PERSIAPAN MENUJU PERNIKAHAN
Dr. La Jamaa, MHI
A. TA’ARUF
Pernikahan
merupakan dasar dan awal pembentukan masyarakat. Karena itu calon suami istri
dianjurkan untuk saling mengenal. Dalam kaitan inilah sebelum pernikahan
dilaksanakan, pada masa persiapan menuju pernikahan, ada tahapan ta’aruf.
Ta’aruf
artinya saling mengenal kepribadian masing-masing calon suami istri menurut
cara yang sebaik-baiknya, atau dengan cara memandang wajah serta kedua telapak
tangannya dan dengan berbicara secara musyafahah.
Laki-laki dianjurkan melihat perempuan yang akan dipinangnya agar ia dapat
menentukan pilihan apakah peminangan itu perlu diteruskan atau diurungkan.
Peminangan perlu dilakukan untuk kemaslahatan dalam kehidupa berumah tangga,
kesejahteraan dan kesenangannya.
Dalam Islam melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama
dalam batas-batas tertentu. Rasulullah saw bersabda:
عَنْ الْمُغِيرَةِ
بْنِ شُعْبَةَ أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ
بَيْنَكُمَا
’Dari
Mughirah bin Syu’bah, dia pernah meminang seorang perempuan, lalu Nabi saw
bertanya kepadanya, ”apakah kau sudah melihat dia? Karena melihat perempuan
(yang dipinang itu) akan dapat mengantarkan kamu bisa hidup bersama lebih
langgeng.”
(HR Turmizi)
Hadis
lain mengungkapkan:
اذا خطب أحد كم المرأة فاءن استطاع أن ينظر منها الى ما يدعوه الى نكاحها
فليفعل
‘Bila
seseorang di antara kalian mau meminang seorang perempuan dan sanggup dia
melihat darinya sesuatu yang menarik untuk menikahinya, maka hendaklah dia
lakukan.’ (HR Abu Daud dari Jabir bin Abdullah)
Hadis
di atas menjadi dalil kebolehan untuk melihat antara kedua calon mempelai. Hal
itu relevan dengan prinsip hukum Islam yang telah meletakkan dasar bahwa
pernikahan itu harus ditegakkan atas suka sama suka dan rela sama rela. Tidak
dibenarkan adanya unsur paksaan atau pemerkosaan hak asasi masing-masing dari
kedua mempelai. Sebab itu calon suami istri dianjurkan melihat calonnya dari
dekat, bahkan dikenal adanya approach (pendekatan), saling mengenal satu
sama lain, sehingga terjadi kesepakatan untuk membina rumah tangga. Cara
melihat yang seperti itu boleh tanpa sepengetahuan oleh calon istri, sesuai
hadis Nabi saw:
اذا خطب أحد كم امرأة فلا جناح عليه أن ينظر منها اذا كان انما ينظر اليها
لخطبة و ان كانت لا تعلم
‘Jika
seseorang di antara kamu bermaksud meminang seseorang perempuan, maka
dibolehkan untuk melihat (sebagian)nya, jika melihatnya semata-mata untuk
meminangnya sekalipun perempuan yang akan dipinang itu tidak mengetahuinya’ (HR
Ahmad).
Hadis
ini menjelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud akan menikahi seorang
perempuan, disunatkan melihat calon istrinya sebelum meminangnya, meskipun
tanpa seizinnya. Anjuran melihat calon istri bertujuan untuk lebih meyakinkan
hati dan menimbulkan kemantapan. Sehingga tidak menyesal di kemudian hari serta
menghindari “membeli kucing dalam karung” (kenal suaranya tetapi tidak kenal
wujudnya). Di samping itu manfaat melihat calon istri atau suami adalah untuk
menjaga kebaikan kehidupan, kesejahteraan dan ketenteraman rumah tangga. Dengan
demikian dapat diketahui cacat celanya, sehingga mudah untuk memutuskan rencana
pernikahan diteruskan atau dibatalkan.
Menurut
al-A’masy seperti yang dikutip bahwa setiap pernikahan yang sebelumnya tidak
saling mengetahui, sering berakhir dengan penyesalan dan gerutu. Namun demikian
para fuqaha sepakat bahwa tidak boleh calon mempelai laki-laki melihat calon
istrinya dengan berdua-duaan di tempat sepi dari pandangan umum, sebab duduk
berduaan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrimnya dilarang oleh
agama Islam. Tidak ada nash syar’i yang membolehkannya. Karena melihat calon
calon dengan cara berdua-duaan larangannya berbentuk umum sesuai hadis Nabi
saw: “Tidak boleh antara laki-laki dengan perempuan berdua-duaan, karena
setan menjadi orang ketiga di antara mereka.”
Menurut
Yusuf Qardawi, seorang laki-laki di zaman ini boleh melihat perempuan yang mau dipinangnya
dengan pakaian yang boleh dilihat ayah dan saudara-saudaranya serta
mahram-mahramnya. Si laki-laki boleh pergi bersama perempuan itu dengan syarat
disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya dengan pakaian yang sesuai
menurut ukuran syara’ ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui
kecerdikannya, perasaannya dan kepribadiannya. Semua itu termasuk apa yang
disebut dengan “sebagian (minha)” dalam hadis yang menyatakan “Kemudian
melihat sebagian apa yang menarik dia untuk menikahinya.”
Jadi,
melalui ta’aruf (saling berkenal) akan terjadi saling mengetahui dan
mengenal sifat, bakat dan identitas antara keduanya. Di samping itu dapat
diketahui juga keistimewaan dan kelebihan serta kekurangannya, memahami keadaan
yang sewajarnya, mengenal suara hatinya dan mengenal cita-cita masa depannya.
Dalam kaitan melihat calon pasangan ini, berlaku juga bagi calon istri, yakni
istri berhak melihat calon suaminya.
Bagian badan
perempuan yang
boleh dilihat, menurut mayoritas ulama adalah bagian wajah dan telapak tangan.
Dengan melihat wajah, dapat ditentukan cantik atau tidaknya perempuan yang
dipinang. Wajah
melambangkan kecantikan. Dengan melihat telapak tangannya dapat
diketahui subur atau tidaknya badan perempuan itu.
Sebagian ulama, seperti Abu Dawud mengatakan bahwa seluruh badan perempuan
itu boleh dilihat kecuali kemaluannya. Tetapi ada juga ulama yang sama sekali
melarangnya.
Adanya perbedaan pendapat itu disebabkan adanya suruhan untuk melihat
perempuan secara mutlak, namun juga terdapat larangan secara mutlak pula. Ada
juga suruhan yang bersifat terbatas, yakni hanya wajah dan kedua telapak
tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenan dengan QS al-Nur: 31
و لا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها
’... dan janganlah mereka menampakkan
perhiasaanya kecuali yang (biasa) tampak darinya...’
Maksud
kalimat ”perhiasan yang biasa tampak darinya” adalah wajah dan telapak tangan.
Di samping itu dianalogikan/diqiyaskan dengan kebolehan membuka wajah dan
telapan tangan pada waktu berhaji. Hadis-hadis tentang melihat calon istri tidak menentukan tempat khusus,
bahkan secara umum dikatakan agar melihat tempat-tempat yang diinginkan sebagai
daya tarik untuk menikahinya.
Bila seorang laki-laki melihat pinangannya ternyata tidak menarik, hendaklah
dia diam dan jangan mengatakan sesuatu
yang bisa menyakiti hatinya, sebab boleh jadi perempuan yang tidak disenangi
itu akan disenangi laki-laki lain. Karena itu waktu melihat calon istri atau calon suami dilakukan sebelum
meminang. Sebab jika dilakukan setelah meminang kemudian dibatalkan, maka akan
melukai hatinya. Namun, jika dilakukan sebelum meminang, maka tidak ada masalah
kalau tidak dilanjutkan dengan meminang.
Sebenarnya
melihat perempuan yang bukan mahram menurut hukum asalnya adalah haram, namun
dibolehkan karena ada sesuatu hajat dan dalam keadaan darurat. Karena itu
melihat perempuan yang akan dipinang sekedar yang perlu saja; yaitu pada wajah
dan telapak tangan sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Namun
mencermati realitas di era modern ini pergaulan perempuan dan laki-laki di
berbagai tempat umum sudah menjadi masalah yang biasa. Perempuan mengenal
laki-laki dan sebaliknya malah sering saling berbicara, bertukar pendapat dalam
berbagai forum adalah hal yang tidak dapat dielakkan lagi. Menghadapi
masyarakat yang serba komplek seperti ini, menurut Prof.Dr. Huzaemah T.
Yanggo,MA bahwa sebaiknya ditempuh jalan tengah yakni boleh melihat perempuan
yang akan dipinangnya jika didampingi orang tuanya atau mahramnya yang lain
atau teman-teman perempuan yang bisa dipercaya, asal saja dalam keadaan
berpakaian yang menutup auratnya yang dianjurkan agama Islam. Dengan hal itu
laki-laki dapat mengetahui ukuran mentalitas, perasaan dan kepribadian
perempuan yang mau dipinang dan sebaliknya, perempuan juga bisa mengenali laki-laki
yang akan menjadi pasangan hidupnya.
B. KHITBAH
1. ARTI KHITBAH
Khitbah
berarti pinangan
yakni permintaan seorang laki-laki kepada anak perempuan/gadis untuk menjadi istrinya dengan
cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat. Khitbah atau pinangan termasuk usaha pendahuluan sebelum
dilakukan pernikahan, agar kedua pihak saling mengenal sehingga pelaksanaan
pernikahan nanti benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.
Menurut
M.Quraish Shihab khitbah mirip dengan masa pacaran atau tunangan dalam
pengertian “teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, untuk
menjadi tunangan, dan kemudian istri.” Pacaran yang dibenarkan Islam hanya
merupakan sikap batin, bukan yang dipahami sebagian orang terutama remaja
sekarang, yakni sikap batin yang disusul dengan tingkah laku, berdua-duaan,
saling berpegangan dan seterusnya. Islam tidak menghalangi pacaran dalam artian
di atas. Islam hanya mengarahkan dan membuat batas-batas agar tidak terjadi
kecelakaan.
2. KRITERIA
CALON YANG DIPINANG DAN YANG MEMINANG
Pembinaan
keluarga merupakan faktor terpenting dalam pembinaan eksistensi kemasyarakatan,
bahkan pembinaan umat seluruhnya. Karena keluarga merupakan landasan dasar yang
dari padanya bergantung keselamatan masyarakat dan kemuliaan umat. Dalam
membangun bangunan yang terdiri dari batu dan tanah, manusia tidak dapat
melakukannya secara sembarang, apalagi dalam membangun dan membina keluarga
yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak. Pemilihan dan penelitian dalam
pembinaan keluarga lebih membutuhkan perhatian. Bangunan batu hanya
berorientasi pada dunia fana, sedangkan pembangunan keluarga tidak saja
berkaitan erat dengan kebahagiaan hidup di dunia, namun juga berkaitan dengan
kebahagiaan hidup di akherat. Untuk mendapatkan ketenteraman dan kebahagiaan
dalam rumah tangga, Islam meletakkan garis panduan untuk memilih pasangan hidup
yang sesuai menurut ajaran Islam.
a. Asas
Pemilihan Calon Istri
1)
Pemilihan atas Dasar Agama
Agama
yang dimaksudkan adalah pemahaman yang benar tentang Islam dan sekaligus
mempraktekkan seluruh ajarannya. Perempuan yang salehah selalu berpegang teguh
pada ajaran Islam dan tidak mengabaikan tanggung jawabnya terhadap Allah serta
mengetahui arah tujuan hidup yang benar. Dia dapat menahan dirinya dari
dorongan nafsu lawwamah yang mungkin membawanya ke jurang kehinaan.
Sebab itu Rasulullah saw memberikan tuntunan laki-laki yang mau menikah
hendaklah memilih istri yang berpegang teguh pada agama, agar dapat melaksanakan
kewajiban terhadap suami dan pendidikan anak-anak sesuai sabda Nabi saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
’Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw bersabda: Perempuan itu
dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya. Maka carilah yang beragama supaya kamu
bahagia.’ (HR Bukhari Muslim)
2) Mempunyai Akhlak yang Baik
Perempuan
yang berakhlak baik adalah perempuan yang senantiasa menjaga kehormatan dirinya
ketika suami tidak ada di rumah dan seandainya ia bekerja di luar rumah, ia
menjaga perilakunya di hadapan teman-temannya. Menurut Prof. Dr. Huzaemah T.
Yanggo, ada 6 sifat perempuan yang kurang pantas dinikahi, yaitu:
(1) Ammanah: perempuan yang senantiasa kesusahan
dan mengeluh
(2)
Hammanah: suka mengungkit perbuatan di hadapan suami
(3)
Hannanah: ingin menikahi orang lain
(4)
Haddaqah: pintar membujuk dan merayu karena menginginkan sesuatu, sehingga menjadi
beban bagi suami untuk memenuhi keinginannya
(5)
Barraqah: selalu berhias diri dan bersolek tanpa memperhatikan kewajibannya
terhadap suami
(6)
Syaddaqah: terlalu banyak bicara.
Dengan
demikian selain agama, Islam menganjurkan untuk memilih calon istri dari
perempuan shalehah. Ciri-ciri perempuan shalehah di antaranya berakhlak mulia,
jika dilihat suaminya, suaminya akan merasa senang dan terhibur, serta menjaga
kehormatan dirinya. Dia juga bisa menjaga harta suami jika diamanatkan
kepadanya di samping memberi pendidikan yang baik kepada anak-anak dan menjalin
hubungan silaturrahmi dengan mertua dan keluarga suaminya.
3)
Wanita karena Kecantikan
Kecenderungan
terhadap kecantikan merupakan fitrah hidup manusia. Sebab itu untuk memenuhi
salah satu tuntutan perasaan maka Nabi saw menganjurkan memilih perempuan yang
cantik untuk pasangan hidup.
4)
Wanita yang Rendah Maharnya
Rasulullah
saw mengatakan perempuan yang baik adalah yang cantik dan rendah maharnya.
5)
Wanita yang Subur
Di
antara tujuan pernikahan adalah untuk memperbanyak umat sebagai generasi
penerus. Rasulullah saw bangga dengan umatnya yang banyak. Karena itu Nabi saw
menganjurkan memilih perempuan yang subur yang dapat melahirkan anak yang
banyak. Anak yang banyak di sini dimaksudkan adalah anak-anak banyak yang baik
dan berkualitas.
6)
Diutamakan Gadis
Dalam
memilih calon istri, diutamakan gadis, karena menurut tabiat manusia ia akan
merasa lebih sesuai dengan orang yang pertama ditemuinya. Namun hal ini tidak
berarti dilarang menikahi janda.
7)
Karena Keturunannya
Dari
keturunan yang baik akan melahirkan kerukunan dalam rumah tangga. Nabi saw melarang
menikahi perempuan cantik yang lahir dari asal keturunan yang tidk baik.
8)
Menghindari perkawinan dengan Kerabat Dekat
Dalam
memilih jodoh, diutamakan perempuan asing yang tidak ada kaitan dengan nasab
dan keluarga. Tujuannya untuk menjaga kecerdasan anak dan keselamatan jasmani
dari penyakit menular dan cacat keturunan. Imam Syafi’i mengatakan bahwa sunat
hukumnya menikahi perempuan asing. Menurut al-Zanjani bahwa tujuan dari
pernikahan adalah untuk mengadakan hubungan dengan suku-suku lain sehingga dapat
saling membantu dan tolong menolong.
b. Asas Pemilihan Calon Suami
1) Agama
dan Akhlak
Agama
dan akhlak merupakan dasar utama dalam menentukan seorang suami, sesuai dengan
sabda Nabi saw:
زوجها ممن بتقى الله فان أحبها أكرمها و
ان أبغضها لم يظلمها
‘Nikahkanlah
(anak/saudara perempuanmu) dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah, kalau
dia mencintainya, dia akan menghormatinya dan jika dia tidak mencintainya, maka
dia tidak akan menzalimi istrinya.’
Dalam hadis
lain disebutkan: “Bila datang kepadamu orang yang kamu senangi agamadan
akhlaknya, maka nikahkanlah dia dengan anak perempuanmu. Jika tidak, niscaya
akan mendatangkan fitnah di bumi ini dan kerusakan yang mengerikan.”
2)
Jangan menikahi laki-laki fasik, zalim dan peminum Miras
Sebab
Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang menikahkan anak perempuannya dengan
laki-laki fasik, maka sungguh dia telah memutuskan hubungannya.” Begitu
juga laki-laki zalim dan peminum miras, merupakan pembuat kriminal dalam agama,
karena dengan perbuatannya itu akan memutuskan tali silaturrahmi. Dia akan
mudah menyakiti dan menzalimi istrinya. Sebab itulah khalifah Ali bin Abi
Thalib menambah hukuman had bagi peminum khamar menjadi 80 kali lantaran suami
yang mabuk sering menuduh istrinya berzina tanpa bukti. Bahkan suami yang mabuk
seringkali menyiksa istrinya baik secara fisik maupun psikologis.
3) Tidak
berpenyakit, seperti gila, kusta dan impoten
Sebab laki-laki yang berpenyakit tersebut di
atas tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai suami secara baik, sehingga
istrinya tidak bisa mendapatkan hak-haknya secara layak.
Dengan
demikian selain agama, Islam menganjurkan untuk memilih calon suami yang
mempunyai akhlak mulia (suami yang saleh). Ciri-ciri suami shaleh adalah yang
dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terhadap istri dan anak-anaknya,
menghormati perasaan istri, membantu istri mengurus pekerjaan rumah jika
dibutuhkan, tidak egois dan memperhatikan kemaslahatan orang-orang yang di
bawah tanggungannya.
3.
SYARAT KHITBAH/PEMINANGAN
Meminang
harus memenuhi dua syarat:
1) Tidak
didahului oleh pinangan laki-laki lain secara syar’i sesuai sabda Nabi saw:
Al-mu’minu
akhul mi’mini falā yahillu lahu an yabtā’a ‘ala bay’i akhîhi wa lā yakhthubu
‘ala khithbati akhîhi hatta yadzara (seorang mukmin adalah saudara mukmin. Maka tidak halal
baginya membeli/menawar pembelian saudaranya dan tidak boleh meminang pinangan
saudaranya, hingga saudaranya membatalkan pinangan itu).
2)
Perempuan yang dipinang tidak terhalang oleh halangan syariat sebagaimana
disebutkan di atas (bersuami atau dalam pinangan pria lain, terlarang dinikahi
atau dalam masa iddah talak raj’i).
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sbb:
1)
Tidak dalam pinangan orang lain.
2)
Pada waktu dipinang tidak ada
penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan
3)
Perempuan itu tidak dalam masalah
iddah karena talak raj’i (talak 1 atau talak 2 yang masih mungkin rujuk
dengan suaminya).
4)
Perempuan yang berada dalam masa iddah talak ba’in harus
dipinang secara kinayah (sindiran).
4. Melihat Pinangan
Sebagaimana
telah dijelaskan di atas, bahwa calon suami boleh melihat calon istrinya.
Begitu juga calon istri boleh melihat calon suaminya sesuai dengan ketentuan
syariat Islam.
5. Meminang Pinangan Orang Lain
Meminang pinangan orang lain hukumnya HARAM, sebab berarti menyerang hak
dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan
mengganggu ketenteraman,
serta melanggar tata susila. Nabi saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ
عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ
’Abu
Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: janganlah seseorang laki-laki
meminang perempuan pinangan saudaranya.’ (HR Muslim)
Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bila perempuan itu
telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan
mengizinkannya, bila izin itu memang dibutuhkan. Tetapi jika pinangan semua
ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau karena laki-laki yang kedua
belum tahu ada orang lain sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum
diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki
kedua untuk meminangnya, maka hal itu diperbolehkan.
Turmizi meriwayatkan
dari imam Syafi’i tentang makna hadis tersebut sbb: ”bila perempuan yang
dipinang merasa rida dan senang maka tidak ada seorangpun boleh meminangnya
lagi, tetapi kalau belum diketahui rida dan senangnya, maka tidaklah berdosa
meminangnya.”
Jika pinangan laki-laki pertama sudah diterima, namun perempuan itu
menerima pinangan laki-laki kedua kemudian menikah dengannya, maka hukumnya berdosa
tetapi pernikahannya sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedangkan
meminangnya itu bukan merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Karena itu
pernikahannya tidak boleh dibatalkan walaupun meminangnya itu merupakan
tindakan pelanggaran. Tetapi menurut imam Abu Dawud: ”pernikahannya dengan
peminang kedua harus dibatalkan, baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.”
Ibnul Qasim berpendapat bahwa yang dimaksud larangan itu adalah jika
seorang yang baik (saleh) meminang di atas pinangan orang saleh juga. Tetapi
jika peminang pertama tidak baik, sedang peminang kedua adalah baik, maka
pinangan semacam itu dibolehkan.
Adapun waktu pelaksanaan pernikahan, para ulama berpendapat waktunya adalah
ketika masing-masing pihak (peminang dan yang dipinang) sudah cendrung satu
dengan lainnya, dan bukan pada waktu awal peminangan.
6. Meminang Perempuan Yang
Sedang Dalam Masa Iddah
Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa iddah, baik karena
kematian suaminya, karena cerai raj’i (bisa rujuk lagi dengan mantan
suaminya) maupun talak ba’in (tidak bisa rujuk lagi) maka hukumnya haram.
Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i maka ia haram
dipinang karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya masih
berhak merujuknya kembali sewaktu-waktu ia suka. Jika perempuan yang sedang
iddah karena talak raj’i, maka ia haram dipinang secara terang-terangan
karena mantan suaminya masih berhak terhadap dirinya, juga masih berhak untuk
menikahinya dengan akad baru. Jika ada laki-laki lain meminangnya di masa
iddahnya, berarti ia melanggar hak mantan suaminya.
Mengenai boleh/tidaknya meminang perempuan yang sedang iddah secara
sindiran, maka para ulama berbeda pendapat, tetapi pendapat yang benar adalah
menyatakan boleh. Perempuan yang sedang iddah karena kematian suaminya,
dia boleh dipinang secara sindiran selama masa iddah, karena hubungan suami
istri di sini telah putus sehingga hak suami terhadap istrinya hilang sama
sekali. Namun demikian, dilarang meminang dia secara terang-terangan, untuk
menjaga agar perempuan itu tidak terganggu dan tercemar oleh para tetangganya
serta menjaga perasaan anggota keluarga suami dan para ahli warisnya.
Yang dimaksud ”kata sindiran” tersebut adalah seseorang mengatakan
kata-kata tersuratnya berlainan dengan yang tersiratnya. Misalnya, saya mau
menikah, atau saya mengharapkan sekali agar Allah memudahkan jalan bagiku untuk
memperoleh istri yang saleh. Atau memberikan hadiah kepada perempuan yang
sedang dalam masa iddah.
7. Menyendiri Dengan
Tunangannya
Menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena bukan mahramnya.
Islam tidak membolehkan melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali
melihat. Karena menyendiri dengan pinangan akan rentan mengarahkan kepada
perbuatan yang dilarang agama (zina).
Tetapi bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya
perbuatan maksiat, maka dibolehkan. Rasulullah saw bersabda:
لا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ
بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرُ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
’Janganlah
sekali-laki seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan, dan janganlah dia
bepergian dengan perempuan kecuali disertai oleh mahramnya.’ (HR Ahmad)
Meskipun
perempuan yang telah dipinang (dikhitbah) boleh dilihat calon suaminya
dan sebaliknya, namun demikian kebiasaan menyendiri dengan tunangan sebagaimana
yang menjadi trend remaja yang pacaran saat ini telah keluar dari rambu-rambu
syariat, sehingga rentan menjerumuskan mereka kepada zina.
C. KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN
1. Pengertian Kafa’ah
Kafaah berasal dari bahasa
Arab dari kata كفىء yang berarti ”sama, setara, sepadan atau sebanding.” Kata ini terpakai dalam bahasa Ara dan
terdapat dalam al-Qur’an dengan arti “sama,” atau “setara” seperti terungkap
dalam QS al-Ikhlas: 4 و لم يكن له كفوا أحد yang berarti tidak suatu pun yang sama
dengan-Nya.
Kata kufu,
atau kafaah dalam pernikahan
mengandung arti
adalah perempuan harus
sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafaah
mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan yang dapat pernikahan
sifat itu diperhitungkan, harus ada pada laki-laki yang menikahinya. Dengan
demikian kafaah mengandung arti setara dalam tingkat sosial dan
sederajat dalam akhlak serta kekayaan antara calon suami dengan calon istri.
Jadi, tekanan dalam hal kafaah adalah keseimbangan, keharmonisan dan
keserasian, terutama dalam hal agama, yakni akhlak dan ibadah. Sebab jika kafa’ah
diartikan dengan persamaan dalam hal harta, atau kebangsawanan, maka akan
berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya
kasta, karena manusia di sisi Allah adalah sama. Hanya ketakwaannyalah yang
membedakannya.
2. Kriteria dan Kedudukan Kafaah dalam
Pernikahan
Kafa’ah dalam pernikahan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya
kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan
atau kegoncangan rumah tangga. Kafaah itu
disyariatkan dalam pernikahan Islam namun karena dalil yang mengaturnya tidak
spesifik dalam al-Qur’an dan hadis, sehingga menimbulkan perdebatan di kalangan
ulama, baik kedudukannya dalam pernikahan maupun kriteria yang digunakan dalam
penentuan kafaah itu.
Penentuan
kafaah merupakan hak perempuan yang akan nikah sehingga bila dia akan
dinikahkan oleh walinya dengan orang yang tidak se-kufu dengannya, dia
dapat menolak atau tidak memberikan izin untuk dinikahkan oleh walinya. Begitu
juga sebaliknya sebagai hak wali yang akan menikahkan, sehingga bila si anak
perempuan menikah dengan laki-laki yang tidakn se-kufu, maka wali dapat
mengintervensinya dengan menuntut pencegahan pernikahan itu.
Yang
menjadi kriteria penentuan kafaah itu adalah status sosial pihak
perempuan karena dialah yang akan dipinang oleh laki-laki untuk dinikahi.
Laki-laki yang menikahinya paling tidak harus sama dengan perempuan, seandainya
lebih tidak menjadi halangan. Kalau pihak istri dapat menerima kekurangan
laki-laki tidak menjadi masalah. Masalah timbul kalau laki-laki yang kurang
status sosialnya sehingga dikategorikan laki-laki tidak se-kufu dengan
istri.
Mengenai
ukuran kafaah, Ibn Hazm berpendapat bahwa tidak ada ukuran dalam masalah kafaah.
Menurut Ibn Hazm: ”semua umat Islam asal tidak berzina, boleh menikah dengan
perempuan muslimah yang tidak tergolong perempuan lacur. Dan orang Islam
bersaudara. Walaupun dia anak seorang hitam yang tidak dikenal, ia tidak
diharamkan menikah dengan anak khalifah Bani Hasyim. Meskipun seorang muslim
yang fasik, asal tidak berzina, maka ia kufu’ untuk perempuan Islam yang
pasik asal bukan perempuan pezina. Alasannya, firman Allah dalam QS al-Hujurat:
10
انما المءمنون اخوة
’...sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah bersaudara...’
Menurut ulama
Hanafiah yang menjadi dasar/standar kafaah adalah:
1) Nasab: keturunan atau
kebangsaan
2)
Islam: dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam
3)
Hirfah: profesi dalam
kehidupan
4)
Kemerdekaan dirinya
5)
Diyanah: tingkat kualitas keberagamaan
dalam Islam
6)
Kekayaan
Menurut ulama
Malikiah yang menjadi kriteria kafaah adalah:
1)
Nasab: keturunan atau kebangsaan
2)
Kualitas keberagamaan
3)
Kemerdekaan diri
4)
Usaha dan profesi
Menurut ulama
Malikiah yang menjadi kriteria kafaah hanyalah diyanah (kualitas
keberagamaan) dan bebas dari cacat fisik.
Menurut ulama
Hanabilah yang menjadi kriteria kafaah adalah:
1)
Kualitas keberagamaan
2)
Usaha dan profesi
3)
Kekayaan
4)
Kemerdekaan diri
5)
Kebangsaan
Para
ulama sepakat menempatkan dien atau diyanah (tingkat ketaatan
beragama) sebagai kriteria kafaah, bahkan menurut ulama Malikiah
hanya inilah satu-satunya dapat dijadikan kriteria kafaah itu.
Kesepakatan ulama itu didasarkan kepada firman Allah QS as-Sajdah: 18
أفمن مءمنا كمن كان فاسا لا يستون
‘Apakah orang-orang beriman sama
seperti orang-orang fasik; mereka tidaklah sama.’
Di
antara ulama yang sepakat ini mayoritas di antara mereka tidak menempatkan
kafaah sebagai syarat pernikahan. Kafaah dalam hal ini hanyalah keutamaan bila
dibandingkan dengan yang lain. Dalam mengambil menantu misalnya bila kompetisi
antara yang taat dengan biasa-biasa saja, maka harus dahulukan yang taat.
Bila seorang ayah menolak menikahkan anak perempuannya dengan alasan calon
yang diajukan itu tidak memenuhi kriteria kafaah, dia tidak boleh dinyatakan
sebagai adhal, atau enggan yang mengakibatkan kewalian pindah kepada
wali hakim. Begitu juga anak perempuan dapat menolak kehendak walinya yang akan
menikahkannya dengan laki-laki yang tidak memenuhi kriteria kafaah itu.
Dalam penempatan nasab atau kebangsaan sebagai kriteria kafaah, ulama
berbeda pendapat. Jumhur ulama menempatkan nasab/kebangsaan sebagai kriteria
dalam kafaah. Dalam pandangan ini, orang yang bukan Arab tidak setara dengan
orang Arab. Ketinggian nasab Arab itu menurut mereka karena Nabi saw sendiri
adalah orang Arab. Bahkan di antara sesama orang Arab, kabilah Quraisy lebih
utama dibandingkan dengan bukan Quraisy, sebab Nabi saw berasal dari kabilah
Quraisy.
Namun
sebagian ulama tidak menempatkan kebangsaan sebagai kriteria kafaah. Di samping
berdalil dengan ayat 18 QS as-Sajdah di atas, mereka juga berpedoman kepada
realitas banyak terjadi pernikahan antar bangsa di waktu Nabi masih hidup dan
Nabi saw tidak mempermasalahkannya. Di antaranya hadis muttafaq ‘alaih:
أمر
رسول الله صلى الله عليه و سلم فاطمة بنت قيس أن تنكح أسامة بن زيد مولاه
فنكحها بأمره
‘Rasulullah saw menyuruh
Fatimah binti Qais untuk nikah dengan Usamah bin Zaid, hamba sahaya Rasulullah
saw, maka Usamah menikahi Fatimah itu berdasarkan perintah Rasulullah saw itu.’
(HR Bukhari Muslim)
Para ulama
juga berbeda pendapat tentang kekayaan sebagai kriteria kafaah. Sebagian ulama
di antaranya imam Ahmad dalam salah satu riwayat berpendapat bahwa kekayaan itu
merupakan salah satu syarat kafaah. Hal itu berarti laki-laki yang akan
menikahi seorang perempuan hendaknya kekayaan yang dimilikinya tidak kurang
dari kekayaan pihak perempuan Dalilnya adalah hadis Nabi dari Samrah yang
diriwayatkan Ahmad: al-hasbu al-maal wa qaala inna ahsaban naasi baynahum fi
hadzihid dunyaa hadzal maal (Derajat seseorang terletak pada harta. Yang
paling berharga manusia di antara mereka di dunia ini adalah harta ini).
Dalam riwayat
kedua yang didukung sebagian ulama berpendapat bahwa kekayaan dan harta itu
tidak dapat dijadikan syarat kafaah. Karena kurang harta itu terkadang
menyebabkan tingginya kualitas keberagamaan seseorang. Dalil kelompok ulama ini
adalah doa Nabi saw dari Anas: allahumma ahyiiniy miskiinan wa amitniy
miskiinan (Ya Allah hidupkanlah saya dalam keadaan miskin dan matikanlah
saya dalam keadaan miskin).
Kedudukan usaha
atau profesi sebagai kriteria kafaah juga menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Yang menjadikan profesi sebagai kriteria kafaah berdalil dengan hadis yang oleh
mayoritas ulama tidak dianggap hadis sahih: al-‘Arabu ba’dhuhum liba’dhin
akfaa-u illa haa-ikan aw haajiman (Orang Arab itu sekufu antar sesamanya
kecuali tukang jahit atau tukang bekam).
Kafaah yang
menjadi perbincangan di semua kitab fiqh sama sekali tidak disinggung dalam UU
Perkawinan dan hanya disinggung sekilas dalam pasal 61 KHI dalam kaitannya
dengan pencegahan pernikahan dan yang diakui sebagai kriteria kafaah itu adalah
kualitas keberagamaan (sesuai dengan yang telah menjadi kesepakatan ulama).
Kedudukan
kafaah dalam pernikahan diperselisihkan ulama. Jumhur ulama termasuk Malikiah,
Syafi’iah dan Hanafiah serta satu riwayat dari imam Ahmad berpendapat, bahwa kafaah
tidak termasuk dalam syarat pernikahan, dalam artian kafaah itu hanya keutamaan
semata, dan sah pernikahan antara orang yang tidak sekufu. Alasan mereka adalah
firman Allah dalam QS Hujurat: 13
ان أكرمكم عند الله أتقكم
‘Sesungguhnya yang paling
mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu.’
Sebagian
ulama termasuk satu riwayat dari Ahmad mengatakan bahwa kafaah itu termasuk
syarat sahnya pernikahan. Sebab itu tidak sah pernikahan antara laki-laki dan
perempuan yang tidak sekufu. Dalilnya adalah sepotong hadis Nabi saw yang
diriwayatkan oleh Daraqutni yang dianggap lemah oleh kebayakan ulama: laa
tunkihun nisaa-a illaa minal akfaa-i walaa tuzawwijuhunna illaa minal auliyaa-i
(Janganlah kamu menikahkan perempuan kecuali dari yang sekufu dan janganlah
mereka dinikahkan kecuali dari walinya).