Integrasi Islam dan Matematika
Dr. La Jamaa, MHI
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang diturunkan kepada umat manusia dalam segala ruang, waktu dan kondisi. Karena itu ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang universal sehingga bisa cocok untuk semua manusia yang mau menerima kebenaran. Dalam kaitan ini Rasulullah saw telah mengajarkan bahwa ad-dinu huwa al-‘aqlu la dina la ‘aqla lahu (agama Islam sejalan dengan akal sehat, maka dianggap tak beragama bagi orang yang tak berakal).
Makna hadis di atas bisa dikaitkan dengan kondisi manusia yang secara usia telah masuk kategori dewasa karena telah berusia 17 tahun ke atas misalnya namun jiwanya tidak sehat (gila) maka yang bersangkutan dianggap tidak cakap hukum sehingga tidak dibebani kewajiban agama. Namun demikian makna hadis itu bisa dikaitkan dengan manusia yang tidak menggunakan akal sehatnya untuk menerima kebenaran. Dengan demikian ajaran Islam sangat menghargai pemanfaatan akal atau rasio yang mengantarkannya kepada kebenaran yang hakiki dan sumber kebenaran itu sendiri yaitu Allah. Bahkan dalam banyak ayat al-Qur’an diisyaratkan dalam bentuk pertanyaan: afala ta’qilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir)?
Berdasarkan asumsi di atas, matematika sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan bisa digunakan sebagai pendekatan dalam menjelaskan beberapa doktrin dalam ajaran Islam. Penggunaan pendekatan matematika di sini bukan berarti bahwa lemahnya doktrin ajaran Islam tersebut melainkan hanya untuk menambah keyakinan umat Islam bahwa semua ilmu pengetahuan itu bernilai kebaikan dan bisa mengantarkan kepada kebaikan yang hakiki serta meningkatkan keimanan dan kedekatan kepada Allah. Bukankah dalam al-Qur’an sendiri, banyak ditemukan ayat yang menggunakan angka-angka dalam menyampaikan informasi kebenaran kepada manusia?
Karena itu tulisan ini akan mengulas sekilas hubungan matematika dengan Islam, atau analisis beberapa doktrin ajaran Islam dengan pendekatan matematika.
B. Syarat dan Nilai Amal Ibadah
Ibadah berasal dari akar kata عبد يعبد عبا د ةyang berari “doa, mengabdi, tunduk atau patuh kepada Allah.” Secara istilah, ibadah adalah “segala aktivitas yang dilakukan dengan tujuan/motivasi (niat) untuk memperoleh redha Allah (pahala).” Atau “segala kepatuhan yang dilakukan untuk mencapai rida Allah atau dengan mengharapkan pahala-Nya di akherat.”
Dengan demikian ibadah tidak hanya terbatas kepada aktivitas yang telah ditentukan oleh syariat sebagai kewajiban atau anjuran (sunnat) akan tetapi ibadah memiliki cakupan yang sangat luas. Kebanyakan umat Islam membatasi ibadah hanya pada ibadah salat, puasa, zakat, haji serta beberapa ibadah lainnya. Sedangkan aktivitas seperti menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah bukan dikategorikan sebagai ibadah, melainkan hanya aktivitas keduniaan semata. Padahal menurut Islam semua aktivitas manusia bisa diarahkan kepada ibadah dan memang seharusnya semua tindakan manusia harus bernilai kebaikan.
Ibadah dapat dibagi berdasarkan:
1. Tata cara pelaksanaannya, ibadah terbagi dua macam:
a. Ibadah Mahdah (ibadah khusus), yaitu ibadah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur secara jelas dan rinci (khusus) oleh syara, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dsb.
Ibadah mahdah disebut juga ibadah ritual karena harus dilakukan sesuai dengan ritual (tata upacara) yang telah ditentukan dan orientasi utamanya untuk menjalin hubungan dengan Allah. Dalam ibadah ini tidak boleh diubah tata caranya berbeda dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam bidang ibadah mahdah dikenal bid’ah, yakni amalan ibadah mahdah yang ditambah atau dikurangi dari apa yang dicontohkan oleh Nabi saw atau sahabatnya, apalagi amal ibadah yang diada-adakan.
b. Ibadah ghairu mahdah (ibadah umum/universal), yaitu ibadah yang tata cara pe-laksanaannya tidak diatur secara jelas dan rinci oleh syara, seperti menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, menutup aurat, dsb.
Disebut ibadah umum/universal karena eksistensinya sebagai ibadah bersifat universal (umum) tetapi tata cara pelaksanaannya diserahkan kepada adat istiadat (hasil kreasi, inovasi) manusia.
Dalam ibadah ini syariat hanya menegaskan bahwa menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, menutup aurat wajib hukumnya (ibadah) namun tata caranya tidak ditentukan oleh syariat tetapi diserahkan kepada kreativitas dan inovasi manusia. Yang terpenting ilmu yang dituntut itu bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan, bukan ilmu sihir atau ilmu yang membahayakan manusia.
Misalnya:
Menutup aurat (kewajiban memakai jilbab) termasuk ibadah ghairu mahdah karena yang dijelaskan al-Qur’an dan hadis hanya ketentuan wajib menutup aurat tetapi ketentuan mengenai mode, kualitas kain dan sebagainya diserahkan kepada hasil kreasi manusia. Dalam hal ini yang terpenting jilbab tersebut memenuhi syarat pakaian yang menutup aurat yakni tidak ketat, tidak transparan serta tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya (tidak merangsang).
Dalam bekerja mencari harta syariat hanya mengatur agar harta diperoleh dengan cara-cara yang benar serta dimanfaatkan untuk kebaikan. Namun tidak diberikan rincian mengenai jenis usaha yang akan digeluti dan teknik pelaksanaannya. Hal itu mengandung hikmah agar umat manusia termasuk umat Islam memiliki kebebasan dalam mencari jenis usaha dan bagaimana mewujudkannya. Yang terpenting dan harus diperhatikan adalah usaha yang digeluti itu bukan jenis usaha yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur'an dan hadis, seperti riba, melakukan jual beli barang haram, atau mengandung penipuan dan sejenisnya.
Menuntut ilmu juga adalah ibadah umum karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an dan hadis namun tata caranya tidak ditentukan secara khusus oleh syara. Hal itu mengandung makna bahwa semua ilmu adalah berasal dari Allah dan karena itu mengandung kebaikan untuk manusia dan kemanusiaan serta alam semesta. Ilmu yang dilarang dipelajari hanya ilmu sihir atau black magic, yang memang tidak bermanfaat dan bahkan dapat mendatangkan bahaya bagi manusia, baik di dunia maupun di akherat.
2. Berdasarkan manfaatnya, ibadah terbagi dua macam:
a. Ibadah Syakhsiyah (ibadah individual), yaitu ibadah yang berupa hubungan individu dengan Tuhannya serta manfaat (pahala)nya hanya diperoleh/dinikmati individu yang bersangkutan, seperti shalat, puasa, dsb. Jadi, manfaatnya hanya bersifat pribadi. Ibadah syakhsiyah hanya memberikan pahala dan manfaat bagi pelakunya.
b. Ibadah ijtima’iyah (ibadah sosial), yaitu ibadah yang berupa hubungan antar sesama manusia serta dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain, seperti zakat, sedekah, infaq, berkurban, menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, dsb.
Disebut ibadah sosial karena dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut selain menjalin komunikasi dan hubungan dengan Allah juga dapat terjalin hubungan harmonis dengan sesama manusia (penerima zakat, sedekah, infaq, hewan kurban, murid yang menerima ilmu, orang lain dapat memenuhi nafkahnya) dsb.
Memberi zakat, sedekah, infaq disebut ibadah sosial sebab diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dan manfaatnya dapat dirasakan oleh orang yang menerima zakat, sedekah dan infaq tersebut. Demikian juga menuntut ilmu adalah ibadah sosial dan manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak orang jika ilmunya diajarkan kepada orang lain. Karena itulah meski orang berilmu telah tiada namun pahalanya akan terus mengalir berbanding lurus dengan jumlah orang yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
Meskipun demikian perlu diketahui kriteria suatu amalan bisa dikategorikan sebagai ibadah (bernilai kebaikan dan berpahala) atau justru menjadi dosa. Banyak orang mengira suatu perbuatan bisa bernilai ibadah (kebaikan dan berpahala) jika diniatkan untuk kebaikan, tanpa memperhatikan cara atau prosesnya. Sehingga dalam realitas menimbulkan berbagai penyimpangan tanpa merasa bersalah bahkan merasa telah melakukan kebaikan (ibadah) dengan bangga. Seolah-olah segala bentuk perbuatan manusia akan langsung dinilai ibadah hanya berdasarkan pada niat baiknya. Hal itu merupakan kesalahpahaman terhadap hadis niat, bahwa innamal a'malu bin niyyat.
Padahal suatu perbuatan baru bisa dikategorikan sebagai ibadah jika memenuhi minimal dua syarat secara kumulatif, yakni cara harus benar dan niatnya juga harus benar menurut syara. Hal itu bisa digunakan pendekatan perkalian dalam matematika, yang bisa diilustrasikan dengan rumus berikut ini.
Ibadah: caranya benar (+) x niatnya benar (+) = + (pahala/diredai Allah).
Misalnya: shalat dilakukan sesuai syarat dan rukunnya serta niatnya karena Allah.
Tata cara dan niat yang benar disimbolkan dengan tanda positif (+). Menurut logika matematika perkalian positif (+) dengan positif (+) selamanya akan menghasilkan positif (+) pula. Tidak pernah terjadi (mustahil) perkalian positif (+) dengan positif (+) akan menghasilkan negatif (-).
Amalan tersebut harus dilakukan secara benar sesuai syariat dan diniatkan karena Allah. Dalam shalat, harus dilakukan dengan tata cara yang benar seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, baik syarat maupun rukun serta menghindari hal-hal yang membatalkannya. Proses pelaksanaan shalat yang benar itu baru akan dinilai sebagai ibadah di sisi Allah jika shalat yang didirikan itu diniatkan karena Allah.
Sebaliknya, menurut ajaran Islam suatu amalan tak akan dinilai ibadah di sisi Allah jika niatnya salah (-), bukan karena Allah meskipun tata cara pelaksanaan amalan tersebut telah benar (+), sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Hal itu bisa dibuktikan dengan amalan yang diniatkan karena pamer (riya) yang dalam Islam justru dikategorikan sebagai salah satu perbuatan dosa (-). Jadi, jika salah satu atau kedua syarat amalan tersebut bernilai negatif (-) maka amalan itu akan bernilai dosa (-). Ilustrasinya seperti di bawah ini.
* Bukan ibadah: caranya benar (+) x niatnya salah (-) = - (dosa/dimurkai Allah).
Misalnya: shalat, zakat, sedekah dilakukan sesuai syarat dan rukunnya tetapi niatnya karena riya. Begitu juga menikah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya tetapi niatnya untuk menyakiti istri/suami.
* Bukan ibadah: caranya salah (-) x niatnya benar (+) = - (dosa/dimurkai Allah).
Misalnya: mencuri dengan niat untuk menolong orang miskin dengan uang curian itu.
Memberi jawaban ujian kepada teman dengan niat menolong sesama teman.
Tata cara atau niat yang salah disimbolkan dengan tanda negatif (-). Menurut logika matematika perkalian negatif (-) dengan positif (+) atau sebaliknya selamanya akan menghasilkan nilai negatif (-) pula. Tidak pernah terjadi (mustahil) perkalian negatif (-) dengan positif (+) akan menghasilkan positif (-).
Berdasarkan rumus di atas shalat, nikah, yang dilakukan bisa saja tata caranya benar sesuai syariat namun karena niatnya tidak benar (karena ingin dipuji, riya) maka nilai shalat dan nikah tersebut bukan ibadah melainkan dosa (-). Demikian pula pemberian bantuan kepada fakir miskin atau orang-orang yang membutuhkannya, bisa jadi dari harta yang halal namun jika bantuan itu diberikan dengan niat agar dianggap dermawan apalagi agar dipilih dalam Pemilu/Pemilukada, maka bantuan itu tidak akan bernilai ibadah (+) melainkan dosa (-). Sehingga sedekah/zakat yang disebut-sebut untuk riya tak akan bernilai pahala, seperti diungkapkan dalam QS al-Baqarah: 264
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.’
Rumus itu berlaku juga dalam amalan yang dilakukan dengan niat yang baik, karena mencari reda Allah (+) namun dilakukan dengan cara yang salah, bertentangan dengan syariat (-), maka tak akan menjadi ibadah (+) melainkan dosa (-). Misalnya, memberikan bantuan untuk panti asuhan, pembangunan masjid, madrasah dan fasilitas sosial lainnya dari uang korupsi. Maka meskipun diniatkan karena Allah namun karena uang sumbangan diperoleh dari cara yang salah maka nilai amalannya bernilai dosa (-). Dalam kaitan ini dosa korupsi tidak bisa dicuci dengan sedekah sebab yang disedekah/disumbangkan bukan haknya melainkan hak rakyat. Hal itu dapat diibaratkan dengan mandi, tujuan utamanya adalah untuk membersihkan badan dari kotoran/keringat. Namun tujuan dari mandi tadi tak akan terwujud jika dia mandi menggunakan air kotor.
Di samping itu dalam perbuatan zina yang terkadang mengakibatkan kehamilan digunakan rumus:
* Bukan ibadah: caranya salah (-) x niatnya salah (-) = + (dosa/dimurkai Allah).
Karena berzina merupakan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan perkawinan (cara yang salah) dan niatnya juga tentu bukan untuk hamil, namun biasanya mudah hamil (+). Dalam tes kehamilan secara medis, peristiwa kehamilan lebih dikenal dengan istilah positif, tidak hamil dikenal dengan negatif.
Karena itu dalam melakukan kebaikan hendaklah senantiasa memperhatikan dua aspek yakni tata caranya harus benar dan diniatkan untuk Allah. Tidak bisa hanya memperhatikan aspek tata cara dengan mengabaikan aspek niat. Begitu pula sebaliknya.
Simbol-simbol matematika di atas dapat juga dibaca dengan makna bahwa + x + = + jika sesuatu yang benar dianggap benar maka hal itu benar. Akan tetapi + x - = - jika sesuatu yang benar dianggap salah maka hal itu salah. Begitu juga - x + = - jika sesuatu yang salah dianggap benar, maka hal itu salah. Namun - x - = + jika sesuatu yang salah dianggap salah maka hal itu adalah benar.
Simbol-simbol matematika di atas dapat juga dibaca dengan makna bahwa + x + = + jika sesuatu yang benar dianggap benar maka hal itu benar. Akan tetapi + x - = - jika sesuatu yang benar dianggap salah maka hal itu salah. Begitu juga - x + = - jika sesuatu yang salah dianggap benar, maka hal itu salah. Namun - x - = + jika sesuatu yang salah dianggap salah maka hal itu adalah benar.
C. Nilai Balasan atas Zakat, Infak dan Sedekah
Salah satu ajaran terpenting dalam Islam adalah mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah. Bahkan kepedulian untuk berbagi harta kepada sesama manusia itu menjadi salah satu indikator orang bertakwa (muttaqin) seperti yang diisyaratkan dalam QS al-Baqarah: 2-3
ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين الذين يوءمنون بالغيب و يقيمون الصلوة و مما رزقناهم ينفقون
‘Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.’
Anjuran berbagi baik melalui infak, sedekah maupun zakat bukan sekedar kewajiban melainkan mengandung nilai investasi baik di akherat maupun di dunia. Nilai investasi akherat tentu berupa pahala yang mengantarkan ke surga yang memberikan kebahagiaan tak ternilai. Di samping itu juga Allah yang Mahakaya akan berkenan memberikan “panjar” dalam kehidupan dunia dari sebagian balasan kebaikan dalam “berbagi” itu. Hal ini dapat ditelaah dari QS al-Baqarah: 261
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
‘Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah sama dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai tumbuh 100 biji. Allah melipat gandakan (balasan) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.’
Menafkahkan sebagian harta di jalan Allah biasanya akan terasa berat dibandingkan dengan menafkahkan sebagian harta di jalan setan. Karena itu Allah menyediakan ganjaran pahala yang besar sebesar 700 kali lipat bahkan hingga jumlah yang tak terhingga. Jika kandungan ayat ini dicermati, maka dapat diketahui bahwa nilai pahala atau balasan yang akan diterima si pemberi berbanding lurus dengan nilai keikhlasannya saat berbagi atau memberi kepada orang lain. Dengan kata lain berbanding terbalik dengan besar harapan memperoleh imbalan/balasan dari pemberiannya itu
Kandungan ayat ini dapat dijelaskan dengan pendekatan matematika melalui pembagian. Dalam sistem pembagian terdapat tiga komponen, yakni:
· Penyebut melambangkan pemberian (dengan simbol P)
· Pembagi melambangkan harapan si pemberi (dengan simbol h)
· Hasil melambangkan jumlah balasan yang bisa diterima dari si pemberi (H).
Rumusnya adalah Pemberian = Hasil
harapan
Misalnya: Seseorang memberikan sedekah atau infak sebesar Rp. 1 juta kepada orang miskin dengan harapan yang berbeda-beda. Orang tersebut akan memperoleh balasan yang berbeda-beda pula yang dapat diilustrasikan sesuai dengan rumus di atas:
1 jt/500.000 = 2
1jt/400.000 = 2,5
1jt/300.000 = 3,3
1jt/200.000 = 5
1jt/100.000 = 10
1jt/50.000 = 20
1jt/25.000 = 40
1jt/20.000 = 50
1jt/10.000 = 100
1jt/5.000 = 200
1jt/2.500 = 400
1jt/1.000 = 1.000
1jt/50.000 = 20
1jt/25.000 = 40
1jt/20.000 = 50
1jt/10.000 = 100
1jt/5.000 = 200
1jt/2.500 = 400
1jt/1.000 = 1.000
1jt/0 = ∞
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa semakin besar harapan si pemberi akan mendapat balasan dari selain Allah maka akan semakin kecil nilai balasan yang akan diperoleh secara riil. Sebaliknya, semakin kecil harapan si pemberi akan mendapat balasan dari selain Allah, maka akan semakin besar nilai balasan yang akan diperoleh secara riil. Besar kecilnya harapan kepada selain Allah itu dalam ajaran Islam disebut IKHLAS. Jelasnya, semakin ikhlas dalam memberi maka akan semakin kecil pengharapannya kepada selain Allah. Bahkan dalam tataran tertentu jika yang bersangkutan mengosongkan harapannya kepada selain Allah, maka Allah akan berkenan memberikan balasan yang tak terhingga jumlahnya secara riil. Itulah IKHLAS yang sebenarnya.
Karena itu pula ikhlas tidak didasarkan kepada ucapan si pemberi, misalnya: "saya beri dengan ikhlas" sebab yang tahu pemberian itu ikhlas atau tidak, hanyalah Allah dan si pemberi. Yang menjadi tolok ukur keikhlasan dalam berbagi kepada sesama adalah niat, dan niat itu ada dalam hati sehingga tiidak bisa direkayasa dengan ucapan seolah-olah ikhlas.
Karena itu pula ikhlas tidak didasarkan kepada ucapan si pemberi, misalnya: "saya beri dengan ikhlas" sebab yang tahu pemberian itu ikhlas atau tidak, hanyalah Allah dan si pemberi. Yang menjadi tolok ukur keikhlasan dalam berbagi kepada sesama adalah niat, dan niat itu ada dalam hati sehingga tiidak bisa direkayasa dengan ucapan seolah-olah ikhlas.
Bukankah dalam realitas banyak orang yang memberi karena mengharapkan sesuatu kepada manusia, baik berupa pujian, imbalan materi, kedudukan, status sosial dan sebagainya. Namun terkadang merasa kecewa lantaran harapannya tak terwujud. Membagi-bagi uang atau sembako kepada calon pemilih, memberi sumbangan kepada panitia pembangunan masjid, majelis ta’lim dengan harapan agar mereka berkenan memilihnya dan jika menang dalam pemilihan maka akan memperoleh gaji plus tunjangan besar sehingga bisa memperoleh uang atau harta yang banyak. Namun ternyata harapannya melesat sehingga mengalami kerugian.
Sebaliknya, pemberian secara ikhlas meski nilai nomimalnya kecil namun bisa mendatangkan keberkahan hidup. Yang terpenting sebenarnya bukan besarnya nilai materi yang dimiliki namun nilai keberkahannya. Bisa jadi, harta yang dimiliki besar jumlahnya namun belum tentu memberikan kebahagiaan lantaran tidak berkah. Hartanya melimpah namun hidupnya tidak bahagia karena anaknya ketagihan miras atau narkoba.
Itu bukan berarti umat Islam dilarang kaya namun alangkah berbahagianya jika kekayaannya dapat memberikan kebahagiaan kepada orang lain melalui infak, sedekah dan zakat yang diberikannya kepada orang yang membutuhkannya. Kebahagiaan orang yang dibantunya secara psikologis akan memantul juga ke dalam hati si pemberi. Rasa bahagia seperti itu sebenarnya sangat besar nilai bahkan tak ternilai dengan materi. Namun terkadang manusia mencari kebahagiaan semu dan meninggalkan kebahagiaan yang hakiki.
Memang banyak orang bahagia bukan karena pada manfaat dari apa yang dimilikinya namun pada berapa jumlah yang dimilikinya. Sehingga bisa jadi hidupnya tampak seperti orang miskin, padahal uangnya banyak. Dia tidak memanfaatkan uangnya untuk kemaslahatan dirinya karena baginya, bahagia saat melihat tumpukan uangnya, atau jumlah deposita.
Sedangkan orang dermawan bahagianya lantaran bisa membahagiakan orang lain yang sedang kesusahan, karena itu dia tak akan mengharapkan balasan apa-apa (pengharapannya nol) dari orang yang dibantunya, namun yang menjadi pengharapannya adalah reda Allah. Jika keredlaan Allah bisa diraih maka hal itu bisa memberikan manfaat besar dunia dan akherat. Wallahu a'lam bis shawab.
Itu bukan berarti umat Islam dilarang kaya namun alangkah berbahagianya jika kekayaannya dapat memberikan kebahagiaan kepada orang lain melalui infak, sedekah dan zakat yang diberikannya kepada orang yang membutuhkannya. Kebahagiaan orang yang dibantunya secara psikologis akan memantul juga ke dalam hati si pemberi. Rasa bahagia seperti itu sebenarnya sangat besar nilai bahkan tak ternilai dengan materi. Namun terkadang manusia mencari kebahagiaan semu dan meninggalkan kebahagiaan yang hakiki.
Memang banyak orang bahagia bukan karena pada manfaat dari apa yang dimilikinya namun pada berapa jumlah yang dimilikinya. Sehingga bisa jadi hidupnya tampak seperti orang miskin, padahal uangnya banyak. Dia tidak memanfaatkan uangnya untuk kemaslahatan dirinya karena baginya, bahagia saat melihat tumpukan uangnya, atau jumlah deposita.
Sedangkan orang dermawan bahagianya lantaran bisa membahagiakan orang lain yang sedang kesusahan, karena itu dia tak akan mengharapkan balasan apa-apa (pengharapannya nol) dari orang yang dibantunya, namun yang menjadi pengharapannya adalah reda Allah. Jika keredlaan Allah bisa diraih maka hal itu bisa memberikan manfaat besar dunia dan akherat. Wallahu a'lam bis shawab.
Artikel ini dipindahkan ke postingan baru mengingat postingan artikel yang sama tidak bisa lagi memuat komentar.
BalasHapusTerima kasih atas atensinya.
La Jamaa
Nama: RATNA LAODE MANI
BalasHapusII/Pendidikan Matematika-A
Bagaimana jika 1+2=3 bukankah itu adalah kesepakatan yang kita pelajari pada sejarah matematika. Lalu bagaimana keterkaitannya dengan Islam. Bagaimana pendapat bapak ketika ad seorang istri yang berkerja dan juga seorang suami bekerja pula. Segala urusan rumah dilakukan oleh asisten rumahtangganya. Apakah boleh atau tidak hukum istri bekerja,
terima kasih pak
Jawaban:
1+2=3 menunjukkan sesuatu yang baik bergabung dengan kebaikan pasti akan menghasilkan kebaikan. Sesuatu yang positif ditambahkan dengan sesuatu yang positif pasti menghasilkan nilai yang positif. Kebaikan yang dilakukan secara kolektif lebih besar daripada kebaikan yang dilakukan sendiri-sendiri. Salat sendiri pahalanya hanya 1 sedangkan shalat berjamaah pahalanya 27 menurut hadis Nabi saw.
Suami istri yang bekerja dan menyerahkan anaknya kepada asisten rumah tangga tidak menjadi masalah yang terpenting asisten rumah tangga tsb memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mendidik anak secara Islami. Namun jika tidak, akan menimbulkan masalah terhadap perkembangan jiwa dan akhlak anak.
Islam tidak melarang istri bekerja, apalagi istri yang bekerja untuk membantu meringankan kebutuhan rumah tangga. Memang istri berhak mendapatkan nafkah dari suami, namun jika istri bekerja membantu kebutuhan rumah tangga, itu merupakan sedekah darinya.
Wallahu a'lam bis shawwab
Nama: Eni Sartika
BalasHapusII/Pendidikan Matematika-A
Saya setuju dengan pendapat Bapak dari isi pendahuluan Integrasi Islam dan matematika berdasarkan asumsi di atas"Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan yang bisa digunakan sebagai pendekatan dalam menjelaskan beberapa doktrin dalam ajaran Islam. Dan juga dalam pembahasan di sini kita dapat mengaitkan ilmu agama dengan ilmu matematika secara logika yang dapat diterima dan kita bisa menerapkannya dengan ikhas dalam kehidupan sehari-hari sebagai amalan ibadah terhadap ALLAH
Tanggapan:
Sebenarnya bukan matematika saja yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam memahami ajaran Islam. Namun ilmu-ilmu lain pun memiliki keterkaitan dengan ajaran Islam. Sebab pada hakekatnya semua ilmu pengetahuan berasal dari Allah.
Biologi misalnya bisa diintegrasikan dengan Islam. Dalam al-Qur'an diisyaratkan bahwa anak dihubungkan nasabnya dengan ayahnya. Hal itu dapat dijelaskan dengan pendekatan embriologi/genetika, bahwa kromosom ayahnya yang menentukan jenis kelamin anaknya. Sebab kromosom ayah bersifat heterogen, XY sedangkan kromosom ibu bersifat homogen, XX
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : Nur Hayati
BalasHapus2/Pendidikan Matematika/A
Saya sangat setuju pernyataan bapak .di atas menjelaskan bahwa matematika dengan islam sangat berhubungan dengan kehidupan manusia .salah satu nya apa bila kita mengaitkan dengan kehidupan manusia dengan lambng perkalian matematika seperti -×+=-
Seperti . Mencuri dengan niat untuk menolong orang miskin dengan uang curian itu . Di sini kita lihat mencuri adalah hal negatif(-) dan niat untuk menolong adalah hal positif(+) akan mendapatkan pahala.bernilai positif(+) .
..
Saya menambahkan sedikit contoh yg berkaitan perkalian lambng bilangan.
1. Jin yang sedang berkeliaran.(-)Memasuki tubuh manusia(+) dan hasilnya adalah manusia itu tdk sadarkan diri atau biasa di sebut dengan kesurupan(-)
2. Kita tahu bahwa angka 2 itu di lahirkan dari angka satu (1+1=2) bgitu pun angka seterusnya.. tapi apakah kita tahu angka 1 itu di di ciptakan dari angka berapa.. angka satu itu menciptakan 2 dan angka selanjutnya. Karna angka satu itu di lambangkan dengan keesaan Allah SWT . Yaitu dia tidak di di ciptakan oleh siapa pun seperti yang di jelaskan surah Al-Ikhlas .melainkan dia hanya menciptakan . 😊😊😊😊
Mencuri merupakan cara memperoleh harta yang dilarang dalam Islam dan hukum negara di dunia. Karena itu meskipun diniatkan untuk membantu orang miskin namun hasilnya adalah dosa. Mencuri (negatif) dikalikan dengan niat baik (positif) hasilnya adalah dosa (negatif).
Hapus1. Jin yang anda contohkan merupakan jin kafir yang membawa energi negatif sehingga bisa menyebabkan manusia kesurupan.
2. Setuju sekali. Hal itu juga didukung oleh hasil perkalian angka 1 yang selalu diawali oleh angka 1 dan berakhir pd angka 1 juga.
Wallahu a'lam bis shawwab
Nama : Aliati Siolimbona
BalasHapusJurusan / Kelas : Pend. Matematika/II A
Dari penjelasan Bapak di atas saya sangat setuju karena matematika akan kita bawa mati.misalnya pada saat di yaumul hisab nanti matematika juga akan di gunakan dalam perhitungan amal manusia
Pertanyaan saya berikan salah satu rumus matematika yg berhubungan dengan hal tersebut
Dan juga bagaimana pendapat bapak tentang seorang wanita yg menutup aurat secara syar'i namun niatnnya riya
Tetapi hasiilnyakan ia menjalankan perintah Allah
Terimakasih
Dalam perhitungan pahala berlaku penjumlahan dan perkalian. Misalnya membaca al-Qur'an, setiap huruf dinilai 10 pahala. Dalam hal ini jumlah ayat yang dibaca dikalikan dengan 10. Jika seseorang membaca 100 ayat maka pahalanya 100 x 10 = 1.000
HapusNamun dalam perhitungan jumlah/timbangan pahala dan dosa, berlaku penjumlahan dan pengurangan.
Misalnya:
Pahala shalat berjamaah 1..000.000 shalat berjamaah dikalikan 27 = 27.000.000
Pahala baca al-Qur'an 1.000.000 ayat dikali 10 = 10 juta
dst
Tapi dia juga memiliki dosa 15juta
Maka timbangan amalnya = (27 juta + 10 juta) - 15 juta= 37 juta - 15 juta = 22 juta
Ini berarti amal kebaikannya lebih besar dripada dosanya. Dia insya Allah masuk surga.
Sebaliknya jika dosanya lebih besar dripada kebaikannya, maka jika tak diampuni oleh Allah, maka dia masuk neraka.
Di samping itu bisa jadi amal kebaikan seseorang akan menjadi terhapus jika diniatkan bukan karena Allah.
Secara matematis kebaikannya dikalikan dengan nol, hasilnya nol.
Sebaliknya bisa jadi amal kebaikannya tidak terlalu besar/banyak namun dikalikan sesuai kehendak Allah sehingga nilainya di sisi Allah justru bertambah besar.
Seorang wanita yang menutup aurat secara syar'i telah berusaha untuk menuju jalan kebaikan. Kalau niatnya riya, maka niatnya saja yang perlu diperbaiki. Hati itu selalu berubah-ubah sehingga Nabi Muhammad saw pun selalu berdoa Ya Muaqalibbal qulub tsabit qalbi 'ala dinika, Wahai Allah Tuhan yang membolak balikkan hati, tetapkan hatiku dalam agama-Mu.
Wallahu a'lam bis shawwab
Nama:Nabila Rumodar
BalasHapusII/Pendidikan Matematika/A
Bagaimna pendapat anda pak. Tentang suami yang melarang istri untuk menjenguk orang tuanya yg sedang sakit(-) dan sang istri tetap bersikeras agar tetap menjenguk orang tuanya(-) = sang suami tdak terima dan akhirnya menjatuhkan talak kepada sang istri (-) ! ?????
Ada kisah di masa lampau seorang suami yang bepergian jauh mengingatkan istrinya tidak keluar rumah sebelum dia kembali. Tak lama kemudian datang kabar bahwa orangtua istri sedang sakit keras, diminta untuk datang menjenguk orangtua yang sedang sakit itu. Namun mengingat pesan suaminya, si istri tidak datang menjenguk orangtua.
HapusBerselang beberapa waktu kemudian si istri mendapat kabar, orangtuanya telah meninggal dunia. Namun dia juga tidak datang takziah sebab ingat pesan suaminya. Menurut riwayat hal itu disampaikan kepada Nabi saw dan Nabi saw mengatakan bahwa orangtua si istri itu masuk surga sebab telah berhasil anak perempuannya menjadi istri yang shalehah.
Dalam kasus yang anda tanyakan, suami tergolong laki-laki yang egois dan tak berbakti kepada mertua. Sebab kisah yang disebutkan di atas, bukan suami melarang tapi istri yang mentaati pesan suaminya. Sebab di masa itu tidak alat komunikasi yang bisa digunakan istri untuk memberitahu suaminya.
Sedangkan kasus yang anda tanyakan justru suami sendiri yang melarang istri menjenguk orangtua yang sdang sakit. Apalagi gara-gara istri menjenguk orangtuanya itu menyebabkan istri diceraikan.
Fatmawati.Laitupa
BalasHapus180303009
2/pendidikan Matematika/A
Assalamualaikum.. wr.. wb
saya sangat stuju dengan apa yang Bapak jabarkan diatas. Namun, ada yang mengganjal dlam pkiran saya mengenai perhtungan matematika dlam islam yng bpak jabarkan dngan gamblang di ats, yakni ( +×-=-). sperti contoh mslahnya: (+) niat saya baik,ingin mengenal bnyak orng agar memiliki teman skaligus mnjalin tli slahturhmi dlam khidupan sosial saya. × (-)namun,karena saat sdah mngenal mreka, saya mngetahui bila mreka slalu mmbicrakn kburukan saya dbelakang. untk mnghindari tmbulnya rsa sakit hati dn dengki dlam diri, saya mnjauh dri mreka. Dan al hsil adlah (-) pstilah sya berdosa atw brslah bukan. Krena it sama saja dngan saya mmutuskn tli slaturahmi saya dngan mreka. yang ingin sya tnyakan apakh dsini tndakan yng saya ambl slah ? tpi mnurut saya, apa yng saya lkukan adlh benr. mhon pnjelasan Bapak. Terima Kasih.. Wassalam
Idealnya tak boleh memutuskan tali persahabatan dengan orang lain. Menjauhi seseorang tak selamanya salah, seperti tak terlalu akrab dengan orang yang memiliki perangai buruk. Ingat tak terlalu akrab, dalam arti tidak ikut ngerumpi, gosib bersama dia. Tapi masih tetap berkomunikasi dengannya.
HapusKalau dia selalu menjelekkan kita, maka doakan dia agar diberi hidayah oleh Allah sehingga tinggalkan kebiasaan buruknya. Selain itu meskipun dia menyakiti kita, sebisa mungkin kita bisa berbuat baik kpd dia.
Saya dulu pernah ketemu seseorang yang sangat menyakiti perasaan saya. Memang hati terasa sakit, namun muncul inspirasi bagaimana caranya untuk mengubah relasi negatif menjadi positif antara saya dengan dia. Caranya saya upayakan mencari momen yang sangat penting saya bisa memberi bantuan kepada dia. Alhamdulillah pd saat dia diberi bantuan yang sangat penting dalam kehidupannya, akhirnya berubah total menjadi sahabat karib hingga sekarang.
Karena itu tak usaha jauhi sama sekali. Namun anda tetap berbuat baik kepada dia, insya Allah ada jalan baik dalam membangun relasi yang bersahabat.
Wallahu a'lam bis shawwab
ASALAMUALAIKUM.
BalasHapusNAMA:MARWAN RUMBALIFAR
JURUSAN:MATEMATIKA /A/2
NIM:180303019
Saya setuju dengan pontingan bapa yang berkaitan dengan salat.yaitu salat harus sesuai dengan yang di contokan Rasullunlla saw. Tetapi yg kita temukan sekaran ada berbagai hal dalam salat seperti: salat sumbuh tidak memakai doa kunut, tetapi ada juga yang memakai kunut, ada yang memakai Basmalla, ada yg tidak.
Apakah hal" seperti ini di lakukan oleh Rasul..?
Mohon penjelasannya pa.
Membaca doa qunut pada salat subuh memiliki dalil, begitu juga tak membaca doa qunut jg memiliki dalil. Ulama dan umat Islam yang selalu membaca doa qunut memahami praktek Nabi saw membaca doa qunut tidak hanya berlaku dalam kondisi bahaya bagi umat Islam di suatu daerah atau waktu tertentu saja. Sebab di berbagai belahan dunia ini banyak umat Islam yang teraniaya dan terlibat perang. Sehingga perlu selalu membaca doa qunut khusus di waktu salat subuh.
HapusSedangkan ulama dan umat Islam yg tak membaca doa qunut memahami praktek doa membaca qunut hanya dikhususkan dalam kondisi perang. Jika dalam kondisi aman maka umat Islam di daerah itu tak perlu membaca doa qunut. Karena itu yang membaca doa qunut bukan melakukan bid'ah sebab pernah dicontohkan oleh Nabi saw
Wallahu a'lam bis shawwab
Nama:jena Ailatat
BalasHapusJurusan/kelas:pendi.matematika/II A
Assalamu'alaiQum
Saya sangat tertarik dengaan artikel yang bapak buat mengenai integrasi matematika dan islam,seperti yang tertera bahwa ibadah adalah segalah aktifitas yang di lakukan dengan niat untuk memperoleh ridho Allah SWT (pahala).
Yang ingin saya tanyakan yaitu:
Apa perbedaanya solat berjama'ah dan solat tidak berjama'ah padahal keduanya sama-sama di lakukan dengan niat untuk memperoleh ridho Allah SWT (pahala)???
Hal itu bisa dijelaskan dengan pendekatan matematika. Shalat sendiri pahalanya hanya 1 derajat sedangkan pahala salat berjamaah pahalanya 27. Jadi yang salat sendirian 27 waktu salat dia lakukan baru setara dengan orang yang salat berjamaah sekali waktu.
HapusDalam salat berjamaah bisa terbangun silaturahmi, mendapatkan informasi pengetahuan, pengalaman dalam melakukan kebaikan untuk kehidupan dunia dan akherat. Bekerja untuk mewujudkan suatu kebaikan, hasilnya akan lebih besar jika dilakukan secara bersama-sama dibandingkan dengan yang dikerjakan sendiri-sendiri. Yang salat sendiri, jika dia tak/kurang khusyu, maka mungkin pahalanya menjadi kurang. Sedangkan yang salat berjamaah, meskipun dia kurang/tdk khusyu, namun jika ada di antara jamaah yang khusyu, maka yg tak khusyu ikut mendapatkan kebaikan yang sama.
Wallahu a'lam bis shawwab
Nama:Fauzia Renhoat
BalasHapusJurusan/kelas:pendi.matematika/II A
Assalamu'alaikum
Saya sependapat dengan blog yang bapak buat, sesuai dengan yang dikatakan diatas bahwa salah satu ajaran yang terpenting dalam islam adalah mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah.
Yang menjadi pertanyaan saya yaitu:
Apabila seseorang memberikan sedekah kepada fakir miskin tetapi ia ingin mendapat suatu pujian dari orang lain karena sedekah yang iya berikan berjumlah banyak. Apakah orang tersebut dikatakan riah atau kah tidak..???
Melakukan kebaikan dengan menggunakan harta seperti sedekah yang anda sebutkan sebenarnya merupakan perjuangan berat. Apalagi sedekah itu bisa meringankan beban kesulitan hidup orang miskin yang diberi sedekah.
HapusNamun jika si pemberi sedekah ingin mendapatkan pujian, maka dikuatirkan pahalanya akan berkurang, bahkan mungkin dikalikan dengan nol Allah. Sehingga dia tak mendapatkan pahala apa-apa. Na'udzubillahi min dzalik
Karena itu dalam bersedekah harus berhati-hati menjaga hati jangan sampai tergelincir kepada motivasi/niat ingi dipuji. Allah yang memberi rezeki yang harus dipuji. Bahkan jika kita mendapatkan pujian dari orang lain, harus ingatkan hati bahwa pujian itu datangnya dari Allah karena itu pujian tsb semestinya kita haturkan kepada Allah. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (alhamdulillahi rabbil 'alamin)
Wallahu a'lam bis shawwab
Juanda arman
BalasHapusNin 180303017
Kls A
Semester II
ASSALAMUALAYKUM...WR...WB
Saya sangat sependapat dengan artikel ini yang dimana membahas tentang integrasi islam dan matematika. Selain itu juga membahas tentang ibadah,srta nilai nilai ibadah.
Hanyasaja di sini saya sedikit belum memahami kaitannya dengan ibadah mahdah,yaitu ibadah khusus yang dimana tata caranya sudah dijelaskan seca terperinci oleh syara,seperti shalat, puasa, zakat,haji. Dll
Yang dimana dalam ibadah ini tidak bisa lagi dirubah tata caranya dengan yang dicontohkan oleh rasulullah dalam ibadah mahdah dikenal bid,ah yakni amalan ibadah yang ditambah atau dikurangi dari apa yang dicontohkan oleh Nabi saw atau sahabatnya apalagi amal ibadah yang diada-adakan
Maka yang lerlu saya tanyakan adalah amal ibadah seperti apa yang dapat dikatakan bid,ah? Karena yang kita lihat di lapangan bahwa sekarang ini orang islam saling membid,ahkan padahal boleh dikatan mereka tersebut beramal seperti mana yang sudah di anjurkan oleh Nabi saw.
Terimah kasih Wassalamualaikum wr...wb..
Ibadah yang dikategorikan bid'ah adalah menambah atau mengurangi tata cara ibadah yang sudah diatur oleh Allah dan dicontohkan oleh Nabi saw. Misalnya cara mengangkat tangan saat takbiratul ihram dengan gaya seperti orang menari. Itu bid'ah. Lafal azan ditambah saat mengucapkan asyhadu anna muhammadar rasulullah menjadi asyhadu anna sayyana muhammmadar rasulullah (anda tambahan sayyana). itu bid'ah.
HapusTambahan dalam tata cara ibadah atau jumlah rakaat salat sunat yang dilakukan oleh sahabat Nabi saw terutama khalifah, itu bukan bid'ah. Seperti khalifah Umar menambah jumlah salat tarawih menjadi 20 rakaat. Khalifah Usman menambah azan jumat menjadi dua kali azan. Khalifah Abu Bakar mengumpulkan al-Qurna, yg tak dilakukan oleh Nabi saw.
Begitu juga tambahan dalam sarana ibadah itu bukan bid'ah. Misalnya membangun masjid seperti sekarang. Lantainya pakai tegel, marmer, dindingnya dicat.
Dengan demikian tidak semua ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi saw, dikategorikan BID'AH. Sebab ada sahabat (Bilal) yang salat sunat wudu yang tidak dicontohkan Nabi saw sebelumnya tapi setelah ditanya oleh Nabi saw, Nabi saw tidak melarangnya. Padahal Bilal telah lakukan salat sunat wudu sebelum ditanyakan kepada Nabi saw.
Untuk lebih jelasnya bisa disimak ceramah ustaz Abdul Shomad di you tube
Wallahu a'lam bis shawwab