90
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
‘Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban
untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dari
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan tsb agar kamu memperoleh
keberuntungan.’
Maka semua jenis minuman
yang termasuk dalam kategori khamar, adalah najis.
Sehingga para ulama menyimpulkan
bahwa benda-benda najis karena haram dikonsumsi ini adalah:
·
bangkai
binatang darat, darah yang mengalir, daging babi, dan semua jenis minuman yang
termasuk dalam kategori khamar.
Ad.b) Kenajisan
sesuatu benda berdasarkan pemahaman terhadap petunjuk Rasulullah saw kepada para sahabat untuk membersihkan tubuh, pakaian atau
benda-benda lain yang biasa digunakan manusia, di antaranya jilatan
anjing seperti tersebut dalam hadis:
‘(Cara) mensucikan bejana salah seorang dari kamu yang dijilat
anjing, adalah mensucinya sebayak 7 kali, dan diawali dengan menggunakan
tanah.’ (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Di samping
jilatan anjing, Nabi saw juga menyuruh sahabatnya untuk mencuci badan, pakaian
atau tempat shalat jika terkena air
kencing manusia, seperti tersebut dalam hadis:
‘Air kencing bayi laki-laki cukup diperciki air, sedangkan air
kencing bayi perempuan harus dicuci sampai bersih.’ (HR Ahmad dari Ali)
Ketentuan ini berlaku bila kedua bayi tersebut belum makan apa-apa
selain ASI (air susu ibu)nya. Kalau sudah makan makanan tambahan lainnya, maka
air kencing bayi laki-laki dan perempuan tersebut, bekas siramannya itu harus
dicuci sampai bersih.
Rasulullah saw juga memerintahkan untuk membersihkan anus (alat
sekresi) bagi setiap orang yang selesai buang air besar seperti tersebut dalam
hadis:
‘Anas berkata, bahwa Rasulullah saw masuk ke jamban, lalu saya
bersama dengan seorang anak laki-laki sebayaku membawakan air untuknya dan
sebuah tongkat, kemudian Nabi saw beristinja dengan air.’ (HR Bukhary)
Jadi, sesuai ayat dan ahdis di atas, maka benda-benda najis adalah:
·
bangkai
(binatang darat)
·
darah
yang mengalir
·
babi
·
semua
minuman yang tergolongdalam kategori khamar
·
anjing
dan bianatang buas lainnya, kecuali kucing
·
air
kencing serta kotoran manusia dan binatang
Rangkumannya:
1) Benda-benda najis yang
didasarkan pada ayat & hadis yang mengharamkan untuk dikonsumsi, adalah:
·
bangkai
binatang darat
·
darah
yang mengalir
·
babi
·
semua
jenis minuman yang termasuk dalam kategori khamar
·
semua
jenis binatang buas kecuali kucing (karena kucing
biasa hidup dekat dengan manusia)
2) Benda-benda najis
berdasarkan hadis Nabi yang menekankan keharusan mencuci sesuatu yang jika
terkena benda tersebut, adalah:
·
anjing
·
air
kencing manusia dan binatang
·
kotoran
(tahi) manusia dan binatang
Disarikan dari berbagai sumber
kak . . apa boleh orang yang hadas besar itu dalam mensucikannya menggunakan tayamum pada kondisi tertentu. dan pada kondisi itu tidak ada air. sedangkan waktu undah waktu sholat. bagaimana dasarnya kak ?
BalasHapusKaka
HapusApakah mandi wajib bisa mensucikan dr najis mogholadoh
BalasHapusBACOT Anjing
HapusMandi wajib/junub bukan membersihkan najis mughallazah melainkan menghilangkan hadas besar. Bekas najis jilatan anjing harus disucikan sebanyak 7 kali, kali pertama dengan air dicampur tanah.
HapusWallahu a'lam bis shawwab