Hukum Islam Kontemporer
أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
ANARKIS DALAM PEMBERANTASAN KEMUNGKARAN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Dr. La Jamaa, MHI
Pemberantasan
kemungkaran merupakan salah satu ajaran penting dalam agama Islam.
Banyak ayat dan hadis yang memberikan perhatian khusus mengenai amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan ada hadis yang secara khusus mengatur tentang tata cara mengatasi kemungkaran yang terjadi dalam masyarakat: man ra'a minkum munkaran fal yugayyru bi yadihi, fa in lam yastathi'i fa bilisanih fa in lam yastathi' fa bi qalbih. Menurut hadis ini, bahwa langkah awal mengatasi atau merubah kemungkaran tersebut adalah dengan pendekatan kekuasaan (bi yadih).
Anjuran atau perintah hadis itu dipahami sebagian orang Islam bahwa
dalam merubah kemungkaran boleh dilakukan dengan cara-cara anarkis.
Namun pertanyaan yang muncul adalah apakah hadis tersebut menjustifikasi
tindakan anarkis dalam memberantas kemungkaran? Apakah Nabi saw dan
sahabatnya melakukan tindakan anarkis dalam merubah kemungkaran yang
terjadi di zamannya?
Masalah di atas perlu ditelaah dari perspektif hukum Islam, agar tidak menimbulkan salah persepsi.
Masalah di atas perlu ditelaah dari perspektif hukum Islam, agar tidak menimbulkan salah persepsi.
A. Pengertian Anarkis dan Munkar
Anarkis adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan
sebagai upaya untuk menekan pihak-pihak yang dianggap merugikan baik kepada
pelaku maupun kepada masyarakat umum. Perbuatan anarkis sering diwujudkan
dengan merusak tempat-tempat maksiat atau yang disinyalir menimbulkan keresahan
masyarakat karena melanggar larangan-larangan agama (khususnya Islam) seperti
menjual minuman keras, membuka warung, rumah makan, restoran pada siang hari di
bulan Ramadan, dan lokalisasi Pekerja seks komersial (PSK).
Terjadinya berbagai kemungkaran itu pada dasarnya erat
kaitannya dengan potensi fujur yang dimiliki manusia di samping potensi takwanya.
Potensi fujur mendorong manusia kepada perkataan dan perbuatan munkar.
Sedangkan potensi takwa mendorong manusia kepada perbuatan saleh dan maslahat.
Hal ini diisyaratkan dalam QS al-Syams: 8
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا
وَتَقْوَاهَا
'‘Kami telah mengilhamkan ke dalam
(jiwa manusia) potensi fujur dan takwa.’
Karena itu fenomena kemungkaran akan selalu muncul dalam
kehidupan manusia dengan kadar kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda. Hal
itu pada satu sisi merupakan kelemahan manusia sehingga pada sisi lain perlu
ditanggulangi agar kemungkaran tidak merajalela dalam kehidupan manusia pada
umumnya dan umat Islam khususnya. Dalam konteks ini Islam memerintahkan umatnya
untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Motivasi untuk
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut seringkali dilakukan dengan terlalu
bersemangat sehingga cenderung mengarah kepada tindakan anarkis. Pertanyaannya,
adalah apakah Islam mentolerir tindakan anarkis dalam pemberantasan
kemungkaran? Untuk itu perlu dijelaskan makna anarkis dan munkar itu sendiri.
Kata munkar berasal dari bahasa Arab, yang berarti
sesuatu yang tidak dikenal. Munkar merupakan lawan dari kata ma’ruf,
yang berarti sesuatu yang dikenal kebaikannya, munkar, adalah sesuatu
yang dikenal kejelekannya.[1]
Munkar tidak
hanya berupa perbuatan atau tindakan, akan tetapi juga berupa perkataan. Setiap
perkataan yang menjauhkan diri dari Allah adalah perkataan munkar. Di antara
perbuatan munkar adalah:
1)
Homoseksual atau lesbian
Salah satu masalah yang dihadapi nabi Luth as adalah
merajalelanya homoseks (lesbian) dalam masyarakatnya. Sehingga beliau berkata
kepada kaumnya seperti diabadikan dalam QS al-Ankabut: 29
أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ
ِِِ'Apakah kalian patut mendatangi
laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan itu.’
Homoseksual dan lesbian telah merajalela pula di zaman
ini terutama di kota-kota besar yang banyak diperankan oleh para waria bagi
peminat homoseksual dan sesama wanita bagi peminat lesbian. Bahkan praktek
homoseksual dan lesbian tersebut terkadang dilakukan secara terang-terangan
sehingga menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, karena kemungkaran homoseksual
dan lesbian harus diberantas.
2) Berzina
Zina adalah hubungan seksual antara laki-laki dengan
wanita di luar akad perkawinan yang dilakukan secara suka sama suka. Hal ini
identik dengan pemerkosaan yaitu hubungan seksual antara laki-laki dengan wanita
yang bukan suami istri yang dilakukan dengan paksaan dari pelaku kepada korban.
Pada umumnya pelaku pemerkosaan adalah laki-laki sedangkan korbannya adalah
wanita. Dalam kasus zina, laki-laki dan wanita merupakan pelaku kemungkaran
sedangkan dalam kasus pemerkosaan yang melakukan kemungkaran adalah laki-laki,
dan yang wanita menjadi korban kemungkaran itu sendiri.
Praktek zina telah menjadi fenomena dalam kehidupan
manusia sepanjang sejarah. Namun pada masa sekarang, zina seolah-olah telah
dianggap sebagai perbuatan biasa, lumrah dan hampir tidak dianggap tabu atau
dosa lagi. Sehingga zina telah menjadi gaya hidup, bahkan diorganisir dan
dilokalisir menjadi industri bisnis yang mendatangkan keuntungan yang sangat
besar baik di kota-kota besar maupun kota-kota kecil. Bahaya zinapun bukan saja
menjadi sumber penyebab keretakan rumah tangga hingga perceraian namun
berkembang menjadi penyebab penyakit HIV AIDS yang mematikan itu.
Sebenarnya zina sebagai suatu kemungkaran telah dirasakan
oleh manusia sejak masa dahulu seperti ketika Maryam menggendong bayi (putranya
Isa bin Maryam), padahal Maryam belum mempunyai suami karena memang belum
menikah, maka kaumnya menuduh Maryam telah berbuat kemungkaran (zina) seperti
yang disebutkan dalam QS Maryam: 27
يَا مَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئًا فَرِيًّا
’Hai Maryam sesungguhnya kamu telah
melakukan sesuatu yang amat mungkar (fariyya).’
3)
Membunuh
Sebelum nabi Musa as mengikuti Khidir, sudah diberi
syarat oleh Khidir agar Musa tidak mempertanyakan apa yang dilakukan Khidir
sebelum diberi penjelasan. Ketika Khidir membocorkan perahu, Musa tidak sabar
dan menanyakan alasan pembocoran itu kepada Khidir. Begitu pula ketika Khidir
membunuh seorang pemuda, Musa berkata ”mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih,
bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya engkau telah melakukan
perbuatan yang mungkar (nukra)’ (QS al-Kahfi: 74)
Ketiga
jenis perbuatan yang disebutkan di atas hanya
sebagian kecil jenis kemungkaran. Karena masih banyak jenis kemungkaran
lainnya, seperti:
- Zihar terhadap isteri (istri dibiarkan terlantar, tidak diberi nafkah lahir dan batin tetapi tidak diceraikan). Zihar tersebut mengakibatkan penderitaan lahir dan batin bagi istri, karena istri tidak memiliki kepastian tentang status dirinya. Pada satu sisi dia masih terikat pernikahan dengan suaminya namun pada sisi lain dia tidak mendapatkan hak-haknya sebagai istri sah (baik nafkah lahirian, maupun nafkah batin). Hal itu menyebabkan istri dalam kondisi dilematis. Penderitaannya tak diketahui secara pasti akan berakhir, apalagi dia juga tidak bisa menikah dengan laki-laki lain lantaran dia masih terikat pernikahan dengan suami yang telah menziharnya. Begitu juga sikap 'ila yang dilakukan suami kepada istrinya yang menyebabkan istri tersiksa, statusnya terkatung-katung. Hanya berstatus sebagai istri sah namun tidak mendapatkan hak-haknya. Hal yang sama suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, maupun penelantaran rumah tangga. Dalam kaitan ini suami telah melakukan kemungkaran.
- Mencuri, sebagai suatu tindakan mengambil barang orang lain secara diam-diam untuk dimiliki secara melawan hukum tanpa diketahui pemiliknya. Tindakan pencurian merupakan salah satu jenis kemungkaran yang telah diketahui oleh semua manusia pada semua tempat dan setiap zaman. Seiring dengan perkembangan zaman, term pencurian berkembang menjadi lebih luas berupa suap, gratifikasi baik bentuk uang, barang maupun seks, korupsi. Akibat kerugian yang disebabkan pencurian pada dasarnya lebih kecil dibandingkan dengan suap, gratifikasi dan korupsi. Dengan demikian suap, gratifikasi dan korupsi merupakan kemungkaran seperti halnya pencurian.
- Meminum minuman keras dan mengkonsumsi narkoba. Pada zaman dahulu kemungkaran yang terjadi hanya melalui minuman keras yang lebih dikenal bangsa Arab zaman jahiliah dengan khamar, yang dilarang karena memabukkan. Dalam konteks kekinian, melakukan jual beli wanita untuk kepentingan seks komersial. Hal yang sama adalah premanisme yang marak terjadi dalam masyarakat yang mengakibatkan korban cedera bahkan meninggal dunia.
B. Ciri
Kemungkaran
Kemungkaran ditandai dengan adanya sikap melampaui batas,
sebagaimana pernah dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani (al-Ankabut: 45).
Kemungkaran itu merugikan orang lain dan diri sendiri. Hati nurani manusia bisa
merasakan keberadaan sesuatu yang munkar. Pelaku kemungkaran tidak akan
merasakan ketenteraman dan ketenangan karena hal itu bertentangan denga nurani
dan fitrah manusia. Tegasnya, kemungkaran adalah perbuatan dosa.
Dengan
demikian ciri khas perbuatan mungkar adalah perbuatan yang bernuansa
melanggar etika dan hukum Islam atau menimbulkan kerugian baik kepada
orang lain maupun diri sendiri serta mengandung nilai dosa. Dalam kaitan
ini Nabi saw telah memberikan tanda (parameter) untuk mengetahui suatu
perbuatan dosa, yakni ”suatu perbuatan yang malu jika diketahui orang
lain.”
Sehingga bisa diketahui atau dideteksi oleh hati nurani yang bersih.
Karena itu akan menimbulkan rasa bersalah dalam hati setelah perbuatan
itu dilakukan. Namun tingkat kekuatan deteksi hati nurani akan menurun
atau lemah jika yang bersangkutan telah terbiasa melakukan kemungkaran
atau dosa.
C. Dakwah
Penanggulangan Kemungkaran
Pada prinsipnya kemungkaran harus diberantas. Minimal
diminimalisir dalam kehidupan manusia. Dalam kaitan upaya yang harus dilakukan
dapat dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap preventif dan kuratif.
Tindakan preventif terhadap bahaya kemungkaran dapat
dilakukan untuk kehidupan individu, maupun kelompok masyarakat. Sebagai upaya
preventif Allah memberi resep agar manusia terhindar dari kemungkaran dengan
melakukan shalat seperti firman Allah dalam QS al-Ankabut: 45
إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
”Sesungguhnya salat itu
mencegah perbuatan keji dan mungkar.’
Shalat
dapat menghindarkan manusia dari kemungkaran
karena salat merupakan media komunikasi antara seorang hamba (manusia)
dengan
Allah serta memberikan kesadaran tentang pengawasan Allah terhadap
segala tutur
kata dan tindakannya. Walaupun tutur kata atau perbuatannya tidak
didengar,
dilihat atau diketahui orang lain namun dia sadar bahwa Allah Maha
Mendengar
dan Maha Melihat. Jangkauan CC TV Allah maha luas, mampu menjangkau
segala sesuatu yang dilakukan manusia di mana dan kapan saja, sehingga
tidak ada peluang lepas dari pantauan kamera CC TV Allah Yang Maha
Mengetahui dan Maha Melihat itu.
Akan tetapi saat ini banyak orang yang melakukan gerakan
shalat tetapi sekaligus menjadi pelaku kemungkaran. Hal itu mengisyaratkan
bahwa mutu salatnya belum sesuai dengan standar yang diinginkan Allah swt.
Menurut hukum Islam untuk menghindari kemungkaran dan menanggulangi
kemungkaran yang sudah terjadi adalah melalui dakwah amar ma’ruf nahi munkar
yakni memerintahkan kepada yang makruf (perbuatan baik) dan melarang yang mungkar (perbuatan dosa). Tegasnya,
amar ma’ruf nahi munkar, adalah memerintahkan atau mengajak diri sendri
dan orang lain melakukan hal-hal yang dipandang baik oleh agama, dan
melarang/mencegah diri sendiri dan orang lain dari melakukan hal-hal yang
dipandang buruk oleh agama.[2]
Amar ma’ruf nahi munkar menurut ulama adalah merupakan kewajiban atau fardu
kifayah dan bahkan ada yang menganggapnya sebagai fardu ’ain bagi setiap
muslim. Hal itu didasarkan kepada QS Ali Imran: 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
’Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari yang mungkar,
mereka itulah orang-orang yang beruntung.’
Demikian juga diperkuat dalam hadis Nabi saw
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ[3]
’Abu
Sa’id berkata; saya mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Siapa di antara kalian
melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak
mampu (berbuat demikian), maka ubahlah dengan lisannya. Maka jika tidak mampu
(berbuat demikian juga), maka ubahlah dengan hatinya (mendoakan), yang demikian
adalah selemah-lemah iman.’ (HR Nasai)
Menurut Ibn Taimiyah makna hadis ini adalah mengubah
dengan tangan yaitu dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar melalui kekuasaan.
Atas dasar itu, amar ma’ruf nahi munkar dalam kasus seperti ini menjadi
wewenang wilayat al-hisbah yang dijalankan oleh petugasnya yang disebut
dengan muhtasib. Tugas amar ma’ruf nahi munkar bagi muhtasib ini
hukumnya fardu ’ain (kewajiban individu).
Melakukan amar ma’ruf nahi munkar melalui lisan dan hati
merupakan tugas setiap muslimin, sehingga hukumnya menjadi fardu kifayah
(kewajiban kolektif), yang jika sudah dilakukan sebagian kaum muslimin, maka
gugurlah kewajiban kaum muslimin yang lain. Al-Gazali juga berpendapat sama
bahwa amar ma’ruf nahi munkar bagi setiap muslim adalah fardu kifayah.
Al-Gazali menafsirkan kata ”min” dalam QS Ali Imran: 104 mengandung makna tab’id
(sebagian).[4]
Menurut al-Gazali, amar ma’ruf nahi munkar dalam kerangka
wilayat al-hisbah harus memenuhi 4 syarat, yakni (1) al-muhtasib (petugas
khusus yang ditunjuk untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar); (2) al-muhtasab
fih (perbuatan yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar); (3) al-muhtasab
’alaih (orang yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar); dan (4) nafs
al-muhtasib (pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar).
Syarat al-muhtasib ada 4: (1) mukallaf: orang
Islam yang telah dibebani tanggung jawab keagamaan, jika ia sudah berusia balig
dan berakal; (2) beriman; (3) adil, dan (4) mampu melakukan tugas amar ma’ruf nahi
munkar baik dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya, baik secara langsung
maupun melalui tulisan.
Perbuatan mungkar yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi
munkar (al-muhtasab fih), harus memenuhi 4 syarat:
1) Yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar hendaklah
perbuatan yang benar-benar mungkar, yakni dilarang oleh agama, siapa pun
pelakunya. Misalnya seorang anak kecil yang ditemukan sedang meminum khamar
atau seorang pria gila yang ditemui sedang berzina dengan wanita yang gila.
2) Perbuatan mungkar itu terjadi di hadapan al-muhtasib
atau perbuatan itu tidak terjadi di hadapannya tetapi diketahuinya melalui qarinah
(tanda-tanda penguat) yang menunjukkan adanya perbuatan mungkar tersebut,
atau ada pengaduan dari orang yang dirugikan dengan bukti-bukti yang nyata.
3) Perbuatan mungkar itu diketahui dengan jelas oleh al-muhtasib
bukan atas dasar isu atau desas desus, karena pengetahuan yang didasarkan
pada isu dan desas desus dilarang oleh Allah dalam QS al-Hujurat/49: 12
وَلا تَجَسَّسُوا
’...Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain
4) Perbuatan mungkar itu diketahui secara pasti, bukan
atas dasar ijtihad. Sebab sesuatu yang dipandang buruk berdasarkan ijtihad
seseorang, bukan akan dipandang baik oleh orang lain.
Orang yang menjadi sasaran amar ma’ruf nahi munkar (muhtasab
’alaih) mencakup semua manusia dengan segala bentuk kepercayaan dan
profesinya, baik mukallaf atau bukan, pria atau wanita mencakup semua lapisan
sosial.
Tindakan amar ma’ruf nahi munkar mencakup beberapa
tingkatan, yakni:
1) al-Ta’ruf, yaitu upaya untuk mengenal
kemungkaran secara jelas dan obyektif, bukan melalui isu dan desas desus.
2) al-Ta’rif, yaitu memperkenalkan hal yang ma’ruf
kepada orang yang melakukan perbuatan mungkar karena mungkin ia berbuat
demikian karena dia tidak tahu terhadap yang ma’ruf.
3) Mencegah perbuatan yang mungkar dengan pengajaran yang
baik dan nasehat-nasehat yang bijaksana serta mengemukakan takhwif bi Allah,
yaitu bagaimana siksaan Allah atas orang yang melakukan kemungkaran.
4) Al-Sabb wa ta’nif (mencerca dan bertindak
tegas) atas pelaku perbuatan mungkar dengan kata-kata yang keras dan kasar. Hal
ini ditempuh jika telah dilakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara halus dan
lembut. Cara terakhir ini pernah dilakukan oleh nabi Ibrahim dengan ucapannya:
”ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah.’[5]
Berdasarkan uraian di atas tampaknya tidak layak
melakukan tindakan anarkis dalam memberantas kemungkaran. Karena akan
menimbulkan ironi kemungkaran diatasi dengan kemungkaran pula. Hal itu tentu
berbeda dengan tindakan tegas dari aparat penegak hukum (mirip al-muhtasib)
terhadap pelaku kemungkaran.
Bahkan menurut al-Qur’an dakwah dalam rangka amar ma’ruf
nahi munkar harus dilakukan dengan tiga metode yaitu (1) mengemukakan hikmah (perkataan
yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil), (2)
pengajaran yang baik, dan (3) diskusi atau berdebat, sesuai QS al-Nahl/6: 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
’Serulah manusia kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik.’
Statemen al-Qur’an
ini tidak mengisyaratkan penggunaan tindakan anarkis dalam memberantas
kemungkaran. Penggunaan tindakan anarkis dalam pemberantasan kemungkaran
bukanlah suatu langkah yang Islami (amar ma’ruf nahi munkar). Justru
tindakan itu merupakan amar munkar, dan bukan nahi munkar. Karena
itu pemberantasan kemungkaran tetap harus dilakukan dengan cara-cara yang
sesuai dengan etika dan hukum Islam atau tidak melanggar etika dan hukum Islam.
Namun demikian tindakan tegas dalam memberantas kemungkaran tidak identik/tidak bisa disamakan dengan tindakan anarkis. Sebab dalam realitas kehidupan umat Islam dewasa ini, seringkali muncul perilaku kemungkaran yang dilakukan secara terang-terangan. Bahkan dipertontonkan kepada khalayak ramai, seolah-olah sebagai perilaku yang lumrah. Sebab standar lumrahnya suatu perbuatan bukan semata-mata berdasarkan adat istiadat, namun ditentukan oleh aturan syariat bagi muslim. Sikap tegas sekali lagi bukanlah anarkis, sebab aturan hukum pada hakekatnya bersifat MEMAKSA. Hal itu menunjukkan bahwa setiap muslim wajib tunduk dan patuh kepada perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya.
Namun demikian tindakan tegas dalam memberantas kemungkaran tidak identik/tidak bisa disamakan dengan tindakan anarkis. Sebab dalam realitas kehidupan umat Islam dewasa ini, seringkali muncul perilaku kemungkaran yang dilakukan secara terang-terangan. Bahkan dipertontonkan kepada khalayak ramai, seolah-olah sebagai perilaku yang lumrah. Sebab standar lumrahnya suatu perbuatan bukan semata-mata berdasarkan adat istiadat, namun ditentukan oleh aturan syariat bagi muslim. Sikap tegas sekali lagi bukanlah anarkis, sebab aturan hukum pada hakekatnya bersifat MEMAKSA. Hal itu menunjukkan bahwa setiap muslim wajib tunduk dan patuh kepada perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya.
[1]Ahmad Hariady, “Munkar,” Tafsir Kunci Al-Qur’an,
http://katakuncialquran.wordpress.com/ 2007/07/12/munkar (30-9-2012)
[2]Lihat Abdul Azis Dahlan, et al. (ed.), Ensiklopedi Hukum
Islam, Jilid 1 (Cet. I; Jakarta:
PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h.104.
[3] CD Digital Hadis Sunan al-Nasai, kitab al-iman wa
Syara’ih nomor hadis 3922
[4] Lihat Abdul Azis Dahlan, et al, op.cit., h. 104-105.
[5] Lihat ibid., h.106.
Catatan Tambahan:
Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul: PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: In Indonesia Criminal Law and Islamic Law yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman. Buku tersebut dapat dibeli toko buku online mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman seharga 74,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini: http://www.morebooks.de/store/ bookprice_offer/show?token= 58128ac02eb5828663bd59fe736ca2 a9941d106a&auth_token= d3d3LmxhcC1wdWJsaXNoaW5nLmNvbT oyZWQxNTcyMDM5M2YwMDMzYzhkYjE2 MjFiYmJjYjQ3Zg==&locale=gb
Catatan Tambahan:
Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul: PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: In Indonesia Criminal Law and Islamic Law yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman. Buku tersebut dapat dibeli toko buku online mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman seharga 74,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini: http://www.morebooks.de/store/
Assalamu'alaikum wr wb, dari tulisan bapak di atas,Alhamdulillah saya dapat memahami bagaimana caranya menagatasi kemungkaran dalam pandangan islam, dan saya sarankan kepda sesama umat islam jangan hanya dengan memahami hadits dan ayat Al-qur'an dalam hal kontekstual saja, akan tetapi haruslah memahaminya dari penafsiran para mufassir. dengan demikian kita dapat memahami hukum islam ini secara kaffah. dan mengajak orang kepda kebaikan dengan bil hikmah,
BalasHapusAssalamu'alaikum.wr.wb . . .
BalasHapusMuhammad Zaid Ulath [ JS A ]
Pendapat saya adalah bahwa pilihan bernahi mungkar (tangan, lisan. hati) sangat berkaitan erat dengan kondisi sosial hal inilah yang diamalkan oleh para ulama kita, berbeda dengan pemahaman orang – orang yang mengangap bahwa pilihan bernahi mungkar berkaitan dengan kondisi orang yang bernahi mungkar. Mereka menganggap bahwa siapa yang bisa memberantas kemungkaran dengan tangannya maka dialah orang yang paling kuat imannya, siapa orang yang bisa memberantas kemungkaran hanya dengan lisan maka orang itu memiliki iman yang menengah, dan orang yang hanya bisa dengan hati maka itulah orang yang mempunyai iman orang yang paling lemah, dan semua itu tanpa melihat dari efek apa yang mereka lakukan. Kentaralah sekarang, bahwa pemahaman ini sangat keliru dan tidak diamalkan oleh para ulama kita.
Solusinya sekarang jika kita melihat ada orang yang keliru memahami cara bernahi mungkar, maka mari kita tunjuki orang itu , kita jelaska bagaimana jalan yang benar dalam bernahi mungkar sehingga warna islam kembali bercahaya di bumi ini.
Wallahu a’lam bi shawab . . .
Trimkasih.