EUTHANASIA DAN PENGARUHNYA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh: Dr. LA JAMAA, MHI
A. Latar Belakang
Salah satu
peristiwa yang senantiasa dialami umat manusia adalah kematian. Dalam
realitasnya, kematian manusia tidak selamanya disebabkan oleh penyakit, tetapi
tidak sedikit yang diakibatkan oleh pembunuhan, baik pembunuhan yang disengaja,
maupun pembunuhan yang tidak disengaja. Di samping itu ada juga pembunuhan yang
dikehendaki oleh korban, keluarga korban dan pelaku.
Pembunuhan
yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama antara keluarga korban dengan pelaku
pembunuhan dalam dunia kedokteran biasa disebut euthanasia. Tindakan
euthanasia pada hakekatnya disebabkan oleh faktor psikologis yaitu adanya rasa
putus asa yang dialami pasien yang menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh
bahkan menurut hasil diagnosa dokter hanya bisa bertahan hidup dalam jangka
waktu yang relatif singkat (hanya beberapa bulan atau beberapa minggu saja).
Atas dasar pemikiran ini, pasien dan atau keluarganya meminta kepada dokter
yang merawat pasien itu, untuk memberikan suntikan atau obat yang dapat
mempercepat kematian pasien.
Dengan
demikian dalam pelaksanaan euthanasia ini terdapat dua hal yang saling
kontradiktif. Pada satu sisi dokter memberikan suntikan atau obat yang dapat
mempercepat kematian pasiennya itu didorong oleh niat baik untuk menghilangkan
penderitaan pasien (agar pasien tidak menderita berkepanjangan). Namun di sisi
lain niat baik dokter bersama keluarga pasien justru mengakibatkan kematian
pasien.
Permasalahan
yang muncul, adalah apakah tindakan dokter melakukan euthanasia tersebut dapat
dikategorikan sebagai pembunuhan? Apabila tindakan euthanasia dapat dikalsifikasikan
sebagai pembunuhan, lalu bagaimana pengaruhnya terhadap kewarisan? Apakah
tindakan keluarga pasien tersebut dapat menjadi hijab hirman (penghalang)
dalam memperoleh harta warisan yang ditinggalkan korban? Karena dalam sebuah hadis Nabi
saw menegaskan, bahwa:
ليس للقاتل مراث شيء
'Pembunuh tidak
memperoleh harta warisan dari harta orang yang dibunuhnya.' (HR Ibn Majah dari
Abu Hurairah)
Di samping itu
dari aspek hukum Islam, sanksi pidana apa yang dapat dikenakan kepada dokter
dan keluarga korban tersebut. Beberapa permasalahan tersebut akan dibahas dalam tulisan
ini.
B. Pengertian Euthanasia
Istilah
euthanasia berasal dari bahasa Yunani, eu yang artinya "baik"
dan thanatos yang berarti "kematian." Jadi euthanasia berarti
kematian yang baik, yang bahasa Arab disebut qatl al-rahma atau taisr
al-maut.2 Sedangkan pengertian
euthanasia menurut istilah terdapat beberapa pendapat para ahli.Menurut
Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, bahwa "euthanasia adalah suatu
kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan
dokter."3 Yang dimaksud dengan
pertolongan dokter dalam euthanasia ini adalah pemberian suntikan yang dapat
mempercepat kematian pasien, sedangkan tanpa bantuan dokter ialah pasien
penderita gawat darurat/kritis itu dibiarkan begitu saja tanpa diberikan
pelayanan medis sehingga ia meninggal karenanya.
Dalam
istilah medis, dijelaskan bahwa euthanasia adalah "usaha tenaga medis
untuk membantu pasien supaya meninggal dengan baik tanpa penderitaan yang
terlalu berat."4 Dari
pengertian ini menunjukkan bahwa menurut istilah medis, euthanasia
dititikberatkan kepada usaha pertolongan yang dilakukan oleh dokter atau tenaga
medis lainnya terhadap seorang pasien yang mengalami kondisi gawat darurat agar cepat diakhiri
penderitaannya melalui kematian.
Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia sebagaimana dikutip oleh Djok Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yakni:
Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia sebagaimana dikutip oleh Djok Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yakni:
1. Berpisah
ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat yang beriman
dengan nama Allah di bibir;
2. Waktu
hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat
penenang;
3. Mengakhiri
penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atau permintaan pasien
sendiri dan keluarganya.5
Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa dalam pandangan Kode Etik Kedokteran
Indonesia, terdapat tiga arti euthanasia. Pengertian pertama lebih mirip dengan
kematian orang yang memperoleh husnul khatimah dalam arti meninggal
dalam keadaan diredai oleh Allah. Sedangkan arti yang kedua dan ketiga
merupakan suatu kematian seseorang akibat usaha pihak kedua yang ikut
mempercepat kematian orang itu dengan cara diberi obat penenang. Upaya itu
dilakukan berdasarkan permintaan pasien dan atau keluarga kepada dokter yang
merawat pasien.
Selaras dengan pengertian di
atas, menurut Encyclopedia Medica halaman 811 sebagaimana dikutip oleh
Ali Akbar, bahwa:
Euthanasia mempunyai tiga arti, yaitu: 1. kematian yang mudah dan tanpa sakit;
2. Usaha untuk meringankan penderitaan orang sakaratul maut dan bila perlu
untuk mempercepat kematiannya, dan 3. keinginan untuk mati dalam arti yang
baik.6
Dengan
memperhatikan rumusan pengertian euthanasia dalam Encyclopedia Medica di
ats, dapat dikatakan bahwa antara Kode Etika Kedokteran Indonesia dengan Encyclopedia
Medica terdapat persamaan secara substansial. Yang berbeda hanya redaksinya
saja.
Dari beberapa
definisi tersebut menunjukkan bahwa perbedaan pengertian Encyclopedia Medica
itu erat kaitannya dengan sudut pandang dari ahli yang bersangkutan. Ahli hukum
bertolak dari kajian ilmu hukum dalam memberikan definisi euthanasia, demikian
juga ahli medis/kedokteran melihat euthanasia dari sisi medis. Namun demikian
dapat dipahami, bahwa euthanasia adalah usaha mempercepat kematian seorang
pasien penderita penyakit kritis yang dilakukan oleh dokter/petugas medis
lainnya berdasarkan permintaan pasien sendiri dan atau keluarganya. Dengan kata
lain, euthanasia pada hakekatnya merupakan upaya pengakhiran hidup yang
dilakukan di dalam rumah sakit oleh dokter ahli terhadap pasien gawat darurat
yang menurut diagnosanya penyakit yang diderita pasien telah sampai pada suatu
kondisi dimana yang bersangkutan tidak dapat diharapkan sembuh atau hidup lagi.
C. Macam-Macam dan
Bentuk-Bentuk Euthanasia
Dalam dunia
medis/kedokteran, euthanasia dibagi dalam dua kategori, yaitu euthanasia
pasif atau euthanasia tidak langsung, dan euthanasia aktif atau
euthanasia langsung.
Euthanasia
pasif
dilakukan terhadap penderita gawat darurat yang dirawat di dalam rumah sakit
atau bagian rumah sakit gawat darurat dengan peralatan yang mejemuk untuk
menolong jantung, pernafasan dan cairan tubuh pasien, sehingga oragn-oran
tubuhnya dapat berfungsi dengan baik sebagaimana semula. 7
Euthanasia
pasif
dilakukan terhadap seseorang penderita gawat darurat dengan cara tidak
diberikan obat sama sekali, ataupun dengan cara memberikan pil-pil analgetik
kepada seorang pasien yang menderita kanker ganas untuk mengurangi rasa
sakitnya. Euthanasia semacam ini biasanya dikenal dengan euthanasia tidak langsung
karena pemberian pil-pil analgetik dapat sedikit mempercepat datangnya
kematidan. Disebut euthanasia tidak langsung juga karena kematian pasien
sebenarnya tidaklah dikehendaki oleh tenaga medis yang memberikan obat penenang
tersebut.8
Jadi, euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup mahal, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Termasuk juga euthanasia pasif ialah upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa disembuhkan. Umum alasannya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatan yang dibutuhkan sangat tinggi.9
Jadi, euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup mahal, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Termasuk juga euthanasia pasif ialah upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa disembuhkan. Umum alasannya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatan yang dibutuhkan sangat tinggi.9
Beberapa
contoh kasus eutahansia pasif, di antaranya:
1) Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan
koma, disebabkan benturan pada otak yang tidaka da harapan untuk sembuh, atau
orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati akan
dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2) Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena menderita
kelumpuhan tulang belakang yang biasa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki
dan kehilangan kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Penderita penyakit
ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus
selama hidupnya. Atau penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan
keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan stadium beragam yang
biasanya penderita penyakit ini akan lumpuh fisik dan otaknya serta selalu membutuhkan
bantuan khusus selama hidupnya. Dalam kondisi demikian, ia dapat saja dibiarkan
tanpa diberi pengobatan yang mungkin akan dapat membawa kematiannya.10
Sedangkan euthanasia aktif dilakukan dengan cara menghentikan semua alat-alat pembantu tersebut sehingga jantung dan pernafasan itu tidak dapat berfungsi/bekerja serta akan berhenti. Atau dengan cara memberikan obat penenang dengan dosis tinggi/dosis yang melebihi yang juga dapat menghentikan fungsi jantung, itulah sebabnya euthanasia semacam ini biasanya disebut euthanasia langsung. Di sebut euthanasia langsung karena penghentian alat-alat pembantu maupun pemberian obat penenang yang melebihi dosis itu secara langsung bertujuan kepada kematian pasien atau cara-cara yang digunakan itu secara langsung akan menyebabkan kematian, seperti tenaga medis menyuntikkan obat yang diketahui dapat mengakhiri hidup pasien.11
Sedangkan euthanasia aktif dilakukan dengan cara menghentikan semua alat-alat pembantu tersebut sehingga jantung dan pernafasan itu tidak dapat berfungsi/bekerja serta akan berhenti. Atau dengan cara memberikan obat penenang dengan dosis tinggi/dosis yang melebihi yang juga dapat menghentikan fungsi jantung, itulah sebabnya euthanasia semacam ini biasanya disebut euthanasia langsung. Di sebut euthanasia langsung karena penghentian alat-alat pembantu maupun pemberian obat penenang yang melebihi dosis itu secara langsung bertujuan kepada kematian pasien atau cara-cara yang digunakan itu secara langsung akan menyebabkan kematian, seperti tenaga medis menyuntikkan obat yang diketahui dapat mengakhiri hidup pasien.11
Jadi, euthanasia
aktif ialah tindakan dokter
mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien.
Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau
sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perkiraan medis sudah tidak
mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang lazim dikemukakan
ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan
pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah.
Beberapa
contoh kasus euthanasia aktif, di antaranya:
1) Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa
hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin bahwa yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obta dengan
takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya,
tetapi menghentikan pernafasannya sekaligus.
2) Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena
bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang
sangat keras. Dalam kondisi demikian, ia hanya mungkin dapat bertahan hidup
dengan mempergunakan alat pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan, bahwa
penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernafasan itulah yang memompa
udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis.
Jika alat pernafasan tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita merasakan
sakit sehingga tidak mungkin dapat melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif
memudahkan proses kematiannya.12
Di samping
pembagian euthanasia di atas, ada pakar yang meninjau euthanasia dari bentuk
lain. Dalam
kaitan ini menurut Imron Halimy, macam dan bentuk euthanasia, antara lain:
-
Euthanasia atas permintaan
-
Euthanasia tidak atas permintaan
Kemudian kita kenal pula:
-
Euthanasia aktif, baik atas
permintaan ataupun tanpa permintaan
-
Euthanasia pasif, baik atas
permintaan ataupun tanpa permintaan
Selanjutnya dalam euthanasia aktif dapat dibedakan lagi
menjadi:
-
Euthanasia aktif secara langsung
-
Euthanasia aktif secara tak langsung.13
Dengan demikian
dapat diungkapkan abhwa euthanasia aktif adalah suatu kejadian dimana dokter
atau tenaga medis lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Sedangkan euthanasia pasif adalah
suatu kejadian dimana dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak
memberikan bantuan medis terhadap pasien yang akhirnya menyebabkan pasien
meninggal dunia.
Euthanasia
pasif atas permintaan sendiri biasa disebut pula auto euthanasia, yaitu
situasi dimana seorang pasien dnegan sadar menolak secara tegas untuk menerima
perawatan medis, bahkan ia telah menyadari bahwa hal itu akan dapat
memperpendek atau mengakhiri hidupnya sendiri.
Dalam kaitannya
dengan masalah euthanasia ini J.E. Sahetapy membagi euthanasia dalam tiga
jenis, yaitu:
1.
Kematian yang terjadi karena pasien dengan
sungguh-sunguh dan secara cepat menghendaki untuk mati;
2. Kematian
yang terjadi karena kelalaian/kegagalan dari dokter dalam mengambil suatu
tindakan untuk mencegah adanya kematian;
3. Kematian
yang terjadi karena tindakan positif dari dokter untuk mempercepat kematian.14
Pada jenis
euthanasia pertama, pasien sadar dan tahu bahwa penyakit yang dideritanya itu
tidak akan dapat disembuhkan walaupun diobati dan dirawat secara intensif
sehingga pasien lalu meminta kepada dokter yang merawatnya agar tidak usah memberikan pengobatan dan perawatan kepada
yang karenanya menyebabkan kematian pasien. Jadi, kamatian pasien itu terjadi
seolah-olah merupakan kerjasama antara pasien dengan dokter yang merawatnya.
Pada jenis
euthanasia kedua, sebenarnya sama saja dengan yang pertama. Letak perbedaannya
adalah pada tindakan membiarkan pasien hingga mati dengan sendirinya tanpa
mengadakan pencegahan. Jika pada euthanasia jenis pertama, tindakan membiarkan
itu timbul karena adanya persetujuan dari pasien dengan dokter, sedangkan pada
euthanasia jenis kedua tindakan itu hanya dari dokter saja.
Pada
euthanasia jenis ketiga, dari tindakan
aktif itu seorang pasien akan segera mati dengan tenang seperti dengan cara
diberikan obat/suntikan yang diketahui dapat mengakibatkan kematian atau dengan
obat penenang yang melebihi dosis yang diketahui akan mengakibatkan kematian
pasien.
D. Dilema Euthanasia
Menurut
para ahli medis, bahwa apabila euthanasia dipandang sebagai bantuan tenaga
medis terhadap pasien yang telah mendekati akhir hidupnya (penderita gawat
darurat) dengan cara-cara yang sesuai dengan kemanusiaan, maka euthanasia
semacam itu, baik motivasi maupun caranya tidak bertentangan dengan rasa hormat
terhadap martabat manusia. Contohnya tenaga medis memberikan pil-pil analgetik sebagai obat
penenang kepada penderita kanker ganas. Cara yang digunakan sepintas lalu dapat
dianggap sebagai tindakan yang baik sebab obat tersebut dapat mengurangi rasa
sakitnya, namun obat tersebut dapat mempercepat kematian pasien itu.
Di lain
pihak tenaga medis tidak menghendaki kematian pasien dengan pemberian obat itu.
Dengan demikian menurut para ahli medis, euthanasia tidak langsung dapat
dibenarkan, karena:
Tindakan euthanasia tidak langsung masih sesuai dengan sumpah Hippokrates
yang berjanji akan mempergunakan cara pengobatan yang menurut pengetahuan dan
pendapatnya adalah terbaik untuk pasiennya dan tak akan merugikana siapapun.
Walaupun pemberian pil-pil itu dapat mempercepat kematian, tindakan itu
bukanlah suatu pembunuhan. Euthanasia tak langsung semacam itu dapat dibenarkan
secara moral, asal alasan yang
dikemukakan oleh pasien sungguh jujur sementara tenaga medispun tetap
meneruskan cara-cara perawatan yang 'baik.'15
Dengan
demikian tidaklah berarti bahwa para ahli medis membenarkan tindakan euthanasia
tak alngsung itu secara mutlak, tetapi justru harus didukung oleh alasan-alasan
yang jujur dan rasional dari pasein serta dengan cara-cara dan tujuan yang
berperikemanusiaan. Jadi, euthanasia langsung sama sekali tidak dibenarkan
secara moral oleh para ahli medis, sebab tindakan semacam itu sengaja
mengakhiri hidup seseorang sebelum waktunya padahal yang berhak menghidupkan
dan memamtikan manusia hanyalah Tuhan. Selain itu di balik tindakan euthanasia
langsung seringkali tersembunyi mentalitas yang tidak sehat seperti mentalitas
materialistis, yang hanya memandang dan menghargai manusia yang masih dapat
menghasilkan keuntungan karena produktivitasnya. Jadi, dalam menanggapi
euthanasia ini para dokter terbagi dalam dua kelompok, yang pro dan kontra
euthanasia.
Kelompok
yang menyetujui adanya euthanasia mengemukakan alasan bahwa tindakan itu
terpaksa dilakukan atas dasar perikemanusiaan,
mereka tidak tega melihat penderitaan pasiennya yang telah berulangkali
meminta kepadanya agar penderitannya diakhiri saja.
Sedangkan
yang menentang euthanasia mengemukkan alasan yang bertitik tolak dari
segi religius dan pada dasarnya mereka beranggapan, bahwa apapun yang dialami
manusia memang telah ditakdirkan oleh Tuhan dan harus dipikul oleh manusia.
Karena itu penderitaan seseorang dalam sakit yang dialaminya walau bagaimanapun
keadaaannya, memang sudah menjadi kehendak Tuhan. Karena itu, mengakhiri hidup
seseorang yang sedang menerima cobaan
Tuhan tentunya tidaklah dibenarkan.16
Dengan
demikian bantuan dokter dalam euthanasia menimbukan dilema pada pada satu sisi
pasien atau keluarganya terkadang menuntut agar dokter bertindak secara aktif
untuk mempercepat kematian pasien akan tetapi pada sisi lain justru tindakan
itu telah mengakibatkan berakhirnya hidup seseorang. Padahal dokter seharusnya
tetap berusaha memperpanjang/mempertahankan hidup pasiennya.
Dilema
euthanasia juga berkaitan dengan hak asasi manusia dari pasien. Dalam berbagai
kasus euthanasia yang diajukan ke pengadilan memang para pelakunya (tenaga
medis) dianggap berslah membunuh akan tetapi mereka bisa saja tidak dihukum
karena alasan hak asasi (atas permintaan) pasien sendiri. Pasien berhak mengakhiri hidup
dengan bantuan tenaga medis.
E. Analisis Hukum Islam terhadap Euthanasia
Agama
Islam sangat menekankan perlindungan terhadap jiwa manusia secara konsisten.
Hak hidup adalah hak asasi setiap orang yang tidak boleh dihilangkan tanpa
alasan yang sah. Ketentuan ini berlaku umum tanpa membdakan pembunuhan yang
terjadi tanpa persetujuan korban maupun dengan persetujuan korban sendiri,
termasuk juga tindakan bunuh diri dengan alasan apapun.
Pembunuhan
juga dilarang dilakukan terhadap anak sendiri, seperti ditegaskan dalam QS.
al-Isra (17): 31
وَلَا
تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
'Janganlah
kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.'17
Tegasnya, bahwa
kemiskinan atau alasan lainnya bukanlah menjadi legitimasi terhadap suatu
tindakan pembunuhan. Dalam syariat Islam memang ada alasan sah yang membolehkan
mengakhiri hidup orang lain, yaitu karena yang bersangkutan membunuh orang lain
secara melawan hukum, orang yang sudah menikah melakukan berzinaan atau murtad.
Rasulullah saw
bersabda:
18
Tidak
dihalalkan darah seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan aku (Muhammad) ini utusan Allah, kecuali oleh satu sebab dari tiga
alasan, yaitu orang yang (diqisas) karena membunuh orang lain, berzina sedang
ia sudah kawin, dan karena meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari
jamaah (kaum muslimin).' (HR
Bukhari
Berdasarkan
ayat dan hadis di atas dapat dikatakan bahwa larangan pembunuhan tanpa hak itu
bersifat umum dan mutlak. Dengan demikian dokter yang memberikan suntikan obat
berdosisi tinggi dengan tujuan untuk mempercepat kematian pasiennya adlah
termasuk tindakan pembunuhan yang terlarang. Karena yang berhak menentukan
cepat atau lambatnya ajal manusia adalah merupakan hak prerogatif Allah,
seperti diungkapkan dalam QS. al-A'raf (7): 34
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
'Bagi
tiap-tiap umat itu ada batas tertentu (mati/ajal)nya sebab itu bila datang
waktunya itu, maka tidak dapat mengulurkan seketika pun dan tidak dapat
mempercepatnya.'19
Namun demikian ayat di atas
tidak bertentangan dengan QS. Yunus (10): 107
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ
بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ
لِفَضْلِهِ
Jika
Allah menimpakan sesuatu kemudratan kepadamu maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu maka tak
ada yang dapat menolak karunia-Nya.'20
Terhadap
ayat di atas Hamka menafsirkannya bahwa "kalau suatu mala petaka atau mara
bahaya menimpa diri, taka da yang lain berkuasa atau berkesanggupan
menghindarkan mala petaka itu melainkan Than Allah jua dengan hukum sebab
akibat.21
Dengan demikian
tindakan dokter itu bertentangan dengan kehendak Allah. Sebab mungkin saja
Allah hendak mencoba hamba-Nya itu dengan penyakit yang dideritanya tadi.
Sehingga walaupun niat dokter dalam memberikan obat berdosis tinggi itu untuk
"kebaikan" (agar penderitaan pasiennya cepat berakhir), namun cara
yang ditempuhnya berdampak kematian bagi pasien. Sehingga euthanasia tersebut
tetap dilarang, sebab perbuatan haram tak akan menjadi halal lantaran niat
baik. Islam memandang tindakan yang bermanfaat adalah caranya benar secara
syara dan niatnya pun benar secara syara pula.
Niat baik dalam
euthanasia pada hakekatnya termasuk dalam kategori pemberian bantuan dalam perbuatan yang
dilarang Tuhan sebab menginginkan kematian lantaran suatu penderitaan hidup –
termasuk penyakit yang tak kunjung sembuh- adalah dilarang oleh Allah. Nabi saw
bersabda:
Janganlah
seseorang kamu mengharapkan kematian karena sesuatu musibah yang menimpanya,
tetapi jika terpaksa ia harus berbuat begitu maka katakanlah: Ya Allah
biarkanlah aku hidup jika hidup ini lebih baik bagiku dan matikanlah akui jika
mati itu lebih baik bagiku.' (HR
Bukhari dari Anas)
Terhadap makna
hadis ini Husaini A.Majid Hasyim menjelaskan, bahwa "mengharap-harapkan
mati karena alasan apapun tidak boleh, baik karena musibah yang menimpa
dirinya, hartanya, ataupun anaknya. Dikecualikan mengharapkan mati karena rindu kepada Allah
karena ingin syahid atau karena takut fitnah dengan satu keyakinan, bahwa
kematian itu lebih baik. Namun itupun tidak boleh secara pasti mengharapkan
mati."23
Tindakan
euthanasia berbeda dengan berdoa memohon petunjuk kepada Allah agar dipilihkan
yang terbaik antara hidup dengan mati karena tindakan ini merupakan cerminan
sikap hidup yang optimis dan bukan keputusasaan. Sedangkan mengharapkan
kematian yang diwujudkan melalui euthanasia merupakan sikap keputusasaan yang
dibenci oleh Tuhan, sesuai QS.Yunus (12): 87
وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ
اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
'Dan janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah dan sesungguhnya tiada yang berputus asa dari
rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.'24
Dari ayat ini dapat
dipahami bahwa sikap putus asa dikategorikan sebagai sikap kekufuran apalagi
keputusasaan yang menjurus kepada kematian melalui euthanasia. Bahkan tindakan
euthanasia dalam hal ini mengakibatkan dosa yang berlipat ganda yaitu dosa
karena putus asa dari rahmat Allah dan dosa karena membunuh diri sendiri baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Karena itu
Masjfuk Zuhdi mengemukakan bahwa manusia wajib untuk menyembuhkan penyakit demi
mempertahankan hidupnya, tetapi hidup dan mati di tangan Allah. Karena itu
manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri (bunuh diri) atau mempercepat
kematian orang lain sekalipun dilakukan oleh dokter dengan maksud untuk
mengurangi/menghentikan penderitaan pasien.25
Begitu
pula dengan niat baik untuk meringankan/mengakhiri penderitaan pasien melalui
euthanasia tidak dapat ditolerir (dibenarkan) oleh Islam. Suatu niat baik (euthanasia
dengan tujuan menolong pasien) tidak akan dapat mengubah keharaman
menghilangkan nyawa orang lain yang diharamkan Tuhan. Dalam hal ini imam
al-Gazali - sebagaimana dikutip oleh H.Moenawar Chalil- mengatakan:
Ketahuilah, bahwasanya segala amal perbuatan itu walaupun menjadi beberapa
bagian berupa perbuatan, gerak diam dan lain-lain tetapi pada pokoknya terbagi
atas tiga bagian yaitu: taat, maksiat dan
mubah. Pada bagian pertama ialah maksiat. Bagian ini tidak dapat berobah
dari tempatnya sebab niat. Maka tidaklah sepatutnya jika bagian ini akan
dipahami menurut paham orang bodoh, dimasukkan pada bunyi hadis: Innamal
a'mal bi al-niyyat, lalu ia menyangka bahwa perbuatan itu dapat berobah
menjadi taat lantaran niat… karena itu tidak akan membekas keluar daripada
maksiat. Bahkan jika tujuan berbuat baik sesungguhnya dapat diketahui
keadaannya bahwa perbuatan itu baik, adalah dengan syara.' Maka bagaimana akan
dapat dikatakan baik kalau perbuatan itu jahat sepanjang syara.26
Bahkan tindakan dokter membantu
mempercepat kematian pasien melalui euthanasia tersebut pada hakekatnya turut
menanggung dosa dan perbuatannya itu termasuk kategori haram. Niat
"baik" dokter dalam kasus ini tetap haram karena cara yang ditempuh
adalah salah sehingga berakibat kematian juga salah menurut
hukum Islam. Sebab dalamkondisi kritis itu seharusnya dokter berusaha
semaksimal mungkin untuk memberikan pengobatan kepada pasiennya, bukannya
diberikan obat yang dapat mempercepat kematian pasien. Dalam kaidah fiqh
dijelaskan, bahwa al-dararu la yuzalu bi al-darar (bahaya tidak boleh
dhilangkan dengan bahaya yang lain).27
Dari
uraian di atas dapat dikatakan bahwa euthanasia aktif/positif/langsung haram
hukumnya, baik dilakukan atas permintaan pasien maupun tanpa permintaannya,
baik atas persetujuan keluarga pasien maupun tanpa persetujuan mereka. Dalam
Islam, pada prinsipnya segala tindakan yang berakibat matinya seseorang, baik
disengaja maupun tidak disengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga
alasan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Pada prinispnya pembunuhan
secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir.
Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat
kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah
kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya.28 Rasulullah saw bersabda:
'Ttidaklah
menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit,
kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali
Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya
itu." (HR Bukhari Muslim).
Jelasnya, bahwa
memudahkan proses kematian pasien secara aktif, seperti pada contoh yang telah
dikemukakan di atas, tidak dibolehkan. Sebab tindakan itu berarti dokter
melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien dan mempercepat
kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya. Tindakan
itu tetap dalam kategori pembunuhan, walaupun yang mendorongnya itu rasa
kasihan kepada pasien dan untuk meringankan penderitannya. Karena bagaimanapun
dokter tidak lebih pengasih dan penyayang daripada Allah. Manusia harus
menyerahkan hidup dan matinya kepada Allah. Dalam euthanasia menandakan manusia
terlalu cepat menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah menyuruh manusia
untuk selalu berusaha/berikhtiar sampai akhir hayatnya.30
Sedangkan
memudahkan proses kematian pasien dengan euthanasia pasif, termasuk
dalam kategori tindakan penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan kepada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan
tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah dan
hukum sebab akibat (kausalitas). Masalah ini terkait dengan hukum melakukan
pengobatan yang diperselisihkan para ulama fiqh, apakah wajib atau sunnat.
Menurut jumhur ulama berobat/mengobati penyakit hukumnya sunat bukan wajib,
jika penderita diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan
akurat medis yang dapat dipertanggungjawabkan sudah tidak ada harapan sembuh,
sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli, seperti dokter ahli
maka tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan sunnat apalagi wajib.
Jika penderita
sakit kelangsungan hidupnya bergantung pada pemberian berbagai media pengobatan
dengan cara meminum obat, suntikan, infus, dan sebagainya. Atau menggunakan
alat pernafasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang
cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya itu tidak wajib dan juga tidak sunnat.31
Dalam kaitan ini Yusuf Qardawi berpendapat bahwa
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan- dengan cara
pengobatan- dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan
sebagainya, atau menggunakan alat pernafasan buatan dan lainnya sesuai dengan
penemuan ilmu kedokteran modern- dalam waktu yang cukup lama, tetapi
penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan maka melanjutkan pengobatannya itu
tidak wajib dan tidak sunat, bahkan mungkin tidak mengobatinya itulah yang
wajib atau sunat. Maka memudahkan proses kematian semacam ini tidak seyogyanya
yang diembel-embeli dengan istilah qatl al-rahmah (membunuh karena kasih
sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter.
Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunat,
sehingga tidak dikenai sanksi.32
Dengan
demikian, euthanasia pasif ini adalah boleh dan dibenarkan syara, bila
keluarga penderita mengizinkannya- dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk
meringankan penderitaan si sakit dan keluarganya. Hal ini berlaku juga terhadap
tindakan dokter menghentikan alat pernapasan buatan dari si sakit, yang menurut
pandangan dokter dia dianggap sudah "mati" atau "dihukumi telah
mati" karena jaringan otak atau sumsum yang dengannya seseorang dapat
hidup dan merasakan sesuatu, telah rusak. Apabila peralatan tersebut hanya
dipergunakan penderita sekadar untuk kehidupan yang lahir- yang tampak
pernapasan dan peradaran darah atau denyut nadi saja padahal dilihat dari segi
aktivitas maka si sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak
dapat mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak
dan sarafnya sebagai sumber semua itu telah rusak.33
Dari
uraian di atas dapat dikatakan bahwa euthanasia aktif haram hukumnya sebab kematian pasien memiliki pengaruh yang signifikan dengan tindakan langsung dari dokter (tenaga medis lainnya), sedangkan
euthanasia pasif dibolehkan karena pada hakekatnya tidak ada keterlibatan
langsung dokter dalam kasus terjadinya kematian penderita. Kematian yang
dialaminya disebabkan oleh penyakit yang dideritanya, bukan karena akibat
tindakan dokter. Namun demikian euthanasia pasif akan berubah menjadi haram hukumnya jika dilakukan oleh dokter atau keluarga pasien dengan niat untuk mempercepat kematian pasien agar pembagian harta warisannya dapat dipercepat. Ada tidaknya indikasi itu dapat dicermati apakah pasien memiliki harta yang banyak (kaya) atau miskin. Kemungkinan adanya niat mempercepat kematian pasien agar warisannya bisa dibagi secepatnya akan mustahil terjadi, kecuali pada pasien yang kaya.
F. Pengaruh Euthanasia Terhadap Kewarisan
Kematian
berimplikasi terhadap kewarisan karena dengan meninggalnya seseorang, maka
harta yang ditinggalkannya menjadi hak ahli warisnya. Namun demikian ahli waris
dapat dicabut haknya jika terbukti
membunuh pemilik harta warisan. Jelasnya, bahwa para ahli waris tidak mutlak
berhak atas harta warisan yang ditinggalkan si mayit. Dalam hal ini para ulama
telah sepakat bahwa "status seseorang karena berbeda agama, sebab membunuh
dan perbudakan merupakan penghalang terjadinya pewarisan."32
Dari
analisis hukum Islam di atas, jelas bahwa yang termasuk kategori pembunuhan
adalah euthanasia aktif. Dengan demikian tindakan euthanasia aktif yang
dilakukan baik keluarga korban maupun dokter dapat dikategorikan sebagai
pembunuhan. Kasus pembunuhan yang dilakukan keluarga korban secara euthanasia
tidak dapat dilihat dari kacamata kedokteran semata. Namun perlu dilihat pula
dari kemungkinan adanya ambisi keluarga korban untuk secepatnya memperoleh
harta warisan. Padahal harta warisan hanya dapat dibagi dan dimiliki para ahli
waris jika pemiliknya sudah meninggal dunia. Maka euthanasia bisa dijadikan
alat untuk mewujudkan maksud tersebut. Apalagi pengakhiran hidup seseorang
secara euthanasia terjadi secara rahasia serta sulit diktehui oleh orang banyak
sehingga terasa aman sekaligus dapat mewujudkan ambisi ahli waris. Karena
itulah kaidah fiqhiyah menetapkan bahwa "orang yang menyegerakan
sebelum waktunya, niscaya dihukum dengan tidak diberikan kepadanya apa yang
ingin segera dia terima."35
Adanya
sanksi hukum itu sebenarnya mengandung hikmah bahwa jika si pembunuh tidak
dicabut haknya menerima warisan, tentulah akan banyak ahli waris yang membunuh
pemilik harta warisannya. Sehingga akan berkembang pembunuhan di antara antara
kerabat yang dekat dengan kerabat yang tak dekat agar prosentase yang mereka
peroleh dalam pembagian harta warisan menjadi meningkat lantaran berkurangnya
bahkan habisnya ahli waris selain diri pembunuh.
Dengan
demikian euthanasia aktif merupakan salah satu bentuk pembunuhan yang menjadi
penghalang dalam kewarisan. Dalam kaitan ini para ahli waris yang
meminta/menyetujui dokter melakukan euthanasia terhadap pasien (pemilik harta
warisan), tidak memperoleh bagian dari harta warisan yang ditinggalkan korban
euthanasia. Demikian juga dokter, bila mempunyai hubungan kewarisan dengan
korban, juga tidak mendapat warisan. Begitu juga euthanasia pasif yang dilakukan dengan niat untuk mempercepat kematian pasien yang erat kaitannya dengan pembagian harta warisan yang ditinggalkan pasien.
G. Hukuman bagi Pelaku Euthanasia
Berdasarkan
pembahasan di atas menunjukkan bahwa euthanasia aktif yang dilakukan dokter
secara diam-diam dapat dikategorikan sebagai pembunuhan yang disengaja sehingga
haram hukumnya. Sebab pembunuhan
disengaja adalah suatu perbuatan
yang disertai niat (direncanakan sebelumnya) untuk menghilangkan nyawa orang
lain dengan menggunakan alat-alat
yang mematikan.36
Karena itu dokter harus bertanggung jawab terhadap tindakan euthanasia yang
dilakukannya. Sebab tindakan yang mengakibatkan kematian seseorang tanpa alasan
sah sangat dilarang oleh Allah seperti diungkapkan dalam QS.al-An'am (6): 151:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
'dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar.'37
Selaras
dengan hal itu untuk melindungi kehidupan (hak hidup) setiap individu maka Islam menetapkan hukuman
qisas yaitu hukuman yang sebanding dengan kejahatan yang dilakukan, seperti
yang dijelaskan dalam QS. al-Maidah (5): 45
وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ
وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ
وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
'Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata,hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi dan
luka-luka (pun) ada kisasnya.'38
Jadi, dokter yang
melakukan euthanasia aktif secara diam-diam (tanpa sepengetahuan/izin keluarga
pasien) dijatuhi hukuman qisas. Sedangkan euthanasia aktif yang dilakukan
dokter denganm sepengetahuan keluarga dan atau korban termasuk pembunuhan semi
sengaja sehingga pelakunya dijatuhi hukuman diyat (membayar denda). Begitu juga dengan pelaku (yang terlibat dalam) euthanasia pasif yang dilakukan dengan niat untuk mempercepat kematian dan sekaligus pembagian harta warisan pasien.
Berbeda
dengan euthanasia pasif yang dilakukan tanpa niat untuk mempercepat kematian pasien agar harta warisan yang ditinggalkannya lebih cepat dibagi oleh para ahli waris karena ditolerir oleh syara (boleh). Sehingga pelaku
eutahanasia pasif/negatif seperti itu tidak dikenai sanksi pidana.Sedangkan euthanasia pasif yang dilakukan dengan tujuan mempercepat kematian pasien sekaligus mempercepat pembagian harta warisan dapat dihukum membayar diat.
H. Rangkuman
1. Euthanasia adalah
usaha mempercepat kematian seorang pasien penderita penyakit kritis yang
dilakukan oleh dokter/petugas medis lainnya baik berdasarkan permintaan pasien
sendiri dan atau keluarganyamaupun tidak, karena merasa kasihan terhadap
penderitaan pasien. Euthanasia terbagai dua macam, yakni euthanasia
aktif/positif dan euthanasia pasif/negatif.
2. Euthanasia
aktif/positif haram hukumnya, begitu juga euthanasia pasif yang diniatkan untuk mempercepat kematian dan pembagian harta warisan pasien. Sedangkan euthanasia pasif/negatif tanpa bermaksud mempercepat kematian pasien, dibolehkan menurut syariat/hukum Islam.
Euthanasia memiliki akibat hukum terhadap kewarisan. Sehingga pelaku euthanasia
aktif/positif dan euthanasia pasif yang dimaksudkan untuk mempercepat kematian dan pembagian harta warisa pasien, dicabut haknya sebagai ahli waris, baik keluarga korban maupun
dokter (yang memiliki hubungan keluarga dengan korban), hal ini sedangkan pelaku
euthanasia pasif/negatif tanpa bermaksud mempercepat kematian dan pembagian harta warisan pasien, tetap menjadi ahli waris dari harta yang ditinggalkan
korban.
3. Euthanasia menimbulkan
dilema karena pada satu sisi euthanasia
dilakukan didorong oleh rasa kasihan terhadap penderitaan pasien yang tak
kunjung sembuh sehingga terkesan selaras dengan rasa kemanusiaan tetapi di sisi
lain justru euthanasia dapat melanggar hukum baik etika kedokteran, hukum
positif maupun hukum Islam.
4. Pelaku euthanasia
aktif/positif dijatuhi hukuman qisas
jika euthanasia itu dilakukan dokter secara diam-diam tanpa sepengetahuan
keluarga dan atau korban. Pelaku euthanasia aktif/positif dijatuhi hukuman
diyat (membayar denda) jika dokter melakukan euthanasia aktif dengan
sepengetahuan keluarga dan atau korban. Begitu juga pelaku euthanasia pasif dengan maksud mempercepat kematian dan pembagian harta warisan pasien. Sedangkan pelaku euthanasia
pasif/negatif tidak dijatuhi hukuman pidana.
1Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,
Juz II (Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 913.
2Lihat Setiawan Budi Utomo,
Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), h. 176-177.
3Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia
Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1984), h. 10.
4 Al Purwa Hadiwaryono, Etika Medis (Jakarta:
Kanisius, 1989), h. 104.
5 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, op.cit.., h. 84.
6Ali Akbar, "Euthanasia," dalam Panji
Masyarakat No. 453 (Jakarta: PT Panjimas, 1984), h. 46.
7Lihat Al Purwa Hadiwardoyo, op.cit.,
h. 106.
8Imron Halimy, Euthanasia Cara
Mati TerhormatOorang Modern (Cet. I; Solo: CV Ramadani, 1990), h. 39.
9Lihat Setiawan Budi Utomo,
op.cit., h. 177.
11 Lihat Al Purwa Hadiwardoyo, op.cit., h. 106.
12Lihat Setiawan Budi Utomo, op.cit., h. 177-178.
13 Lihat Al Purwa Hadiwardoyo, op.cit., h. 106.
14R. Soesilo, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi
Pasal (Bogor: Politeai, 1983), h. 73-74.
15 Al Purwa Hadiwardoyo, op.cit., h. 105.
16 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, op.cit., h. 82-83.
17Departemen Agama R.I, Al-Qur'an
dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press, 2002), h. 428.
18Abu Abdillah Muhammad bin Isa
bin Isma'il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz VIII (Bayrut: Dar Kutub
al-'Ilmiyyah, 1992), h. 356.
19Departemen Agama R.I, op.cit., h. 226.
21Hamka, Tafsir Al-Azhar,
Jilid V (Singapura: Pustaka Nasional, 1993), h. 3412.
22al-Bukhari, Sahih
al-Bukhari, Juz VII (Bayrut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1992), h. 12.
23Husaini A.Majid Hasyim,
Syarh Riyadus Salihin lil Imam Nawawi, diterjemahkan oleh Muammal Hamidy
dan Imron A.Manan dengan judul Syarah Riyadhush Shalihin, Jilid I
(Surabaya: Pustaka Islam, 1984), h. 125-126.
24 Departemen Agama R.I, op.cit., h. 362.
26H. Moenawar Chalil, Himpunan Hadis-Hadis Pilihan, Jilid II
(Jakarta: Bulan Bintang, 1960), h. 26.
27H. Asymudi A.Rahman, Qa'idah-qa'idah
Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 23.
28Setiawan Budi Utomo, op.cit., h. 180.
29al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz II (Bayrut: Dar al-Fikr,
1992), h.
30Setiawan Budi Utomo, op.cit, h. 180.
32Yusuf Qardawi, Hady al-Islam
Fatawi Mu'asirah, diterjemahkan oleh As'ad Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa
Kontemporer, Jilid 2 (Cet. II; Jakarta: PT Gema Insani Press, 1996),
h. 753-754.
32A. Sukris Sarmadi, Transendensi
Keadilan Hukum Waris islam Transformatif (Cet. I; Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 29.
35Asymuni A. Rahman, op.cit., h. 30.
36 H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah) Untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Cet.I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
h. 118.
37Departemen Agama R.I, op.cit., h.214.
Catatan Tambahan:
Bagi yang berminat mendalami, mengkaji, meneliti atau mengadvokasi korban KDRT khususnya problematika Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam dapat membaca buku saya yang berjudul PROTECTION OF THE RIGHTS OF DOMESTIC VIOLENCE VICTIMS: Perspective Indonesian Criminal Law and Islamic Law yang diterbitkan oleh LAP- Lambert Academic Publishing Jerman. Buku tersebut dapat dibeli di toko buku online mitra Penerbit Lambert Academic Publishing Jerman dengan harga standar 74,90 Euro. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada web berikut ini: http://www.morebooks.de/store/