KELUARGA
BERENCANA
Prof. Dr. La Jamaa,
MHI
A. Pendahuluan
Program Nasional Keluarga Berencana (birth control) telah
berjalan dengan baik dan berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk beberapa
persen setiap tahun. Keberhasilan ini sangat menunjang program pembangunan
nasional, yang sedang
menuju kepada terciptanya keadilan dan kemakmuran yang merata dalam masyarakat.1
Persoalan keluarga berencana erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan primer manusia yang sangat terbatas ibarat deret hitung, sementara pertambahan penduduk ibarat deret ukur. Jelasnya, bahwa kemampuan manusia dalam memenuhi kebutuhan pokoknya erat kaitannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Rendahnya pengetahuan berkorelasi langsung dan berbanding lurus dengan rendahnya penghasilannya. Rendahnya pendapatan akan menyebabkan seseorang menjadi miskin. Kemiskinan itu sendiri ibarat lingkaran setan, yang terkadang orang yang masuk dalam lingkaran kemiskinan akan sulit keluar dari kemiskinan yang melilitnya. Betapa tidak, jika ia sakit sulit untuk berobat ke dokter dan karena ia sakit tidak bisa bekerja sehingga ia tetap miskin. Karena ia miskin, maka ia sulit mendapat pendidikan yang memadai apalagi tinggi sebab pendidikan butuh biaya. Karena ia tidak berpendidikan maka ia tetap miskin. Sehingga dibutuhkan suatu usaha agar kemiskinan yang melilit seseorang atau keluarga dapat diatasi.
Dalam konteks ini program keluarga berencana dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah menghindarkan anak keturunan penduduk Indonesia dari problem kemiskinan. Sebab melalui sistem perencanaan (planing) kelahiran, atau pembatasan kelahiran – menurut pemerintah- orang tua memiliki peluang untuk memberikan perhatian maksimal terhadap anaknya baik dari segi makanan yang bergizi, perhatian (pembinaan mental, karakter) anak.
Namun masalahnya, adalah bagaimana keberadaan keluarga berencana dalam pandangan hukum Islam sebab pelaksanaan keluarga berencana terdapat beberapa masalah yang perlu direspon dari sisi hukum Islam, misalnya penggunaan alat kontrasepsi, apakah pemasangan alat kontrasepsi tidak melanggar hukum sebab tenaga medis terpaksa melihat aurat. Jelasnya, bahwa perlu dilakukan telaah terhadap konsepsi keluarga berencana yang dibolehkan dan dilarang dalam hukum Islam. Sehingga umat Islam Indonesia yang menjalani program keluarga berencana dapat bermanfaat ganda, yakni ikut mensukseskan program nasional serta tidak melanggar rambu-rambu hukum Islam.
B. Pengertian
Keluarga Berencana
Keluarga berencana dalam bahasa Arab dikenal dua term yang diperkenalkan Mahmud Syaltut, yaitu tanzimu al-nasli (perencanaan kelahiran), dan tahdid al-nasli (pembatasan kelahiran).2
Program keluarga berencana model pertama, dengan melakukan perencanaan kelahiran anak tanpa membatasi jumlah anak. Jadi, orientasinya pada perencanaan kelahiran dan jarak antara kelahiran anak pertama dengan anak kedua dan seterusnya. Tujuannya adalah untuk kemasalahatan anak, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, psikologis maupun pendidikan anak dalam usia dini. Di samping itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan orang tua terutama ibu dalam menjaga kesehatannya sehingga dapat memberikan perhatian kepada anaknya secara maksimal sejak dalam kandungan hingga lahir serta perawatannya di masa bayi dan kanak-kanak.
Secara medis ibu yang mengandung dalam tenggang waktu yang berdekatan antara anak pertama dengan anak berikutnya sangat rentan mengalami gangguan kesehatan selama hamil atau saat melahirkan atau pasca melahirkan. Kondisi kesehatan yang sedemikian biasanya ikut mempengaruhi kondisi kesehatan janin atau dalam perawatan anaknya.
Sedangkan istilah kedua, pembatasan kelahiran berorientasi kepada
pembatasan jumlah anak yang lahir pada suatu keluarga. Di sini bisa jadi
digunakan perencanaan kelahiran namun bisa juga tidak. Artinya, ada ibu yang
melahirkan dua orang anak dalam tenggang waktu tiga tahun namun setelah itu dia
tidak melahirkan lagi dengan mengikuti program keluarga berencana.
Dengan demikian kedua model keluarga berencana tersebut mempunyai tujuan yang sama, yakni untuk memberikan kemaslahatan kepada anak secara maksimal dan orang tua. Namun dengan cara yang berbeda. Keluarga berencana model pertama tidak tertutup kemungkinan memiliki anak lebih dari dua orang, sedangkan keluarga berencana model kedua tidak ada kemungkinan memiliki anak lebih dari dua orang, sebab memang orientasinya kepada pembatasan anak. Berbeda dengan keluarga berencana model pertama bukan pembatasan tetapi lebih kepada perencanaan kelahiran.
C. Analisis Hukum
Islam terhadap Keluarga Berencana
Dari kedua istilah di atas, program keluarga berencana model perencanaan kelahiran dapat dipandang sebagai suatu tindakan yang tidak melanggar hukum Islam, bahkan relevan dengan hukum Islam. Adapun dalil yang membolehkan keluarga berencana dalam bentuk perencanaan kelahiran, antara lain:
1. Firman Allah dalam QS.
al-Nisa (4): 9
وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ
لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ
فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا
‘Dan hendaklah takut (kepada
Allah) orang-orang yang sekiraya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di
belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab
itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara
dengan tutur kata yang benar.’4
Selaras
dengan uraian di atas, M. Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas, bahwa
diingatkan kepada mereka yang berada di sekeliling para pemilik harta yang
sedang menderita sakit. Mereka seringkali memberi aneka nasihat kepada pemilik
harta yang sakit itu, agar yang sakit itu mewariskan kepada orang-orang
tertentu sebagian dari harta yang akan ditinggalkannya, sehingga akhirnya
anak-anaknya sendiri terbengkalai. Kepada mereka itu ayat 9 di atas berpesan: dan
hendaklah orang-orang yang memberikan nasehat kepada pemilik harta, agar tidak membagikan semua hartanya kepada
orang lain sehingga anak-anaknya terbengkalai, hendaklah mereka membayangkan seandainya
mereka akan meninggalkan di belakang mereka, setelah kematian mereka
anak-anak yang lemah, karena masih kecil atau tidak memiliki harta,
yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka (anak-anak lemah
itu).4a
Ayat ini secara tekstual (dalalah ‘ibarah) mengandung perintah Tuhan kepada para orang tua, agar tidak meninggalkan anak keturunannya dalam kondisi lemah. ‘Lemah’ yang disinggung dalam ayat ini perlu dipahami secara kontekstual dan komprehensif. Yang dimaksud lemah di sini, bisa bermakna lemah fisik (sakit-sakitan, tidak sehat), lemah ekonomi (miskin), lemah pendidikannya (bodoh) bahkan lemah keyakinannya (kufur). Hal ini erat kaitannya dengan asumsi yang telah disinggung di awal tulisan ini, bahwa kemiskinan ibarat lingkaran setan yang bisa mengantarkan seseorang jadi sakit karena tidak bisa berobat, bodoh karena tidak berpendidikan yang memadai, dan sehingga ia tetap miskin bahkan sulit keluar dari lilitan kemiskinannya.
Mengapa Tuhan mengingatkan para orang tua agar tidak meninggalkan anaknya dalam kondisi lemah dalam berbagai dimensi itu? Sebab secara realitas, bahwa betapa banyak anak yang dilahirkan dalam keluarga miskin yang mendapatkan makanan sangat terbatas sehingga mengalami problem kurang gizi. Akibatnya, fisiknya lemah dan dalam kondisi sedemikian ini tentu sangat sulit baginya untuk berusaha memperbaiki nasibnya. Sehingga ia menjadi beban orang lain atau masyarakat. Karena itulah Nabi saw memandang orang kuat lebih baik daripada orang lemah.5
Bisa jadi juga lemah yang dimaksud ayat adalah lemah ekonomi atau miskin. Penyebab utama kemiskinan, adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri. Sedangkan ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh penganiayaan manusia lain (kemiskinan struktural)6. Ketidakmampuan berusaha bisa juga disebabkan oleh rendahnya pendidikan atau ketrampilan dalam berusaha mencari rezki Allah. Walaupun Tuhan telah menyediakan fasilitas rezki kepada makhluk hidup termasuk manusia, namun rezki itu hanya bisa diperoleh jika ada aktivitas gerak manusia yang tentunya sesuai pula dengan sunnatullah dalam meraih rezki Allah. Yang pasti rezki Allah tidak turun langsung dari langit. Dalam konteks ini lemah pendidikan berbanding lurus dengan lemah ekonomi. Betapa banyak orang yang rajin bertani namun karena ia hanya buruh tani (mengolah lahan orang lain dan ia hanya diupah), maka penghasilannya hanya cukup untuk makan yang kurang dari layak.
Menurut M. Hamdar Arraiyyah, bahwa di antara faktor penyebab terjadinya kemiskinan, adalah keterbatasan untuk berusaha. Hal ini dapat dipahami dari kata sakana sebagai akar kata miskin, yang berarti diam, tidak bergerak. Al-miskin, sebagai orang yang tidak memenuhi kebutuhan utamanya terkait dengan keadaan statis. Pola hubungan keterkaitan itu, bisa bersifat timbal balik. Kondisi serba kekurangan menyebabkan orang miskin mempunyai gerak yang terbatas atau statis, sebaliknya keadaan statis membuat orang miskin senantiasa berada dalam keadaan serba kekurangan.7 Jadi, kemiskinan akibat ketidakberdayaan ini akan menyebabkan seseorang sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.
Lemah dalam ayat di atas bisa jadi bermakna lemah keyakinan, akibat kurang perhatian orang tua kepada anaknya. Lemah keyakinan juga merupakan sebuah masalah besar karena bukan saja akan bermasalah bagi dirinya namun juga bagi orang lain. Lemah keyakinan akan berakibat fatal jika yang bersangkutan juga lemah ekonomi, karena dikuatirkan ia mudah berubah keyakinan, keluar dari Islam (murtad) setelah mendapat bantuan ekonomi dari penyebar agama lain seperti yang sering terjadi di sebagian daerah di tanah air.
Bertolak dari asumsi di atas dapat dikatakan, bahwa ayat 9 surat al-Nisa secara tekstual memang tidak menganjurkan kita mengikuti keluarga berencana namun secara kontekstual mengsiyaratkan upaya-upaya preventif bagi masa depan anak sehingga tidak ditinggalkan dalam kondisi lemah- sebagaimana tujuan program keluarga berencana- adalah sejalan dengan tujuan subtansial ayat di atas. Jelasnya, bahwa kemiskinan bukanlah sebuah ‘keterpaksaan” (takdir) yang harus diterima manusia.8 Kemiskinan adalah sebuah problem sehingga harus dicari solusinya. Dalam hal ini program keluarga berencana dapat dipandang sebagai salah satu solusinya. Apalagi angka kemiskinan yang tinggi, persoalan pengangguran yang semakin meningkat, dan layanan kesehatan yang semakin mahal dan tak terjangkau serta akses pendidikan yang belum merata9 telah sangat memprihatikan bagi kalangan masyarakat miskin.
Program keluarga berencana yang dimaksud di sini tentu bukan yang membatasi dan bukan pula keluarga berencana yang menggunakan alat kontrasepsi yang cenderung membunuh janin (aborsi).
2. Firman Allah dalam QS.
al-Baqarah (2): 233
وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ
كَامِلَيۡنِۖ
‘Dan ibu-ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara
sempurna…’10
Walaupun
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menanggapi perintah yang
terkandung dalam ayat di atas, namun yang jelas bahwa ayat ini memerintahkan
kepada seorang ibu untuk menunda kehamilannya jika sedang menyusui. Dalam
kaitan ini imam Malik berpendapat, bahwa perintah bagi seorang ibu untuk
menyusukan anaknya selama dua tahun pada ayat di atas adalah berkonotasi wajib.
Sedangkan jumhur ulama menanggapi perintah dalam ayat tersebut hanya bersifat
sunah.11
Secara medis jika seorang wanita menyusui anaknya secara kontinyu, maka biasanya tak akan hamil. Sehingga dengan perintah menyusui anak selama dua tahun tersebut, pada hakekatnya sang ibu telah melakukan penundaan kehamilan secara alami. Ini berarti yang bersangkutan telah mengikuti program keluarga berencana. Dengan kata lain secara kontekstual dapat dipahami, bahwa ayat 233 surat al-Baqarah tersebut secara kontekstual selaras dengan program keluarga berencana. Walaupun memang secara tekstual ayat ini tidak berbicara tentang keluarga berencana, namun substansi perintah menyusui anak selama dua tahun secara penuh itu selaras dengan perencaan kelahiran melalui penundaan kehamilan dalam keluarga berencana.
Dengan demikian perintah menyusui anak selama dua tahun penuh mengandung kemasalahatan besar bagi kesehatan anak. Karena seorang anak menjadi tanggung jawab orang tuanya, baik pendidikan maupun kesehatannya. Idealnya seorang anak memperoleh air susu ibu (ASI) yang berkualitas baik. Hal ini sulit diberikan kepada anak, jika ibunya telah hamil sebab ASI di masa hamil telah bercampur dengan darah, sehingga akan membahayakan kesehatan anak (bayi). Perintah menyusui anak selama dua tahun tersebut dikuatkan oleh QS. Luqman: 14
وَوَصَّيۡنَا
ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ
فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ ١٤
‘Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar
berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandung dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya selama dua tahun…’12
Demikian juga firman Allah dalam
QS. Al-Ahqaf (46): 15
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ
بِوَٰلِدَيۡهِ إِحۡسَٰنًاۖ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ كُرۡهٗا وَوَضَعَتۡهُ كُرۡهٗاۖ
وَحَمۡلُهُۥ وَفِصَٰلُهُۥ ثَلَٰثُونَ شَهۡرًاۚ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ
وَبَلَغَ أَرۡبَعِينَ سَنَةٗ قَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِيٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِيٓ
أَنۡعَمۡتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحٗا تَرۡضَىٰهُ
وَأَصۡلِحۡ لِي فِي ذُرِّيَّتِيٓۖ إِنِّي تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَإِنِّي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ
١٥
‘Dan
Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada dua orang tuanya.
Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah
payah (pula). Masa mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia
berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan
sungguhnya aku termasuk orang muslim.’13
Beberapa ayat
di atas memiliki kandungan makna yang sama dalam kaitannya dengan pemberian ASI
kepada anak (bayi) secara sempurna. Sehingga dapat dikatakan, bahwa baik secara
tekstual maupun kontekstual QS. Al-Nisa (4): 9, QS. Al-Baqarah (2): 233, QS.
Luqman (31): 14 dan QS. Al-Ahqaf (46): 15 selaras dengan tujuan program
keluarga berencana (KB) yang berorientasi kepada kepentingan/kemaslahatan anak
dan hal ini relevan dengan perencanaan kelahiran (penundaan kehamilan) dalam
program keluarga berencana (KB). Bahkan keberadaan anak yang berkualitas
(berilmu, beriman dan beramal) diharapkan akan menjadi sumber investasi amal
jariyah bagi orang tuanya di masa depan. Dalam tataran ini program KB berupa perencanaan
kelahiran bertujuan membangun generasi yang berkualitas sehingga berguna bagi
dirinya, orang tua, masyarakat dan agama. Namun perlu dikemukakan, bahwa
perencanaan kelahiran bukan didorong oleh perasaan takut miskin, melainkan
lebih kepada pertimbangan kemaslahatan anak. Dalam arti melalui metode itu
kemasalahatan anak dapat diwujudkan secara maksimal (sehat jasmani, dan rohani,
memperoleh pendidikan serta kasih sayang orang tua). Dengan kata lain, hak-hak
anak dapat diberikan. Karena pemeliharaan dan pemberian pendidikan kepada anak
mengharuskan orang tua mengorbankan hartanya. Dalam kaitan ini posisi
pemeliharaan nasab (anak) berada pada tingkatan lebih tinggi dibandingkan
pemeliharaan harta dalam hirarki maqasid al-syari’ah.13a.
3. Hadis Nabi saw tentang Azal
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَنْهَنَا
) رواه مسلم)14
‘Jabir
berkata, kami pernah melakukan azal pada masa Rasulullah saw kemudian hal itu
disampaikan kepada Nabi saw, namun beliau tidak menegur kami.’ (HR Muslim)
Metode azal merupakan salah satu cara pencegahan kehamilan. Dari
hadis inilah para ulama dan pakar hukum Islam sepakat membolehkan program
keluarga berencana (KB), berdasarkan analogi (qiyas) bahwa alat-alat
kontrasepsi yang digunakan sama dengan metode azal (coitus interuptus)
yang pernah dilakukan sahabat Nabi saw. Analogi azal dengan alat-alat
kontrasepsi yang diperkenalkan dalam program KB cukup beralasan. Karena cara
kerja alat-alat kontrasepsi tersebut sama dengan metode azal yakni menghindari
pertemuan antara sperma dengan ovum, sehingga tidak terjadi pembuahan15 (kehamilan).
Secara medis, suatu kehamilan hanya akan terjadi jika sel spermatozoa (laki-laki) dapat membuahi sel telur (wanita). Melalui metode azal sperma diusahakan sedemikian rupa sehingga tidak mampu memasuki rahim dan dengan demikian sulit bertemu dengan ovum.
Walaupun Islam membolehkan program keluarga berencana, namun alat
kontrasepsi yang digunakan tidak boleh membahayakan keselamatan ibu dan janin.
Tegasnya, bahwa Islam mentolerir penggunaan alat-alat kontrasepsi yang tidak
mengarah kepada perusakan janin yang telah terbentuk (abosri) atau penghilangan
fungsi alat reproduksi secara permanen, baik laki-laki maupun wanita. Karena
itu pelaksanaan keluarga berencana dengan menggunakan metode abosri tidaklah
dibenarkan oleh Islam. Karena metode itu identik dengan pembunuhan terhadap
janin. Demikian juga pelaksanaan keluarga berencana dengan metode sterilisasi,
baik kepada laki-laki (vasektomi) maupun wanita (tubektomi). Vasektomi adalah
usaha untuk mengikat (memotong) saluran sperma, sehingga sel spermatozoa
laki-laki tidak dapat berfungsi. Sedangkan tubektomi adalah usaha mengikat
(memotong) saluran sel ovum, sehingga sel telur wanita tidak dapat dibuahi.
Kedua metode sterilisasi ini dianggap bertentangan dengan hukum Islam, karena
pada awalnya terjadi pemandulan.
Namun dalam perkembangannya para pakar kedokteran telah menemukan alternatif terbaik utnuk pelaksanaan vasektomi dan tubektomi, sehingga cara itu tdiak lagi bersifat pemandulan permanen, karena sudah dapat dibuka dan disambung lagi secata aman melalui proses rekanalisasi.
Dengan demikian metode vasektomi dan tubektomi dapat ditolerir dan
dibenarkan oleh hukum Islam. Mengingat biaya rekanalisasi sangat mahal, maka
hal itu hanya dibenarkan bagi orang yang sudah memiliki dua atau orang anak.
Sebaliknya, bagi yang belum atau hanya memiliki seorang anak, sebaiknya jangan
melakukan sterilisasi. Di samping sterilisasi, alat kontrasepsi yang dibenarkan
oleh Islam, di antaranya adalah pil, kondom, susuk, dan IUD.
1Umar Shihab, Kontekstualisasi
Al-Qur’an Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qur’an (Cet. III; Jakarta: Penamadani, 2005),
h. 466-467.
4Departemen Agama R.I,
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
CV Naladana, 2004), h. 101.
4aM. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 2 (Cet. V; Jakarta: Lentera Hati,
2006), h. 354-355.
5Lihat hadis “sesungguhnya aku
lebih menyukai muslim yang kuat”
6M.Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet. XV; Bandung: Mizan, 2004), h.
450.
7M. Hamdar Arraiyyah, Meneropong
Fenomena Kemiskinan Telaah Perspektif Al-Qur’an (Cet. I; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 56.
8Yusuf Qardawi, Musykilat
al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al-Islam, diterjemahkan oleh A.Maimun Syamsuddin
dan A.Wahid Hasan, Teologi Kemiskinan Doktrin Dasar dan Solusi Islam atas
Problem Kemiskinan (Cet. I; Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2002), h. 30.
9Sunardi, “Pengantar,” dalam Thariq bin Muhammad
al-Thawari, Al-‘Azlu ‘an al-Mar’ati Dirasah Syar’iyyah wa Tibbiyyah,
diterjemahkan oleh Sarwedi M. Amin
Hasabuan, KB Cara Islam (Cet. III; Solo: PT Aqwam Media Profetika,
2008), vi.
10Departemen Agama R.I, op.cit., h. 47.
11Umar Shihab, op.cit., h. 469. Salah satu alasan dilakukan
penundaan (pencegahan) kehamilan, adalah untuk menghindari dampak negatif
kehamilan di masa menyusui yang dikuatirkan dapat mempengaruhi kesehatan bayi
yang sementara disusui di masa hamil. Lihat Sunardi “Pengantar,” dalam Thariq
al-Thawari, op.cit., h. xii.
1210Departemen Agama R.I, op.cit., h.581.
13aMenurut al-Syatibi, maqasid al-syari’ah, terbagi atas tiga
yaitu daruriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Daruriyat ada lima, yaitu pemeliharaan
agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Jadi, pemeliharaan keturunan berada
pada peringkat ke tiga di atas pemeliharaan harta. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat,
Juz II (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), h. 10.
14Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairỉ al-Naisaburỉ, Sahih
Muslim, Juz II (Mesir: Isa al-Babỉ al-Halabỉ wa Auladuh, t.th.), h. 1065.
Lihat pula CD. Digital Hadis Sahih Muslim, kitab Nikah, hadis nomor
1610.
15Umar Shihab, op.cit., h. 468.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar