Problematika Perkawinan Antar Orang yang Berbeda Agama
Dr. La Jamaa, MHI
A. Pendahuluan
Bila diamati secara mendalam, salah satu yang
disyari'atkan Islam adalah pelestarian keturunan. Pernikahan disyari'atkan
oleh Islam karena merupakan salah satu usaha untuk memelihara kemuliaan
keturunan serta mmenjadi kunci ketenteraman masyarakat. Oleh karena itu, adanya
perkawinan merupakan suatu kebutuhan pokok ummat manusia guna memelihara
kedamaian dan keteraturan dalam kehidupan. Dengan demikian maka masalah
perkawinan yang diatur sedemikian rupa oleh Islam bukanlah suatu persoalan yang
dikesampimgkan. Tetapi merupakan suatu institusi yang mutlak harus diikuti dan
dipelihara.
Perkawinan adalah akad yang menghalalkan hubungan antara
dua pihak yang berakad sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan syara’.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 disebutkan,
bahwa:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Dengan demikian mendirikan rumah tangga yang kekal dan
harmonis yang diikat tali perkawinan merupakan hal yang suci. Dengan demikian
perkawinan bukan sekedar kontrak perjanjian perdata. Perjanjian dalam
perkawinan merupakan perjanjian yang sakral di hadapan Tuhan. Namun demikian
tidak jarang terjadi tugas yang mulia tersebut tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Hal ini terjadi, karena orang muda yang akan menempuh kehidupan
rumah tangga hanya dapat mengartikan cinta sebagai suatu keindahan dan
romantisme belaka, mereka baru memiliki cinta dan emosi karena belum diikat
oleh rasa tanggung jawab yang sempurna. Sehingga banyak yang berakhir dengan
perceraian.2
Realitas menunjukkan bahwa terkadang anak muda memandang
kehidupan dalam perkawinan sebagai kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan
tanpa problematika sehingga pertimbangan keberagamaan terabaikan. Jelasnya,
bahwa dalam memilih calon pendamping hidupnya hanya didasarkan kepada faktor
fisik (cantik atau tampan) dan materi (kekayaan) tanpa mempertimbangkan
kualitas keberagamaan calon isteri atau suaminya. Sehingga terjadi perkawinan
antar orang yang berbeda agama, baik antara seorang laki-laki muslim dengan
wanita non muslim maupun sebaliknya.
Masalahnya, adalah bagaimana legalitas (keabsahan)
perkawinan mereka menurut hukum Islam? Demikian juga keberadaan anal-anak yang
lahir dari perkawinan antar beda agama tersebut?
B. Konsepsi Perkawinan Menurut Islam
Islam diturunkan sebagai agama yang sempurna yang di dalamnya
terkandung nilai-nilai yang luhur sebagai petunjuk bagi umat manusia pada
umumnya dan umat Islam pada khususnya. Salah satu tuntunan Islam kepada umat
manusia adalah pelembagaan perkawinan. Keberadaan lembaga perkawinan pada
hekekatnya untuk mengakomodir kebutuhan manusia sekaligus untuk membedakan
manusia yang mempunyai harkat dan martabat dengan binatang yang tidak
membutuhkan lembaga perkawinan.
Secara fitrah setiap orang membutuhkan lawan jenisnya
sebagai pendamping hidupnya. Hal itu didorong oleh naluri ketertarikan kepada
lawan jenisnya. Dengan adanya lembaga perkawinan, naluri insaniah tersebut
dapat tersalurkan secara legal, mewujudkan
kestabilan tatanan kehidupan umat manusia pada umumnya. Selain itu perkawinan memberikan ketenteraman dan ketenangan lahir dan
batin bagi kedua belah pihak (laki-laki dan wanita). Hal ini diabadikan dalam
QS. al-Rum: 21
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
’Dan di antara
tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.’3
Kata ِتَسْكُنُوا taskunū
terambil dari
kata sakana yang berarti diam, tenang setelah sebelumnya goncang dan
sibuk. Dari makna inilah, rumah dinamakan sakan
karena dia menjadi tempat memperoleh ketenangan setelah sebelumnya
penghuninya sibuk beraktivitas di luar rumah. Pernikahan melahirkan ketenangan
batin. Kesempurnaan eksistensi makhluk hanya tercapai dengan bergabungnya
masing-masing pasangan dengan pasangannya. Allah telah menciptakan dalam diri setiap
makhluk dorongan untuk menyatu dengan pasangannya apalagi masing-masing mau
mempertahankan eksistensi jenisnya. Dari sini Allah menciptakan pada diri
mereka naluri seksual, yang dari hari ke hari memuncak dan mendesak
pemenuhannya. Melalui kebersamaan dalam pernikahan, kekacauan pikiran dan
gejolak jiwa itu mereda dan masing-masing memperoleh ketenangan.4 Ini berarti bahwa keluarga yang
dibangun dalam ikatan pernikahan berwujud keluarga sakinah. Keluarga yang mampu
memberikan ketenangan dan kedamaian penghuninya.
Terwujudnya
keluarga sakinah dibutuhkan suasana mawaddah
karena orang yang memiliki sifat mawaddah
tidak akan rela pasangannya disentuh oleh sesuatu yang mengeruhkannya,
kendati boleh jadi dia memiliki sifat dan kecenderungan bersifat kejam. Seorang
penjahat yang dipenuhi hatinya oleh mawaddah,
bukan saja tidak rela pasangan hidupnya menanggung keburukan bahkan ia bersedia
mengorbankan diri demi kekasihnya. Mawaddah
adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Kalau seseorang menginginkan kebaikan dan
mengutamakannya untuk orang lain, maka dia telah mencintainya. Tetapi jikwa
seseorang menghendaki kebaikan untuk pasangannya, serta tidak menghendaki
selain kebaikan untuknya- apa pun yang terjadi- maka mawaddah telah menghiasi hati orang itu.5
Pasangan suami isteri yang memiliki sifat mawaddah adalah tidak meletakkan
kebahagiaan kehidupan keluarga pada kenikmatan duniawi. Dalam pandangannya
tidak ada celah-celah yang menjadi sumber keburukan pasangannya dalam jiwanya.
Implikasinya adalah pasangan suami isteri yang memiliki mawaddah tak akan pernah memutuskan hubungan apa pun yang terjadi.
Di samping
membutuhkan cinta, mawaddah, keluarga
sakinah juga membutuhkan rahmah, dan amanah Allah. Keempatnya merupakan tali
temali ruhani perekat pernikahan, sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmah, dan kalau pun ini tidak tersisa,
masih ada amanah, dan selama pasangan
itu beragama, amanahnya terpelihara,
karena Allah memerintahkan dengan firman-Nya dalam al-Nisa (4): 19
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ
تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ
اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (النور : 19)
‘… Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.’6
Rahmah, adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati
akibat menyaksikkan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk
memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami
isteri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan
bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggunya.7
Al-Qur’an
menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan pernikahan karena betapa pun hebatnya seseorang (suami dan isteri), pasti
mempunyai kelemahan dan betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur
kekuatannya. Sehingga suami dan isteri harus berusaha untuk saling melengkapi
sesuai isyarat QS. al-Baqarah (2): 187:
(البقرة : 187) هُنَّ
لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
’... Isteri-isteri
kamu adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka...’8
Ayat ini tidak
hanya mengisyaratkan bahwa suami isteri saling membutuhkan sebagaimana
kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami isteri - yang
masing-masing menurut kodratnya mempunyai kekurangan – harus dapat berfungsi
menutup kekurangan pasangannya, seperti halnya pakaian menutup aurat
(kekurangan) pemakainya. Kalau pakaian merupakan hiasan bagi pemakainya, maka
suami adalah hiasan bagi isterinya, begitu pula sebaliknya (QS. Al-A’raf (7): 26). Kalau pakaian mampu memelihara manusia dari sengatan
panas dan dingin (QS. Al-Nahl: 81), maka suami terhadap isterinya dan isteri
terhadap suaminya harus mampu melindungi pasangannya dari krisis dan kesulitan
yang mereka hadapi.9
Dengan kata lain
hubungan suami isteri dalam sebuah keluarga sakinah adalah seperti hubungan
antara raga manusia dengan pakaian yang dikenakannya. Hati dan jiwa pasangan
sudah sedemikian melekat sehingga keduanya hidup bersama secara damai dalam
atmosfir cinta yang harmonis.10
Di samping itu pernikahan
adalah merupakan amanah. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan
kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena
kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik,
serta keberadaannya aman di tangan yang diberi. Dalam konteks ini, isteri
adalah amanah di pelukan suami, suami pun adalah amanah di pangkuan isteri.
Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui pernikahan
tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami dan isteri tak akan menjalin
hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya.11
Kesediaan seorang
isteri untuk hidup bersama dengan seorang laki-laki, meninggalkan orang tua dan
keluarga yang membesarkannya, dan ”mengganti” semua itu dengan penuh kerelaan
untuk hidup bersama laki-laki ”asing” yang menjadi suaminya, serta bersedia
membuka rahasianya yang paling dalam, karena ia merasa yakin bahwa
kebahagiaannya bersama suami akan lebih dan pembelaan suami terhadapnya tidak
kurang dari pembelaan saudara-saudaranya. Dalam konteks ini Sayyid Quţb
mengatakan bahwa al Qur’an mengabadikan tentang sentuhan kehangatan dan
keceriaan yang memberikan kemesraan, kelembutan dan kesejukan dalam hubungan
suami isteri, yang berbeda dengan citra kekasaran binatang.12
Ini berarti bahwa pasangan suami isteri yang membangun
keluarga sakinah akan hidup harmonis di antara keduanya dan dengan anak-anaknya
dalam suasana saling mengasihi dan menyayangi sehingga masing-masing pihak
merasa damai dalam rumah tangganya.
Mengingat kehidupan keluarga yang ideal menurut Islam,
adalah keluarga sakînah, mawaddah dan
rahmah, maka para ulama fiqh sepakat
bahwa untuk memulai suatu pernikahan ada beberapa langkah yang perlu dilalui
dalam upaya mencapai cita-cita keluarga sakinah.
Langkah-langkah itu dimulai dengan peminangan (khitbah) calon isteri oleh pihak
laki-laki dan melihat calon isteri; sebaliknya pihak perempuan juga berhak
melihat dan menilai calon suaminya dari segi keserasiannya. Dari berbagai
rangkaian pendahuluan pernikahan itu menurut Muhammad Zaid al-Ibyanî (tokoh fiqh
dari Bagdad), Islam mengharapkan dalam pernikahan nanti tidak muncul kendala
yang akan menggoyahkan suasana sakĭnah,
mawaddah, dan rahmah itu.13
Tidak kalah
pentingnya pula, bahwa dasar utama pembentukan keluarga sakinah juga ditentukan
keberagamaan pasangan hidup. Sebab
hal ini akan mendorong terwujudnya saling pengertian dan mempercayai antara
suami isteri. Keberagamaan pasangan hidup akan memberikan
nilai positif dalam kehidupan keluarga. Nabi saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا
وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
14
Artinya:
’Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw bersabda: Perempuan itu
dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya. Maka carilah yang beragama supaya kamu
bahagia.’
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa perkawinan mempunyai suatu
tujuan yang harus dipahami oleh calon suami istri, supaya terhindar dari
keretakan dalam rumah tangga, yang biasanya berakhir dengan perceraian yanga
sangat dibenci oleh Allah. Adapun tujuan perkawinan antara lain:
1. Menentramkan Jiwa.
Allah menciptakan hamba-Nya hidup berpasangan dan tidak hanya manusia saja,
tetapi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu adalah suatu yang alami, yaitu
laki-laki tertarik kepada wanita dan begitu juga sebaliknya.
Bila sudah terjadi akad nikah si wanita merasa jiwanya tenteram, karena
merasa ada yang melindungi dan ada yang bertangung jawab dalam rumah tangga. Si
suami pun merasa tenteram karena merasa ada yang mendampinginya untuk mengurus
rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka, dan teman
bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. Sebagaimana diisyaratkan
Allah dalam QS al-Rum: 21 di atas.
Ketenteraman jiwa yang dirasakan pasangan suami isteri dalam ikatan
perkawinan itu bukan berarti tanpa kesalahpahaman atau perselisihan di antara
keduanya. Namun kesalahpahaman dan perselisihan yang terjadi dapat diselesaikan
secara bijak. Sehingga terjadinya kesalahpahaman dan perselisihan justru hanya
merupakan romantikan dalam bahtera rumah tangga, dan bukan sebagai berkembang
menjadi permusuhan.
2. Mewujudkan (melestarikan) Keturunan.
Biasanya sepasang suami istri tidak ada yang mendambakan anak turunan untuk
meneruskan kelengkapan hidup. Anak turunan diarahkan dapat mengambil alih
tugas, perjuangan dan ide-ide yang pernah tertanam di dalam jiwa suami atau
istri. Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah
melalui firman-Nya dalam QS. Al-Nahl: 72:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ
لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
‘Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan
memberimu rezeki dari yang baik-baik….’15
Jelasnya, bahwa melalui perkawinan akan
dilahirkan generasi (anak cucu) yang legal secara yuridis sehingga diharapkan
akan memberikan kontribusi positif dalam pembangunan keluarga dan masyarakat
yang beradab.
Kalau dilihat dari ajaran Islam, di samping alih
generasi secara estafet, anak cucupun diharapkan dapat menyelamatkan orang
tuanya (nenek-moyangnya) sesudah meninggal dunia dengan memanjatkan do'a kepada
Allah. Bahkan anak menjadi investasi bagi kedua orangtua dalam menggapai
keredaan Allah di dunia dan akherat. Nabi saw bersabda:
إذا مات الإ نسا ن إنقتع عنه عمله إلا من ثلا ثة : إلا من صد قة جا
رية أو علم ينتفع به أو ولد
صالح يد عو له (رواه مسلم عن أبي هر يرة )
16
Artinya:
‘Jika manusia sudah meninggal dunia, maka putuslah
amalnya, kecuali tiga perkara. Sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat atau anak
saleh yang mendoakan orangtuanya.’ (HR. Muslim)
Dengan demikian anak yang dilahirkan dalam sebuah
perkawinan, bukan hanya untuk melanjutkan keturunan secara kuantitas umat,
namun terlebih untuk meningkatkan kualitas umat. Dalam konteks ini, anak
merupakan amanah Tuhan kepada kedua orangtuanya. Dalam konteks ini pula
perkawinan melahirkan berbagai tugas dan kewajiban bagi suami isteri- termasuk
kewajiban mereka – kepada anak-anak yang dilahirkannya.
3. Memenuhi
Kebutuhan Biologis.
Hampir semua manusia yang
sehat jasmani dan rohaninya menginginkan hubungan seks. Bahkan dunia hewanpun
berperilaku demikian. Keinginan demikian adalah alamiah, tidak perlu dibendung
dan dilarang. Namun demikian pemenuhan kebutuhan biologis itu harus diatur
melalui lembaga perkawinan, supaya tidak terjadi penyimpangan, tidak lepas bebas
begitu saja sehingga norma-norma adat
istiadat dan agama dilanggar.
Kecenderungan cinta lawan
jenis dan hubungan sexual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak
Allah. Kalau tidak ada kecenderungan dan keinginan untuk itu tentu manusia
tidak akan berkembangbiak. Hal ini serupa dengn firman Allah dalam QS : An-Nisa
:1
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا
وَنِسَاءً
’Hai sekalian manusia bertakwalah
kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya
Allah menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan
laki-laki dan perempuan yang banyak...’ 17
4. Latihan
Memikul Tanggung Jawab.
Pada dasarnya, Allah menciptakan manusia didalam
kehidupan ini tidak hanya untuk sekedar makan, minum, hidup kemudian mati
seperti yang dialami oleh makhluk hidup lainnya. Lebih jauh lagi manusia
diciptakan supaya berpikir, menentukan, mengatur, mengurus segala persoalan,
mencari dan memberi manfaat untuk umat.
Sesuai dengan maksud penciptaan manusia dengan segala
keistimewaan berkarya, maka manusia itu tidak pantas bebas dari tanggung jawab.
Manusia bertanggung jawab dalam keluarga, masyarkat dan Negara. Latihan itu
pula dimulai dari ruang lingkup yang terkecil lebih dahulu (keluarga), kemudian
baru meningkat kepada yang lebih luas lagi.
C. Aspek Hukum Perkawinan Antar orang yang
Berbeda Agama
Yang di maksud dengan "perkawinan antar orang yang
berbeda agama" di sini, ialah perkawinan orang Islam (laki-laki atau
wanita) dengan wanita atau laki-laki non Islam. Dalam masalah ini, terdapat
tiga kemungkinan, antara lain:
1) Perkawinan
antar seorang laki-laki Muslim dengan wanita musyrik ;
2) Perkawinan
antar seorang laki-laki Muslim dengan wanita Ahlul Kitab ;
3) Perkawinan
antar seorang wanita Muslimah dengan laki-laki non Muslim
1.
Perkawinan antara
Seorang Muslim dengan Wanita Musyrik
Islam melarang perkawinan antara seorang laki-laki muslim
dengan wanita musyrik, berdasarkan firman Allah dalam QS. al-Baqarah (2): 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
’Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada
wanita musyrik, walaupun dia rnenarik hatimu.’18
Namun demikian di kalangan ulama timbul beberapa pendapat
tentang siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu? Menurut Ibnu
Jarir al-Thabari -seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk
dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada
waktu turunnya al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah
berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang Muslim boleh kawin dengan wanita
musyrik dari bangsa non-Arab, seperti wanita Cina, India, dan Jepang, yang
diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk
agama Budha, Hindu, Konghucu, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya
adanya hidup sesudah mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh19 juga sependapat dengan ini.
Tetapi kebanyakan (jumhur) ulama berpendapat, bahwa semua
musyrikah baik dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab,
yakni Yahudi (Yudaisme) dan Kristen tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini
bahwa wanita yang bukan Islam, dan bukan pula Yahudi/Kristen tidak boleh
dikawini oleh laki-laki Muslim, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti
Budha, Hindu., Konghucu, Majusi/Zoroaster, karena pemeluk agama selain Islam,
Kristen, dan Yahudi itu termasuk kategori "musyrikah".20
2. Perkawinan
antara Seorang Laki-laki Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab
Jumhur (kebanyakan) ulama, baik Hanafi, Maliki, Syafi’i,
maupun Hanbali berpendapat, bahwa seorang laki-laki Muslim boleh kawin dengan
wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), sesuai firman Allah dalam
QS.al-Maidah: 5
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
’Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu...’21
Ayat di atas memuat informasi bahwa seorang laki-laki
muslim selayaknya mengawini wanita beriman yang menjaga kehormatannya. Ayat ini
juga menjelaskan bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini wanita dari
kalangan ahli kitab dengan persyaratan wanita tersebut menjaga kehormatannya (wanita
baik-baik). Dengan demikian secara tekstual ayat, perkawinan antara seorang
laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab- baik Kristen maupun Yahudi adalah boleh.
Selain berdasarkan Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 5, juga
berdasarkan sunah Nabi, dimana Nabi saw pernah kawin dengan wanita Ahlul
Kitab, yang bernama Mariah
al-Qibtiyah (beragama Kristen). Demikian pula ada seorang sahabat Nabi yang
termasuk senior bernama Hudzaifah bin Al-Yaman pernah kawin dengan seorang
wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya. Ini berarti,
bahwa sahabat-sahabat Nabi yang lain setuju atas perkawinan Hudzaifah tersebut.
Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang
perkawinan antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi,
karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah Kristen dan Yahudi itu
mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran trinitas dan
mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria) bagi umat Kristen, dan
kepercayaannya Uzair putra
Allah dan mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman bagi umat
Yahudi.22
Di samping itu pada awal ayat di atas ternyata memuat
informasi tentang kehalalan makanan dan binatang sembelihan ahli kitab. Makanan
dan binatang sembelihan yang dibolehkan bagi orang Islam tentunya bukan makanan
dan binatang yang haram dikonsumsi oleh orang Islam. Dalam hal ini kebolehan
mengawini ahli kitab digandengkan dengan kehalalan makanan dan binatang
sembelihan ahli kitab. Dengan demikian kebolehan perkawinan antara laki-laki
muslim dengan wanita ahli kitab harus bersifat selektif.
Jelasnya, bahwa laki-laki muslim yang kawin dengan wanita
ahli kitab haruslah memiliki keberagamaan yang mapan, bukan Islam KTP sehingga
melalui pola pergaulan dalam kehidupan rumah tangga, isteri merasakan ciri khas
nuansa Islam yang memiliki keunikan dalam jiwa isteri yang beragama lain. Sehingga
bisa jadi isteri tertarik hatinya memeluk Islam setelah merasakan keunikan
ajaran Islam melalui interaksi dengan suaminya yang muslim itu.
Sedangkan golongan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah
berpendapat bahwa laki-laki muslim tidak kawin dengan wanita ahli kitab.23
Karena itu menurut Yusuf Qardawi ada beberapa ketentuan
yang wajib dipelihara saat mengawini wanita ahli kitab:
1) Harus
dapat dipercaya keadaannya sebagai wanita ahli kitab, yakni beriman kepada
agama samawi yang asli, seperti Yahudi dan Nasrani;
2) Wanita itu
menjaga kehormatannya, karena Allah melarang kawin dengan sembarang wanita ahli
kitab;
3) Wanita
tersebut bukan dari kalangan yang memusuhi dan memerangi umat Islam;
4) Di balik
perkawinan dengan wanira ahli kitab itu tidak menimbulkan fitnah atau mudarat
yang diperkirakan pasti terjadi atau diduga kuat akan terjadi.24
3.
Perkawinan antara Seorang Wanita Muslimah dengan laki-laki non Muslim
Ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan
antara seorang wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, baik calon suaminya
itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan
Yahudi (relevealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab
serupa kitab suci, seperti Budhisime, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau
kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci,
termasuk pula disini penganut Animisme, Atheisme, Politisme dan sebagainya.25
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum larangan perkawinan
antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim, ialah :
a. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 221
:
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ
مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
‘Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Karena mereka (orang musyrikh) menarikmu ke neraka, padahal Allah
mengajakmu ke surga dan ampunan dengan izin-Nya...’26
Ayat ini mengandung larangan menikahkan wanita mukmin
dengan laki-laki musyrik. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan antara wanita
mukmin dengan laki-laki musyrik adalah haram hukumnya karena al-aslu fi
al-nahyi li al-tahrim (pada dasarnya larangan itu menunjukkan kepada
haram).27
b. Ijma’ para Ulama tentang Larangan Perkawinan antara
Wanita Muslimah dengan Laki-laki Non-Muslim.
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam
(laki-laki/wanita) dengan orang yang bukan Islam (laki-laki/wanita, selain
Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen
dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat
berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta
alam semesta, percaya kepada para nabi , kitab suci, malaikat, dan percaya pula
pada hari kiamat; sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada
semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan
mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman untuk
meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti
"kepercayaan/ideologi" mereka.28
Jelasnya, bahwa Islam mustahil bertemu (kompromi) dengan
keberhalaan. Akidah tauhid yang murni bertentangan secara diametral dengan
akidah syirik.29 Ibarat dua garis yang sejajar mustahil
berpotongan, walaupun secara matematis pada jarak tak terhingga tampak
seolah-olah berpotongan namun hal itu hanyalah khayalan, mustahil terjadi dalam
kenyataan.
Mengenai hikmah diperbolehkannya perkawinan antara
seorang laki-laki Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi, ialah karena pada
hakikatnya agama Kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab
sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka kalau seorang wanita
Kristen/Yahudi kawin dengan laki-laki Muslim yang baik, yang taat pada
ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauannya sendiri
masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan
kesempurnaan ajaran agama Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga
Islam. Sebab agama Islam mempunyai panutan/pedoman hidup yang lengkap,
mudah/praktis, flexible, demokratis,
menghargai kedudukan wanita Islam dalam keluarga, masyarakat, dan negara,
toleran terhadap agama/kepercayaan lain yang hidup di masyarakat, dan
menghargai pula hak-hak asasi manusia terutama kebebasan beragama, serta
ajaran-ajarannya yang rasionable.
Fakta-fakta menunjukkan bahwa wanita-wanita Barat dan
Timur yang kawin dengan laki-laki Muslim yang baik dan taat pada ajaran
agamanya, dapat terbuka hatinya dan dengan kesadaran sendiri si istri masuk
agama Islam.30 Namun, kalau seorang pemuda muslim itu
kualitas iman dan Islamnya masih belum baik, misalnya Islamnya masih Islam KTP
atau Islam Abangan, maka seharusnya ia tidak berani kawin dengan pemudi
Kristen/Yahudi yang militan, karena ia dapat terseret kepada agama istrinya.
Dan hal ini sesuai dengan taktik dan strategi Ahlul Kitab untuk memurtadkan
umat Islam dan kemudian menariknya ke agama mereka dengan berbagai cara.31
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang
wanita Islam dengan laki-laki Kristen/Yahudi, karena dikhawatirkan wanita Islam
itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya,
kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir
dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama
bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-anak melebihi
ibunya. Dalam hal ini, fakta-takta sejarah menunjukkan bahwa tiada sesuatu
agama dan sesuatu ideologi di muka bumi ini yang memberikan kebebasan beragama
dan bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain, seperti agama Islam. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. al-Baqarah: 120
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى
تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
‘Orang Yahudi dan Kristen tidak akan
senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka…’32
Dan berfirman
Allah dalam Surat al-Nisa: 141
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
سَبِيلًا
’...Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang beriman.’33
Ayat tersebut di atas mengingatkan kepada umat Islam,
hendaknya selalu berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang
kafir termasuk Yahudi dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan
umat Islam dengan berbagai cara. Dan hendaknya umat Islam tidak memberi
jalan/kesempatan kepada mereka untuk mencapai maksudnya, misalnya dengan jalan
perkawinan seorang wanita dengan laki-laki non-Muslim.
Selaras dengan asumsi di atas,
Cortenay Beale dalam bukunya Marriage Before & After mengingatkan,
bahwa pasangan suami istri yang terdapat religious antagonism (perlawanan/permusuhan
agama), misalnya perkawinan antara pemuda Katolik dengan pemudi Protestan atau
Yahudi atau agnostik, yang masing-masing yakin dan konsekuen atas kebenaran
agama/ideologinya, maka akan sulit sekali menciptakan rumah tangga yang
harmonis dan bahagia, karena masalahnya adalah masalah yang sangat prinsip dan
sensitif umat beragama.34
Menurut realitas, bahwa perkawinan
antarorang yang berlainan agama bisa menjadi sumber konflik yang dapat
mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Karena itu, tepat dan
bijaksanalah bahwa agama Islam pada dasarnya rnelarang perkawinan antara orang Islam
(laki-laki/wanita) dengan orang yang bukan Islam, kecuali laki-laki Muslim yang
kualitas iman dan Islamnya cukup baik, diperkenankan kawin dengan wanita Ahlul
Kitab yang akidah dan praktek ibadah orang Islam. Sayang jauh menyimpang dari
ajaran tauhid yang murni. Itulah sebabnya sebagian ulama melarang perkawinan
antara laki-laki Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi, walaupun secara tekstual
berdasarkan QS. Al-Maidah ayat 5, jelas membolehkannya.
Karena itu, perkawinan antara orang
Islam (laki-laki/wanita) dengan orang non-Islam, yang dilaksanakan di Kantor
Catatan Sipil, tidaklah sah menurut hukum Islam, karena perkawinannya tidak
dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam, yakni tidak memenuhi syarat dan
rukunnya, antara lain tanpa wali nikah dan mahar/maskawin serta tanpa ijab
qabul menurut tata cara Islam.
Menurut hemat penulis, larangan
perkawinan tersebut oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempunyai alasan yang
cukup kuat, yakni :
Pertama, dari segi
hukum positif bisa dikemukakan dasar hukumnya antara lain ialah pasal 2 ayat
(1) UU Noinor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua, dari segi hukum Islam, dapat disebutkan
dalil-dalilnya sebagai berikut :
a. Sadduz zari’ah, artinya sebagai tindakan
preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga
akibat perkawinan antara orang Islam dengan non-Islam;
b. Kaidah fiqh: د رء المفا سد
مقد م على جلب المصا لح
‘Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik
kemaslahatan.’35
Dalam hal ini resiko dari perkawinan
antara orang Islam dengan non Islam adalah terjadinya kemurtadan dan broken
home- yang harus didahulukan/diutamakan daripada upaya mencari manfaat
yakni menariknya memeluk agama Islam (islamisasi) suami/istri, anak-anak
keturunannya nanti, dan keluarga besar
dari masing-masing suami istri yang berbeda agama itu.
c. Pada
prinsipnya agama Islam
melarang (haram) perkawinan antara seorang beragama Islam dengan seorang
yang tidak beragama Islam (Perhatikan Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 221),
sedangkan izin kawin seorang laki-laki Muslim dengan seorang wanita dari Ahlul
Kitab (Nasrani/Yahudi) berdasarkan QS.al-Maidah: 6 hanyalah dispensasi
bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam laki-laki Muslim tersebut haruslah
cukup baik, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang tinggi (pindah
agama atau cerai).36
Fenomena buruk dari perkawinan antara seorang muslim
dengan non muslim memang telah menjadi dilema dalam kehidupan. Karena pada satu
sisi dampak negatifnya sangat signifikan baik bagi ayah/ibu, maupun anak-anak
yang dilahirkan dalam keluarga tersebut. Namun di sisi lain tuntutan hak asasi
manusia (HAM) justru menganggap perkawinan seperti itu sebagai bagian dari hak
asasi setiap orang.
D. Kesimpulan
1. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita
musyrik adalah haram hukumnya menurut hukum Islam. Demikian juga perkawinan
wanita muslim dengan laki-laki non muslim
2. Perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli
kitab, boleh menurut al-Qur’an,
dengan syarat laki-laki termasuk orang yang kuat imannya serta memiliki keberagamaan
yang baik, serta wanita tersebut adalah wanita baik-baik.
3. Tetapi dalam perkembangan saat ini perkawinan antara
laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab lebih banyak mudaratnya ketimbang
maslahatnya. Karena itu perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli
kitab, dilarang.
KEPUSTAKAAN
Abū Dāud, Sunan Abū Dāud, Jilid I (Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.].
Beale, Courtenay. Marriage Before &
After (London: The Wales Publishing Co., [t.th.].
Dahlan,
Abdul Azis, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5. Cet. VI;
Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.
al-Dārimî.
Sunan al- Dārimî, Juz II. Bayrut:
Dar al-Fikr, [t.th.].
Departemen
Agama R.I. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV Indah Press, 2002.
Glasse, Cyril. The
Concise Encyclopedia of Islam. Diterjemahkan oleh Ghufran A.Mas’adi dengan
judul Ensiklopedi Islam Ringkas. Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Hasan,
M. Ali. Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah Pada Masalah Kontemporer Hukum Islam. Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Ibn Mājah. Sunan
Ibn Mājah, Juz I. Bayrut: Dar
al-Fikr, [t.th.].
al-Jurjawi, Ali
Ahmad. Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh, Juz II. Kairo: Al-Matba’ah
al-Yusufiyah, 1931.
Muslim. Sahih
Muslim, Juz II. Bayrut: Dar al-Fikr, 1992.
Nasution, Andi
Hakim. Membina Keluarga Bahagia. Cet. III; Jakarta Antara, 1993.
Qardawi, Yusuf. Hady al-Islam Fatawi
Mu'asirah. Diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1. Cet. VI;
Jakarta: PT Gema Insani Press, 2000.
Quţb, Sayyid. Tafsir fi Zilāl al-Qur’ ān, Jilid
I, Juz II. Cet. XII; Mekkah: Dār al-‘Ilm li al-Tiba’ah wa
al-Nasyr, 1986M/1406H.
Rida, Rasyid. Tafsir
al-Manar, Juz VI. Kairo: Dar al-Manar, 1367H.
Republik
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jakarta:
Bulan Bintang, 1981.
Shihab, M. Quraish.
Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 11. Cet.
III; Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 35.
-------. Wawasan
al-Qur’an. Cet. X; Bandung:Mizan, 2002.
Yanggo, H. Chuzaimah
T., dan H.A.Hafiz Anshary A.Z. Problematika Hukum Islam Kontemporer,
Buku Pertama. Cet.
III; Jakarta: PT
Pustaka Firdaus bekerja sama dengan LSIK, 1999.
Zein, H. Satria
Effendi M. Ushul Fiqh. Cet. I; Jakarta: Prenada media, 2005.
1Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (Jakarta: Ditjen
Binpera Islam Depag R.I, 2001), h. 100.
2 Lihat Andi Hakim Nasution, Membina Keluarga Bahagia (Cet. III;
Jakarta Antara, 1993), 3.
3 Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah
Press, 2002), h. 644.
4M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah:
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 11 (Cet. III; Jakarta:
Lentera Hati, 2005), h. 35. Sakinah, berarti ketenangan, kedamaian. Lihat
Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh Ghufran A.Mas’adi dengan
judul Ensiklopedi Islam Ringkas (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 351.
5 Lihat ibid., h. 36.
6 Departemen Agama R.I.,
op.cit., h. 119.
7 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Cet. X;
Bandung:Mizan, 2002), h. 208.
8 Departemen Agama R.I., op.
cit., h. 45.
9Lihat Sayyid Quţb, Tafsîr fi Zilāl al-Qur’ ān, Jilid
I, Juz II (Cet. XII; Mekkah: Dār al-‘Ilm li al-Tiba’ah wa al-Nasyr,
1986M/1406H), h. 168-169.
10Ramlan Yusuf Rangkuti, “Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Hukum Islam,”
dalam H. Chuzaimah T.Yanggo dan H.A.Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum
Islam Kontemporer, Buku Pertama (Cet. III; Jakarta: PT Pustaka Firdaus bekerja sama
dengan LSIK, 1999), h. 49.
11 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan, op.cit., h. 209-210.
12 Lihat Sayyid Quţb, op.cit,
h. 168.
13Lihat Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam,
Jilid 5 (Cet. VI; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 1330.
14 Abū Dāud, Sunan Abū
Dāud, Jilid I (Bayrut: Dar al-Fikr,
[t.th.]), h. 454. Lihat pula Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, Juz I (Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 597. al-Dārimî,
Sunan al- Dārimî, Juz II
(Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 134.
15 Departemen Agama R.I., op.cit., h. 412.
16 Muslim, Sahih Muslim, Juz III (Bayrut: Dar al-Tiras
al-‘Arabi, 1955), h. 255.
17 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 114.
18 Ibid., h. 53.
19 Lihat Rasyid Rida,Tafsir al-Manar, Juz VI (Kairo: Dar
al-Manar, 1367H), h. 187-188.
20 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Cet. VI; Jakarta: PT Toko
Gunung Agung, 1999)., h. 5.
21 Ibid., h. 158.
22 Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 5.
23Lihat M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah
Kontemporer Hukum Islam (Cet. IV; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
h. 11.
24 Lihat Yusuf Qardawi, Hady al-Islam
Fatawi Mua’sirah, diterjemahkan oleh
As’ad Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa
Kontemporer, Jilid 1 (Cet. VI; Jakarta: PT Gema Insani Press, 2000), h. 587-592.
25 Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 6.
26 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 53.
27 H. Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Cet. I; Jakarta: Prenada media, 2005), h. 192.
28 Lihat Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah
al-Tasyri’ wa Falsafatuh, Juz II (Kairo: Al-Matba’ah al-Yusufiyah, 1931),
h. 25-26.
29 Lihat Yusuf Qardawi, op.cit., h.
580-581.
30 Lihat al-Jurjawi, op.cit., h. 26-27.
31 Lihat Rasyid Rida, op.cit., h.
193.
32 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 32.
33 Ibid., h. 146.
34 Courtenay Beale, Marriage Before & After (London: The
Wales Publishing Co., 9t.th.]), h. 120.
35 Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), h. 74.
36 Lihat Masjfuk Zuhdi, op.cit., 10.
https://www.morebooks.de/ store/de/book/protection-of- the-rights-of-domestic- violence-victims/isbn/978-3- 8484-8749-3
Catatan Tambahan:
Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Hak-hak Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul "PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: Perspective Indonesian Criminal Law and Islamic Law," yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman.
Buku tersebut dapat dibeli toko buku online, Morebooks, mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman seharga 59,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada laman berikut ini:
https://www.morebooks.de/
Assalamualaykum warohmatullahi wabarokatu..
BalasHapusnama hamdan suat
kls Js.A
senestr 4
Dalam realita kehidupan pernikahan beda agama seorang muslim dengan non muslim telah menjadi Fenomena buruk dalam kehidupan, apalagi di sisi lain tuntutan hak asasi manusia (HAM) justru menganggap perkawinan seperti itu sebagai bagian dari hak asasi setiap orang.
Nah yg ingin saya tanyakan adakah upaya dari pada pemerintah kita untuk meluruskan pandangan masyarakat tenteng hal ter sebut..?
asalamualaikum warahmatullahi wabarakatu
Hapusmaaf sebelumnya hamdan..
saya rasa.. venomena septi itu sulit di luruskan
di karenakan banyaknya produk undang" yg secara tidak di sadari
memberikan peluang trsbut
saya harap tanggapan mu Hamdan
Maaf sebelumnya Pak' kalau saya minta pandangan teman saya
saya harap bapk tidak keberatan
Hamdan: Pemerintah telah berupaya meluruskan dan mengeliminir dampak perkawinan antar org berbeda agama dengan melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI).
HapusDlm KHI ditentukan bhwa pernikahan beda agama dilarang dilakukan di Indonesia, perkawinan beda agama lbih banyak mudarat (bahaya)nya drpd maslahat (manfaat)nya, baik bagi suami, istri maupun anak-anaknya.
Assalamu'alaikum wr.wb
BalasHapusSaman Hudi Rumaf
Js-A' / IV
Nim : 0120104021
jadi.. yang ingin saya tanyakan itu gini pak'
Saya termasuk seorang hamba Allah di bumi Allah
dan yang ingin menanyakan kasus berikut:
Ada seorang laki-laki Muslim berbuat zina dengan seorang wanita Katolik sehingga hamil sekian bulan, lalu ia ingin bertanggung jawab dengan menikahinya dengan kondisi berikut:
1. Wanita Katolik tesebut menginginkan menikah digereja dengan cara Katolik kemudian setelahnya menikah secara Islam, kemudian catatan negara dilakukan dengan administrasi Katolik, sedangkan secara Islam tanpa catatan.
2. Kemudian keduanya setelah itu hidup berkeluarga dalam keadaan berbeda agama. Dalam hal ini pihak laki-laki istilahnya terpojokkan karena sudah menghamili. Sehingga HARUS menikahi dengan cara tersebut, dengan tetap pada keyakinan masing-masing. Dalam prosesnya, orangtua (bapak) dari laki-laki itu sudah mengusahakan dengan semaksimal mungkin untuk menikah dengan cara Islam tanpa syarat, wanita tersebut harus masuk Islam dulu. Namun dari pihak wanita (keluarganya) tetap tidak menyetujui. Kemudian akhirnya, dengan berbagai pertimbangan orangtua ini menyetujui prosesi tersebut.
Masalah yg muncul bukan hanya bersumber dr perkawinan beda agama antara mempelai dan mempelai perempuan namun hamil sebelum nikah (nikah dalam kondisi hamil). Itu merupakan masalah yg rumit. Kerumitannya bukan disebabkan oleh aturan undang-undang atau syariat Islam, namun dimunculkan sendiri oleh kedua mempelai (hubungan biologis di luar perkawinan) yg sangat dilarang agama.
HapusKalau dicermati dr QS al-Maidah ayat 5 menikahi perempuan ahlul Kitab sebenarnya boleh, namun kebolehannya menjadi dilarang mengingat berbagai dampak sosiologis dr perkawinan beda agama tsb.
Dr aspek pelaksanaan ijab qabul jg menimbulkan masalah. Jika keduanya menikah menurut tata cara pernikahan agama Katolik tanpa dilakukan secara syariat Islam, maka perkawinan tdk sah.
Kalau pun dinikahkan secara syariat, muncul masalah apakah akad nikahnya sah atau tdk?
Wallahu a'lam bis shawwab
Arsad B. Rahanyamtel
BalasHapusJs-A' / IV
Nim : 0120104001
Asalamualaikum Watahmatullahi Wabarakatuh.
yang ingin saya tanyakan pa' bila ada seorang wanita muslim yang menikan dengan lelaki non muslim
saat itu pernikah mereka karena sudah mengandung. dia menikah denga cara islam dan cara agamanya.sekarang dia sudah dikaruniai 2 anak yang beragama islam dan perkawinan merekah berjalan baik2 saja sampai sekarang.
Pertanyaan saya adalah sekarang si wanita ini ingin menjadi orang yang lebih baik untuk di akhirat nanti.apakah saya harus bercerai atau tidak/ moho tanggapanya pak'
Karena menurut QS al-Baqarah ayat 221 perkawinan wanita muslim dgn laki-laki non muslim dilarang, maka menurut sebagian ulama fiqh, perkawinan mereka tdk sah, sehingga hubungan mereka berdua jg tdk sah. Namun menurut sebagian ulama yg lain perkawinan sah namun mereka haram.
HapusJika si wanita ingin menjadi orang yang lebih baik maka pilih antara dua alternatif: gugat cerai suaminya atau minta kerelaan suaminya masuk Islam (ingat atas kemauan suami, dan bukan dipaksa).
Pilihan cerai terpaksa dilakukan sebab perkawinan mereka haram, dan untuk menghindari keharamannya maka mereka harus pisah, sekaligus sebagai bentuk taubat si wanita muslim tsb.
Wallahu a'lam bis shawwab
Nama: Hayatudin Latulanit
BalasHapusNim: 0120104011
Klas: js-a / IV
asalamualaikum wr..... wb......
Menurut informasi yang saya dengar bahwa hukum di indonesia tidak memungkinkan untuk melaksanakan hukum antaragama (islam dan kristen). benarkah demikian? seandainya sepasang lelaki dan perempuan yang berbeda agama ingin melangsungkan pernikahan, bagaimana caranya, apakah bisa dilakukan di indonesia atau harus pergi ke luar negeri. Apakah perkawinan beda agama dapat dilakukan melalui nikah siri? mohon penjelasan. terima kasih.
Setelah diundangkannya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dipertegas oleh KHI, maka perkawinan beda agama tdk bisa dilakukan di Indonesia.
HapusKalau pun ada yang nekad menikah beda agama di Indonesia konon dilakukan secara siri. Jika perkawinan beda agama dilakukan melalui nikah siri maka telah muncul dua masalah yakni perkawinan beda agama dan nikah siri.
Dalam nikah siri yg dirugikan umumnya adalah istri dan anak-anaknya krna status perkawinannya tdk tercatat. Sebab kalau mau dicatat di KUA disyaratkan calon suami istri harus seagama (tdk beda agama).
Sehingga biasanya perkawinan beda agama dilakukan di luar negeri
Bismillaah_
BalasHapusBerbicara mengenai pernikahan beda agama baik itu antara pria muslim dan wanita musyrik, pria muslim dan wanita ahlul kitab, maupun wanita muslim dan pria non muslim telah menjadi perhatian para ahli hukum islam. Karena, hal tersebut selain mempunyai nash yang jelas, juga melanggar aturan UU perkawinan yang telah ditetapkan. Salah satu dasar keberatan dari pernikahan beda agama misalnya, dalam surah Al-baqarah:221. Dimana dalam ayat tersebut secara tegas mengharamkan pernikahan berbeda agama.konsekuensinya adalah pernikahan antara dua insan yang berbeda agama harus dibatalkan, Meskipun para fuqaha ada yang berbeda pendapat dalam menyikapinya. Namun, jika dikaitkan dengan soal hak asasi manusia dan kebebasan beragama, maka pernikahan beda agama selama diyakini tidak menghalangi keimanan seseorang, boleh saja dilakukan. Tetapi, yang harus diprioritaskan adalah pernikahan seagama, agar mencapai tujuan dari pernikahan dan juga mendapat ridha Allah SWT. Karena, berdasarkan realita, pernikahan orang yang seagama saja sering terjadi konflik apalagi pernikahan antara orang yang berbeda agama.
Rika lisnawati T
Jinayah Siyasah A (IV)
Dari aspek HAM memang larangan nikah beda agama dianggap melanggar HAM asasi manusia. Namun perlu disadari bahwa apa yang ditentukan oleh Allah untuk manusia selaku hamba pasti yang terbaik untuk manusia. Menikah bukan sekedar untuk kepentingan kedua belah pihak (suami dan istri) tetapi juga berkaitan dengan kepentingan anak keturunan sekaligus tanggungjawab terhadap agama mereka.
HapusKalau hanya mempertimbangkan hak asasi individu, maka hak asasi anak keturunan justru akan diabaikan.
Dan yg lebih terpenting adalah mengenai tanggungjawab di hadapan Allah. Kita bisa mengemukakan beribu dalih tanpa disadari bahwa dalih-dalih tsb hanyalah tipuan muslihat hawa nafsu yg menyesatkan semata. Sebab mencari kepastian di dunia adalah suatu hal yg tak pasti.
Ali wijaya Js A semester IV
BalasHapusAssalamualaikum Pak
Dalam perspektif HAM, membentuk
keluarga melalui pernikahan
merupakan hak prerogatif pasangan
calon suami dan istri yang sudah
dewasa. Kewajiban negara adalah
melindungi, mencatatkan dan
menerbitkan akte perkawinannya.
Namun sayangnya, realitas ini tidak
cukup disadari oleh negara, bahkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan maupun KHI tidak
memberi tempat bagi perkawinan beda
agama. menurut Bapak bagaimana cara kita menyikapi hal tersebut ?
Dari aspek HAM memang larangan nikah beda agama dianggap melanggar HAM asasi manusia. Namun perlu disadari bahwa apa yang ditentukan oleh Allah untuk manusia selaku hamba pasti yang terbaik untuk manusia.
HapusHAM dalam perspektif barat terkadang kebablasan. Di dunia ini sebenarnya tdk ada yang bebas sebebas-bebasnya, setiap kebebasan pasti ada batasannya.
Mengapa Islam tdk memberikan kebebasan mutlak dalam mencari calon istri dan suami?
Di antara alasannya, adalah bahwa kebebasan seseorang jika diberikan tanpa batasan maka akan melanggar kebebasan orang lain.
Perkawinan bukan untuk kepentingan suami istri namun jg berkaitan dengan kepentingan anak keturunan, sanak famili.
Tujuan utama perkawinan adalah mencari kebahagiaan. Bagaimana mungkin kebahagiaan perkawinan bisa dicapai jika masing-masing suami istri memiliki keyakinan yang berbeda? Bagaimana pula mereka bisa melahirkan anak keturunan yg saleh jika keyakinan kedua orang tuanya berbeda. Padahal keyakinan agama adalah hal yg sensitif.
Mungkin kebahagiaan duniawi dan materi bisa diwujudkan dalam perkawinan beda agama, namun kebahagiaan ukrawi akan sulit diwujudkan krna keyakinan anak keturunannya menjdi tdk jelas. Padahal orang tua akan dimintai tanggungjawab terhadap anak keturunannya.
Jadi, pertimbangannya bukan untuk kepentingan temporer melainkan kepentingan jangka panjang (ukrawi).
Dan yg lebih terpenting adalah mengenai tanggungjawab di hadapan Allah. Kita bisa mengemukakan beribu dalih tanpa disadari bahwa dalih-dalih tsb hanyalah tipuan muslihat hawa nafsu yg menyesatkan semata. Sebab mencari kepastian di dunia adalah suatu hal yg tak pasti.
Nama : nurul syahni
BalasHapusjurusan : JS a
semester : lV
Assalamu’alaikum.
pak, saya ingin bertanya:
- Bagaimana hukum bagi orang yang mempertahankan pernikahan dengan pemeluk agama lain, dengan harapan si wanita muslimah dapat membimbing suaminya yang non muslim untuk dapat menjadi seorang muslim?
Sedangkan dampak dari hal tersebut adalah anak lebih sering bermain di tempat keluarga yang non muslim karena kesibukan ibunya yang bekerja di luar rumah.
Meskipun istri bisa membimbing suaminya menjadi seorang muslim namun perkawinannya tetap dilarang.
HapusKrna kemungkinan tsb hanya bersifat kasuistik yg meski bisa terjadi tp tdk banyak terjadi dalam masyarakat. Padahal ketentuan hkm didasarkan kepd fakta yg banyak terjadi.
Bahkan yg banyak terjadi dalam kasus perkawinan seperti itu justru istrilah yg murtad.
Kecuali si suami telah masuk Islam atas kemauannya sendiri sebelum mereka menikah. Dalam hal itu perkawinan mereka bukanlah perkawinan beda agama tp perkawinan antar org yg seagama.
Nama : Darja Rahantan
BalasHapusKLS : JS/B/IV
NIM : 0120104035,
Bagemana jika sorang wanita muslim menika dengan laki2 ahlil kitab sedangkan di Al- Quran tidak di jelaskan seperti itu,
menurut pemahaman bapak bagemana,, ????
Yg dibolehkan QS al-Maidah ayat 5 adalah perkawinan antara seorang pria muslim dgn wanita ahlul Kitab sedangkan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria ahlul Kitab tdk diatur secara khusus. Tetapi berdasarkan QS al-Baqarah ayat 221 perkawinan wanita muslim dengan pria ahlul Kitab tsb dilarang.
HapusMenghindari bahaya lbih diutamakan/didahulukan dripada mencari manfaat.
Assalamualaikum wr... Wb...
BalasHapusNama: lamael sinamur.
Jurusan: js b.
Smester: IV.
Pak bagaimna kalau seorang wanita muslim menikah dgn pria non muslim dan mereka memperoleh 2 org anak laki-laki & perempuan, ktika anaknya dewasa mereka bercerai ttapi 2 org anak anak tersebut
mengikuti agama ibunya...
Pertanyaan saya adalah.
Bagaimna kalau pada saat anak perempuannya menikah tanpa ada wali sah, apakah pernikahan tersebut sah atau tidak..mohon penjelasannya pak.
Pernikahan tidak sah apabila tidak ada wali yang sah, karena bapaknya non muslim maka yang berhak menjadi wali adalah wali hakim
HapusKomentar Ali betul. Meski secara biologis ayah memiliki hubungan darah dgn anak gadisnya namun secara hukum perdata Islam, ayah yg beragama non muslim tdk memiliki hubungan secara perdata.
HapusDalam kasus tersebut yg menjadi wali dlm perkawinan anaknya adalah wali hakim.
Dgn demikian perkawinan wanita muslim dgn pria non muslim merupakan masalah dari awal perkawinan hingga perkawinan anak keturunannya.
Jika umat Islam mau berpikir rasional tanpa memperturutkan seleranya maka akan menghindari perkawinan seperti itu.
Bukankah tujuan utama perkawinan adalah untuk meraih kebahagiaan, dan bukan untuk mencari masalah
Pak bagaimana jika ada orang tua yang menjodohkan anak perempuannya menikah dengan laki-laki non muslim dikarnakan orang tua perempuan sedang sakit keras ( bisa dikatakan seandainya orangtua nya meninggal ini adalah wasiat terakhirnya )dan butuh uang untuk berobat yang notabene si laki-laki yang non muslim adalah orang kaya...apa yang harus dilakukan?
HapusAssalamu'alaikum Wr Wb.....
BalasHapusbismillah...
pertama-tama terimakasih kepada bapak karena dengan adanya blog ini dapat memberikan referensi bagi mahasiswa khususnya pada mahasiswa Fakultas Syari'ah dlm bidang kajian hukum perkawinan dan memberikan pemahaman kpd masyarakat pada umumnya.
walaupun perkawinan merupakan hal keperdataan namun perkawinan harus sesuai dengan peraturan baik aturan negara maupun aturan syar'i.
dilihat dari realita perkawinan sering melanggar aturan yang telah ditentukan, pelanggaran itu dapat dilihat pernikahan beda agama yang mempertahankan kepercayaannya masing-masing.
Dalam poin maqasyid syariah salahsatunya adalah untuk melindungi agama
pertanyaan saya
bagaimana menurut pandangan bapak kalau perkawinan beda agama itu dmasukan dalam bentuk delik pidana?
saya menduhuluinya terimakasi atas jawaban bapak
Wasalam..
Rasyid Malihu
JS A
SEMESTER IV
Hahaha. Perkawinan dalam hukum Indonesia dn hukum negara di dunia dikategorikan sebagai bagian dr masalah perdata.
HapusYg dikategorikan sebagai tindak pidana adalah penistaan agama, yg memang telah diatur dalam KUHP.
Namun demikian tdk tertutup kemungkinan suatu saat nanti bisa sj persoalan yg Rasyid komentari itu menjadi bagian delik.
Dulu tindak kekerasan suami kpd istri atau sebaliknya meski istri sudah babak beluk, namun jika dilaporkan kepd aparat penegak hukum tak akan disidik jika diketahui bahwa kasus yg dilaporkan merupakan bagian urusan rumah tangga.
Namun sejak tahun 2004 kekerasan yg dilakukan suami kpd istrinya telah menjd tindak pidana/delik stlah disahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
RUSJI RUMBIA
BalasHapus0120104013
JS-A
sem 4
Assalamualikum wr. wb
pak saya ingin menanyakan bahwa sebenarnya perkawinaan beda agama bisa di laksanakan di indonesia atau tidak?
karna yang saya tahu bahwa perkawinan beda agama tidak di izinkan di indonesia. tapi ko kenapah, banyak kalangan artis yang menikah di indonesia, melainkan di luar negeri yang mengizinkan beda agama.
Sesuai ketentuan hukum perkawinan di Indonesia, pernikahan beda agama tdk bisa dilayani. Karena itulah bagi pasangan yg mau menikah beda agama memilih pelaksanaan pernikahannya di luar negeri.
Hapusasslamu'alaikum Wr...Wb...
BalasHapusNama Nursia keliata
Nim 0120104025
langsung saja ke pertanyaannya...
bagaimana hukumnya bila saat menikah mereka satu agama, namun dikemudian hari salah satu dari mereka keluar dari agama islam. Apakah dalam hukum islam mereka dianggap ceai ataukah pernikahan mereka masih sah ?
wassalam...
Menurut hukum Islam, murtadnya salah seorang dr suami istri menjadi penyebab putusnya perkawinan mereka (fasakh). Krna itu perkawinan mereka tdk sah lg.
HapusAssalamu'alaikum Wr.Wb.
BalasHapusNama Fitri mano
Nim 0120104006
saya ingin bertanya tentang, bagaimana status anak-anak dari orang tua yang nikah beda agama dan bagaiman hukumnya dari orang tuanya yang nikah beda agama...?
Status anak dr org tua yang nikah beda agama, adalah anak sah. Namun masalahnya terletak pd pilihan agama yg mengikuti agama salah satu orgtuanya yg non muslim.
HapusPerkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik diharamkan oleh al-Quran surat al-Baqarah: 221. Begitu jg perkawinan antara wanita muslim dengn pria non muslim.
Sedangkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlul Kitab dibolehkan menurut QS al-Maidah: 5 namun dengan pertimbangan sadduz zari'ah (menghindari dampak negatifnya) maka perkawinan tsb menurut KHI dilarang.
Nama : Novia Alfitah
BalasHapusSemester : 6
Jurusan : Ahwal Al-Syakhsiyah (AS)
Assalamualaikum,,, pak...
Bgini, saya pernah baca ada artikel di salah satu blog yg terkait dengan perkawinan beda agama ini. Judul artikelnya tentang : "Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama"
Jd di artikel tersebut tertulis bahwa pada salah satu seminar di Depok, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Empat cara tersebut adalah meminta penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan menikah di luar negeri.
Saya ingin menanggapi sedikit tentang cara yg keempat utk menempuh perkawinan beda agama. Yakni menikah di luar negeri. Saya melihat bahwa banyak artis-artis Indonesia yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan Australia untuk melakukan perkawinan beda agama. Namun menurut saya, jika melakukan perkawinan di luar negeri, berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Kemudian dalam artikel yg saya baca, pasangan dari perkawinan beda agama tersebut mendapat akte dari negara tempat mereka melangsungkan perkawinan beda agama ini. Disebutkan bahwa akte di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak memperoleh akte lagi dari negara.
Saya ingin memberi garis bawah pada pernyataan dalam artikel yang saya baca itu, yakni bahwa akte yg mereka dapatkan di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya tidak memperoleh akte lagi dari negara.
Pertanyaan saya,,, dari pernyataan yg saya garis bawahi tersebut. Menurut tanggapan bapak, apakah akte yg mereka dapatkan dri negara luar itu ketika mereka kembali di Indonesia, dapat dinyatakan sah atau tidak sah menurut hukum negara kita? Karena akte itu jelas dikeluarkan menurut ketentuan hukum negara luar yg penetapan nya berbeda dengan hukum di negara kita...
Selanjutnya, muncul masalah baru dan hal ini juga ingin saya tanyakan pak. Yaitu, berhubung di negara kita ada berbagai contoh pasangan yg melakukan perkawinan beda agama seperti pada kalangan artis. Kemudian ada di antara mereka yg ingin bercerai. Ini yang membuat kebingungan, mengingat jika perceraian terjadi antara suami istri sesama muslim maka perceraian nya akan berproses di Pengadilan Agama. Sedangkan yg non-muslim di Pengadilan Negeri. Pertanyaan saya pak, bagaiman jika dikemudian hari nanti pasangan beda agama ini hendak bercerai, apakah bisa proses percerainnya di langsungkan di Pengadilan Negeri di Indonesia? Karena mengingat, hukum negara kita tidak mengatur tentang perkawinan beda agama ini. Jadi, apakah mereka harus melakukan proses perceraian nya di negara luar di mana tempat mereka melangsungkan perkawinan beda agama tersebut? Atau bagaimana dengan kejelasan hukumnya pak, terhadap kasus seperti ini?
Demikian, wassalam...
Jika betul Akte Nikah yg dikeluarkan pihak berwenang di luar negeri dicatatkan pd Kantor Catatan Sipil di Indonesia, maka hal itu hanya menjadi dokumen tentang hubungan keperdataan suami istri tsb.
HapusNamun demikian perkawinan mereka tetap dikategorikan haram dalam hukum Islam.
Kalau mereka menikah bisa diajukan ke PN krna pernikahannya tdk melalui KUA (bg si muslim).
nama : Umi Khusnul khotimah
BalasHapusJurusan/Semester : AS/VI (enam)
Assalamu'alaikum Wr Wb
pak saya ingin bertanya tentang pernikahan beda Agama
nama : Umi Khusnul khotimah
BalasHapusJurusan/Semester : AS/VI (enam)
Assalamu'alaikum Wr Wb
pak saya ingin bertanya tentang pernikahan beda Agama, jika seorang laki'' non muslim menikah dengan wanita muslim/ laki'' mu'min menikah dengan wanita non muslim namun setelah menikah dikemudian hari salah satu dari pasangan suami istri tersebut murtad kembali. yang ingin saya tanyakan disini pak, berdasarkan syari'at bagaimana hukum pernikahannya orang tersebut? masih sah sebagai suami istri ataukah tidak? dan apakah pernikahan seperti ini yang harus difasakh dalam islam pak?
Jika terjadi seperti itu maka pernikahan mereka harus difasakh
HapusNama : Wamisna Kaimuddin
BalasHapusjur /semster : AS/VI
Assalamu'alaikum ,,, Pak...
dalam al-qur'an kebolehan menikahi wanita ahlil kitab itu sudah jelah dan untuk sekarang ini kita tidk temukan lagi wanita ahlil kitab. dan larangan menikah sama wanitah musyrik atau non muslim pun sudah jelas, namun realita yang ada bertentangan dengan aturan di dalam al-qur'an.realita sekarang banyak orang muslim wanita maupun laki-laki menikh dengn orang non muslim bahkan juga sebaliknya. di indonesia jelas-jelas di larang melakukan pernikahan tersebut, yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana dengan artis indonesia yang melakukan perkawinan beda agama di indonesia??? contohnya Asmiranda
Menikah dgn pria atau perempuan pilihan sebagai suami atau istri merupakan hak setiap orang. Namun sebagai hamba Allah keinginan manusia khususnya muslim harus disesuiakan dengan petunjuk Allah. Krna ketentuan Allah pasti mengandung kebaikan bg manusia, baik di dunia maupun di akherat.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama : hastini Salatin
BalasHapusjurusan : As / VI
saya pingin bertanaya Pa ......
PERTANYAAN.
seorang perempuan mukmin yang menikah dengan dengan laki-laki yang non muslim ,dan mereka berdua selama menikah masing-masing mempertahankan agamanya, apakah perempuan yang mukmin itu , masih tetap di katakan sebagai seorang yang beragama islam walaupun mereka telah bercampur ..........??
sedangkan jelas dasar hukum larangan perwakawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim , ialah
surat Al-Bagarah ayat 221
"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman sesungguhnya budak yang beriman lebih baik dari pada orang musyrik , walaupun dia menarik hatimu, karena mereka ( orang musyrik ) menarikmu ke neraka, padahal Allah mengajak mu ke surge dan ampunan dengan izinya.
Iya benar perkawinan wanita muslim dgn pria non muslim haram hukum berdasarkan ketentuan dalam QS al-Baqarah: 221. Meskipun demikian wanita muslim tsb masih berstatus muslim (beragama Islam) kecuali dia telah menyatakan dirinya keluar dr agama Islam.
HapusAsalamualaikum Wr, Wb.
BalasHapusNama : Ibrahim tunyanan
Kls : Js, A / IV
dari apa yang bapak paparkan saya setuju dan mrnutu Kompilasi hukum islam dalam Q.S. Al-Baqara ayat 221dan surat al-Maidah ayat 5. Surah Al-Baqarah ayat 221 mengharamkan mengawini wanita-wanita musyrikah kemudian surah al-Maidah ayat 5 menasakh sebagian hukum yang ada di dalam surah Al-Baqarah ayat 221 tersebut.Wanita-wanita ahl-al-Kitab dihalalkan oleh surah al-Maidah ayat 5. Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat Ibn ‘Abbas, Demikian juga dikatakan oleh Malik bin Anas dan Sufyan bin Sa’id al-Tsuri dan ‘Abdurrahman bin Umru al-Auza’i.
jadi suda jelas adanya
Wasalam..
Nama :Siti Aisa Tuara
BalasHapusNpm : 201314123
Prodi : Kimia
Klas : 47 B Pagi
Assalamualaikum. Wr.. Wb...
Bapak mohon maaf sebelumnya.
Pertanyaan saya disi pabak. apakah selamanya kita umat muslim di indonesia pada kususnya. maluku akan selalu mengadopsi pemahaman dari bangsa luar/barat..?
Hal itu sangat tergantung pada kesadaran setiap pribadi umat Islam pada khususnya dan umat Islam pada umumnya untuk mengambil pemikiran yang maslahat dan mengabaikan pemikiran yang tak bermanfaat
BalasHapusWallahu a'lam bis shawwab