PEREMPUAN SEBAGAI KEPALA NEGARA (Perspektif Hukum Islam)
Dr. La Jamaa, MHI
A. Pendahuluan
Sejalan dengan
perkembangan zaman, perempuan telah berkiprah dalam berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Dalam kaitan ini telah banyak perempuan yang
berhasil meraih jabatan, mulai dari yang rendah sampai posisi puncak dalam
suatu lembaga atau negara. Bahkan sejarah telah mencatat beberapa perempuan
yang jaya di panggung politik dan menduduki jabatan menteri, wakil peresiden
hingga presiden atau perdana menteri.
Dari realitas
tersebut telah muncul polemik di kalangan umat Islam, khususnya para ulama,
berkaitan dengan pandangan hukum Islam terhadap keberadaan perempuan dalam
jabatan-jabatan strategis di sektor publik itu. Polemik ini berawal dari
pandangan tentang perbedaan struktur biologis antara laki-laki dan perempuan
yang berimplikasi pada peran yang diembannya dalam masyarakat. Dari struktur
anatomi biologis, perempuan dianggap
memiliki beberapa kelemahan dibandingkan dengan laki-laki.
Jelasnya, bahwa
anatomi biologi laki-laki sangat memungkinkannya dalam menjalankan sejumlah peran utama
dalam masyarakat (sektor publik) karena dianggap lebih potensial, lebih kuat
dan lebih produktif. Organ reproduksi dinilai membatasi ruang gerak perempuan,
karena secara kodrati mereka akan hamil, melahirkan dan menyusui. Sedangkan
laki-laki secara kodrati tidak memiliki fungsi reproduksi tersebut. Perbedaan
itu melahirkan pemisahan fungsi dan peran serta tanggung jawab antara laki-laki
dengan perempuan. Dalam hal ini laki-laki dipandang cocok berperan di sektor
publik sedangkan perempuan dipandang cocok berperan di sektor domestik (rumah
tangga).
Bahkan kata
“perempuan” itu sendiri dalam bahasa Arab mempunyai konotasi inferior (lemah
lembut, pelupa, penghibur, akalnya kurang) berlawanan dengan “laki-laki” yang dalam bahasa Arab
berkonotasi superior (cerdas, berpikir, dan kuat).1
Tampaknya pandangan tersebut didukung oleh tekstual QS. Al-Nisa (4): 34
bahwa:
عَلَى النِّسَاءِ الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ
‘Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan...’2
Terhadap ayat ini
ada yang memahaminya secara zahir (tekstual), yang seakan-akan menunjukkan
bahwa yang layak menjadi pemimpin hanyalah laki-laki. Sebaliknya perempuan hanya
layak dipimpin oleh laki-laki. Pemahaman seperti ini diklaim mencakup segala
aspek kehidupan dan peran sosial masyarakat. Dengan pemahaman ini, maka
perempuan tidak bisa menjadi pemimpin apalagi pemimpin pada posisi puncak dalam
sektor publik. Perempuan hanya cocok
berperan di sektor domestik sebagai ibu rumah tangga. Pemahaman tersebut
mendasarkan argumentasinya pada sabda Nabi saw: 3
لن يفلح قوم و
لوا أمر هم إمرأة (رواه البخارى )
‘Tidak akan beruntung
(sukses) suatu kaum yang menyerahkan urusan (publik) mereka kepada perempuan.’ (HR
Bukhari dari Abu Bakrah)
Namun masalahnya
adalah apakah memang demikian makna ayat 3 surat al-Nisa di atas? Jelasnya,
apakah teks QS. Al-Nisa: 34 mengandung makna bahwa hanya laki-laki saja yang
dianggap memiliki kualifikasi (keahlian) sebagai pemimpin, baik sebagai kepala
rumah tangga (sektor publik), maupun dalam kehidupan sosial masyarakat (sektor
publik)? Kalau memang demikian pemahamannya, maka apakah tidak akan melahirkan image
bahwa al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam telah melakukan diskriminasi
terhadap peran sosial antara laki-laki dengan perempuan? Pertanyaan ini perlu
didiskusikan lebih lanjut.
Berdasarkan
asumsi di atas, tulisan ini bermaksud menganalisis tentang perempuan yang menduduki jabatan kepala negara dalam
perspektif hukum Islam.
B. Stereotype Laki-laki dan
Perempuan
Secara biologis
laki-laki dan perempuan memang memiliki anatomi yang berbeda. Dari sudut
genetika, laki-laki dan perempuan memiliki kromosom seksual yang berbeda.
Perempuan memiliki dua kromosom yang sejenis, ykni XX, sehingga disebut homogametics
seks. Sedangkan laki-laki memiliki dua kromosom yang berbeda, satu di
antaranya X sama dengan perempuan, dan
lainnya Y, khusus bagi laki-laki. Kromosom laki-laki disebut heterogametics
seks, karena ia memiliki dua jenis kromosom yang berbeda yaitu XY.4
Dalam proses
pembentukan embrio (zygota/janin) manusia, jenis kelamin anak menjadi laki-laki
atau perempuan sejak ditentukan oleh kromosom ayah (laki-laki). Apabila sel
sperma yang membuahi ovum (sel telur) perempuan pada saat konsepsi memuat
kromosom Y, maka anak yang akan lahir adalah laki-laki (XY). Sebaliknya, apabila sel
sperma itu memuat kromosom X, maka anak yang akan lahir adalah seorang
perempuan (XX).
Di samping itu
secara genetika, komposisi kimia tubuh laki-laki lebih komplek daripada
perempuan. Kehadiran kromosom Y memungkinkan terjadinya tambahan kontrol pada
berbagai jaringan sel dalam tubuh laki-laki. Kekhususan ini dijadikan alasan di
kalangan ilmuan untuk menyatakan bahwa “laki-laki secara biologis memiliki
kekhususan-kekhususan dan sekaligus memberikan pengaruh secara psikologis dan
sosiologis.”5
Perbedaan
anatomis tubuh dan genetika antara laki-laki ternyata didramatisir terlalu jauh
sehingga seolah-olah secara substansial perempuan lebih rendah daripada
laki-laki. Padahal anggapan laki-laki lebih kuat, lebih cerdas dan lebih
stabil, sedangkan perempuan itu lemah, kurang cerdas, dan emosinya kurang
stabil, hanyalah persepsi steriotyp terhadap jenis kelamin.
Jelasnya, bahwa
kesuksesan seseorang sangat ditentukan oleh minimal tiga macam kecerdasan,
yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.6 Tingkat kecerdasan seseorang, sejauh
yang diketahui tidak ada dua orang yang memiliki otak yang mirip. Bahkan,
antara dua belahan otak pada seorang manusia sekalipun. Lekukan dan alur-alur
yang terbentuk di antara keduanya sangat berbeda. Perbedaan itu akan
menyebabkan perbedaan fungsi yang diperankan.6
Potensi dan fungsi otak tersebut dimiliki oleh laki-laki dan perempuan.
Perbedaan otak bukan terletak pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
tetapi antara satu orang dengan orang lain secara umum. Siapa pun berpeluang
menjadi cerdas.
Karena
perkembangan kesdaran dan kecerdasan manusia, baik laki-laki maupun perempuan
tidak semata-mata ditentukan oleh faktor genetik, akan tetapi ditentukan oleh
faktor lingkungan dan kesempatan. Artinya, jika perempuan diberikan kesempatan
untuk mengembangkan potensinya, maka dia dapat meraih sukses seperti pemikir
diperankan oleh Aisah-ummul mu’minin, Rabi’atul Adawiyah (guru para
sufi) Sufyan al-Sauri, Sakinah binti Husain bin Ali, Syaikhah Syuhrah (guru
Imam Syafi’i). Bahkan ada juga perempuan yang menjadi guru tokoh mazhab yaitu
Mu’nisat al-Ayyubiyah binti al-Malik al-Adil, Syamiat al-Taimiyah dan Zainab
binti Abd. Katif al-Bagdadi, al-Syifa Kepala Pasar Kota Madinah, Khadijah binti
Khuwailid, isteri pertama Nabi saw yang sukses di bidang bisnis serta masi
banyak lagi yang lainnya.8
Kenyataan biologis yang membedakan dua jenis kelamin itu telah melahirkan dua
teori besar yaitu teori nature dan teori nurture.
Teori nature menganggap
perbedaan peran laki-laki dan perempuan bersifat kodrati (nature: alam).
Laki-laki memerankan peran utama dalam masyarakat karena dianggap lebih
potensial, lebih kuat dan lebih produktif sedangkan peran sosial perempuan terhambat oleh organ reproduksinya, sehingga
hanya diberi peran di sektor domestik.
Sedangkan teori nurture
beranggapan, bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak
ditentukan oleh faktor biologis melainkan kontsruksi masyarakat. Jelasnya,
peran sosial yang selama ini dianggap baku dan dipahami sebagai doktrin
keagaamn yang absolut, sebenarnya bukanlah kehendak Tuhan dan juga bukan
sebagai produk determinasi biologis sebagai produk konstruksi sosial
masyarakat. 9
Dengan demikian
kedua teori tersebut tidak identik sebagai ajaran agama yang bersifat mutlak
kebenarannya. Justru sebaliknya penerapannya bersifat flesibel dalam kehidupan masyarakat.
C. Kepemimpinan
Perempuan dalam Fiqh
Sebelumnya perlu
disajikan beberapa prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan . Dalam kaitan
ini menurut Nasaruddin Umar, kesetaraan alaki-laki dan perempuan , antara lain:
1) Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah (‘abid)
2) Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi
3) Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial
4) Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis
5) Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.10
Maksudnya, bahwa
dalam kapasitas manusia sebagai seorang
hamba, laki-laki dan perempuan berpotensi dan berpeluang yang sama untuk
menjadi hamba ideal (orang bertakwa), sebagaimana diisyaratkan dalam QS.
Al-Hujurat (49): 13. Di samping kapasitasnya sebagai hamba, manusia adalah
khalifah di bumi. Dalam hal ini laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang
sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas
kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya laki-laki dan perempuan harus bertanggungjawab sebagai hamba Tuhan.
Begitu pula
laki-laki dan perempuan sama-sama
mengemban amanat dan menerima perjanjian primordial dengan Allah (QS. Al-A’raf/7: 172). Menurut Fakhru al-Razi, bahwa tak seorang pun anak manusia yang
lahir di muka bumi ini yang tidak berikrar tentang ekstensi Tuhan.11 Ini berarti, bahwa dari aspek penerimaan perjanjian primordial itu, tidak
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan .
Semua ayat yang
mengisahkan drama kosmis, yaitu cerita tentang keberadaan Adam dan Hawa di
surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif
dengan menggunakan damir (kata ganti orang) untuk dua orang (huma)
yang merujuk kepada Adam dan Hawa secara bersamaan. Penjelasan lebih rinci
dikemukakan dalam QS. Al-Baqarah/2: 35, al-A’raf/7: 20, 22, 23 serta
al-Baqarah/2: 187.
Dalam meraih
prestasi maksimal pun, laki-laki dan perempuan
mempunyai potensi yang sama sesuai dengan QS. Al-Nisa (4): 124
وَمَنْ يَعْمَلْ
مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
‘Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh,
baik laki-laki maupun perempuan sedang
ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak
dianiaya walau sedikitpun.’12
Dari ayat di atas
dapat dikemukakan bahwa al-Qur’an telah mengakui kemitrasejajaran peran
laki-laki dan perempuan . Bahkan secara substansial Rasulullah saw menegaskan:
13 إنما النساء شقا
ئق الرجا ل (رواه أبو داود عن عائشة)
‘Sesungguhnya
perempuan itu adalah belahan (mitra)
laki-laki.’ (HR Abu Daud dari Aisyah)
Karena itu
pemahaman terhadap ayat dan hadis yang berkaitan dengan kepemimpinan laki-laki
terhadap perempuan perlu diadakan
reinterpretasi, termasuk fiqh. Dalam kaitan ini Amir Syarifuddin, salah seorang
pakar ushul fiqh di Indonesia mengatakan, bahwa karena fiqh merupakan hasil
pemikiran ulama mujtahid yang menurut dasarnya dapat mengalami
perubahan/reformulasi dengan cara mengadakan
reinterpretasi terhadap dalil yang menjadi sandaran bagi pemikiran tersebut.
Walaupun memang tidak melakukan reformulasi secara keseluruhannya.
Dengan demikian
seandainya potensi perempuan selama ini
dianggap kurang berkembang yang menyebabkan kekurangberdayaannya dalam
kehidupan masyarakat banyak disebabkan oleh budaya masyarakat yang mengitarinya
dan bukan disebabkan oleh ajaran agama yang berdasarkan wahyu dan petunjuk Nabi
dalam sunnahnya. Dalil-dalil yang
berkaitan dengan kepemimpinan perempuan dalam interaksi sosial bukanlah harga mati, mengingat tampilnya Siti
Aisyah dalam kehidupan sosial dan politik dengan seizin Nabi dan begitu pula
para sahabat Nabi belakangan tidak pula menghalanginya.14
Bahkan al-Qur’an
mengabadikan citra perempuan ideal yang
mempunyai kemandirian politik, seperti sosok Ratu Balqis, penguasan
perempuan yang mempunyai kekuasaan besar
(super power), yang dikisahkan dalam QS. Al-Naml (27): 23
إِنِّي وَجَدْتُ
امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
‘Sesungguhnya aku
menjumpai seorang perempuan yang
memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai
singgasana yang besar.’15
Diabadikannya
kisah Ratu Balqis (penguasaan kerajaan Saba pada masa Nabi Sulaiman) ini mengisyaratkan,
bahwa al-Qur’an sumber pokok hukum Islam sejak dini telah mengakui keberadaan
perempuan yang menduduki puncak
kepemimpinan di sektor publik. Dengan kata lain, ayat ini secara tersirat
membolehkan perempuan menjadi pemimpin,
termasuk sebagai kepala negara sekalipun.
Karena itu pula
ayat dan hadis yang secara zahirnya melarang perempuan menjadi pemimpin, perlu dikaji. Ayat tersebut
di antaranya, adalah QS. Al-Nisa (4): 34
... عَلَى النِّسَاءِ الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
‘Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan ...’16
Ayat ini harus
dipahami secara komprehensif dan bukan sepotong-sepotong sebab dalam ayat ini
ada kalimat lanjutannya, yakni “karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka,” (bima fadldlala Allahu ba’dlahum ‘ala ba’dlin
wa bima anfaqu min anwalihim, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
“kepemimpinan dalam keluarga (rumah tangga), dan itulah derajat yang diberikan
kepada laki-laki.”17
Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah (2): 228:
... وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي
عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ …
Terjemahnya:
‘... dan para
perempuan mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya…’18
Ayat di atas
menurut Rasyid Rida merupakan kaidah umum yang berbicara tentang kedudukan yang
sama antara perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, kecuali dalam masalah
kepemimpinan dalam rumah tangga.20
Penempatan
laki-laki (suami) sebagai kepala rumah tangga itu sebenarnya merupakan respon
terhadap kondisi sosial masyarakat Arab menjelang dan ketika al-Qur’an
diturunkan. Dalam hal ini peran laki-laki mendominasi berbagai
bidang kehidupan termasuk dalam sistem keluarga. Dalam masyarakat Arab, laki-laki
bertugas membela dan mempertahankan seluruh anggota keluarga, bertanggung jawab
memenuhi seluruh kebutuhan anggota keluarga. Konsekuensinya, laki-laki
memonopoli kepemimpinan dalam semua tingkatan.
Di
samping itu ayat di atas secara tersirat menunjukkan bahwa secara kodrati,
laki-laki “cenderung ingin melindungi perempuan
(nature).”21 Dengan
kata lain, bahwa makna kata قَوَّامُونَ sangat beragam, antara lain pelindung,
pembimbing, pengayom, maupun pembimbing. Tampaknya, para mufasir dan fuqaha klasik
lebih cenderung mengartikan قَوَّامُونَ sebagai pemimpin ketimbang makna-makna
lainnya. Bahkan menganggap “ayat ini menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban
mengatur dan mendidik perempuan , serta menugaskannya berada di rumah dan
melarangnya keluar. Perempuan
berkewajiban menaati dan melaksanakan perintah laki-laki selama itu
bukan perintah maksiat.”22
Namun sekian banyak mufasir
dan pemikir Islam kontemporer memandang bahwa ayat 34 surat al-Nisa tidak
dipahami demikian, apalagi ayat tersebut berbicara dalam konteks kehidupan
rumah tangga. Menurut Quraish Shihab, bahwa kata al-rijal dalam ayat al-rijal
qawwamuna ‘alan nisa, bukan berarti laki-laki secara umum, tetapi adalah
“suami” karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan
ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk
isteri-isteri mereka. Jika yang dimaksud dengan kata “laki-laki” adalah
kaum laki-laki secara umum, tentu konsideransnya tidak demikian. Apalagi
lanjutan ayat itu secara tegas berbicara tentang para isteri dan kehidupan
rumah tangga.23
Di samping itu ayat di atas
menunjukkan, bahwa suami dalam kapasitasnya sebagai kepala keluarga
berkewajiban membimbing, mengayomi, dan membahagiakan istrinya. Hal itu sebagai
implikasi dari tugas dan tanggungjawab suami sebagai pemimpin terhadap
istrinya. Bukan sebaliknya, suami hanya menuntut haknya dari istri namun tidak
mau melaksanakan tugasnya sebagai suami.
Alasan kedua yang dijadikan
dalil agama yang melarang perempuan
menjadi pemimpin adalah hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu
Bakrah, bahwa “tidak akan beruntung
suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” Dalam hal ini
hampir seluruh ahli fiqh yang melarang keterlibatan perempuan sebagai pemimpin
menggunakan hadis ini sebagai dalil. Belakangan mereka memberikan argumen
penguat bahwa perempuan adalah makhluk
yang kurang akalnya dan labil mentalnya. Sehingga tertutup peluang bagi
perempuan untuk menempati jabatan
pimpinan pada segala bidang yang mengurusi urusan orang banyak.24
Menyangkut hadis di atas,
Hibbah Rauf Izzat mengatakan bahwa sesungguhnya hadis ini harus dipahami dan
dikonfirmasikan kepada sejarah tentang Persia dan Kisra. Karena hadis ini
disabdakan oleh Nabi saw dalam konteks peristiwa tertentu, yaitu orang-orang
Persia telah mengangkat anak perempuan
Kisra sebagai raja mereka.24
Statemen Rasulullah saw
mengenai kehancuran yang akan dialami kaum yang menyerahkan urusannya kepada
perempuan yang diungkapkan dalam hadis tersebut sejalan dengan realitas
sejarah. Karena secara historis tercatat bahwa setelah Kisra menyerahkan
kekuasaan kepada putranya, maka anaknya itu membunuh ayah dan saudara-saudara
laki-lakinya. Setelah anak itu wafat, maka kekuasaan beralih ke tangan putri
Kisra yang bernama Bavaran binti Syirawiyah bin Kisra, dimana di masa
pemerintahannyalah kerajan Persia itu hancur.25
Dari
asbab al-wurudnya dapat diungkapkan bahwa hadis ini khusus berkaitan
dengan kasus kerajaan Persia. Kalau pun ingin dipandang berlaku umum, maka
hadis ini berkaitan dengan kekuasaan umum yang dipegang oleh seorang penguasa
yang umum berlaku dalam negara-negara kerajaan (monarki). Dalam tradisi
kerajaan yang menggunakan sistem monarki, raja memiliki otoritas penuh (kekuasaan
absolut) dan menangani semua masalah kenegaraan, baik militer, pemerintahan
(eksekutif), legislatif maupun pengadilan (yudikatif). Sehingga tidak ada
sistem pembagian kekuasaan sebagaimana terjadi dalam sistem pemerintahan modern
dewasa ini.
Dalam
kondisi sosial politik di negara mana pun dewasa ini, hampir tidak ada sebuah
jabatan apa pun yang memiliki otoritas penuh untuk membuat keputusan
(legislatif), melaksanakannya (eksekutif), dan sekaligus mengontrolnya
(yudikatif). Sebagaimana konsep kekhalifahan yang menempatkan khalifah sebagai
pemimpin negara sekaligus pemimpin agama yang memiliki otoritas yang sangat
besar. Konteks hadis Abi Bakrah di atas, menunjukkan bahwa putri kaisar Persia
diserahi segala urusan dalam posisinya sebagai ratu, seperti yang ditunjukkan
oleh kata “wallau” (memberikan kekuasaan). Inilah yang tidak disetujui
Nabi saw. Hadis di atas berlaku secara khusus. Sehingga jika ada seorang
perempuan memiliki kemampuan
(keahlian/kecakapan) untuk menjabat pimpinan, maka di pos kepemimpinan mana pun
dibolehkan oleh hukum Islam.26
Dengan
demikian dalalah hadis Abu Bakrah harus digunakan kaidah: al’’ibrah bi
khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafzi (yang dilihat adalah kekhusan sebab,
bukan keumuman lafaz).27
Qurasih Shihab pun memandang hadis ini bersifat khusus. Hadis tersebut
ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat
dan dalam semua urusan.28
Dari
segi dalil, hadis Abu Bakrah tidak cukup
syarat untuk dijadikan pelarangan keterlibatan perempuan sebagai pemimpin. Karena menurut ushul fiqh,
sebuah nash, baru dapat dikatakan menunjukkan larangan (pengharaman) jika
memuat setidaknya hal-hal berikut:
(1)
secara redaksional, nash dengan tegas mengatakan haram.
(2) nash
dengan tegas melarangnya dalam bentuk nahi
(3) nash
diiringi oleh ancaman
(4) menggunakan redaksi lain yang menurut gramatika bahasa Arab
menunjukkan tuntutan harus dilaksanakan.29
Dengan
demikian hadis di atas tidak melarang secara tegas perempuan menjabat tugas
kepemimpinan. Tegasnya, bahwa kehancuran kerajaan Persia saat dipimpin oleh
putri Kaisar bukan karena dia seorang perempuan
namun lebih disebabkan oleh kecakapan atau keahliannya sebagai kepala
negara. Sebab keahlian dalam kepemimpinan tidak semata-mata berkaitan dengan
kodratnya, sebagai laki-laki atau perempuan. Tetapi lebih dipengaruhi oleh
lingkungan dan kesempatan seseorang dalam mengakses informasi ilmu pengetahuan.
Tingkat keahlian dalam memimpin justru lebih logis dilihat dari sudut
sosiologis, bahkan secara tekstual ada hadis yang mengkaitkan kegagalan suatu
urusan yang dipercayakan kepada orang yang tidak ahli (profesional). Dalam hal
ini Nabi saw bersabda:
30 إذا و سد
الأمر إلى غير أهله فا نتظر الساعة (رواه البخارى عن أبي هر يرة)
‘Apabila suatu
urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka waspadalah terhadap
datangnya kehancuran.’ (HR Bukhari dari Abu Hurairah)
Kata kehancuran (al-sa’ah)
dalam hadis di atas berarti kebinasaan atau kehancuran, baik kehancuran
kehidupan dunia pada hari kiamat maupun kehancuran di dunia ini akan dialami
oleh kaum atau bangsa yang menyerahkan urusan umum (apalagi urusan kenegaraan)
kepada orang yang tidak ahli.
Dengan demikian
hadis Abu Bakrah berkaitan dengan ketidakcakapan putri Kaisar sebagai ratu
(kepala negara) Persia dalam memimpin negaranya. Hal ini terjadi karena secara
kultural di negara Persia, yang dididik untuk menggantikan raja adalah
laki-laki sedangkan anak perempuan tidak diberi kesempatan mendapatkan
pendidikan yang memadai. Jadi, bukan karena kodratnya sebagai perempuan
yang menjadi pemicu negara Persia hancur di masa pemerintahannya. Kalau
saja sang putri Kaisar mempunyai keahlian dalam memimpin negara Persia, maka
kehancuran itu belum tentu terjadi.
Dalam konteks
kepemimpinan putri kaisar Persia itulah pendapat Yusuf Qardawi sangat tepat.
Menurut pendapat Yusuf Qardawi, bahwa perempuan dilarang menjadi kepala negara karena potensi perempuan biasanya tidak tahan untuk menghadapi situasi
konfrontansi yang mengandung resiko berat.31
Karena model kepemimpinan kepala negara zaman klasik memang mengurus semua hal
termasuk dalam masalah pertahanan negara sedangkan dalam sistem pemerintahan
sekarang telah terjadi pembagian kekuasaan. Kepala negara tidak harus terjun
langsung dalam masalah-masalah yang memang telah menjadi kewenangan bawahannya.
Berdasar pada
asumsi keahlian dalam memimpin suatu urusan publik itu, maka perempuan boleh menjadi pemimpin. Bukan saja
dalam tingkatan yang rendah, tetapi boleh menduduki jabatan publik di
posisi puncak. Bukan saja sebagai hakim seperti pendapat Abu Hanifah, tetapi
bisa menjadi kepala negara sekalipun. Tegasnya, bahwa perempuan boleh menjadi kepala negara, asalkan
dia profesional atau cakap (memiliki keahlian) sebagai negarawan dalam memimpin negara.
D. Rangkuman
1.
Ketentuan ayat al-rijal qawwamuna ‘ala al-nisa berlaku khusus dalam kehidupan rumah
tangga, yakni
suami sebagai kepala keluarga, apapun status sosial atau jabatan
isteri dalam sektor publik walau presiden sekalipun seperti ibu Megawati tetap
sebagai isteri, tidak bisa berubah status menjadi suami.
2. Hadis tentang berita kehancuran kerajaan Persia karena dipimpin oleh seorang perempuan, adalah berlaku khusus untuk kondisi zaman itu dan realitas sosial kerajaan Persia serta ketidakmampuan Putri Kaisar sebagai kepala negara.
2. Hadis tentang berita kehancuran kerajaan Persia karena dipimpin oleh seorang perempuan, adalah berlaku khusus untuk kondisi zaman itu dan realitas sosial kerajaan Persia serta ketidakmampuan Putri Kaisar sebagai kepala negara.
3.
Perempuan yang memiliki keahlian atau kompetensi memimpin negara, boleh
menjadi kepala negara dalam konteks masyarakat modern karena sistem
pemerintahan modern tidak sama dengan sistem monarki yang berlaku di masa
klasik dimana kepala negara harus mengendalikan semua urusan kenegaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Anees, Munawar Ahmad. Islam
and Biological Futures: Ethics, Gender and Technolog, Diterjemahkan oleh
Rahmani Astauti. Islam dan Masa Depan Biologis Umat
Manusia: Etika, Gender dan Teknologi Cet. III;
Bandung: Mizan, 1993.
al-‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fath al-Bari Syarh Sahih
al-Bukhari, Juz VIII. Cet. I; Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989.
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim. Sahih
al-Bukhari, Juz V. Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
-------. Sahih al-Bukhari, Juz
I. Semarang: Toha Putra, [t.th.].
Departemen Agama R.I. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: CV Indah
Press, 2002.
Izzat, Hibbah Rauf. al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyasi Ru’yah
Islamiyyah. Diterjemahkan oleh Baharuddin al-Fanani, Perempuan dan
Politik Pandangan Islam. Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997.
al-Khallaf, Abdul Wahab. ‘Ilm al-Usul al-Fiqh. Kairo: Dar
al-Falah, 1987.
Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru Tentang Relas
Gender. Cet. I; Bandung: Mizan, 1999.
Pasiak, Taufik. Revolusi
IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan Al-Quran. Cet. V; Bandung: PT Mizan Pustaka,
2005.
Qardawi, Yusuf. Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah. Diterjemahkan
oleh As’ad Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2. Cet. II; Jakarta: PT
Gema Insani Press, 1996.
-------. Malamih al-Mujtama’ al-Muslim Allazi Nansyuduhu.
Diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo, Anatomi
Masyarakat Muslim. Cet. II; Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2000.
al-Qurtubi. Fi Zilal al-Qur’an, Juz II. Bayrut: Dar al-Tiras li
al-‘Arabi, 1990.
Al-Razi, Fakhru al-Din. al-Tafsir al-Kabir, Jilid XV. Bayrut: Dar
al-Ihya al-Tiras al-‘Arabi, 1990.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar, Juz II. Bayrut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Cet. XVI; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.
Al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as. Sunan Abi Daud,
Juz III. Bayrut: Dar al-Fikr, 1990.
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian Studi Bias Gender Dalam Tafsir
Qur’an Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 1999.
Syarifuddin, Amir. Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-isu Penting Hukum
Islam Kontemporer Indonesia. Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Djalil, Abdul, dkk. Fiqh Rakyat Pertautan dengan Kekuasaan. Cet.
I; Yogyakarta: LKiS, 2000.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Cet.
I; Jakarta; Paramadina, 1999.
al-Zuhaili, Wahbah. Usul al-Fiqh al-Islami, Juz I. Bayrut: Dar
al-Fikr, 1989.
1Lihat Zaitunah Subhan,
Tafsir Kebencian Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur’an (Cet. I; Yogyakarta:
LKiS, 1999),
h. 18-19.
2Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: CV
Indah Press, 2002), h. 123.
3Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari, Sahih
al-Bukhari, Juz V (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h. 160.
4Lihat Munawar Ahmad Anees, Islam and Biological Futures: Ethics,
Gender and Technology, diterjemahkan oleh Rahmani Astauti, Islam dan Masa Depan
Biologis Umat Manusia: Etika, Gender dan Teknologi (Cet.
III; Bandung: Mizan, 1993), h. 200.
5Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an (Cet.
I; Jakarta; Paramadina, 1999), h.
6Lihat Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ Antara Neurosains dan
Al-Quran (Cet. V; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), h. 15-17.
6Lihat ibid., h. 53.
8Lihat Zaitunah Subhan, op.cit., h. 57.
9Lihat Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru
Tentang Relasi Gender (Cet. I; Bandung: Mizan, 1999), 93.
10Lihat Nasaruddin Umar, op,cit., h. 248-263.
11Lihat Fakhru al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Jilid XV (Bayrut:
Dar al-Ihya al-Tiras al-‘Arabi, 1990), h. 402.
12Departemen Agama R.I, op.cit., h. 142.
13Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Daud,
Juz III (Bayrut: Dar al-Fikr, 1990), h. 120.
14Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-isu Penting Hukum
Islam Kontemporer Indonesia (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 179.
15 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 596.
17Yusuf Qardawi, Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah, diterjemahkan
oleh As’ad Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2 (Cet. II;
Jakarta: PT Gema Insani Press, 1996), h. 528.
18Departemen Agama R.I, op.cit., h. 55.
20Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, Juz II (Bayrut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), h.
21Ratna Megawangi, op.cit., h. 195.
22M. Quraish Shihab, Wawasan Al Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Cet. XVI; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), h. 314. Lihat
pula al-Qurtubi, Tafsir fi Zilal al-Qur’an, Juz II (Bayrut: Dar al-Tiras
li al-‘Arabi, 1990), h.
23Lihat M. Quraish Shihab,
loc.cit.
24Lihat Abdul Djalil, dkk., Fiqh Rakyat Pertautan dengan Kekuasaan (Cet.
I; Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 73.
24Lihat Hibbah Rauf Izzat, al-Mar’ah wa al-‘Amal al-Siyasi Ru’yah
Islamiyyah, diterjemahkan oleh Baharuddin al-Fanani dengan judul Perempuan
dan Politik Pandangan Islam (Cet. I;
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 108.
25Lihat Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh
Sahih al-Bukhari, Juz VIII (Cet. I; Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1989), h. 160.
26 Lihat Abdul Djalil, dkk., op.cit., h. 76-77.
28Lihat M. Quraish Shihab, op.cit., h. 314.
29Lihat Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, Juz I
(Bayrut: Dar al-Fikr, 1989), h. 46. Lihat pula Abdul Wahab al-Khallaf, ‘Ilm
al-Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Falah, 1987), h. 113.
30al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz I (Semarang: Toha Putra,
[t.th.]), h. 21.
31Lihat Yusuf Qardawi, Malamih al-Mujtama’ al-Muslim Allazi
Nansyuduhu, diterjemahkan oleh Setiawan Budi Utomo, Anatomi Masyarakat
Muslim (Cet. II; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), h. 299.
Tulisan ini dalam bentuk document dapat didoawnload pada link berikut ini:
http://www.4shared.com/file/eP2WFOecce/PEREMPUAN_SEBAGAI_KEPALA_NEGAR.html
assalamualaikum...
BalasHapuspak jika perempuan yang akan menjadi pemimpin apakah tidak apa-apa ?
sedangkan kita liat pada masa megawati menjadi presiden, dia telah menjual aset negara kepada negara lain...
trus solusinya bagaimana ?
Islam tidak melarang perempuan menjadi pemimpin. Karena ayat Ar-rijalu qawwamuna 'alan nisa berkaitan dengan urusan rumah tangga yakni suami menjadi kepala keluarga yg bertugas memberikan kesejahteraan (kebahagiaan) kpd istrinya. Istri mengemban peran mengandung, melahirkan dan menyusui anaknya yg ketiga peran itu mustahil bisa dilakukan oleh suami.
HapusMengenai penjualan aset negara kepada negara lain, itu bukan karena ibu Megawati seorang perempuan tetapi karena kebutuhan keuangan negara yg harus disediakan untuk kemaslahatan rakyat.
begitu ya pak. apa tidak ada jalan lain selain menjual aset negara pak ?
Hapuspak, saya ingin bertanya kenapa bisa perempuan sekarang menuntut mengenai persmaan jender ataw memiliki kedudukan yang sama terhadap kedudukan laki-laki.? sedangkan dalam alqu'an laki-laki lah yang wajib menafkahi keluarga.
BalasHapussehingga dalam pernyataan itu karna pemerintah membolehkan persamaan jender, kita yang laki- laki boleh tidak seaandainya z ingin menyuruh istriku untuk bekerja dengan tujuan penambah jumlah pendapatan dalam keluarga tapi dalam hal ini istri saya tidak maw bekerja. mohon pencerahaan nya... !!